Anda di halaman 1dari 168

Subjek PPh Badan

Badan :
“sekumpulan orang dan atau modal
yang merupakan kesatuan, baik yang melakukan
usaha maupun yang tidak melakukan usaha yang
meliputi perseroan terbatas, perseroan
komanditer, perseroan lainnya, BUMN, BUMD
dengan nama dan bentuk apapun, firma, kongsi,
koperasi, dana pensiun, persekutuan,
perkumpulan, yayasan, organisasi massa,
organisasi sosial politik atau organisasi yang
sejenis, lembaga, Bentuk Usaha Tetap (BUT), dan
bentuk badan lainnya.”
Subjek PPh Badan

Subjek Pajak Badan Dalam Negeri

Badan yang didirikan atau bertempat kedudukan di


Indonesia, kecuali unit tertentu dari badan pemerintah yang
memenuhi kriteria tertentu.

Kewajiban pajak subjektif badan dalam negeri dimulai


pada saat badan tersebut didirikan atau bertempat
kedudukan di Indonesia dan berakhir pada saat dibubarkan
atau tidak lagi bertempat kedudukan di Indonesia.
Subjek PPh Badan

Subjek Pajak Badan Luar Negeri

Badan yang tidak didirikan dan tidak bertempat kedudukan


di Indonesia, yang dapat menerima atau memperoleh
penghasilan dari Indonesia tidak dari menjalankan usaha atau
melakukan kegiatan melalui bentuk usaha tetap di Indonesia.

Kewajiban pajak subjektifnya dimulai pada saat menjalankan


usaha melalui BUT ataupun pada saat menerima dan
memperoleh penghasilan. Sedangkan berakhirnya pada saat
tidak lagi menjalankan usaha di Indonesia dengan melalui BUT
atau tidak lagi menerima atau memperoleh penghasilan di
Indonesia.
Bentuk Usaha Tetap

Bentuk usaha yang dipergunakan oleh orang pribadi yang tidak bertempat tinggal di
Indonesia, orang pribadi yang berada di Indonesia tidak lebih dari 183 (seratus delapan
puluh tiga) hari dalam jangka waktu 12 (dua belas) bulan, dan badan yang tidak
didirikan dan tidak bertempat kedudukan di Indonesia untuk menjalankan usaha atau
melakukan kegiatan di Indonesia.

Contoh :

Sebuah perusahaan dari China memenangkan tender pembangunan PLTU.


Untuk membangun PLTU tersebut perusahaan dari China mendirikan BUT
yang akan beroperasi selama pembangunan PLTU tersebut.

Mr Wong, warga negara China ditugaskan oleh China Life Insurance,


perusahaan asuransi yang berkedudukan di china untuk menjadi agen di
Indonesia. Dalam hal ini maka Mr Wong adalah BUT.

Kedudukan BUT dipersamakan kewajiban perpajakannya dengan Wajib


Pajak Badan Dalam Negeri.
Perbedaan WP Dalam Negeri
dan WP Luar Negeri

URAIAN WAJIB PAJAK DALAM WAJIB PAJAK LUAR NEGERI


NEGERI
Penghasilan yang dikenai pajak Atas penghasilan baik yang Hanya atas penghasilan yang
diterima atau diperoleh dari berasal dari sumber penghasilan
Indonesia maupun dari luar di Indonesia
Indonesia

Dasar Pengenaan Pajak Penghasilan neto dengan tarif Penghasilan bruto dengan tarif
umum pajak sepadan

SPT Wajib menyampaikan Surat Tidak wajib menyampaikan


Pemberitahuan Tahunan Pajak Surat Pemberitahuan Tahunan
Penghasilan sebagai sarana Pajak Penghasilan karena
untuk menetapkan pajak yang kewajiban pajaknya dipenuhi
terutang dalam suatu tahun melalui pemotongan pajak yang
pajak bersifat final.

Bagi Wajib Pajak luar negeri yang menjalankan usaha atau melakukan kegiatan melalui bentuk usaha tetap di
Indonesia, pemenuhan kewajiban perpajakannya dipersamakan dengan pemenuhan kewajiban perpajakan Wajib
Pajak badan dalam negeri sebagaimana diatur dalam Undang-Undang ini dan Undang-Undang yang mengatur
mengenai ketentuan umum dan tata cara perpajakan
BUKAN SUBJEK PAJAK

1. Badan perwakilan negara asing (Kedutaan Besar);


2. Organisasi-Organisasi Internasional yang ditetapkan dengan
Keputusan Menteri Keuangan dengan syarat :
 Indonesia menjadi anggota organisasi tersebut;
 Tidak menjalankan usaha atau kegiatan lain untuk
memperoleh penghasilan dari Indonesia selain pemberian
pinjaman kepada pemerintah yang dananya berasal dari
iuran para anggota
BUKAN SUBJEK PAJAK

3. Unit tertentu dari badan pemerintah yang memenuhi kriteria


 Dibentuk berdasarkan peraturan perundang-undangan yang
berlaku;
 Dibiayai dengan dana yang bersumber dari APBN atau APBD;
 Penerimaan lembaga tersebut dimasukkan dalam anggaran
Pemerintah Pusat atau Daerah;
 Pembukuannya diperiksa oteh aparat pengawasan fungsional
negara.
KEWAJIBAN SUBJEK
PAJAK BADAN

Mendaftarkan diri
untuk memperoleh
NPWP

• Menghitung Pajak
Setelah memiliki terutang
• Melakukan pembayaran
NPWP : • Menyampaikan SPT Masa
dan Tahunan
• Melakukan Pemotongan
dan Pemungutan Pajak
Tata Cara
Pengenaan PPh

Subjek Pajak Badan yang memperoleh penghasilan akan dikenakan


PPh dengan dua cara :
1. Dikenakan PPh dengan tarif umum yaitu tarif Pasal 17 UU PPh
sebesar 25 % dan Pasal 31 E sebesar 12,5 %, perhitungannya
dilakukan dalam SPT Tahunan.
2. Dikenakan PPh secara final.
Tarif PPh Final dikenakan atas jenis penghasilan yang bersifat
final dengan tarif tertentu.
Konsep Pengenaan
PPh Final

 Dikenakan PPh dengan tarif tertentu atas jenis penghasilan tertentu dan
dikenakan pada saat penghasilan tersebut diterima atau diperoleh.
 PPh yang dikenakan, baik yang dipotong pihak lain maupun yang disetor
sendiri, bukan merupakan pembayaran di muka atas PPh terutang tetapi
sudah langsung melunasi PPh terutang untuk penghasilan tersebut.
 Penghasilan yang dikenakan PPh Final tidak akan dihitung lagi PPh nya di
SPT Tahunan untuk dikenakan tarif umum.
 Biaya yang dikeluarkan untuk memperoleh penghasilan yang bersifat final
tidak dapat diperhitungkan kembali.
 PPh Final yang sudah dipotong atau dibayar tersebut bukan merupakan
kredit pajak di SPT Tahunan.
Konsep Pengenaan
PPh Final

Contoh :
PT. Hakatex adalah sebuah Atas laba bersih fiskal dari
perusahaan Garment yang juga penjualan pakaian akan
memiliki gedung yang dikenakan tarif umum sebesar 25
disewakan kepada pihak lain. % sedangkan atas pendapatan
Penghasilan yang diperoleh sewa gedung akan dikenakan PPh
final dengan tarif 10 %.
selama tahun 2014 terdiri dari :
- Penjualan Pakaian sebesar
PPh tarif final 10 % langsung
Rp. 100 Milyar dikenakan pada saat memperoleh
- Pendapatan Sewa Gedung penghasilan tersebut dan tidak
sebesar Rp. 2 Milyar. perlu lagi diperhitungkan dalam
SPT Tahunan PPh Badan.
Berdasarkan UU PPh Biaya untuk memperoleh
penghasilan dari penjualan pendapatan sewa gedung tidak
pakaian tidak bersifat final dan dapat dikurangkan dalam
penghasilan dari sewa gedung menghitung laba bersih fiskal
bersifat final. dari hasil penjualan pakaian.
Objek Pajak

Yang menjadi objek pajak adalah penghasilan,


yaitu setiap tambahan kemampuan ekonomis yang
diterima atau diperoleh Wajib Pajak, baik yang berasal
dari Indonesia maupun dari luar Indonesia, yang dapat
dipakai untuk konsumsi atau untuk menambah kekayaan
Wajib Pajak yang bersangkutan, dengan nama
dan dalam bentuk apapun.
Objek Pajak

Dibagi dalam dua kelompok :


Objek Pajak Tidak Final

a. Penggantian atau imbalan berkenaan dengan pekerjaan


atau jasa yang diterima atau diperoleh termasuk gaji, upah,
tunjangan, honorarium, komisi, bonus, gratifikasi, uang
pensiun, atau imbalan dalam bentuk lainnya, kecuali
ditentukan lain dalam Undang-undang;
b. hadiah dari undian atau pekerjaan atau kegiatan, dan
penghargaan;
c. laba usaha;
d. keuntungan karena penjualan atau karena pengalihan harta
termasuk:
 keuntungan karena pengalihan harta kepada perseroan,
persekutuan, dan badan lainnya sebagai pengganti saham atau
penyertaan modal;
 keuntungan karena pengalihan harta kepada pemegang saham,
sekutu, atau anggota yang diperoleh perseroan, persekutuan, dan
badan lainnya;
 keuntungan karena likuidasi, penggabungan, peleburan,
pemekaran, pemecahan, pengambilalihan usaha, atau reorganisasi
dengan nama dan dalam bentuk apa pun;
 keuntungan karena pengalihan harta berupa hibah, bantuan,
atau sumbangan, kecuali yang diberikan kepada keluarga
sedarah dalam garis keturunan lurus satu derajat dan badan
keagamaan, badan pendidikan, badan sosial termasuk
yayasan, koperasi, atau orang pribadi yang menjalankan
usaha mikro dan kecil, yang ketentuannya diatur lebih lanjut
dengan Peraturan Menteri Keuangan, sepanjang tidak ada
hubungan dengan usaha, pekerjaan, kepemilikan, atau
penguasaan di antara pihak-pihak yang bersangkutan; dan

 keuntungan karena penjualan atau pengalihan sebagian atau


seluruh hak penambangan, tanda turut serta dalam
pembiayaan, atau permodalan dalam perusahaan
pertambangan;
e. penerimaan kembali pembayaran pajak yang telah
dibebankan sebagai biaya dan pembayaran tambahan
pengembalian pajak;
f. bunga termasuk premium, diskonto, dan imbalan karena
jaminan pengembalian utang;
g. dividen, dengan nama dan dalam bentuk apapun, termasuk
dividen dari perusahaan asuransi kepada pemegang polis,
dan pembagian sisa hasil usaha koperasi;
h. royalti atau imbalan atas penggunaan hak;
i. sewa dan penghasilan lain sehubungan dengan penggunaan
harta;
j. penerimaan atau perolehan pembayaran berkala;
k. keuntungan karena pembebasan utang, kecuali sampai
dengan jumlah tertentu yang ditetapkan dengan Peraturan
Pemerintah;
l. keuntungan selisih kurs mata uang asing;
m. selisih lebih karena penilaian kembali aktiva;
n. premi asuransi;
o. iuran yang diterima atau diperoleh perkumpulan dari
anggotanya yang terdiri dari Wajib Pajak yang menjalankan
usaha atau pekerjaan bebas;
p. tambahan kekayaan neto yang berasal dari penghasilan yang
belum dikenakan pajak;
q. penghasilan dari usaha berbasis syariah;
r. imbalan bunga sebagaimana dimaksud dalam Undang-
Undang yang mengatur mengenai ketentuan umum dan tata
cara perpajakan; dan
s. surplus Bank Indonesia.
OBJEK PAJAK FINAL
(PPH PASAL 4 AYAT 2)

a. penghasilan berupa bunga deposito dan tabungan lainnya,


bunga obligasi dan surat utang negara, dan bunga simpanan
yang dibayarkan oleh koperasi kepada anggota koperasi orang
pribadi
b. penghasilan berupa hadiah undian
c. penghasilan dari transaksi saham dan sekuritas lainnya,
transaksi derivatif yang diperdagangkan di bursa, dan
transaksi penjualan saham atau pengalihan penyertaan modal
pada perusahaan pasangannya yang diterima oleh perusahaan
modal ventura
d. penghasilan dari transaksi pengalihan harta berupa tanah
dan/atau bangunan, usaha jasa konstruksi, usaha real estate,
dan persewaan tanah dan/atau bangunan;
e. penghasilan tertentu lainnya : revaluasi aktiva tetap, Built
Operate Transfer, Deviden diterima orang pribadi, penjualan
BBM dan Pelumas oleh Agen.
PENGHASILAN BUKAN
OBJEK PAJAK

a. Bantuan atau sumbangan, termasuk zakat yang diterima


oleh badan amil zakat atau lembaga amil zakat yang
dibentuk atau disahkan oleh pemerintah dan yang diterima
oleh penerima zakat yang berhak atau sumbangan
keagamaan yang sifatnya wajib bagi pemeluk agama yang
diakui di Indonesia, yang Diterima oleh lembaga keagamaan
yang dibentuk atau disahkan oleh pemerintah dan yang
diterima oleh penerima sumbangan yang berhak, yang
ketentuannya diatur dengan atau berdasarkan Peraturan
Pemerintah; dan
b. Harta hibahan yang diterima oleh keluarga sedarah dalam
garis keturunan LURUS SATU DRAJAT, badan keagamaan,
badan pendidikan, badan sosial termasuk yayasan, koperasi,
atau orang pribadi yang menjalankan usaha mikro dan kecil,
yang ketentuannya diatur dengan atau berdasarkan Peraturan
Menteri Keuangan sepanjang tidak ada hubungan dengan
usaha, pekerjaan, kepemilikan, atau penguasaan di antara
pihak-pihak yang bersangkutan;
c. warisan;

d. harta termasuk setoran tunai yang diterima oleh badan


sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) huruf b
sebagai pengganti saham atau sebagai pengganti penyertaan
modal;

e. penggantian atau imbalan sehubungan dengan


pekerjaan atau jasa yang diterima atau diperoleh dalam
bentuk natura dan/atau kenikmatan dari Wajib Pajak atau
Pemerintah, kecuali yang diberikan oleh bukan Wajib Pajak,
Wajib Pajak yang dikenakan pajak secara final atau Wajib
Pajak yang menggunakan norma penghitungan khusus
(deemed profit) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15;
f. pembayaran dari perusahaan asuransi kepada
orang pribadi sehubungan dengan asuransi kesehatan,
asuransi kecelakaan, asuransi jiwa, asuransi dwiguna,
dan asuransi bea siswa;

g. dividen atau bagian laba yang diterima atau diperoleh


perseroan terbatas sebagai Wajib Pajak dalam negeri,
koperasi, badan usaha milik negara, atau badan usaha
milik daerah, dari penyertaan modal pada badan usaha
yang didirikan dan bertempat kedudukan di Indonesia
dengan syarat:
1. dividen berasal dari cadangan laba yang ditahan; dan
2. bagi perseroan terbatas, badan usaha milik negara dan badan
usaha milik daerah yang menerima dividen, kepemilikan saham
pada badan yang memberikan dividen paling rendah 25% (dua
puluh lima persen) dari jumlah modal yang disetor;
h. iuran yang diterima atau diperoleh dana pensiun yang
pendiriannya telah disahkan Menteri Keuangan, baik yang dibayar
oleh pemberi kerja maupun pegawai;

i. penghasilan dari modal yang ditanamkan oleh dana pensiun


sebagaimana dimaksud pada huruf g, dalam bidang-bidang
tertentu yang ditetapkan dengan Keputusan Menteri Keuangan;
Contoh : Bunga deposito, deviden dari penanaman modal pada
perseroan terbatas yang tercata di bursa efek.

