Anda di halaman 1dari 34

Jurnal Reading

Unusual Manifestations of Head Trauma


Presentan:
Hana Kristina Fani 1210070100148

Preseptor:
dr. Yanuel Aziz Sp.Rad
Anatomi

Netter, F. H. 2011. Atlas of Human Anatomy . 5 th. edition.Philadelphia: Saunders.


Netter, F. H. 2011. Atlas of Human Anatomy . 5 th. edition.Philadelphia: Saunders.
Netter, F. H. 2011. Atlas of Human Anatomy . 5 th. edition.Philadelphia: Saunders.
Netter, F. H. 2011. Atlas of Human Anatomy . 5 th. edition.Philadelphia: Saunders.
Manifestasi Trauma Kepala yang tidak biasa

Cedera kepala merupakan penyebab kematian yang paling sering pada dewasa muda. Lebih dari
dua juta cedera kepala terjadi setiap tahunnya di Amerika Serikat (1). Diagnosis yang cepat dan
akurat adalah hal yang sangat penting untuk keberhasilan penatalaksanaan pasien trauma.
Temuan radiologi yang merupakan manifestasi trauma kepala yang sering ditemukan telah
dijelaskan dengan baik; namun, pasien yang datang pada periode pascatrauma dengan temuan
radiografi yang atipikal berisiko untuk mengalami kesalahan diagnosis dan keterlambatan
penatalaksanaan. Dalam esai ini, kami mengilustrasikan temuan yang tidak biasa pada cedera
kepala yang dapat mempersulit diagnosis.
Hematoma epidural (EDH)

