ERYTHEMATOSUS
NS.HALIMATUSSAKDIAH,S.KEP
28 MEI 2016
PENGERTIAN
Sistemic Lupus Erythematosus (SLE)
adalah suatu penyakit auto imun yang
kronik dan menyerang berbagai system
dalam tubuh.
Tanda dan gejala penyakit ini dapat
bermacammacam, dapat bersifat
sementara, dan sulit untuk didiagnosis.
ETIOLOGI
Etiologi dari penyakit SLE belum diketahui
dengan pasti.
Selain factor keturunan (genetis) dan hormon,
diketahui bahwa terdapat beberapa hal lain yang
dapat menginduksi SLE, diantaranya adalah
virus (Epstain Barr), obat (contoh : Hydralazin
dan Procainamid), sinar UV, dan bahan kimia
seperti hidrazyn yang terkandung dalam rokok,
mercuri dan silica.
ETIOLOGI
Penyebab utama terjadinya SLE adalah karena
produksi antibody dan pembentukan kompleks
imun yang abnormal, sehingga dapat terbentuk
antibody terhadap multiple nuclear, sitoplasmik,
dan komponen permukaan sel dari berbagai tipe
sel di berbagai system organ, dengan bantuan
suatu penanda Ig G dan factor koagulan. Hal
inilah yang dapat menjelaskan mengapa SLE
dapat menyerang berbagai system organ.
TANDA DAN GEJALA
Gambaran klinis SLE sering membingungkan
terutama pada awalnya. Gejala yang paling
sering muncul adalah arthritit simetris atau
atralgia, yang muncul pada 90% dari waktu
perjalanan penyakit, seringkali sebagai
manifestasi awal. Sendisendi yang paling sring
terserang adalah sendi proksimal tangan,
pergelangan tangan, siku, bahu, lutut, dan
pergelangan kaki. Poliarthritis SLE berbeda
dengan arthritis rheumatoid karena jarang
bersifat erosive atau menimbulkan deformitas.
Nodul sub kutan juga jarang ditemukan pada
penyakit SLE.
TANDA DAN GEJALA
Gejalagejala konstitusional adalah
demam, rasa lelah, lemah, dan
berkurangnya berat badan yang biasanya
timbul pada awal penyakit dan dapat
berulang dalam perjalanan penyakit ini.
Keletihan dan rasa lemah dapat timbul
sebagai gejala sekunder dari anemia
ringan yang ditimbulkan oleh SLE.
Manifestasi kulit mencakup ruam
eritematosa yangdapat timbul pada
wajah, leher, ekstrimitas, atau pada
tubuh.
40% dari pasien SLE memiliki ruam khas
berbentuk kupukupu.
Sinar matahari dapat memperburuk
ruam kulit ini. Dapat timbul rambut
rontok yang kadangkadang menjadi
berat.
Ulserasi pada mukosa mulut dan
nasofaring.
Pleuritis (nyeri dada) dapat timbul akibat
proses peradangan kronik dari SLE.
SLE juga dapat menyebabkan karditis
yang menyerang miokardium,
endokardium, atau pericardium.
Kurang lebih 65% dari pasien SLE akan
mengalami gangguan pada ginjalnya, 25%
menjadi gangguan ginjal yang berat. SLE
juga dapat menyerang SSP maupun
perifer. Gejalagejala yang ditimbulkan
meliputi perubahan tingkah laku, kejang,
gangguan saraf otak, dan neuropati
perifer.
TERAPI NON FARMAKOLOGIS
pengaturan istirahat dan olah raga ringan yang teratur da
seombang. Hal ini dalakukan untuk mengatasi fatigue yang
umumnya dialami oleh pasien SLE.
hindari merokok, terkait dengan kandngan hydrazine yang
terkadung dalam rokok dan dapat menjadi factor pencetus
SLE serta menambah resiko terjadinya CAD
pemberian asupan minyak ikan, untuk menghindari
terjadinya keguguran pada wanita hamil dengan
antifosfolipid antibody.
menghindari paparan sinar matahari langsung. Cara yang
dapat dilakukan adalah dengan menggunakan paying, topi,
hingga memakai sunscreen maupun sunblok
menghindari halhal yang dapat menyebabkan stress karena
dapat memicu terjadinya SLE.