j. bagian laba yang diterima atau diperoleh anggota dari


perseroan komanditer yang modalnya tidak terbagi atas saham-
saham, persekutuan, perkumpulan, firma, dan kongsi, termasuk
pemegang unit penyertaan kontrak investasi kolektif;
k. penghasilan yang diterima atau diperoleh perusahaan
modal ventura berupa bagian laba dari badan pasangan
usaha yang didirikan dan menjalankan usaha atau kegiatan di
Indonesia, dengan syarat badan pasangan usaha tersebut:
1. merupakan perusahaan mikro, kecil, menengah, atau yang
menjalankan kegiatan dalam sektor-sektor usaha yang diatur
dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan; dan
2. sahamnya tidak diperdagangkan di bursa efek di Indonesia.

l. beasiswa yang memenuhi persyaratan tertentu yang


ketentuannya diatur lebih lanjut dengan atau berdasarkan
Peraturan Menteri Keuangan;
m. sisa lebih yang diterima atau diperoleh badan atau lembaga
nirlaba yang bergerak dalam bidang pendidikan dan/atau
bidang penelitian dan pengembangan, yang telah terdaftar pada
instansi yang membidanginya, yang ditanamkan kembali dalam
bentuk sarana dan prasarana kegiatan pendidikan dan/atau
penelitian dan pengembangan, dalam jangka waktu paling lama
4 (empat) tahun sejak diperolehnya sisa lebih tersebut, yang
ketentuannya diatur lebih lanjut dengan atau berdasarkan
Peraturan Menteri Keuangan; dan

n. bantuan atau santunan yang dibayarkan oleh Badan


Penyelenggara Jaminan Sosial kepada Wajib Pajak tertentu, yang
ketentuannya diatur lebih lanjut dengan atau berdasarkan
Peraturan Menteri Keuangan.
KLASIFIKASI BIAYA

Masa Manfaat Biaya pada


Tidak Lebih dari tahun yang
1 Tahun bersangkutan
Biaya
Masa Manfaat Pembebanan
Lebih dari melalui
1 Tahun penyusutan
BIAYA YANG DAPAT
DIKURANGKAN
Pasal 6 UU PPh

a. Langsung/Tidak Langsung berkaitan dengan usaha


b. Penyusutan
c. Iuran kepada dana pensiun yang pendiriannya telah
disahkan oleh Menteri Keuangan
d. Rugi penjualan atau pengalihan harta
e. Rugi Selisih Kurs
Biaya 3M : f. Biaya litbang yang dilakukan di Indonesia
Mendapatkan, g. Biaya Beasiswa, magang, dan Pelatihan
menagih dan
memelihara h. Piutang yang nyata-nyata tidak dapat ditagih
i. Sumbangan bencana nasional yang ditetapkan
Pemerintah
j. Sumbangan dalam rangka Litbang di Indonesia
k. Biaya pembangunan infrastruktur sosial
l. Sumbangan fasilitas pendidikan
m. Sumbangan dalam rangka pembinaan olahraga
BIAYA YANG LANGSUNG ATAU TIDAK
LANGSUNG DENGAN KEGIATAN USAHA

Antara Lain

• biaya pembelian bahan


• biaya berkenaan dengan pekerjaan atau jasa termasuk upah, gaji,
honorarium, bonus, gratifikasi, dan tunjangan yang diberikan dalam
bentuk uang
• bunga, sewa, dan royalti
• biaya perjalanan dinas
• biaya pengolahan limbah
• premi asuransi
• biaya promosi dan penjualan yang diatur dengan atau berdasarkan
Peraturan Menteri Keuangan
• biaya administrasi
• pajak kecuali Pajak Penghasilan

Syarat: mempunyai hubungan langsung atau tidak langsung dengan


usaha atau kegiatan untuk mendapatkan, menagih dan memelihara
penghasilan yang merupakan objek pajak
PRINSIP PRINSIP
PEMBEBANAN BIAYA

 Apabila terdapat penghasilan yang merupakan objek pajak


dan bukan objek pajak, perhitungan biaya yang boleh
dibebankan dilakukan secara proporsional

Contoh:
Dana Pensiun A yang pendiriannya telah mendapat pengesahan dari
Menteri Keuangan memperoleh penghasilan bruto yang terdiri dari:
penghasilan yang bukan merupakan objek pajak sesuai dengan Pasal
4 ayat (3) huruf h sebesar Rp. 100 juta dan penghasilan bruto lainnya
sebesar Rp300 juta. Apabila seluruh biaya adalah sebesar Rp 200
juta, maka biaya yang boleh dikurangkan untuk mendapatkan,
menagih dan memelihara penghasilan adalah sebesar Rp. 150 juta
(3/4 x Rp200 juta).
PRINSIP PRINSIP
PEMBEBANAN BIAYA

 Pengeluaran-pengeluaran yang tidak ada hubungannya dengan


upaya untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan
tidak boleh dibebankan sebagai biaya.
Misal : pengeluaran pribadi pemegang saham

 Pembayaran premi asuransi oleh pemberi kerja untuk kepentingan


pegawainya boleh dibebankan sebagai biaya perusahaan, tetapi bagi
pegawai yang bersangkutan premi tersebut merupakan penghasilan.

 Pengeluaran dalam bentuk natura dan/atau kenikmatan tidak boleh


menjadi biaya. Namun, pengeluaran dalam bentuk natura atau
kenikmatan tertentu sebagaimana diatur dalam Pasal 9 ayat (1) huruf
e, boleh dibebankan sebagai biaya dan bagi pihak yang menerima
atau menikmati bukan merupakan penghasilan.
PRINSIP PRINSIP
PEMBEBANAN BIAYA

o Pengeluaran biaya harus dilakukan dalam batas-batas yang wajar sesuai


dengan adat kebiasaan pedagang yang baik. Dengan demikian, apabila
pengeluaran yang melampaui batas kewajaran tersebut dipengaruhi
oleh hubungan istimewa, jumlah yang melampaui batas kewajaran
tersebut tidak boleh dikurangkan dari penghasilan bruto

o Pajak-pajak yang menjadi beban perusahaan dalam rangka usahanya


selain Pajak Penghasilan, misalnya Pajak Bumi dan Bangunan (PBB),
Bea Meterai (BM), Pajak Hotel, dan Pajak Restoran, dapat dibebankan
sebagai biaya

o Pengeluaran untuk promosi perlu dibedakan antara biaya yang benar-


benar dikeluarkan untuk promosi dan biaya yang pada hakikatnya
merupakan sumbangan. Biaya yang benar-benar dikeluarkan untuk
promosi boleh dikurangkan dari penghasilan bruto.
BIAYA YANG TIDAK
DAPAT DIKURANGKAN
Pasal 9 UU PPh

a. Biaya sebagaimana diatur dalam Pasal 9 ayat 1 UU PPh


b. Biaya untuk 3 M penghasilan yang bukan objek pajak
c. Biaya untuk 3 M penghasilan yang pph nya bersifat final
d. Biaya yang biasa diterapkan di luar praktik akuntansi yang sehat
(kondisi tidak wajar);
e. Biaya yang tidak dapat dibuktikan pengeluarannya (antara lain
tidak menggunakan bukti, daftar nominatif, dan tanpa
dokumen);
f. Pajak Masukan yang memenuhi kriteria :
Faktur Pajak atas perolehan BKP/JKP termasuk Faktur Pajak
cacat, kecuali dapat dibuktikan bahwa atas Pajak Masukan
tersebut benar-benar telah dibayar oleh PKP;
BIAYA YANG TIDAK
DAPAT DIKURANGKAN
Pasal 9 UU PPh

g. Biaya untuk 3M penghasilan yang dikenakan pajak berdasarkan


Norma Penghitungan Penghasilan Neto dan Norma
Penghitungan Khusus;
h. Kerugian dari harta atau utang yang dimiliki dan tidak
dipergunakan untuk 3M Objek Pajak;
i. PPh ditanggung pemberi kerja, kecuali PPh tersebut
ditambahkan dalam penghitungan dasar untuk pemotongan
pajak.
BIAYA YANG TIDAK
DAPAT DIKURANGKAN
Pasal 9 UU PPh

Kriteria biaya yang tidak dapat dikurangkan :

• Tidak berkaitan langsung atau tidak langsung dengan


kegiatan usaha.
Contoh : biaya sponsorship turnamen golf.

• Merupakan pemakaian penghasilan atau pengeluaran


yang melebihi kewajaran.
Contoh : pembayaran deviden, biaya komisi
diluar kewajaran dll
BIAYA YANG TIDAK
DAPAT DIKURANGKAN
Pasal 9 UU PPh

Pembagian laba dengan nama dan dalam bentuk apapun


(dividen, termasuk dividen yang dibayarkan oleh perusahaan
asuransi kepada pemegang polis, dan pembagian sisa hasil
usaha koperasi).

Penjelasan:
Dividen tidak boleh dikurangkan dari penghasilan
badan yang membagikan karena pembagian laba
tersebut merupakan bagian dari penghasilan yang akan
dikenakan pajak berdasarkan UU PPh.
BIAYA YANG TIDAK
DAPAT DIKURANGKAN
Pasal 9 UU PPh

Biaya yang dibebankan atau dikeluarkan untuk kepentingan


pribadi pemegang saham, sekutu, atau anggota.

Contoh:
Perbaikan rumah pribadi, biaya perjalanan, biaya premi
asuransi yang dibayar perusahaan untuk kepentingan
pribadi pemegang saham atau keluarganya.
BIAYA YANG TIDAK
DAPAT DIKURANGKAN
Pasal 9 UU PPh

Pembentukan atau pemupukan dana cadangan.


Penjelasan:
UU PPh menganut prinsip realisasi, sehingga semua yang
bersifat cadangan tidak diakui, kecuali untuk jenis wajib pajak
tertentu yang sangat memerlukan mencadangkan sesuatu
karena resiko usaha yang tinggi, yaitu wajib pajak sebagai
berikut:
1. Bank dan badan usaha lain yang menyalurkan kredit, sewa
guna usaha dengan hak opsi, perusahaan pembiayaan
konsumen, dan perusahaan anjak piutang, dapat
mencadangkan piutang tak tertagih;
2. Asuransi membuat cadangan usaha, dan khusus Badang
Penyelenggara Jaminan Sosial dapat membuat cadangan
bantuan sosial;
BIAYA YANG TIDAK
DAPAT DIKURANGKAN
Pasal 9 UU PPh

3. Lembaga Penjamin Simapanan dapat membuat cadangan


penjaminan;
4. Usaha pertambangan dapat membuat cadangan biaya
reklamasi;
5. Usaha kehutanan membuat cadangan biaya penanaman
kembali;
6. Usaha pengolahan limbah industri membuat cadangan
biaya penutupan dan pemeliharaan tempat pembuangan
limbah industri.
BIAYA YANG TIDAK
DAPAT DIKURANGKAN
Pasal 9 UU PPh

Penggantian atau imbalan dalam bentuk natura dan kenikmatan,


kecuali penyediaan makanan dan minuman bagi seluruh pegawai
serta penggantian atau imbalan dalam bentuk natura dan
kenikmatan di daerah tertentu dan yang berkaitan dengan
pelaksanaan pekerjaan yang diatur dengan atau berdasarkan
Peraturan Menteri Keuangan

Penjelasan:
Semua natura yang diterima karyawan dari pemberi
kerja adalah bukan objek pajak bagi karyawan,
sehingga sejalan dengan itu maka natura tersebut
tidak dapat dibebankan oleh si pemberi kerja.
BIAYA YANG TIDAK
DAPAT DIKURANGKAN
Pasal 9 UU PPh

Penjelasan:
Namun dengan Peraturan Menteri Keuangan, terdapat
beberapa natura yang dapat dibiayakan oleh pemberi kerja dan
bukan objek PPh bagi si karyawan yaitu sebagai berikut:
1. Natura yang diberikan di daerah terpencil;
2. Natura dan kenikmatan karena bersifat wajib, contoh
seragam security, seragam antar jemput karyawan,
penginapan untuk awak kapal;
3. Makanan dan minuman untuk seluruh pegawai.
BIAYA YANG TIDAK
DAPAT DIKURANGKAN
Pasal 9 UU PPh

Jumlah yang melebihi kewajaran yang dibayarkan kepada


pemegang saham atau kepada pihak yang mempunyai hubungan
istimewa sebagai imbalan.
Penjelasan:
Sangat dimungkinkan jika pemegang saham juga bekerja buat
perusahaan. Jika pembayaran kepada pegawai yang juga pemegang
saham melebihi kewajaran, maka kelebihan tersebut tidak boleh
dibebankan sebagai biaya oleh perusahaan dan akan dianggap
sebagai dividen bagi si pemegang saham.