Hematoma epidural (EDH) biasanya muncul dari robekan pada arteri meningeal media akibat
benturan langsung pada kepala, suatu coup injury. EDH pada keadaan akut bisa tidak terlihat
dengan jelas karena hipodensitas relatif darah yang tidak membeku dalam waktu cepat
(Gambar 1). Kapanpun fraktur tengkorak ditemukan, ahli radiologi harus mewaspadai
kemungkinan EDH isodens (Gambar 1). Adanya area hipodens didalam EDH yang hiperdens
mengesankan darah yang tidak membeku dari tempat perdarahan yang aktif, dan dapat
membutuhkan evakuasi pembedakan emergensi (2). EDH arteri menurut karakteristiknya
dianggap sebagai bentuk bikonveks atau lentiformis, karena biasanya dibatasi oleh sutura,
namun dapat melewati garis sutura jika diastasis terjadi (gambar 2). EDH yang besar harus
dievakuasi, sementara pengumpulan yang kecil mungkin dapat diobati secara konservatif.
Kadangkala, sinus venosus dura bisa mengalami robekan, yang menyebabkan hematoma
epidural vena. Ini biasanya terjadi disepanjang sinus transversus (gambar 3), torcula, atau sinus
sagitalis superior. Gambaran radiografi yang penting dari hematoma ini adalah bahwa
hematoma ini dapat melewati midline, tidak sepeti hematoma subdural. Pengumpulan ini bisa
berada dibawah tekanan vena dan biasanya diobati secara ekspektatif. Namun, terlambatnya
perburukan keadaan neurologi dapat terlihat pada beberapa hari pertama setelah cedera
karena ekspansi vena epidural yang lambat.
Pengumpulan subdural
Hematoma subdural (SDH) terjadi akibat
robekan bridging vein, biasanya pada bagian
yang berlawanan dengan benturan, yaitu suatu
countercoup injury. Dalam keadaan akut, SDH
biasanya tampak sebagai pengumpulan
hiperdens berbentuk bulan sabit pada CT.
Adanya area hipodens didalam hematoma
subdural, hematoma subdural densitas
campuran, penting untuk dikenali karena
kemungkinan perdarahan aktif dan hubungan
dengan mortalitas yang lebih tinggi (gambar 4).
Hematoma subdural hiperakut dapat muncul
sebagai pengumpulan hipodens jika pencitraan
dilakukan sebelum bekuan darah terbentuk
(gambar 5).
Gambar 1—Hematoma epidural arterial
hiperakut. Pengemudi yang berusia 37 tahun
yang tidak menggunakan penahan sesaat
setelah kecelakaan kendaraan bermotor.
Gambar CT tanpa
penguatan kontrast
potongan aksial
menunjukkan
pengumpulan
ekstraaksial, samar,
isodens, lentiformis
sisi kanan (tanda
panah terbuka) dan
pneumosefalus juga
terlihat.
Gambar CT
potongan aksial
memperlihatkan
fraktur os
temporalis
kanan (tanda
panah)
Pemeriksaan CT follow
up yang dilakukan 12
jam karena penurunan
tingkat kesadaran
menunjukkan
hematoma epidural
kanan hiperdens (tanda
panah) dan evolusi
kontusio temporalis kiri
(tanda panah
melengkung).
Gambar 2. Hematoma epidural tidak
terkurung oleh sutura lambdoid karena
fraktur yang terkait melalui sutura. Anak laki-
laki yang berusia 17 tahun setelah aksiden
kendaraan bermotor.
Gambar CT
potongan aksial
memperlihatkan
pengumpulan
lentiformis
ekstraaksial
(tanda panah)
yang melewati
sutura lambdoid
kiri.
Gambar CT potongan
aksial
memperlihatkan
fraktur dengan
diastasis sutura
lambdoid (Tanda
panah).
Pneumosefalus juga
terlihat berkaitan
dengan fraktur
melalui air cells
mastoid (tidak
diperlihatkan).
Gambar 3. Hematoma epidural vena. Anak
perempuan yang berusia 15 tahun setelah
kecelakaan saat berjalan kaki.
Gambar CT
potongan aksial
menunjukkan
pengumpulan
ekstraaksial
hiperdens
didalam fossa
posterior (tanda
panah) yang
melewati
midline).
Fraktur
oksipital
terlihat pada
window
tulang.
Hematoma subdural
densitas campuran akut.
Pria yang berusia 30 tahun
yang tidak bersifat responsif
setelah mengalami serangan.
Gambar CT potongan aksial
memperlihatkan
pengumpulan ekstraaksial
yang besar (Tanda panah).
Hemisfer kanan
memperlihatkan edema
difus dengan pergeseran
struktur midline. Area
hipodensitas terlihat pada
area perifer (anak panah).
Hematoma subdural
hiperakut. Wanita yang
berusia 61 tahun sesaat
setelah kecelakaan
kendaraan bermotor.
Gambar CT potongan aksial
menunjukkan pengumpulan
ekstraaksial hipodens (tanda
panah). Terlihat adanya
pergeseran septum
pellucidum (tanda panah
melengkung).
Hematoma subdural temporal
dengan tampilan yang
menyerupai massa. Wanita
yang berusia 75 tahun setelah
kecelakaan kendaraan
bermotor. Hematoma subdural
pada inferior dari lobus
temporalis memiliki tampilan
yang menyerupai lesi massa
(tanda panah padat).
Peningkatan atenuasi
artifaktual akibat pergerakan
yang menutupi lobus frontalis
inferior (tanda panah terbuka).
Hematoma subdural
tentorial. Wanita
yang berusia 75
tahun setelah jatuh.
Gambar CT