TERAPI FARMAKOLOGIS
1. OAINS
Dipakai untuk mengatasi arthritis dan artralgia.
Penggunaan OAINS pada pasien dengan gejala
yang masih awal merupakan pilihan yang logis.
Aspirin jarang digunakan karena memiliki
insidensi hepatotoksik tertinggi, dan sebagian
pasien SLE juga mengalami gangguan pada
hepar. Pasien SLE juga memiliki resiko tinggi
terhadap efek samping OAINS pada kulit, hepar,
dan ginjal, sehingga penggunaannya perlu
dimonitoring.
2. Obat Antimalaria
Terapi antimalaria kadangkadang dapat efektif
apabila OAINS tidak dapat mengendalikan
gejalagejala SLE. Biasanya anti malaria mula
mula diberikan dosis tinggi untuk memperoleh
keadaan remisi. Antimalaria dapat mengatasi
beberapa manifestasi klinis, seperti arthalgia,
pleuritis, inflamasi pericardial, fatigu, dan
leukopenia. Hidroksikloroquin diketahui lebih
aman dibandingkan dengan cloroquine dan
merupakan pilihan pertama dalam terapi SLE.
3. Kortikosteroid
Merupakan obat yang paling sering digunakan dalam
terapi SLE. Beberapa pertimbangan yang matang harus
dilakukan sebelum memutuskan menggunakannya
terkait dengan resiko yang ditimbulkan, seperti
kemungkinan terjadinya infeksi, hipertensi, diabetes,
obesitas, osteoporosis, dan beberapa penyakit psikiatris.
Prednison dosis rendah (1020 mg/hari) digunakan untuk
mengatasi gejala ringan SLE tetapi apabila gejala yang
terjadi termasuk gejala yang berat maka penggunaan
dosis yang lebih tinggi (1020 mg/kg/hari) dapat
diberikan. Ketika gejala telah teratasi maka dosis harus
ditapering dan dipertahankan pada dosis terendah yang
dapat memberikan efek.
Terapi steroid jangka pendek dengan dosis tinggi
dapat diberikan bagi pasien dengan gejala
nefritis parah, gejala pada system CNS, dan
manifestasi hemolitik. Dosis yang digunakan
biasanya adalah 5001000 mg metilprednisolon
i.v berurutan selama 36 hari, dan diikuti dengan
11,5 mg/kg/hari prednison, yang kemudian
ditapering sampai dosis terendah yang masih
dapat memberikan efek.
4. Obat Sitotoksik
Terapi penekan imun (siklofosfamid, azatioprin)
dapat dilakukan untuk menekan aktivitas
autoimun SLE. Obatobatan ini biasanya dipakai
ketika :
diagnosis pasti sudah ditegakkan
adanya gejalagejala berat yang dapat mengancam
jiwa gangguan neurologik SSP, anemia hemolitik
akut.
kegagalan tindakantindakan pengobatan lainnya,
misalnya bila pemberian steroid tidak memberikan
respon atau bila dosis steroid harus diturunkan
karena adanya efek samping.
Tidak adanya kehamilan, infeksi, dan neoplasia.
Dosis siklofosfamid yang digunakan untuk terapi
kombinasi adalah 13 mg/kg
BB per oral dan 0,51,0 g/m² BSA secara intra vena. Efek
samping yang ditimbulkan adalah infeksi oportunistik,
komplikasi kandung kemih, kemandulan, dan efek
teratogenesis. Azatioprin dapat jugs digunakan sebagai
kombinasi dengan kortikosteroid, namum belum ada bukti
yang memastikan bahwa penggunaan azatioprin lebih baik
dibanding siklofosfamid. Agen sitotoksik baru yang mulai
banyak digunakan saat ini adalah mycofenolat mofenil.
Pada beberapa studi secara random menunjukkan
mycofenolat mofenil memberikan efek yang lebih baik
dibanding azatioprin dan siklofosfamid.