Contoh:
Seorang tenaga ahli yang juga pemegang saham memberikan jasa
kepada perusahaan dan memperoleh imbalan sebesar Rp130 juta. Jika
pekerjaan yang sama diberikan oleh tenaga ahli lain dengan bayaran
sebesar Rp70 juta maka kelebihan pembayaran kepada tenaga ahli
pemegang saham sebesar Rp60 juta tidak dapat dibebankan sebagai
biaya dan merupakan objek pajak penghasilan-dividen bagi tenaga
ahli-pemegang saham.
BIAYA YANG TIDAK
DAPAT DIKURANGKAN
Pasal 9 UU PPh

Harta yang dihibahkan, bantuan atau


sumbangan, dan warisan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 4 ayat (3) huruf a dan b kecuali sumbangan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1) huruf i, huruf j,
huruf k, huruf l, dan huruf m serta zakat yang diterima oleh
badan amil zakat atau lembaga amil zakat yang dibentuk atau
disahkan oleh pemerintah atau sumbangan keagamaan
yang sifatnya wajib
BIAYA YANG TIDAK
DAPAT DIKURANGKAN
Pasal 9 UU PPh

Pajak Penghasilan

Penjelasan:
Yang dimaksud dengan pajak penghasilan adalah
pajak penghasilan yang terutang untuk wajib pajak
yang bersangkutan.
BIAYA YANG TIDAK
DAPAT DIKURANGKAN
Pasal 9 UU PPh

Biaya yang dibebankan atau dikeluarkan untuk kepentingan


pribadi Wajib Pajak atau orang yang menjadi tanggungannya

Penjelasan:
Biaya untuk kepentingan pribadi wajib pajak dan atau
tanggungannya adalah pada hakekatnya penggunaan
penghasilan wajib pajak sehingga tidak dapat
dibiayakan
BIAYA YANG TIDAK
DAPAT DIKURANGKAN
Pasal 9 UU PPh

Gaji yang dibayarkan kepada anggota persekutuan, firma,


atau perseroan komanditer yang modalnya tidak terbagi atas
saham
Penjelasan:
Anggota persekutuan, firma dan perseroan
komanditer dengan modal yang tidak terbagi atas
saham diperlakukan sebagai satu kesatuan sehingga
tidak ada imbalan seperti gaji. Dengan demikian gaji
yang diterima oleh mereka bukan pembayaran yang
dapati dikurangkan dari penghasilan bruto badan
tersebut.
BIAYA YANG TIDAK
DAPAT DIKURANGKAN
Pasal 9 UU PPh

Sanksi administrasi berupa bunga, denda, dan kenaikan serta


sanksi pidana berupa denda yang berkenaan dengan pelaksanaan
perundang-undangan di bidang perpajakan.

Penjelasan:
Semua sanksi yang terkait dengan undang-undang
perpajakan, baik pajak pusat maupun pajak daerah.

Contoh:
Perusahaan membayar pajak kendaraan bermotor sebesar
Rp10 juta dan sanksi atas keterlambatan pembayaran sebesar
Rp1 juta. Maka pengeluaran yang dapat dibebankan sebagai
biaya fiskal adalah pajak kendaran bermotor sebesar Rp10 juta
sedangkan sansksi keterlambatan pembayaran pajak
kendaraan bermotor tidak dapat dibebankan sebagai biaya
fiskal.
PIUTANG TIDAK TERTAGIH

• Telah dibebankan sebagai biaya dalam


Persyaratan laporan laba rugi komersial
• Wajib Pajak harus menyerahkan daftar
piutang yang nyata-nyata tidak dapat

(kecuali ditagih kepada Direktorat Jenderal Pajak


• Telah diserahkan perkara penagihannya
kepada Pengadilan Negeri atau instansi
untuk debitur pemerintah yang menangani piutang
negara, atau terdapat perjanjian tertulis

kecil dan mengenai penghapusan


piutang/pembebasan utang antara
kreditur dan debitur atas piutang yang
debitur kecil nyata-nyata tidak dapat ditagih tersebut,
atau telah dipublikasikan dalam penerbitan

lainnya) umum atau khusus, atau adanya


pengakuan dari debitur bahwa utangnya
telah dihapuskan untuk jumlah utang
tertentu.
PMK 57/2010 jo PMK
207/2015

Tidak berasal dari transaksi dengan pihak yang mempunyai hubungan


istimewa
 Piutang yang nyata-nyata tidak dapat ditagih kepada debitur kecil:
piutang debitur kecil yang jumlahnya tidak melebihi Rp100 juta, yang
merupakan gunggungan jumlah piutang dari beberapa kredit yang
diberikan oleh suatu institusi bank/lembaga pembiayaan dalam negeri
sebagai akibat adanya pemberian:
 Kredit Usaha Keluarga Prasejahtera (Kukesra)
 Kredit Usaha Tani (KUT)
 Kredit Pemilikan Rumah Sangat Sederhana (KPRSS)
 Kredit Usaha Kecil (KUK)
 Kredit Usaha Rakyat (KUR)
 Kredit kecil lainnya dalam rangka kebijakan perkreditan Bank
Indonesia dalam mengembangkan usaha kecil dan koperasi

 Piutang yang nyata-nyata tidak dapat ditagih kepada debitur kecil lainnya
adalah piutang debitur kecil lainnya yang jumlahnya tidak melebihi Rp 5
juta.
Apabila Piutang yang nyata-nyata tidak dapat
ditagih ternyata kemudian dibayar seluruhnya
atau dibayar sebagian oleh debitur, jumlah
piutang yang dibayar seluruhnya atau dibayar
sebagian tersebut merupakan penghasilan bagi
kreditur pada tahun pajak diterimanya
pembayaran.
PAJAK DAN RETRIBUSI DAERAH

• Memenuhi ketentuan UU No.


18 Tahun 1997 tentang Pajak
Daerah dan Retribusi
Biaya Pajak Daerah
• Berkaitan langsung dengan
dan Retribusi kegiatan untuk
Daerah mendapatkan memelihara
dan menagih penghasilan
yang merupakan objek
SE- pajak
02/PJ.42/2002 • Tidak termasuk pengeluaran
untuk sanksi berupa bunga,
denda atau kenaikan
BPHTB dan PBB

• BPHTB dapat
diibiayakan dengan
cara
amortisasi/penyusutan
Biaya BPHTB • PBB dapat
dan PBB dibebankan langsung
sebagai biaya (kecuali
SE- untuk penghasilan
yang sifatnya final,
01/PJ.42/2002 bukan objek atau
deemed profit.
HUBUNGAN ISTIMEWA

Penyebab :
a. kepemilikan atau penyertaan modal;
b. adanya penguasaan melalui manajemen atau penggunaan
teknologi.

Format :
a. Kepemilikan dan Penyertaan Modal
WP mempunyai penyertaan modal langsung atau tidak langsung
paling rendah 25% (dua puluh lima persen)
Contoh :
PT. A memiliki 50 % saham PT. B.
PT B memiliki 50 % saham PT. C
Hubungan istmewa :
PT. A dengan PT B karena penyertaan langsung
PT. A dengan PT C karena penyertaan tidak langsung
Apabila PT. A juga memiliki saham di PT. D maka antara PT. A,B,C dan
D terdapat hubungan sitimewa
HUBUNGAN ISTIMEWA

b. Hubungan penguasaan
WP menguasai WP lainnya, atau dua atau lebih WP
berada di bawah penguasaan yang sama baik langsung
maupun tidak langsung; atau hubungan istimewa antara
WP dapat juga terjadi karena penguasaan melalui
manajemen atau penggunaan teknologi, kendatipun tidak
terdapat hubungan kepemilikan.
Contoh :
Tn. A merupakan Direktur Utama dari PT. B dan PT. C. Maka
antara PT. B dan PT C terdapat hubungan istimewa karena
dibawah penguasaan manajemen yang sama
PT X perusahaan yang memproduksi minuman dengan formula
dari PT. Y. Maka antara PT X dan Y terdapat hubungan istimewa
Mengapa Konsep Hubungan Istimewa harus
dipahami?
Pasal 18 UU PPH :
Direktur Jenderal Pajak berwenang untuk menentukan kembali besarnya
penghasilan dan pengurangan serta menentukan utang sebagai modal untuk
menghitung besarnya Penghasilan Kena Pajak bagi Wajib Pajak yang
mempunyai hubungan istimewa dengan Wajib Pajak lainnya sesuai dengan
kewajaran dan kelaziman usaha yang tidak dipengaruhi oleh hubungan
istimewa dengan menggunakan metode perbandingan harga antara pihak yang
independen, metode harga penjualan kembali, metode biaya-plus, atau metode
lainnya.
Contoh :
PT. A memiliki 30 % saham dari PT. B dan PT B adalah salah satu pemasok bahan baku
yang digunakan PT A. Selama tahun 2014 PT B memasok bahan baku PT A dengan
harga per unit Rp. 25 juta. Barang yang sama di jual ke perusahaan lain dengan harga
Rp. 40 juta perunit.
DJP berhak berwenang untuk menentukan kembali harga transaksi PT A dengan PT B
menjadi sebesar Rp. 40 juta
PENILAIAN AKTIVA

Permasalahan yang muncul :


 Pengakuan Harga Perolehan Aktiva
 Harga Pasar Wajar transaksi antar pihak yang
memiliki hubungan istimewa
 Pengakuan penghasilan dari pengalihan aktiva
Pengakuan Harga
Perolehan

Persediaan Barang Dagangan


Metode yang diperkenankan : FIFO dan Rata Rata (Average).

Aktiva Tetap
Harga beli ditambah biaya lain yang dikeluarkan dalam rangka
memperoleh aktiva terserbut. Misal : bea masuk,biaya angkut
dan biaya pemasangan.

Tanah
Harga beli tanah ditambah biaya pengurusan hak atas tanah
yang pertamakali harus dikapitalisasi dalam harga perolehan
tanah
Biaya Pra Operasi
Pengeluaran yang dilakukan sebelum operasi komersial yang
mempunyai masa manfaat lebih dari 1 (satu) tahun,
dikapitalisasi dan kemudian diamortisasi.
Contoh :
 Biaya studi kelayakan, biaya produksi uji coba produk, biaya untuk
mendapatkan ijin usaha dari instansi berwenang dan biaya pendirian
perusahaan dicatat sebagai Biaya Pra Operasi dan dikapitalisasikan.
Pembebanan biaya tersebut dilakukan dengan cara amortisasi.

 Biaya-biaya operasional (Operational Expenditure) yang sifatnya rutin,


seperti gaji pegawai, biaya rekening listrik dan telepon, dan biaya
kantor lainnya tidak boleh dikapitalisasi tetapi dibebankan sekaligus
pada tahun pengeluaran.
Transaksi Pengalihan
Aktiva

1. Jual Beli
Dalam hal transaksi dipengaruhi hubungan istimewa :
- bagi pembeli : harga perolehan harta adalah harga yang
seharusnya dibayar
- bagi penjual : harga penjualan harta adalah harga yang
seharusnya diterima

Sedangkan bila tidak dipengaruhi hubungan istimewa, maka


harga jual beli adalah :
- bagi pembeli: harga perolehan harta adalah harga yang
sesungguhnya dibayar
- bagi penjual: harga penj'ualan harta adalah harga yang
sesungguhnya diterima
Contoh

 Tuan A adalah pemegang saham utama sekaligus


pemasok bahan baku produksi PT X.
PT X membeli bahan baku dari Tuan A seharga
Rp.1.500.000,00 per unit. Harga bahan baku yang sama di
pasar bebas hanya sebesar Rp.1.000.000,00. Karena
transaksi tersebut adalah transaksi yang dipengaruhi
hubungan istimewa maka PT X harus mencatat nilai
perolehan bahan baku sebesar Rp.1.000.000,00, bukan
Rp.1.500,000,00.
 Adanya hubungan istimewa menyebabkan harga
perolehan menjadi lebih besar/lebih kecil dari harga
pasar wajar. Oleh karena itu diperlukan koreksi untuk
mendekatkan pada kondisi riil pasar.
2. Tukar Menukar
Harta yang diperoleh berdasarkan transaksi tukar-menukar, nilai
perolehan atau nilai penjualan-nya adalah jumlah yang
seharusnya dikeluarkan atau diterima berdasarkan harga pasar.
Contoh :
Tuan A ingin menukarkan mesin yang dimilikinya dengan mobil yang
dimiliki Tuan B. Harga pasar mesin tersebut adalah Rp.5.000.000,00
dengan Nilai Sisa Buku Fiskal (NSBF) sebesar Rp.1.000.000,00. Mobil Tuan
B sendiri memiliki harga pasar Rp.6.000.000,00 dengan NSBF sebesar
Rp.3.000.000,00.

Keuntungan :
Tn A : (Rp. 6.000.000 – Rp. 1.000.000) = Rp. 5.000.000
Tn. B : (Rp. 5.000.000 – Rp. 3.000.000) = Rp. 2.000.000
3. Penarikan Harta
 Harta di jual :
o Harga Jual dibukukan sebagai penghasilan
o NSBF dari harta tersebut dibebankan sebagai kerugian di tahun
harta di jual.
 Harta terbakar,:
o penggantian asuransinya (kalau ada) dibukukan sebagai
penghasilan pada tahun diterimanya penggantian asuransi.
o Nilai sisa buku dari harta tersebut dibebankan sebagai kerugian
dalam tahun pajak yang bersangkutan.