potongan aksial
menunjukkan
peningkatan
atenuasi disepanjang
tentorium (tanda
panah)
Hematoma subdural
akut dengan efek
hematokrit. Wanita
yang berusia 80 tahun
setelah kecelakaan
kendaraan bermotor.
Ditemukan
pengumpulan
subdural bilateral,
dengan produk darah
yang melapisi (Tanda
panah).
Perdarahan akut yang
bertumpang tindih
dengan hematoma
subdural kronis pada
hematoma subdural
kronis. Seorang wanita
yang berusia 89 tahun
setelah jatuh. Gambar
CT potongan aksial
menunjukkan
pengumpulan hipodens
ekstraaksial bilateral
(tanda panah), dengan
area perdarahan akut
yang melapisi yang
bertumpang tindih pada
membran di ruang
epidural (anak panah).
Karena ruang subdural bersifat berkelanjutan
disepanjang hemisfer, darah bebas untuk
melingkupi sutura ini berkenaan dengan
midline dan tepi tentorium. Pengumpulan
dibawah lobus temporal dan disepanjang
permukaan tentorium sulit untuk dinilai
sebagai subdural pada gambaran aksial (4)
(gambar 6 dan 7).
Hematoma subdural akut
hipodens. Wanita yang
berusia 75 tahun dengan
trombositopenia 4 jam
setelah jatuh. Kadar
hemoglobinnya adalah 8.1
g/dl. Gambar CT potongan
aksial menunjukkan
pengumpulan ekstraaksial
hipodens dengan efek
massa yang terkait (tanda
panah).
Hematoma subdural
isodens. Pria yang
berusia 36 tahun yang
mengeluhkan nyeri
kepala sejak cedera
sepak bola 10 hari
sebelumnya. CT aksial
menunjukkan
pengumpulan darah
subdural kanan isodens
(Tanda panah) dengan
pergeseran struktur
midline. Terlihat adanya
produk darah yang
melapisi dengan gradasi.
Darah subdural juga dapat benar-benar melingkupi serebelum. Jika pasien dibiarkan tidak
diganggu selama beberapa jam setelah menderita perdarahan subdural, produk darah yang
melapisi dapat telrihat (gambar 8). Hematokrit efek ini harus dibedakan dari perdarhaan akut
menjadi hematoma subdural kronis (gambar 9). Untaian fibrovaskular yang mempertemukan
ruang subdural pada SDH kronis dapat mengalami ruptur hanya setelah trauma ringan. Darah
cenderung melapisi membran ini, yang menghasilkan tampilan multilokular (gambar 9). Selain
itu, harus dinyatakan bahwa SDH akut dapat bersifat hipodens pada CT ketika konsentrasi
hemoglobin kurang dari 8 – 10 g/dl (5) (gambar 10).
Dari sekitar 10 hari hingga 3 minggu setelah pembentukan, SDH dapat bersifat isodens terhadap
jaringan otak karena lisis sel darah merah dan resospsi parsial hemoglobin (gambar 11). SDH
isodens unilateral biasanya terlihat karena efek massa otak yang mendasarinya, sementara SDH
isodens bilateral dapat lebih sulit untuk dikenali pada pencitraan CT. Perbedaan yang samar
dalam densitas antara darah dan otak, tidak adanya arsitektur girus pada regio pengumpulan,
dapat membantu menandai batas permukaan korteks dari pengumpulan (gambar 12), dan MR
hampir selalu memperlihatkan batasan pengumpulan secara jelas. Sekitar 3 minggu setelah
cedera, hematoma subdural menjadi hipodens.
CSF juga dapat berkumpul pada ruang subdural setelah trauma, yang menyebabkan
pembentukan higroma, karena robekan kecil pada arachnoid yang bertindak sebagai katup satu
arah (6) (gambar 13). Higroma biasanya muncul dalam waktu beberapa minggu setelah trauma,
suatu karakteristik yang membedakannya dari hematoma subdural kronis. Melakukan
pembedaan antara dua kelainan ini biasanya tidak memungkinkan secara radiografi jika CT scan
tidak dilakukan pada waktu cedera. Higroma seringkali berada di frontal, yang paling
berkemungkinan karena kekasaran fossa kranialis anterior di area tulang (6). Sebagaimana
dengan pada hematoma subdural kronis, cairan dalam ruang subdural dapat berkumpul di
anterior, teutama pada pasien usia lanjut, karena kecenderungan otak untuk berkumpul secara
Cedera parenkim tramatika
Kontusio intraserebri menurut sifatnya terjadi pada area lobus frontal
dan temporal yang secara langsung menghubungkan tepi tengkorak
yang kasar, yang paling jelas pada langit-langit orbital, crista galli, ala
mayor sfenoid, dasar anterior fossa cranialis media, dan rigi petrosa
(gambar 14). Contusio intraserebri pada dasarnya menyebabkan memar
pada otak, dengan gangguan kapiler dan edema, yang memburuk
menjadi nekrosis fokal. Meskipun perdarahan petekie hampir selalu ada
secara mikroskopis, pada sebagian kasus tidak ada pedarahan yang
teridentifikasi pada pemeriksaan pencitraan. Perdarahan yang tertunda
dapat diidentifikasi dalam waktu beberapa hari setelah kejadian
trauma, yang memberitahukan bahwa kerusakan parenkim yang berat
dapat terlihat berkaitan dengan hematoma subdural, yang kadangkala
disebut sebagai lobus yang meledak, suatu kondisi yang menandakan
