Anda di halaman 1dari 10

MUHAMMADIYAH SEBAGAI

GERAKAN SOSIAL

AIK III
(Ke-Muhammadiyahan)
Pda awal abad XX kita menyaksikan suatu perkembangan
penting dalam perjalanan sejarah masyarakat Indonesia ketika
daerah perkotaan menggeser peranan komunitas pedesaan
sebagai tempat berlangsungnya perubahan. Jika tuntutan akan
lahan dan tenaga kerja kaum penjajah telah mengubah tatanan
masyarakat di abad XIX, maka pertumbuhan usaha perdagangan
dan industri di abad XX telah merangsang pembangunan di
bidang kehidupan sosial di pusat-pusat kegiatan tersebut.
Para santri merupakan kelompok yang paling dinamis dalam sejarah
Indonesia. Di abad XIX, kebangkitan agama dalam bentuk pembenahan
lembaga pendidikan pesantren dan gerakan tarikaat Islam, dipimpin oleh
para pemuka agama di pedesaan, yakni para kiai. Pemerintah kolonial
selalu mencurigai kaum santri, sampai-sampai melakukan beberapa
usaha dan tindakan untuk membatasi pengaruh kebangkitan agama
tersebut. Kebangikatan agama sebagai gerakan juga telah mendorong
gerakan menentang kekuasaan kolonial, bersamaan dengan berbagai
gerakan protes di daerah pedesaan Jawa. Berlainan dengan kebangkitan
di abad XIX ini yang bersifat kedesaan, kolot dan konservatif,
kebangkitan kaum santri di abad XX bersifat kekotaan, reformis, dan
dinamis. Harry J. Benda menyatakan bahwa kebangkitan kaum santri
kota berjuang melawan empat seteru; formalisme kolot, kebudayaan adat,
dan priyayi, sikap kebarat-baratan, dan status quo penjajahan.
Para pemimpin Muhammadiyah berpusat di sekitar kampung kauman
di Yogyakarta, sedangkan pemuka NU di pesantren Tebuireng di Jawa
Timur. Situasi kepemimpinan kedua organisasi itu pada dasarnya
tetap sama, meskipun disiratkan bahwa para pemimpin NU adalah
tipe kharismatik-otoriter dari kebudayaan petani, sedangkan para
pemuka Muhammadiyah adalah dari tipe rasional-demokratik dari
kebudayaan borjuis. Sebenarnya, baik pendiri NU maupun
Muhammadiyah sama-sama mendapat pendidikan dalam lingkungan
tradisi pesantren, bahkan dikatakan bahwa Ahmad Dahlan dan Hsyim
Asy’ari dari NU adalah kawan sekamar ketika belajar di pesantren
Semarang.
Pendirian Muhammadiyah mendapat sambutan baik dari
golongan menengah perkotaan di Jawa dan Madura. Di
Sumatera tempat pembaharuan agama dibarengi oleh
munculnya kaum muda, gerakan Muhammadiyah juga diterima
baik. Sedang di Jawa bukan hanya golongan menengah dan
golongan yang terdidik, melainkan juga kaum bangsawan
setempat, menyambut gerakan pembaruan tersebut. Sultan
Hamengkubuwono VII di Yogyakarta bahkan menghibahkan
sebidang tanah untuk mendirikan sebuah sekolah
Muhammadiyah.
Gerakan pemurnian oleh Muhammadiyah ditujukan, baik kepada
kalangan tradisionalis maupun kalangan Islam dari segala khurafat,
sisa-sisa kebudayaan kuno yang melekat di kalangan abangan, sebagai
contoh, Peacock menunjuk pada sistem kognitif. Jika seorang abangan
akan lebih mengingat hari lahirnya, Seorang Muhammadiyah lebih
suka mengingat tahun kelahiranya.
Perkembangan selanjutnya, ternyata bahwa gerakan kualitatif
itu menimbulkan dampak kuantitatif. Dengan kata lain, gerakan
kultural Muhammadiyah ternayata menimbulkan dampak
sosial. Muhammadiyah misalnya telah menyebabkan
longgarnya ikatan paternalisme santri-kiai; demikian juga telah
menyebabkan memudarnya otoritas persantren akibat
dikembangkannya lembaga-lembaga pendidikan baru. Ketika
Muhammadiyah makin bergerak pada tingkat kuantitatif,
jelaslah bahwa ia makin muncul menjadi kekuatan sosial dan
politik. Hal ini karena dari gerakan pemurnian, Muhammadiyah
kemudian menciptakan lembaga-lembaga dan tradisi-tradisi
baru dengan dukungan organisasi modern.
Perbedaan mendasar antara Muhammadiyah dan SI di satu
pihak, dengan NU di pihak lain, sesungguhnya adalah karena
keduanya mempunyai basis sosial yang berbeda. NU,
bagaimanapun tetap mewakili tradisi masyarakat komunal-
agraris yang dijalin dalam ikatan-ikatan solidaritas mekanis-
paternalistik. Di lain pihak SI dan Muhammadiyah muncul
sebagai wadah yang mewakili tradisi baru masyarakat urban,
pedagang, dengan ikatan-ikatan solidaritas organis-partisipatif.
Itu sebabnya, jika NU mengembangkan gerakannya dengan
menggunakan lembaga-lembaga dan jaringan-jaringan lama,
maka SI dan Muhammadiyah menciptakan lembaga-lembaga
dan tradisi-tradisi baru dengan jaringan yang bersifat organis
dan asosiasional.
Sebagai gerakan sosial keagamaan, selama ini Muhammadiyah telah
menyelenggarakan berbagai kegiatan yang bermanfaat untuk
pembinaan individu maupun sosial masyarakat islam di Indonesia. Pada
level individual, cita-cita pembentukan pribadi muslim dengan
kualifikasi-kualifikasi moral dan etika Islam, terasa sangat karakteristik.
Gerakan untuk membentuk keluarga “sakinah”, untuk membentuk
“jamaah”, untuk membentuk “qaryah thayyibah”, dan pada akhirnya
untuk membentuk “ummmah”, juga mendominasi cita-cita gerakan
sosial Muhammadiyah. Berbagai bentuk kegiatan amal usaha
Muhammadiyah jelas sekali membuktikan hal itu.

Anda mungkin juga menyukai