Contoh :
 Sebuah tekstil milik PT. Alenatex terbakar karena terjadi konslet pada
tanggal 10 Januari 2012. Mesin tersebut dibeli seharga Rp 1 miliar.
NSBF pada saat terjadi kebakaran sebesar Rp 750 juta. Penggantian
asuransi diterima tahun 2013 sebesar Rp 600 juta.
 NSBF sebesar Rp 750 juta dibebankan sebagai kerugian tahun 2012
sedangkan penggantian asuransi sebesar Rp 600 juta dicatat sebagai
penghasilan tahun 2013.
 Apabila hasil penggantian asuransi yang akan diterima jumlahnya
baru dapat diketahui dengan pasti di masa kemudian, maka dengan
persetujuan Direktur Jenderal Pajak jumlah sebesar kerugian
dibukukan sebagai beban masa kemudian tersebut.

4. Pengalihan harta untuk Setoran Modal.


Harga Pasar – NSBF = Penghasilan

Contoh :
Amrin ingin menambah modalnya di PT. X dengan menyerahkan
sebuah gudang. NSBF gudang adalah Rp.500 juta, PT. X mencatat
setoran modal berupa gudang tsb sebesar harga pasarnya yaitu Rp. 1
Milyar.
Keuntungan Amrin :
Rp. 1 Milyar – Rp. 500 juta = Rp. 500 juta
5. Pengalihan harta dalam rangka likuidasi, merger,
konsolidasi, pemekaran atau pengambil-alihan
 Likuidasi : Penilaian dengan Harga Pasar
 Pengalihan harta dalam rangka merger, konsolidasi ataupun
akuisisi yang memenuhi syarat, pemekaran usaha (expansion)
dalam rangka menjual sahamnya di bursa efek maka NSBF
dari aktiva tersebut dapat dijadikan dasar penilaian aktiva (PMK
No. 43/PMK.03/2008)

Contoh :
PT. A dan PT. B berniat melakukan konsolidasi dengan membentuk
perusahaan baru yaitu PT. C. PT. A dan PT. B akan dilikuidasi setelah
konsolidasi. Pengalihan aktiva dari PT. A dan PT. B ke PT. C tersebut dapat
menggunakan nilai buku (dengan metode pooling of interest).
6. Hibah, Sumbangan dan Warisan

Pengalihan harta dengan alasan hibah, sumbangan atau warisan


yang memenuhi UU PPh Pasal 4 ayat (3) huruf a dan b, bukan
objek pajak.
Penyerahan aktiva dicatat sebesar NSBF dan tidak mengakui
laba/rugi.

Contoh:
Benny berniat menghibahkan 2 buah gedung masing-masing
kepada PT. Sinar dan kepada sebuah badan sosial yang
ditetapkan Menteri Keuangan. Atas penyerahan gedung ke
badan sosial, Benny mencatat hibah tersebut sebesar nilai sisa
buku fiskal (NSBF) dan tidak mengakui laba/rugi. Tetapi atas
hibah gedung kepada PT. Sinar, Benny harus mencatat hibah
tersebut sebesar harga pasar dan harus mengakui adanya
laba/rugi.
7. Revaluasi aktiva tetap
 Revaluasi adalah penilaian kembali harta yang tercatat sebesar Nilai
Buku Fiskal menjadi sebesar harga pasar.
 Revaluasi harus melalui persetujuan DJP
 Atas selisih antara nilai buku sebelum dan sesudah revaluasi
dikenakan PPh Final sebesar 10%.
 WP dapat menyusutkan harta dengan dasar penyusutan nilai aktiva
yang baru.

Contoh:
NSBF suatu mesin sebelum revaluasi adalah Rp 200 juta. Harga pasar
wajar tersebut adalah Rp 400 juta. Dengan persetujuan Dirjen Pajak,
NSBF mesin tersebut dapat diubah menjadi sebesar harga pasarnya (Rp
400 juta). Setelah itu WP dapat menyusutkan mesin dengan dasar
penyusutan yang baru.
Ketentuan Umum

• Penyusutan atas pengeluaran untuk pembelian, pendirian, penambahan,


perbaikan, atau perubahan harta berwujud, kecuali tanah, yang
mempunyai masa manfaat lebih dari 1 (satu) tahun dibebankan sebagai
biaya melalui penyusutan atau amortisasi.

• UU Pajak tidak mengenal adanya nilai residu.

• Metode penyusutan yang diperbolehkan UU Pajak :


 Metode Garis Lurus
 Metode Saldo Menurun

• Khusus harta berwujud berupa bangunan metode yang dapat digunakan


hanya metode garis lurus.
SAAT MULAI PENYUSUTAN/AMORTISASI
Pasal 11 ayat (3),(4) dan (5)

PADA BULAN PENGELUARAN PADA BULAN HARTA


KECUALI : MULAI DIGUNAKAN/
HARTA YG MASIH DLM MENGHASILKAN DENGAN
PROSES PENGERJAAN, PERSETUJUAN DIRJEN PAJAK
PADA BULAN SELESAINYA
PENGERJAAN kecuali

PMK 248 & 249/PMK.03/2008


DASAR PENYUSUTAN BAGI WP YG Bidang usaha tertentu yang
MELAKUKAN PENILAIAN KEMBALI AKTIVA dapat berproduksi berkali-kali
dan baru menghasilkan setelah
lebih dari 1 tahun:
NILAI SETELAH
a. bidang usaha kehutanan
DILAKUKAN PENILAIAN KEMBALI AKTIVA b. bidang usaha perkebunan
tanaman keras
c. bidang usaha peternakan
Penyusutan dimulai pada bulan
produksi komersial yaitu bulan
dimana penjualan mulai
dilakukan
MASA MANFAAT DAN TARIF PENYUSUTAN/AMORTISASI
Pasal 11 dan 11A

KEL. HARTA MASA TARIF PENYUSUTAN


BERWUJUD MAN-
GARIS LURUS SALDO MENURUN
FAAT
1. BUKAN BANGUNAN
KEL. HARTA

BERWUJUD

- KELOMPOK 1 4 THN 25 % 50 %
- KELOMPOK 2 8 THN 12,5 % 25 %
TIDAK

- KELOMPOK 3 16 THN 6,25 % 12,5 %


- KELOMPOK 4 20 THN 5 % 10 %

2. BANGUNAN
PERMANEN 20 THN 5 %
TDK PERMANEN 10 THN 10 %
Pasal 11 ayat (11) PENENTUAN KELOMPOK HARTA BERWUJUD BUKAN BANGUNAN
DITETAPKAN DENGAN PMK No. 96/PMK.03/2009 NAMUN DAPAT SESUAI MASA MANFAAT
SESUNGGUHNYA DENGAN MENGAJUKAN PERMOHONAN KE DJP

BANGUNAN TIDAK PERMANEN YAITU BANGUNAN YANG BERSIFAT SEMENTARA DAN TERBUAT
DARI BAHAN YANG TIDAK TAHAN LAMA ATAU BANGUNAN YANG DAPAT DIPINDAH
PINDAHKAN, YANG MASA MANFAATNYA TIDAK LEBIH DARI 10 TAHUN. MISAL : BARAK,
ASRAMA KARYAWAN DLL
Masa manfaat dan tarif penyusutan harta Tidak
Berwujud
Tarif penyusutan
Kelompok Harta Masa
Saldo
Tidak Berwujud Manfaat Garis Lurus
Menurun

Kelompok 1 4 Tahun 25% 50%


Kelompok 2 8 Tahun 12,5 % 25%
Kelompok 3 16 Tahun 6.25% 12.50%
Kelompok 4 20 Tahun 5% 10%

Pengelompokan harta berwujud berdasarkan masa manfaat. Jika masa


manfaat tidak tercantum, maka diambil masa manfaat yang terdekat.
Contoh, masa manfaat sebenarnya 6 tahun, maka dapat masuk kelompok I atau
II; masa manfaat sebenarnya 5 tahun maka masuk kelompok I.
PENYUSUTAN DAN
AMORTISASI

- Pengeluaran untuk
pembelian,
pendirian,
penambahan,
perbaikan, atau
perubahan harta
berwujud (kecuali
tanah ),

- Dimiliki dan
digunakan untuk
3M

- Masa manfaat > 1


Tahun
Ketentuan Khusus

Sesuai Keputusan Dirjen Pajak Nomor KEP-


220/PJ./2002 :
a. Biaya penyusutan Handphone (HP) yang digunakan pegawai
untuk keperluan pekerjaan dibebankan melalui penyusutan,
namun hanya 50 % nya yang dapat dibebankan sebagai biaya fiskal.

b. Biaya pulsa dan servis HP 50%-nya dapat menjadi biaya


perusahaan.

c. Sedan dan sejenisnya, Pembelian maupun perbaikan besar (capital


expenditure) atas sedan atau sejenisnya yang dimiliki & digunakan
pegawai terlentu karena jabatannya, dibebankan sebagai biaya
melalui penyusutan sebesar 50 %.
Contoh Perhitungan Biaya Penyusutan

PT. Rajawali pada tanggal 10 Juli 2009 membeli sebuah aktiva


mesin seharga Rp.100.000.000,-. Masa manfaat ekonomis 5
tahun dengan nilai residu Rp. 10 juta.

Biaya Penyusutan :
Metode Garis Lurus :

Tahun Harga Perolehan Kelompok Tarif Biaya Penyusutan Nilai Buku

2009 100.000.000 I 25% 12.500.000 87.500.000

2010 I 25% 25.000.000 62.500.000


2011 I 25% 25.000.000 37.500.000
2012 I 25% 25.000.000 12.500.000

2013 I 25% 12.500.000 -


Metode Saldo Menurun:

Harga Kelomp Biaya


Tahun Tarif Nilai Buku
Perolehan ok Penyusutan

2009 100.000.000 I 50% 25.000.000 75.000.000

2010 I 50% 37.500.000 37.500.000

2011 I 50% 18.750.000 18.750.000

2012 I 50% 9.375.000 9.375.000

2013 I 50% 9.375.000 -


PT. Garuda pada tanggal 3 Maret 2013 melakukan impor mesin dari
china. Harga CIF USD 200.000,- Bea Masuk 10 % dari CIF. PPN 10 %
Kurs KMK tgl 3 Maret 2013 untuk 1 USD = Rp. 10.500, kurs pasar untuk
1 USD = Rp. 10.400,-. Umur ekonomis 15 tahun dan nilai residu Rp. 50
juta
Biaya Penyusutan :
Garis Lurus
Tahu Biaya
Harga Perolehan Kelompok Tarif Nilai Buku
n Penyusutan

2009 2.310.000.000 III 6,25% 120.312.500 2.189.687.500

2010 III 6,25% 144.375.000 2.045.312.500

2011 III 6,25% 144.375.000 1.900.937.500

2012 III 6,25% 144.375.000 1.756.562.500


dst
Sumbangan

Sumbangan dan/atau biaya yang dapat dikurangkan sampai


jumlah tertentu dari penghasilan bruto :
a. Sumbangan dalam rangka penanggulangan bencana
nasional, yang merupakan sumbangan untuk korban
bencana nasional yang disampaikan secara langsung melalui
badan penanggulangan bencana atau disampaikan secara
tidak langsung melalui lembaga atau pihak yang telah
mendapat izin dari instansi/lembaga yang berwenang untuk
pengumpulan dana penanggulangan bencana;

b. Sumbangan dalam rangka penelitian dan pengembangan,


yang merupakan sumbangan untuk penelitian dan
pengembangan yang dilakukan di wilayah Republik
Indonesia yang disampaikan melalui lembaga penelitian dan
pengembangan;
Sumbangan

c. Sumbangan fasilitas pendidikan, yang merupakan


sumbangan berupa fasilitas pendidikan yang disampaikan
melalui lembaga pendidikan;

d. Sumbangan dalam rangka pembinaan olahraga, yang


merupakan sumbangan untuk membina, mengembangkan
dan mengoordinasikan suatu atau gabungan organisasi
cabang/jenis olahraga prestasi yang disampaikan melalui
lembaga pembinaan olah raga; dan

e. Biaya pembangunan infrastruktur sosial merupakan biaya


yang dikeluarkan untuk keperluan membangun sarana dan
prasarana untuk kepentingan umum dan bersifat nirlaba.
Syarat

Sumbangan dan/atau biaya sebagaimana dimaksud dalam Pasal


1 dapat dikurangkan dari penghasilan bruto dengan syarat:
 Wajib Pajak mempunyai penghasilan neto fiskal berdasarkan
Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan Tahun
Pajak sebelumnya;
 pemberian sumbangan dan/atau biaya tidak menyebabkan
rugi pada Tahun Pajak sumbangan diberikan;
 didukung oleh bukti yang sah; dan
 lembaga yang menerima sumbangan dan/atau biaya
memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak, kecuali badan yang
dikecualikan sebagai subjek pajak sebagaimana diatur dalam
Undang-Undang tentang Pajak Penghasilan.
Syarat

 Besarnya nilai sumbangan dan/atau biaya pembangunan


infrastruktur sosial yang dapat dikurangkan dari penghasilan
bruto untuk 1 (satu) tahun dibatasi tidak melebihi 5% (lima
persen) dari penghasilan neto fiskal Tahun Pajak.
 Sumbangan dan/atau biaya tidak dapat dikurangkan dari
penghasilan bruto bagi pihak pemberi apabila sumbangan
dan/atau biaya diberikan kepada pihak yang mempunyai
hubungan istimewa.
 Sumbangan sebagaimana huruf a, huruf b, huruf c, dan huruf
d dapat diberikan dalam bentuk uang dan/atau barang.
 Biaya pembangunan infrastruktur sosial huruf e diberikan
hanya dalam bentuk sarana dan/atau prasarana.
BIAYA PROMOSI YANG DAPAT DIKURANGKAN
DARI PENGHASILAN BRUTO
Biaya Promosi

Besarnya Biaya Promosi yang dapat dikurangkan dari


penghasilan bruto merupakan akumulasi dari jumlah :
a. biaya periklanan di media elektronik, media cetak, dan/atau
media lainnya;
b. biaya pameran produk;
c. biaya pengenalan produk baru;dan/atau
d. biaya sponsorship yang berkaitan dengan promosi produk.