prognosis yang buruk (gambar 15). Konsutio yang lebih jelas berubah
menjadi area ensefalomalasia, yang dapat tidak dapat dibedakan dari
infark lama.
Cedera aksonal difus, yang diketahui sebagai shear injury, dapat dianggap sebagai suatu bentuk
kontusio internal, yang diyakini disebabkan oleh akibat pergerakan zat otak saat ia berotasi
dalam tengkorak setelah tabrakan, namun juga dapat terlihat dalam keadaan tidak adanya
benturan kranium (7). Cedera ini menyebabkan robekan parenkim, biasanya dengan panjang 5 –
15 mm, berbentuk ovoid, dan sejajar dengan saluran substansia alba. Lesi terjadi dalam
beberapa karakteristik: lokasi, termasuk hubungan substansia alba dan grisea, corpus callosum,
pedunkulu serebri dan aspek dorsal batang otak rostral (gambar 14 dan 16). Temuan CT pada
cedera aksonal difus biasanya bersifat tidak impresif, terutama dalam kasus-kasus
nonperdarahan, dan MR oleh akrena nya merupakan pemeriksaan pilihan pada pasien-pasien
yang pemeriksaan CT scannya relatif jinak yang meniadakan keadaan klinis yang berat. MR tanpa
pembobotan T2 lebih dari 90% sensitif untuk evaluasi cedera aksonal difus (8). Fokus multipel
cedera robekan perdarahan dapat menghasilkan serangkaian lesi cerah T1 yang aneh. Pasien-
pasien ini biasanya lemah secara klinis, dengan penurunan kesadaran persisten yang dimulai
pada kejadian benturan. Pada cedera aksonal difus berat, pasien dapat mengalami dekortikasi
atau deserebrasi, dan prognosisnya buruk, terutama jika batang otak terlibat (gambar 16).
Lesi substansia grisea subkortikal, yang merupakan cedera pada thalamus dan ganglia basalis,
mewakili kurang dari 5% cedera parenkim dan seringkali bersifat hemoragik; lesi batang otak
traumatika merupakan bentuk cedera parenkim yang paling jarang (7). Cedera batang otak
primer paling sering terjadi akibat cedera robekan; namun, batang otak dapat mengalami
cedera akibat kontak langsung dengan tepi tentorium yang bebas (9).
Cedera pembuluh darah yang terkait
Cedera tumpul atau tembus pada kepala atau leher juga dapat menyebabkan diseksi intimal
pada arteri kranial atau servikal. Gejala-gejala trombosis dan infark dapat tetunda selama
beberapa jam atau beberapa hari setelah trauma. Pseudoaneurisma terjadi paling sering pada
arteri karotis interna servikal dan arteri vertebralis dan lebih jarang pada arteri karotis internal
dan arteri serebri media intrakranial (gambar 17).
Fistula arteriovenosus juga dapat terjadi akibat trauma. Hingga 75% bersifat postraumatika,
akibat dari benturan frontal dengan fraktur os sfenoid. Gejala-gejala fistula karotis-cavernosus,
yang mencakup bruit orbital, kemosis, dan eksoftalmus pulsatil, paling sering terjadi segera
namun dapat tertunda selama beberapa tahun. Fistula arteriovenosus perifer seringkali bersifat
terselubung hingga beberapa tahun setelah kecelakaan ketika mereka datang dengan
perdarahan. Lokasi fistula ini berhubungan dengan tempat fraktur yang sering terjadi dan
kontusio, seperti fossa kranialis anterior (gambar 18).
Terakhir, harus diingat bahwa kadangkala satu-satunya manifestasi trauma kepala adalah
perdarahan subarachnoid atau perdarahan intraventrikular, kemungkinan karena robekan vena
kortikal atau subependimal. Pada beberapa kasus, kemungkinan ruptur aneurisma atau
malformasi arteriovenosus harus dipertimbangkan.
Hematoma subdural isodens lebih jelas terlihat setelah kontras IV.
A. Wanita yang berusia 65 tahun dengan nyeri kepala setelah kecelakaan kendaraan bermotor 2 minggu sebelumnya.
B. Hematoma subdural isodens sisi kiri sulit untuk divisualisasikan. Perpindahan medial tautan substansia alba dan grisea,
tidak adanya penanda sulkus, dan efek massa terlihat.
Setelah pemberian kontrast IV, konspikuitas hematoma subdural terlihat lebih baik (anak panah).
Higroma – pria yang berusia 83 tahun dengan kebingungan setelah kecelakaan kendaraan bermotor.
A. CT scan yang dilakukan saat rawat inap menunjukkan ruang ekstraserebral frontal kiri yang menonjol.
B. CT scan follow up 13 hari setelahnya karena pasien terus mengalami kebingungan yang menunjukkan higroma (tanda panah)
Kontusio intraserbri, perdarahan intraparenkim, dan cedera aksonal difus (DAI). Pria yang berusia 37 tahun setelah kecelakaan kendaraan
bermotor.
A. Gambar CT potongan aksial yang menunjukkan kontusio perdarahan dalam lobus frontalis kanan dan temporalis (tanda panah).
B. Gambar CT potongan aksial menunjukkan fokus perdarahan multipel pada tautan substansia ala grisea secara bilateral (tanda panah) dan
corpus callosum (tanda panah melengkung) yang sesuai dengan DAI.