Tidak termasuk Biaya Promosi sebagaimana termaksud di atas adalah :


a. pemberian imbalan berupa uang dan/atau fasilitas, dengan nama
dan dalam bentuk apapun, kepada pihak lain yang tidak berkaitan
langsung dengan penyelenggaraan kegiatan promosi.
b. Biaya Promosi untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara
penghasilan yang bukan merupakan objek pajak dan yang telah
dikenai pajak bersifat final.
Biaya Promosi

Kewajiban WP sehubungan dengan Biaya Promosi adalah:


 WP wajib membuat daftar nominatif atas pengeluaran Biaya Promosi
dikeluarkan kepada pihak lain.

 Daftar nominatif paling sedikit harus memuat data penerima berupa


nama, Nomor Pokok Wajib Pajak, alamat, tanggal, bentuk dan jenis
biaya, besarnya biaya, nomor bukti pemotongan dan besarnya Pajak
Penghasilan yang dipotong.

 Daftar dimaksud dibuat sesuai format sebagaimana ditetapkan dalam


Lampiran Peraturan Menteri Keuangan.

 Daftar nominatif dilaporkan sebagai lampiran saat Wajib Pajak


menyampaikan SPT Tahunan PPh Badan.

 Dalam hal ketentuan sebagaimana dimaksud tidak dipenuhi, maka


Biaya Promosi tidak dapat dikurangkan dari penghasilan bruto.
Rekonsiliasi Fiskal

• Laporan Keuangan wajib disusun berdasarkan Pernyataan Standar


Akuntansi Keuangan (PSAK). Produk yang dihasilkan adalah Neraca
dan Laporan Laba Rugi.
Dalam konsep perpajakan, laba rugi yang dihasilkan disebut Laba Rugi
Komersial

• Dalam ketentuan UU PPh, konsep pengakuan Penghasilan dan biaya


memiliki beberapa perbedaan dengan PSAK.
Contoh : Pemberian Natura (barang) kepada karyawan berdasarkan PSAK harus
dicatat sebagai biaya tetapi menurut UU PPh, pemberian natura tidak dapat
diperhitungkan sebagai biaya untuk menghitung Penghasilan Kena Pajak.

• Untuk menghitung pajak terutang, laba rugi komersial harus


disesuaikan dengan ketentuan UU PPh. Proses tersebut dinamakan
Rekonsiliasi Fiskal.

• Rekonsiliasi Fiskal akan menghasilkan Laba Rugi Fiskal yang


selanjutnya akan digunakan sebagai dasar pengenaan tarif PPh
Rekonsiliasi Fiskal

LAPORAN LAPORAN
KEUANGAN Koreksi KEUANGAN
KOMERSIAL Fiskal FISKAL (UU
(PSAK) Positif/N PPH)
Laba/Rugi egatif Laba/ Rugi
Komersial Fiskal

Koreksi Fiskal dapat berupa Koreksi Beda Waktu atau


Beda Tetap
BEDA WAKTU
Perbedaan waktu pengakuan pendapatan dan beban tertentu
menurut akuntansi dan menurut ketentuan perpajakan;
Menyebabkan pergesaran biaya dan pendapatan dari satu tahun
pajak ke tahun pajak yg lain;
Contoh: perbedaan metodologi penghitungan penyusutan, persediaan,
penghapusan piutang, dll;
Perbedaan bersifat sementara.

BEDA TETAP
Perbedaan pengakuan pendapatan dan biaya
menurut akuntansi dan menurut ketentuan
perpajakan yang bersifat permanen
Contoh: pemberian natura, biaya entertainment, penghasilan
final.
Rekonsiliasi Fiskal
Terjadi karena :
a. WP memiliki penghasilan yang dikenakan PPh Final {Pasal 4
ayat (2) UU PPh}
Contoh : Pendapatan bunga deposito, jasa giro dll
Termasuk Koreksi Negatif

b. WP memiliki penghasilan yang bukan merupakan objek pajak


{Pasal 4 ayat (3) UU PPh}
Contoh : Deviden bukan objek
Termasuk koreksi Negatif

c. WP mengeluarkan biaya-biaya yang tidak boleh menjadi


pengurang penghasilan/Non Deductible Expense (Pasal 9 UU
PPh).
Contoh : Biaya Perjalanan Pribadi Direksi
Termasuk koreksi positif
Rekonsiliasi Fiskal

Koreksi Positif
Koreksi dari Penghasilan / Biaya yang
menyebabkan pajak bertambah

Koreksi Negatif
Koreksi dari Penghasilan / Biaya yang
menyebabkan pajak berkurang
Rekonsiliasi Fiskal

Contoh :

PT Abadi tahun 2014 memperoleh Laba Bersih Komersial sebesar Rp. 500 juta.
Dari data laporan laba rugi diketahui beberapa hal sbb :
 Memperoleh pendapatan bunga deposito sebesar Rp. 10 juta
 Membayar biaya jamuan tamu sebesar Rp. 30 juta
 Memperoleh deviden yang bukan objek pajak sebesar Rp. 50 juta

Maka besarnya Laba Rugi Fiskal dihitung sbb :


Laba Rugi Komersial Rp. 500.000.000,-
Koreksi Fiskal :
Pend. Bunga Deposito (Rp. 10.000.000)
Biaya Jamuan Tamu Rp. 30.000.000
Pendapatan Deviden (Rp. 50.000.000)
Total Koreksi Fiskal (Rp. 30.000.000)
Laba Rugi Fiskal Rp. 470.000.000
Rekonsiliasi Fiskal

Contoh :
Data penghasilan sebagai berikut :
 Penghasilan dari menyewakan gedung
(Objek PPh Final) Rp.100.000.000,00
 Penghasilan dari penjualan barang
 dagang (Objek PPh Non Final) Rp.300.000.000.00
Jumlah penghasilan bruto Rp.400.000.000,00

 Apabila seluruh biaya untuk memperoleh penghasilan tersebut


diatas adalah sebesar Rp.200.000.000,00, maka biaya yang boleh
dikurangkan menurut UU PPh adalah :
3/4 x Rp.200.000.000,00 = Rp 150.000.000,00.
Kompensasi Kerugian

PASAL 6 AYAT (2) UU PPh


Apabila penghasilan bruto setelah pengurangan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) didapat kerugian, kerugian tersebut
dikompensasikan dengan penghasilan mulai tahun pajak berikutnya
berturut-turut sampai dengan 5 (lima) tahun

PENJELASAN PASAL 6 AYAT (2) UU PPh:


Jika pengeluaran-pengeluaran yang diperkenankan
berdasarkan ketentuan pada ayat (1) setelah dikurangkan dari
penghasilan bruto didapat kerugian, kerugian tersebut
dikompensasikan dengan penghasilan neto atau laba fiskal
selama 5 (lima) tahun berturut-turut dimulai sejak tahun
berikutnya sesudah tahun didapatnya kerugian tersebut
Contoh
PT A dalam tahun 2009 menderita kerugian fiskal sebesar
Rp. 1.200.000.000
Dalam 5 tahun berikutnya laba rugi fiskal PT A adalah
sebagai berikut :
2010 : laba fiskal Rp. 200.000.000
2011 : rugi fiskal (Rp. 300.000.000)
2012 : laba fiskal Rp. 400.000.000
2013 : laba fiskal Rp. 100.000.000
2014 : laba fiskal Rp. 800.000.000
Contoh
Kerugian Fiskal Tahun 2009 Rp. 1.200.000.000
Laba Fiskal Tahun 2010 Rp. 200.000.000
Kompensasi dari tahun 2009 (Rp.200.000.000)
Penghasilan Kena Pajak Rp. 0
Rugi Fiskal Tahun 2011 (Rp. 300.000.000)
Laba Fiskal Tahun 2012 Rp. 400.000.000
Kompensasi dari tahun 2009 (Rp.400.000.000)
Penghasilan Kena Pajak Rp. 0
Laba Fiskal Tahun 2013 Rp. 100.000.000
Kompensasi dari tahun 2009 (Rp.100.000.000)
Penghasilan Kena Pajak Rp. 0
Laba Fiskal Tahun 2014 Rp. 800.000.000
Kompensasi dari sisa rugi tahun 2009 (Rp.500.000.000)
Kompensasi dari rugi tahun 2011 (Rp.300.000.000)
Penghasilan Kena Pajak Rp. 0
PT A dalam tahun 2009 menderita kerugian fiskal sebesar Rp. 1.200.000.000
Dalam 5 tahun berikutnya laba rugi fiskal PT A adalah sebagai berikut :
2010 : laba fiskal Rp. 200.000.000
2011 : rugi fiskal (Rp. 300.000.000)
2012 : laba fiskal Rp. 400.000.000
2013 : laba fiskal Rp. 100.000.000
2014 : laba fiskal Rp. 800.000.000
Pengecualian
PASAL 31A UU PPh
1. Kepada Wajib Pajak yang melakukan penanaman modal di bidang-bidang
usaha tertentu dan/atau di daerah-daerah tertentu yang mendapat prioritas
tinggi dalam skala nasional dapat diberikan fasilitas perpajakan dalam
bentuk:
a) pengurangan penghasilan neto paling tinggi 30% (tiga puluh persen)
dari jumlah penanaman yang dilakukan;
b) penyusutan dan amortisasi yang dipercepat;
c) kompensasi kerugian yang lebih lama, tetapi tidak lebih dari 10
(sepuluh) tahun; dan
d) pengenaan Pajak Penghasilan atas dividen sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 26 sebesar 10% (sepuluh persen), kecuali apabila tarif menurut
perjanjian perpajakan yang berlaku menetapkan lebih rendah.

2. Ketentuan lebih lanjut mengenai bidang-bidang usaha tertentu dan/atau


daerah-daerah tertentu yang mendapat prioritas tinggi dalam skala nasional
serta pemberian fasilitas perpajakan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
diatur dengan Peraturan Pemerintah.
PERPANJANGAN JANGKA WAKTU KOMPENSASI KERUGIAN

PERATURAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA


NOMOR 21/PMK.011/2010 TENTANG PEMBERIAN FASILITAS
PERPAJAKAN DAN KEPABEANAN UNTUK KEGIATAN PEMANFAATAN
SUMBER ENERGI TERBARUKAN

 Untuk kegiatan pemanfaatan Sumber Energi Terbarukan dapat diberikan


fasilitas perpajakan dan kepabeanan
 Sumber Energi Terbarukan adalah sumber energi yang dihasilkan dari
sumber daya energi yang berkelanjutan jika dikelola dengan baik, antara
lain panas bumi, angin, bioenergi, sinar matahari, aliran dan terjunan air,
serta gerakan dan perbedaan suhu lapisan laut.
PERPANJANGAN JANGKA WAKTU KOMPENSASI KERUGIAN

Kompensasi kerugian yang lebih lama dari 5 (lima) tahun tetapi tidak
lebih dari 10 (sepuluh) tahun dengan ketentuan sebagai berikut :
1. tambahan 1 tahun: apabila penanaman modal baru dilakukan pada
bidang-bidang usaha tertentu di kawasan industri dan kawasan berikat;
2. tambahan 1 tahun: apabila mempekerjakan sekurang-kurangnya 500
(lima ratus) orang tenaga kerja Indonesia selama 5 (lima) tahun
berturut-turut;
3. tambahan 1 tahun: apabila penanaman modal baru memerlukan
investasi/pengeluaran untuk infrastruktur ekonomi dan sosial di lokasi
usaha paling sedikit sebesar Rp 10.000.000.000,00 (sepuluh miliar
rupiah);
4. tambahan 1 tahun: apabila mengeluarkan biaya penelitian dan
pengembangan di dalam negeri dalam rangka pengembangan produk
atau efisiensi produksi paling sedikit 5% (lima persen) dari investasi
dalam jangka waktu 5 (lima) tahun; dan/atau
5. tambahan 1 tahun: apabila menggunakan bahan baku dan atau
komponen hasil produksi dalam negeri paling sedikit 70% (tujuh puluh
persen) sejak tahun ke-4 (empat).
Tarif Pajak

Tarif umum
Tidak Final (pasal 17 UU
PPh)
Pajak
Tarif Pajak Final
Final (ditetapkan
tersendiri)
Tarif Umum

WP BADAN DAN BUT

• Tahun Pajak 2009: 28%


•Tahun Pajak 2010 dan seterusnya: 25%
CONTOH PENERAPAN TARIF
Contoh penghitungan pajak yang terutang
untuk Wajib Pajak badan dalam negeri dan
bentuk usaha tetap:

Jumlah Penghasilan Kena Pajak Rp1.000.000.000,00


Pajak Penghasilan yang terutang = 25% x Rp1.000.000.000,00 =
Rp250.000.000,00

• Untuk keperluan penerapan tarif, jumlah Penghasilan Kena Pajak dibulatkan


ke bawah dalam ribuan rupiah penuh
• Contoh: Penghasilan Kena Pajak sebesar Rp 5.050.900,00, untuk penerapan
tarif dibulatkan ke bawah menjadi Rp 5.050.000,00.
KETENTUAN KHUSUS TARIF
UMUM WP BADAN

Wajib Pajak badan dalam negeri yang berbentuk


perseroan terbuka yang paling sedikit 40% dari jumlah
keseluruhan saham yang disetor diperdagangkan di bursa
efek di Indonesia dan memenuhi persyaratan tertentu
lainnya dapat memperoleh tarif sebesar 5% lebih rendah
daripada tarif normal.

DIATUR DENGAN ATAU BERDASARKAN


PERATURAN PEMERINTAH
PP NOMOR 77 TAHUN 2013 jo PP 56
TAHUN 2015
SYARAT SYARAT
PENGURANGAN TARIF

 paling sedikit 40% (empat puluh persen) dari jumlah keseluruhan


saham yang disetor dicatat untuk diperdagangkan di bursa efek di
Indonesia;
 saham sebagaimana dimaksud dalam huruf a harus dimiliki oleh
paling sedikit 300 (tiga ratus) Pihak;
 masing-masing Pihak sebagaimana dimaksud dalam huruf b hanya
boleh memiliki saham kurang dari 5% (lima persen) dari
keseluruhan saham yang ditempatkan dan disetor penuh; dan
 ketentuan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, huruf b, dan
huruf c harus dipenuhi dalam waktu paling singkat 183 (seratus
delapan puluh tiga) hari kalender dalam jangka waktu 1 (satu)
Tahun Pajak.
TARIF PPh BAGI WP DENGAN PEREDERAN BRUTO
< 50 MILYAR RUPIAH

PASAL 31 E UU PPh
Wajib Pajak badan dalam negeri dengan peredaran bruto sampai
dengan Rp 50.000.000.000,00 (lima puluh miliar rupiah)
mendapat fasilitas berupa pengurangan tarif sebesar 50% (lima
puluh persen) dari tarif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17
ayat (1) huruf b dan ayat (2a) yang dikenakan atas Penghasilan
Kena Pajak dari bagian peredaran bruto sampai dengan Rp
4.800.000.000,00 (empat miliar delapan ratus juta rupiah).
Fasilitas PASAL 31 E UU PPh
Ketentuan tambahan (SE-66/PJ2010):
1. Fasilitas pengurangan tarif sesuai dengan Pasal 31E ayat (1) Undang-Undang
Pajak Penghasilan dilaksanakan dengan cara self assessment pada saat
penyampaian Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan Wajib Pajak
Badan. Dengan demikian, Wajib Pajak tidak perlu menyampaikan
permohonan untuk dapat memperoleh fasilitas tersebut.

2. Batasan peredaran bruto sampai dengan Rp50.000.000.000,00 (lima puluh


miliar rupiah) adalah sebagai batasan maksimal peredaran bruto yang diterima
atau diperoleh Wajib Pajak badan dalam negeri untuk dapat memperoleh
fasilitas pengurangan tarif sesuai dengan Pasal 31E ayat (1) Undang-Undang
Pajak Penghasilan.

3. Peredaran bruto sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 31E ayat (1) Undang-
Undang Pajak Penghasilan adalah penghasilan yang diterima atau diperoleh
dari kegiatan usaha sebelum dikurangi biaya untuk mendapatkan, menagih,
dan memelihara penghasilan baik yang berasal dari Indonesia maupun dari
luar Indonesia, meliputi :
 Penghasilan yang dikenai Pajak Penghasilan bersifat/ final;
 Penghasilan yang dikenai Pajak Penghasilan tidak bersifat final; dan
 Penghasilan yang dikecualikan dari objek pajak.
4. Fasilitas Pasal 31E ayat (1) tersebut bukan merupakan pilihan. Sepanjang
akumulasi peredaran bruto sebagaimana dimaksud pada huruf c di atas
tidak melebihi Rp50.000.000.000,00 (lima puluh miliar rupiah), tarif Pajak
Penghasilan yang diterapkan atas Penghasilan Kena Pajak bagi Wajib Pajak
badan dalam negeri wajib mengikuti ketentuan fasilitas pengurangan tarif
sesuai dengan Pasal 31E ayat (1) Undang-Undang Pajak Penghasilan
TARIF PPh BAGI WP DENGAN PEREDARAN
BRUTO < 50 MILYAR RUPIAH
Contoh 1:

• Peredaran bruto PT Y dalam tahun pajak 2010 sebesar Rp 4,5 miliar


dengan Penghasilan Kena Pajak sebesar Rp 500 juta.

• Penghitungan pajak yang terutang:

Seluruh Penghasilan Kena Pajak yang diperoleh dari peredaran bruto


tersebut dikenai tarif sebesar 50% (lima puluh persen) dari tarif Pajak
Penghasilan badan yang berlaku karena jumlah peredaran bruto PT Y
tidak melebihi Rp50.000.000.000,00

Pajak Penghasilan yang terutang:


=(50% x 25%) x Rp500.000.000,00 = Rp. 62.500.000,00
TARIF PPh BAGI WP DENGAN PEREDARAN
BRUTO < 50 MILYAR RUPIAH
Contoh 2:

• Peredaran bruto PT Y dalam tahun pajak 2010 sebesar Rp 60 miliar dengan


Penghasilan Kena Pajak sebesar Rp 500 juta.

• Penghitungan pajak yang terutang:

Seluruh Penghasilan Kena Pajak yang diperoleh dari peredaran bruto


tersebut tidak dikenai tarif sebesar 50% (lima puluh persen) dari tarif
Pajak Penghasilan badan yang berlaku karena jumlah peredaran bruto PT
Y melebihi Rp4.800.000.000,00

Pajak Penghasilan yang terutang:


=25% x Rp500.000.000,00 = Rp125.000.000,00
TARIF PPh BAGI WP DENGAN PEREDARAN
BRUTO < 50 MILYAR RUPIAH
Contoh 3:
 Peredaran bruto PT X dalam tahun pajak 2010 sebesar Rp 30 miliar dengan
Penghasilan Kena Pajak sebesar Rp 3 miliar
 Penghitungan Pajak Penghasilan yang terutang:
 Jumlah Penghasilan Kena Pajak dari bagian peredaran bruto yang
memperoleh fasilitas:
= (Rp 4,8 miliar / Rp 30 miliar) x Rp 3 miliar = Rp 480 juta
 Jumlah Penghasilan Kena Pajak dari bagian peredaran bruto yang tidak
memperoleh fasilitas:
= Rp 3 miliar- Rp 480 juta = Rp 2,52 miliar

Pajak Penghasilan yang terutang:


- (50% x 25%) x Rp480.000.000,00 =Rp 60.000.000,00
- 25% x Rp2.520.000.000,00 =Rp 630.000.000,00(+)
----------------------------
Rp 690.000.000,00
Kredit Pajak

Kredit Pajak WP Badan :

Kredit Pajak

Dipungut/Dipoton
Dibayar sendiri
g Pihak Lain

PPh
PPh PPh PPh
25
22 23 24
ANGSURAN PPh PASAL 25
Ayat 1
Besarnya angsuran pajak dalam tahun pajak berjalan yang harus dibayar
sendiri oleh Wajib Pajak untuk setiap bulan adalah sebesar Pajak
Penghasilan yang terutang menurut Surat pemberitahuan Tahunan
Pajak Penghasilan tahun pajak yang lalu dikurangi dengan:
a. Pajak Penghasilan yang dipotong sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 21 dan Pasal 23 serta Pajak Penghasilan yang dipungut
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22; dan
b. Pajak Penghasilan yang dibayar atau terutang di luar negeri yang
boleh dikreditkan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24, dibagi
12 (dua belas) atau banyaknya bulan dalam bagian tahun pajak.

Ayat 2
Besarnya angsuran pajak yang harus dibayar sendiri oleh Wajib Pajak
untuk bulan-bulan sebelum Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak
Penghasilan disampaikan SEBELUM batas waktu penyampaian Surat
Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan SAMA dengan besarnya
angsuran pajak untuk BULAN TERAKHIR tahun pajak yang lalu
Contoh 1:
PPh terutang berdasarkan SPT Tahunan 2011 : Rp 50.000.000,00
Dikurangi Kredit Pajak :
PPh Pasal 22 Rp 15.000.000,00
PPh Pasal 23 Rp 12.500.000,00
PPh Pasal 24 Rp 7.500.000,00(+)
------------------------
Jumlah kredit pajak Rp 35.000.000,00
----------------------
-Selisih Rp 15.000.000,00

Besarnya angsuran pajak yang harus dibayar sendiri setiap bulan untuk
tahun 2012 adalah sebesar Rp 1.250.000,00 (Rp15.000.000,00 dibagi 12).
 Mengingat batas waktu penyampaian Surat Pemberitahuan Tahunan
Pajak Penghasilan bagi Wajib Pajak orang pribadi adalah akhir bulan
ketiga tahun pajak berikutnya dan bagi Wajib Pajak badan adalah akhir
bulan keempat tahun pajak berikutnya, besarnya angsuran pajak yang
harus dibayar sendiri oleh Wajib Pajak untuk bulan-bulan sebelum
Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan disampaikan belum
dapat dihitung sesuai dengan ketentuan.

 Berdasarkan ketentuan ini, besarnya angsuran pajak untuk bulan-


bulan sebelum Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan
disampaikan sebelum batas waktu penyampaian Surat Pemberitahuan
Tahunan adalah sama dengan angsuran pajak untuk bulan terakhir
dari tahun pajak yang lalu.

Ayat 4
Apabila dalam tahun pajak berjalan diterbitkan surat ketetapan pajak
untuk tahun pajak yang lalu, besarnya angsuran pajak dihitung kembali
berdasarkan surat ketetapan pajak tersebut dan berlaku mulai bulan
berikutnya setelah bulan penerbitan surat ketetapan pajak.
 Contoh:

Berdasarkan Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan


tahun pajak 2010 yang disampaikan Wajib Pajak dalam bulan Maret
2011, perhitungan besarnya angsuran pajak yang harus dibayar
adalah sebesar Rp1.250.000,00 (satu juta dua ratus lima puluh ribu
rupiah). Dalam bulan Juni 2011 telah diterbitkan surat ketetapan
pajak tahun pajak 2010 yang menghasilkan besarnya angsuran pajak
setiap bulan sebesar Rp2.000.000,00 (dua juta rupiah).

Berdasarkan ketentuan dalam ayat ini, besarnya angsuran pajak


mulai bulan Juli 2011 adalah sebesar Rp2.000.000,00 (dua juta
rupiah). Penetapan besarnya angsuran pajak berdasarkan surat
ketetapan pajak tersebut bisa sama, lebih besar, atau lebih kecil dari
angsuran pajak sebelumnya berdasarkan Surat Pemberitahuan
Tahunan.
AYAT 6
Direktur Jenderal Pajak berwenang untuk menetapkan penghitungan
besarnya angsuran pajak dalam tahun pajak berjalan dalam hal-hal
tertentu, sebagai berikut:

a. Wajib Pajak berhak atas kompensasi kerugian;


b. Wajib Pajak memperoleh penghasilan tidak teratur;
c. Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan tahun yang lalu
disampaikan setelah lewat batas waktu yang ditentukan;
d. Wajib Pajak diberikan perpanjangan jangka waktu penyampaian
Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan;
e. Wajib Pajak membetulkan sendiri Surat Pemberitahuan Tahunan
Pajak Penghasilan yang mengakibatkan angsuran bulanan lebih
besar dari angsuran bulanan sebelum pembetulan; dan
f. terjadi perubahan keadaan usaha atau kegiatan Wajib Pajak
Contoh 1:
 Penghasilan PT X tahun 2010 Rp 120.000.000,00
 Sisa kerugian tahun sebelumnya
yang masih dapat dikompensasikan Rp 150.000.000,00
 Sisa kerugian yang belum
dikompensasikan tahun 2010 Rp 30.000.000,00

Penghitungan Pajak Penghasilan Pasal 25 tahun 2011 adalah:

Penghasilan yang dipakai dasar penghitungan angsuran Pajak


Penghasilan Pasal 25 = Rp120.000.000,00 - Rp30.000.000,00 = Rp90.000.000,00.

Pajak Penghasilan yang terutang: 25% x Rp90.000.000,00 = Rp25.200.000,00

Apabila pada tahun 2010 tidak ada Pajak Penghasilan yang dipotong
atau dipungut oleh pihak lain dan pajak yang dibayar atau terutang di
luar negeri sesuai dengan ketentuan dalam Pasal 24, besarnya angsuran
pajak bulanan PT X tahun 2010
= 1/12 x Rp25.200.000,00= Rp2.100.000,00.
AYAT 7
Menteri Keuangan menetapkan penghitungan besarnya
angsuran pajak bagi:
a. Wajib Pajak baru;
b. bank, badan usaha milik negara, badan usaha milik daerah, Wajib Pajak
masuk bursa, dan Wajib Pajak lainnya yang berdasarkan ketentuan
peraturan perundang-undangan harus membuat laporan keuangan
berkala; dan
c. Wajib Pajak orang pribadi pengusaha tertentu dengan tarif paling tinggi
0,75% (nol koma tujuh puluh lima persen) dari peredaran bruto.
Penjelasan

a. Besarnya angsuran Pajak Penghasilan Pasal 25 untuk Wajib Pajak baru adalah
sebesar Pajak Penghasilan yang dihitung berdasarkan penerapan tarif umum
atas penghasilan neto sebulan yang disetahunkan, dibagi 12 (dua belas).

b. Dalam hal Wajib Pajak badan (baru) yang mempunyai kewajiban membuat
laporan berkala, besarnya angsuran Pajak Penghasilan Pasal 25 adalah sebesar
Pajak Penghasilan yang dihitung berdasarkan penerapan tarif umum atas
proyeksi laba-rugi fiskal pada laporan berkala pertama yang disetahunkan,
dibagi 12 (dua belas).

c. Besarnya angsuran Pajak Penghasilan Pasal 25 untuk Wajib Pajak bank dan
sewa guna usaha dengan hak opsi adalah sebesar Pajak Penghasilan yang
dihitung berdasarkan penerapan tarif umum atas laba-rugi fiskal menurut
laporan keuangan triwulan terakhir yang disetahunkan dikurangi Pajak
Penghasilan Pasal 24 yang dibayar atau terutang di luar negeri untuk tahun
pajak yang lalu, dibagi 12 (dua belas).
Penjelasan
d. Besarnya angsuran Pajak Penghasilan Pasal 25 untuk WP BUMN
dan BUMD, kecuali Wajib Pajak bank dan sewa guna usaha dengan
hak opsi, adalah sebesar Pajak Penghasilan yang dihitung
berdasarkan penerapan tarif umum atas laba-rugi fiskal menurut
Rencana Kerja dan Anggaran Pendapatan (RKAP) tahun pajak yang
bersangkutan yang telah disahkan Rapat Umum Pemegang Saham
(RUPS) dikurangi dengan pemotongan dan pemungutan Pajak
Penghasilan Pasal 22 dan Pasal 23 serta Pajak Penghasilan Pasal 24
yang dibayar atau terutang di luar negeri tahun pajak yang lalu,
dibagi 12 (dua belas).