Anda mungkin juga menyukai

  • Imt
    Imt
    Dokumen25 halaman
    Imt
    sitisaraah
    Belum ada peringkat
  • Imt
    Imt
    Dokumen25 halaman
    Imt
    sitisaraah
    Belum ada peringkat
  • Imt
    Imt
    Dokumen25 halaman
    Imt
    sitisaraah
    Belum ada peringkat
  • Refrat Hyaline Membrane Disease HMD
    Refrat Hyaline Membrane Disease HMD
    Dokumen21 halaman
    Refrat Hyaline Membrane Disease HMD
    Hana Kristina Fani
    Belum ada peringkat
  • BBLR Ui
    BBLR Ui
    Dokumen0 halaman
    BBLR Ui
    Naskaya Suriadinata
    Belum ada peringkat
  • Imt
    Imt
    Dokumen25 halaman
    Imt
    sitisaraah
    Belum ada peringkat
  • Imt
    Imt
    Dokumen25 halaman
    Imt
    sitisaraah
    Belum ada peringkat
  • Scabies
    Scabies
    Dokumen48 halaman
    Scabies
    Hana Kristina Fani
    Belum ada peringkat
  • Imt
    Imt
    Dokumen25 halaman
    Imt
    sitisaraah
    Belum ada peringkat
  • Imt
    Imt
    Dokumen25 halaman
    Imt
    sitisaraah
    Belum ada peringkat
  • Refrat Hyaline Membrane Disease (HMD)
    Refrat Hyaline Membrane Disease (HMD)
    Dokumen26 halaman
    Refrat Hyaline Membrane Disease (HMD)
    Pras Adi
    Belum ada peringkat
  • Bronkioliti 1
    Bronkioliti 1
    Dokumen6 halaman
    Bronkioliti 1
    Hana Kristina Fani
    Belum ada peringkat
  • Bab 1,2,3,4
    Bab 1,2,3,4
    Dokumen28 halaman
    Bab 1,2,3,4
    finnadputri
    Belum ada peringkat
  • Case
    Case
    Dokumen53 halaman
    Case
    Hana Kristina Fani
    Belum ada peringkat
  • Home Visite
    Home Visite
    Dokumen1 halaman
    Home Visite
    Hana Kristina Fani
    Belum ada peringkat
  • RM
    RM
    Dokumen37 halaman
    RM
    finnadputri
    Belum ada peringkat
  • Trauma Kimia
    Trauma Kimia
    Dokumen2 halaman
    Trauma Kimia
    Hana Kristina Fani
    Belum ada peringkat
  • Bab I Pendahuluan 1.1 Latar Belakang
    Bab I Pendahuluan 1.1 Latar Belakang
    Dokumen12 halaman
    Bab I Pendahuluan 1.1 Latar Belakang
    Hana Kristina Fani
    Belum ada peringkat
  • Bronkiolitis
    Bronkiolitis
    Dokumen6 halaman
    Bronkiolitis
    Dina
    Belum ada peringkat
  • Brain CT Neck
    Brain CT Neck
    Dokumen29 halaman
    Brain CT Neck
    bryanlewis
    Belum ada peringkat
  • Trauma Kimia Pada Mata
    Trauma Kimia Pada Mata
    Dokumen27 halaman
    Trauma Kimia Pada Mata
    Ribka Theodora
    Belum ada peringkat
  • Referat Psoriasis
    Referat Psoriasis
    Dokumen19 halaman
    Referat Psoriasis
    Martha Yuanita Loru
    100% (4)
  • Trauma Kimia Pada Mata
    Trauma Kimia Pada Mata
    Dokumen27 halaman
    Trauma Kimia Pada Mata
    Ribka Theodora
    Belum ada peringkat
  • UG
    UG
    Dokumen1 halaman
    UG
    Hana Kristina Fani
    Belum ada peringkat
  • Kata Pengantar
    Kata Pengantar
    Dokumen1 halaman
    Kata Pengantar
    Hana Kristina Fani
    Belum ada peringkat
  • Bab 1 - Iv
    Bab 1 - Iv
    Dokumen24 halaman
    Bab 1 - Iv
    Hana Kristina Fani
    Belum ada peringkat
  • Otot Dan Inervasi
    Otot Dan Inervasi
    Dokumen13 halaman
    Otot Dan Inervasi
    Hana Kristina Fani
    Belum ada peringkat
  • Cedera Pleksus Brachialis: Oleh
    Cedera Pleksus Brachialis: Oleh
    Dokumen43 halaman
    Cedera Pleksus Brachialis: Oleh
    Hana Kristina Fani
    Belum ada peringkat