d. Dalam hal Rencana Kerja dan Anggaran Pendapatan (RKAP)


sebagaimana dimaksud pada ayat (1) belum disahkan, maka
besarnya angsuran Pajak Penghasilan Pasal 25 untuk bulan-bulan
sebelum bulan pengesahan adalah sama dengan angsuran Pajak
Penghasilan Pasal 25 bulan terakhir tahun pajak sebelumnya.
Penjelasan

f. Besarnya angsuran Pajak Penghasilan Pasal 25 untuk Wajib Pajak


masuk bursa dan Wajib Pajak lainnya yang berdasarkan ketentuan
diharuskan membuat laporan keuangan berkala, adalah sebesar
Pajak Penghasilan yang dihitung berdasarkan penerapan tarif
umum atas laba-rugi fiskal menurut laporan keuangan berkala
terakhir yang disetahunkan di kurangi dengan pemotongan dan
pemungutan Pajak Penghasilan Pasal 22 dan Pasal 23 serta Pasal
24 yang dibayar atau terutang di luar negeri untuk tahun pajak
yang lalu, dibagi 12 (dua belas).

f. Besarnya angsuran Pajak Penghasilan Pasal 25 untuk Wajib Pajak


orang pribadi pengusaha tertentu, ditetapkan sebesar 0,75% (nol
koma tujuh puluh lima persen) dari jumlah peredaran bruto setiap
bulan dari masing-masing tempat usaha tersebut.
Contoh WP Baru
Pada bulan Januari 2010, PT. ABC memulai usahanya untuk
memproduksi produk tekstil, namun demikian baru melakukan
penjualan produknya pada bulan Juli 2014 sebesar Rp. 300 juta.
Dari pembukuan bulan juli diperoleh data :
Penghasilan Netto Rp. 50.000.000
Angsuran PPh mulai Juli 2014 :
Penghasilan Neto yang disetahunkan :
12 bulan x Rp. 50.000.000 = Rp. 600 juta
PPh terutang = 12,5% X Rp. 600 juta = Rp. 75 juta
PPh Pasal 25 perbulan : Rp. 75 juta / 12 = Rp. 6,25 juta
WP Bank dan SG, Contoh :
Laporan Keuangan PT. Bank Saudara Triwulan IV tahun 2013
menyebutkan penghasilan netto fiskal sebesar Rp. 50 Milyar. Tidak ada
PPh 24 yang dibayar. PPh 25 tahun 2014 :
(25 % X 50 Milyar X 4 ) / 12 = Rp. 4, 166 Milyar

WP BUMN dan BUMD, Contoh :


Berdasarkan Rencana Kerja Anggaran dan Pendapatan PT. Pos dan Giro
Tahun 2014 diketahui target laba sebesar Rp. 500 Milyar. PPh dipotong dan
dipungut tahun 2013 Rp. 100 Milyar.

PPh Pasal 25 tahun 2014 (setelah RKAP disetujui) :


PPh terutang sesuai RKAP 2014 : 25 % X Rp. 500 M = Rp. 125 M
Kredit Pajak tahun 2013 = Rp. 100 M

PPh Pasal 25 tahun 2014 : (125 M – 100 M) / 12 = Rp. 2,08 M

** sebelum RKAP disahkan maka pph 25 tahun 2014 adalah sama dengan
pph pasal 25 desember 2013.
WP Badan yang menggunakan PP 46 tahun 2013

Contoh :
PT X untuk Tahun 2013 memiliki omset Rp. 4 Milyar. Maka untuk tahun 2014
tidak ada PPh 25. PPh perbulan ditahun 2014 adalah 1 % dari omset perbulan.
Selanjutnya omset tahun 2014 adalah sebesar Rp. 6 Milyar sehingga untuk tahun
2015 tidak boleh lagi menggunakan PP 46. Sehingga mulai januari 2015 terdapat
kewajiban untuk membayar PPh Pasal 25. Pada bulan januari 2015 mendapatkan
omset sebesar Rp 500 juta dan penghasilan nettonya adalh Rp. 50 juta. PPh yang
dipotong dipungut pihak lain Rp. 4.250.000.

PPh 25 bulan januari 2015 :


Penghasilan netto disetahunkan : 12 X Rp. 50 juta = Rp. 600 juta
PPh terutang :
50 % X 25 % x Rp. 480 juta = Rp. 60 juta
25% X Rp. 120 juta = Rp. 30 juta
PPh Terutang Rp. 90 juta
PPh dipotong dipungut pihak lain (12 x Rp. 4,250.000)= Rp. 51 juta
PPh 25 mulai januari 2015 = (Rp. 90 juta – 51 juta) / 12 = Rp. 3,25 juta
PP 46 TAHUN 2013
BERLAKU SEJAK 1 JULI 2013

PPh atas Penghasilan dari Usaha Yang


Diterima atau Diperoleh Wajib Pajak yang
Memiliki Peredaran Bruto Tertentu.
Wajib Pajak Badan yang memiliki peredaran
bruto tertentu

 Wajib Pajak Badan tidak termasuk Bentuk Usaha


Tetap; dan
 menerima penghasilan dari usaha, tidak termasuk
penghasilan dari jasa sehubungan dengan pekerjaan
bebas, dengan peredaran bruto tidak melebihi Rp
4.800.000.000,00 (empat miliar delapan ratus juta
rupiah) dalam 1 (satu) Tahun Pajak.

Dikenakan Pajak Penghasilan yang bersifat final.


DPP dan Tarif

 Dasar pengenaan pajak yang digunakan untuk


menghitung Pajak Penghasilan yang bersifat final
adalah jumlah Peredaran Bruto setiap bulan.

 Pajak Penghasilan Terutang :


Peredaran Bruto Setiap Bulan X 1%
Pengecualian

Tidak termasuk Wajib Pajak badan yang dikenakan PP 46 :


a. Wajib Pajak badan yang belum beroperasi secara komersial;
atau

b. Wajib Pajak badan yang dalam jangka waktu 1 (satu) tahun


setelah beroperasi secara komersial memperoleh peredaran
bruto melebihi Rp4.800.000.000, (empat miliar delapan
ratus juta rupiah).
Contoh
PT Andalan yang bergerak di bidang usaha industri pengolahan gula
didirikan pada tahun 2012 dan pada tahun yang sama mendaftarkan
diri sebagai Wajib Pajak badan di KPP Z. PT Andalan menggunakan
tahun buku Januari-Desember. Sampai dengan bulan Oktober 2013 PT
Andalan masih terus melakukan kegiatan investasi dalam bentuk
pembangunan pabrik dan instalasi mesin-mesin industri dan belum
melakukan kegiatan operasi secara komersial. Pada tanggal 1 November
2013 PT Andalan mulai melakukan kegiatan operasi secara komersial
berupa produksi gula dalam kemasan.

Sesuai ketentuan Pasal 7 Peraturan Menteri ini, maka untuk Tahun


Pajak 2012 dan 2013, PT Andalan dikenai Pajak Penghasilan
berdasarkan tarif umum Undang-Undang Pajak Penghasilan.
Mengingat bahwa 1 (satu) tahun sejak beroperasi secara komersial
melewati Tahun Pajak yang bersangkutan maka sampai dengan akhir
Tahun Pajak 2014, Wajib Pajak masih dikenai Pajak Penghasilan
berdasarkan tarif umum Undang-Undang Pajak Penghasilan.

Dalam hal peredaran bruto usaha PT Andalan sampai dengan tanggal 31


Oktober 2014 (satu tahun sejak mulai beroperasi komersial) telah
melebihi Rp 4.800.000.000,00 (empat miliar delapan ratus juta
rupiah),maka mulai Tahun Pajak 2015 PT Andalan dikenai Pajak
Penghasilan berdasarkan tarif umum Undang-Undang Pajak
Penghasilan.

Dalam hal peredaran bruto usaha PT Andalan sampai dengan tanggal 31


Oktober 2014 tidak melebihi Rp. 4.800.000.000,00 (empat miliar
delapan ratus juta rupiah) maka pengenaan Pajak Penghasilan untuk
Tahun Pajak 2015 memperhatikan peredaran bruto Januari sampai
dengan Desember 2014.
Sewa Guna Usaha
(Leasing)

 Leasing adalah kegiatan pembiayaan dengan menyediakan barang


modal untuk digunakan oleh penyewa guna usaha (lessee) selama jangka
waktu tertentu berdasarkan pembayaran secara angsuran.

 Jangka waktu leasing dapat diperpanjang. Masa pertamakali leasing


disebut periode leasing pertama.

 Perusahaan leasing disebut Lessor.

 Pihak Penyewa disebut Lessee.

 Leasing terdiri dari dari dua bentuk : Leasing dengan Hak Opsi (Finance
Lease) dan Leasing Tanpa Hak Opsi (Operating Lease).

 Hak opsi adalah hak untuk membeli objek sewa guna usaha setelah
berakhirnya perjanjian berdasarkan nilai sisa yang disepakati bersama.

 Objek Leasing adalah Barang Modal


Sewa Guna Usaha
(Leasing)

LEASING DENGAN HAK LEASING TANPA HAK OPSI


OPSI (FINANCE LEASE) (OPERATING LEASE)

• Memiliki Opsi untuk membeli • Tidak ada hak untuk memiliki


barang yang dileasingkan barang yang dileasingkan
dengan harga nilai sisa yang
disepakati • Kegiatan SGU tanpa hak opsi
(Operating lease) pada
• Penghasilan bagi perusahaan dasarnya adalah jasa
leasing (lessor) adalah bunga penyewaan barang
yang diterima bersama
dengan angsuran pelunasan • Penghasilan bagi perusahaan
hutang leasing oleh pengguna penyewa adalah pendapatan
leasing (lessee). sewa
Sewa Guna Usaha
(Leasing)

FINANCIAL LEASE

kegiatan SGU akan digolongkan sebagai SGU dengan hak opsi


(Finance Lease) apabila memenuhi kriteria berikut:
a. Jumlah pembayaran SGU selama masa SGU pertama ditambah
dengan nilai sisa barang modal, harus menutup harga perolehan
barang modal dan keuntungan lessor;
b. Masa SGU ditetapkan sekurang-kurangnya 2 tahun untuk
barang modal golongan 1; 3 tahun untuk barang modal golongan
II dan III; dan 7 tahun untuk golongan bangunan;
c. Dalam hal lessor dan lessee membuat perjanjian SGU dengan
hak opsi (Finance Lease) namun masanya tidak memenuhi
ketentuan tersebut di atas, maka perlakuan PPh yang diberikan
terhadap perjanjian tersebut sama dengan perlakuan PPh
terhadap perjanjian SGU tanpa hak opsi (Operating Lease).
d. Perjanjian SGU memuat ketentuan mengenai opsi bagi lessee.
Sewa Guna Usaha
(Leasing)

FINANCIAL LEASE
Perlakuan Perpajakan bagi Lessor :
a. Penghasilan lessor yang menjadi objek PPh adalah seluruh
pembayaran SGU - angsuran pokok. (bunga + administration fee).
b. Lessor tidak boleh menyusutkan barang modal yang di SGU- kan.
c. Lessor dapat membentuk Cadangan Piutang Ragu-Ragu sebesar
2,5% dari rata-rata saldo awal dan akhir piutang SGU.
d. Kerugian piutang SGU yang nyata-nyata tidak dapat ditagih
dibebankan pada akun Akumulasi Cadangan Penghapusan Piutang
tahun yang bersangkutan.
e. Besamya Angsuran PPh Pasal 25 bagi lessor dihitung berdasarkan
laporan triwulan yang disetahunkan.
f. Jasa pembiayaan SGU dengan hak opsi tidak terutang PPN. Tetapi
penyerahan barang dari lessor ke lessee terutang PPN.
Sewa Guna Usaha
(Leasing)

FINANCIAL LEASE

Perlakuan Perpaiakan bagi Lessee :


a. Lessee tidak boleh menyusutkan barang modal yang
diterima.
Dengan alasan yang sama seperti alasan mengapa lessor
tidak boleh menyusutkan barang leasing, lessee pun tidak
boleh menyusutkan barang leasing.
b. pembayaran leasing (angsuran plus bunga dan biaya
administrasi) boleh menjadi pengurang (Deductible
Expense).
c. Lessee tidak boleh memotong PPh Pasal 23 atas
pembayaran angsuran leasing kepada lessor.
Sewa Guna Usaha
(Leasing)

OPERATING LEASE
Sewa Guna Usaha (SGU) digolongkan sebagai Operating
Lease apabila memenuhi semua kriteria sebagai berikut :
a. Jumlah pembayaran SGU selama masa SGU pertama
tidak dapat menutupi harga perolehan barang modal
yang di-SGU-kan ditambah keuntungan yang
diperhitungkan oleh lessor;
b. Perjanjian SGU tidak memuat ketentuan mengenai
opsi bagi lessee.
Sewa Guna Usaha
(Leasing)

OPERATING LEASE
Perlakuan perpajakan bagi yang menyewakan (lessor) :
a. Seluruh pembayaran sewa yang diterima/diperoleh oleh
lessor, merupakan objek PPh Pasal 23;
b. Lessor berhak menyusutkan barang modal yang di-SGU-
kan karena kepemilikan barang ada di tangan-nya.
c. Lessor memungut Pajak Pertambahan Nilai (PPN) atas
jasa sewa yang diberikan.
Sewa Guna Usaha
(Leasing)

OPERATING LEASE

Perlakuan perpajakan bagi Penyewa (lessee) :


a. Jumlah biaya sewa yang dibayar/terutang pada tahun tersebut
boleh menjadi pengurang penghasilan (Deductible Expense).
b. Lessee tidak boleh menyusutkan barang modal karena barang
masih milik lessor.
c. Lessee memotong PPh Pasal 23 setiap kali membayar sewa kepada
lessor dengan tarif 2 % jika barang modal yang disewakan selain
tanah dan atau bangunan dan 10% jika barang modalnya berupa
tanah dan bangunan.
Contoh
 Lessor PT. XYZ meng-SGU-kan mesin golongan II
dengan harga pokok Rp.200.000.000,00 kepada PT ABC
(lessee). Jangka waktu leasing 24 bulan dan nilai sisa
barang setelah periode leasing adalah nihil. Dalam
kontrak SGU tidak tercantum klausul pilihan bagi lessee
untuk membeli mesin tersebut dengan harga murah pada
akhir periode SGU. Pembayaran per bulan
Rp.8.000.000,00.
 Leasing diatas termasuk kategori leasing tanpa hak opsi
Contoh
Lessor : PT XYZ Lessee : PT. ABC
Menerima pendapatan sewa setiap bulan = Membayar sewa = Rp.8.000.000,00
Rp.8.000.000,00 Membayar PPN = Rp. 800.000,00
Memungut PPN 10% = Rp. 800.000,00
Memotong PPh Pasal 23 = (Rp. 160.000,00)
Dipotong PPh Pasal 23 = (Rp. 160.000,00)
Dibayar ke lessor = Rp.7.840.000,00
Diterima dari lessee = Rp. 7.840.000,00
Menyusutkan mesin sebesar per tahun =
Rp.25.000.000,00
Contoh
 Lessor PT XYZ meng-SGU-kan mesin golongan II (masa
manfaat 8 tahun) dengan harga pokok
Rp.200.000.000,00 kepada PT ABC (lessee). Jangka
waktu leasing 36 bulan dan nilai sisa barang setelah
periode leasing adalah nihil. Dalam kontrak SGU
tercantum klausula pilihan bagi lessee untuk membeli
mesin tersebut dengan harga murah pada akhir periode
SGU. Pembayaran per bulan Rp.8.000.000,00. terdiri dari
pelunasan pokok hutang leasing sebesar Rp.5.555.555,00
dan bunga Rp.2.444.445,00.
 Leasing tersebut termasuk kategori leasing dengan hak
opsi
Lessor : PT XYZ Lessee : PT. ABC
Menerima pendapatan sewa setiap Membayar sewa = Rp.8.000.000,00
bulan = Rp.2.444.445,00
Membayar PPN :
Memungut PPN: 10 % X 200 juta = Rp. 20 juta
10% X 200 juta= Rp. 20 juta Tidak memotong PPh 23.
Tidak dipotong PPh Pasal 23 Dibayar ke lessor = Rp.8.000.000,-
Selisih Kurs

MACAM-MACAM KURS
1. Kurs Menteri Keuangan
kurs yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan. Mulai 1 Oktober
1997 kurs Menteri Keuangan ditetapkan setiap minggu.

2. Kurs Realisasi
kurs yang sebenarnya terjadi pada waktu perusahaan
merupiahkan valas atau pada waktu perusahaan membeli valas.

3. Kurs Bank Indonesia (kurs BI)


Kurs BI digunakan untuk mencatat hutang piutang serta
transaksi dalam valuta asing.
Kurs BI terdiri dari kurs beli Bank dan kurs jual Bank.
Kurs BI yang digunakan sebagai dasar pembukuan yaitu kurs
tengahnya yang merupakan rata-rata antara kurs jual dan kurs
beli BI.
Selisih Kurs

 Kurs Menteri Keuangan digunakan untuk :


a. Perhitungan pelunasan Bea Masuk, Bea Masuk Tambahan, PPN-
Impor, PPh Pasal 22 sesuai dengan tanggal Pemberitahuan Impor
Untuk Dipakai (PIUD);
b. Perhitungan PPN dan PPnBM sesuai tanggal Faktur Pajak,
apabila pembayaran, Harga Jual, atau Nilai Penggantian
dilakukan dengan mata uang asing (Pasal 31 PP No. 143/2000);
c. Perhitungan PPh Pasal 21 atau PPh Pasal 26 apabila penghasilan
diterima dalam mata uang asing;
d. Perhitungan Pajak Ekspor;
e. Perhitungan Pajak-Pajak Final yang dibayarkan dalam valuta
asing.
Selisih Kurs

 Kurs Tengah BI digunakan oleh perusahaan yang pembukuannya


dengan rupiah untuk membukukan transaksi-transaksi yang
nilainya dalam valuta asing.

 Perbedaan selisih kurs BI yang terjadi pada saat membukukan


hutang piutang valas dengan kurs BI pada saat realisasi
menimbulkan laba atau rugi selisih kurs.

 Menurut UU PPh :
keuntungan atau kerugian yang diperoleh karena fluktuasi
kurs mata uang asing diakui berdasarkan sistem pembukuan
yang dianut dan dilakukan secara taat asas sesuai dengan
Standar Akuntansi Keuangan yang berlaku di Indonesia.
• Keuntungan selisih kurs harus dicatat sebagai pendapatan lain-
lain. Kerugian selisih kurs harus dicatat sebagai biaya dan
dapat dikurangkan.
• Kerugian selisih kurs sehubungan dengan penghasilan yang
dikenakan PPh Final, tidak dapat dikurangkan sebagai biaya.
Contoh
PT A bergerak di bidang penyewaan apartemen. Sesuai dengan kontrak, sewa
apartemen tiap bulan adalah sebesar US$1,000 dan diterbitkan invoice setiap
tanggal 1. Tgl 1 september 2013 diterbitkan invoice dengan kurs yang berlaku
saat itu Rp. 10.000,- per 1 USD. Tgl 15 September 2013 dilunasi dengan kurs
yang berlaku Rp. 9.500,-.

Pengakuan pendapatan : Rp. 10.000 x US$ 1.000 = Rp. 10.000.000


Realisasi : Rp. 9.500 x US$ 1.000 = Rp. 9.500.000
Selisih Kurs (Rp. 500.000)

Kerugian selisih kurs tidak dapat dijadikan biaya karena berkaitan dengan
penyewaan apartemen yang pengenaan PPh nya bersifat final.
Contoh
 PT A yang bergerak di bidang penyewaan apartemen, pada bulan September
2010 mendapatkan pinjaman sebesar US$ 10,000,000 yang digunakan
masing-masing sebesar US$ 9,000,000 untuk membangun apartemen, dan
sebesar US$ 1,000,000 untuk membeli alat transportasi yang akan
dipergunakan untuk usaha jasa angkutan.

 Atas keuntungan atau kerugian selisih kurs mata uang asing yang berasal dari
pinjaman sebesar US$ 1,000,000 tersebut dapat diakui sebagai penghasilan
atau biaya karena:
• tidak berkaitan langsung dengan usaha PT A di bidang penyewaan
apartemen yang atas penghasilannya dikenai PPh final; dan
• merupakan pengeluaran untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara
penghasilan lainnya berupa usaha jasa angkutan yang dikenai tarif umum
Pasal 17 UU PPh.
PP 94 Tahun 2010
Pinjaman tanpa bunga dari pemegang saham yang diterima oleh
Wajib Pajak berbentuk perseroan terbatas diperkenankan apabila:
 pinjaman tersebut berasal dari dana milik pemegang saham itu
sendiri dan bukan berasal dari pihak lain;
 modal yang seharusnya disetor oleh pemegang saham pemberi
pinjaman telah disetor seluruhnya;
 pemegang saham pemberi pinjaman tidak dalam keadaan
merugi; dan
 perseroan terbatas penerima pinjaman sedang mengalami
kesulitan keuangan untuk kelangsungan usahanya.
PP 94 Tahun 2010
• Apabila pinjaman yang diterima oleh Wajib Pajak
berbentuk perseroan terbatas dari pemegang sahamnya
tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud
diatas, atas pinjaman tersebut terutang bunga dengan
tingkat suku bunga wajar.

• Yang dimaksud dengan "tingkat suku bunga wajar"


adalah tingkat suku bunga yang berlaku yang
ditetapkan sesuai dengan prinsip kewajaran dan
kelaziman (best practice) jika transaksi dilakukan di
antara pihak yang tidak mempunyai hubungan
istimewa sebagaimana dimaksud dalam Undang-
Undang Pajak Penghasilan.
Alasan Revaluasi Aktiva
Tetap

• Revaluasi adalah penilaian kembali aktiva tetap perusahaan karena


adanya kenaikan nilai aktiva tetap di pasaran.

• Dasar hukumnya pasal 19 ayat (1) UU-PPh.

• Selisih lebih pengakuan harga pasar dibandingkan dengan nilai sisa


bukunya merupakan objek PPh 4 ayat 2 dengan tarif 10 % bersifat
final.

• Tujuan Revaluasi :
 Meningkatkan nilai perusahaan
 Meningkatkan biaya penyusutan aktiva tetap
 Meningkatkan keakuratan penilaian kemampuan perusahaan
menghasilkan laba
 Menunjukan kekayaan perusahaan yang sebenarnya.
Objek dan Subjek
Revaluasi
 Yang berhak melakukan revaluasi adalah WP Badan Dalam Negeri
dan BUT, tidak termasuk perusahaan yang memperoleh izin
menyelenggarakan pembukuan dalam bahasa Inggris dan mata uang
Dollar Amerika Serikat.

 Sebelum melakukan revaluasi, seluruh kewajiban perpajakan telah


dilaksanakan.

 Revaluasi aktiva tetap dilakukan untuk :


 seluruh aktiva tetap berwujud, termasuk tanah yang berstatus hak
milik atau hak guna bangunan; atau
 seluruh aktiva tetap berwujud tidak termasuk tanah, yang terletak
atau berada di Indonesia, dimiliki, dan dipergunakan untuk
mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan yang
merupakan Objek Pajak.

• Penilaian kembali aktiva tetap perusahaan tidak dapat dilakukan


kembali sebelum lewat jangka waktu 5 (lima) tahun terhitung sejak
penilaian kembali aktiva tetap yang terakhir dilakukan.
Sejak bulan dilakukannya penilaian kembali aktiva tetap perusahaan berlaku
ketentuan sebagai berikut: :
• Dasar penyusutan fiskal aktiva adalah nilai setelah revaluasi.
• Masa manfaat fiskal aktiva tetap disesuaikan kembali menjadi masa manfaat
penuh untuk kelompok aktiva tetap tersebut.
• Perhitungan penyusutan dimulai sejak bulan dilakukannya revaluasi

Untuk bagian tahun pajak sampai dengan bulan sebelum bulan dilakukannya
revaluasi berlaku ketentuan sebagai berikut :
• Dasar penyusutan fiskal adalah sama dengan dasar penyusutan fiskal pada
awal tahun pajak yang bersangkutan.
• Sisa masa manfaat fiskal aktiva tetap adalah sisa manfaat fiskal pada awal
tahun pajak yang bersangkutan.
• Perhitungan penyusutannya dihitung secara prorata sesuai dengan
banyaknya bulan dalam bagian tahun pajak tersebut.
Contoh
Contoh Kasus :
Pada tanggal 1 Januai 2013 PT. PQR melakukan penilaian kembali
beberapa aktiva perusahaannya. Posisi aktiva perusahaan pada
tanggal tersebut adalah sebagai berikut :

Aktiva Tetap Nilai Buku Fiskal Nilai Pasar Selisih


Lebih

Tanah 2.000 juta 2.500 juta 500 juta


Bangunan 200 juta 450 juta 250 juta
Mesin 1.000 juta 8.000 juta 7.000 juta
Total 3.200 juta 10.950 juta 7.750 juta

PPh Final terutang :


10 % X Rp. 7.750 juta = Rp. 775 juta
RESTRUKTURASI
PERUSAHAAN

Dikenal 3 (tiga) macam bentuk restrukturisasi perusahaan


yaitu :
1. Penggabungan Usaha (Merger : A + B = A)
Merupakan penggabungan usaha dimana satu perusahaan
tetap berdiri dan melikuidasi badan usaha lain yang ikut
menggabungkan diri.
Contoh : Bank Duta di-merger dengan Bank Danamon
kemudian Bank Duta dilikuidasi.

2. Peleburan Usaha (Konsolidasi : A + B = C )


Merupakan penggabungan usaha dengan cara mendirikan
badan usaha baru dan melikuidasi badan-badan usaha yang
bergabung.
Contoh : PT. Bank Exim, PT. Bapindo, PT. Bank Bumi Daya, dan
PT. Bank Dagang Negara melakukan konsolidasi membentuk
badan baru yaitu PT. Bank Mandiri
RESTRUKTURASI
PERUSAHAAN

3. Pemekaran Usaha (A = A + B)
Pemisahan satu badan usaha menjadi dua badan usaha atau
lebih dengan cara mendirikan badan usaha baru tanpa
melakukan likuidasi badan usaha lama.
Contoh : Divisi Distribusi PT. Kalbe Farma dijadikan
perusahaan tersendiri yaitu PT Enseval.

Metode pencatatan :
a. Metode Pembelian (Purchase methode)
Yaitu metode penggabungan, peleburan, atau pemekaran usaha
dimana nilai perolehan harta dicatat berdasarkan Harga Pasar.

b. Metode Penyatuan kepemilikan (Pooling of lnterest)


Yaitu metode penggabungan, peleburan, atau pemekaran usaha
dimana nilai perolehan harta dicatat berdasarkan Nilai Buku.
Penggabungan usaha dengan nilai buku (metode Pooling of
Interest) dapat digunakan untuk kepentingan pajak dalam hal :
a. WP melakukan pengalihan harta dalam rangka penggabungan
atau peleburan usaha (merger atau konsolidasi)
b. WP yang melakukan pengalihan harta dalam rangka pemekaran
usaha dengan tujuan ”go public” dengan melakukan penawaran
umum perdana (IPO) di bursa efek.

Anda mungkin juga menyukai