NAMA-NAMA KELOMPOK 6:
1. DROVA MANOREK
2. JULIA OROH
3. SINTIKE LESI
4. YURIKE MOKODONGAN
5. PUTRI KAWULUSAN
6. SENDY PADANG
PENGERTIAN
Syok anafilaktik adalah reaksi anafilaksis
yang disertai hipotensi dengan atau tanpa
penurunan kesadaran.
Syok anafilaktik merupakan suatu resiko
pemberian obat, baik melalui suntikan
ataupun dengan cara lain. Reaksi dapat
berkembang menjadi suatu kegawatan
berupa syok, gagal napas, henti jantung,
dan kematian mendadak.( Alirifan, 2007 )
ETIOLOGI
Sedang
Kemerahan pada muka dan leher ( sementara ), rasa hangat,
gatal – gatal
Reaksi serius disertai bronkospasme dan edema saluran nafas
atau laring dengan dispnea, mengi dan batuk
Berat
Onset mendadak
Gejala = ringan hanya kejadian lebih cepat hingga terjadi
bronkospasme, edema laring, dispnea berat serta sianosis
Disfagia, kram abdomen, vomiting, diare dan serangan kejang –
kejang
Kadang timbul henti jantung dan koma
MANIFESTASI KLINIS
b. Radiologi
X foto: Hiperinflasi dengan atau tanpa
atelektasis karena mukus, plug.
EKG: Gangguan konduksi, atrial dan
ventrikular disritmia
Penatalaksanaan
1. Posisikan pasien
Segera baringkan penderita pada alas yang
keras. Kaki diangkat lebih tinggi dari kepala
untuk meningkatkan aliran darah balik vena,
dalam usaha memperbaiki curah jantung dan
menaikkan tekanan darah. Posisi terlentang
dengan kaki lebih tinggi mungkin membantu,
kecuali pada kondisi terlarang, misalnya
dispnea atau emesis. Konsultasi dini dengan
anasthesi ssangatlah dianjurkan.
2. Penilaian A, B, C dari tahap resusitasi jantung paru
B ( breathing )
Pasien harus ditempatkan pada monitor
kardiopulmonari terus menerus, termasuk oksimetri.
Jika jalan napas sudah memadai. Oksigen harus
diberikan melalui masker wajah nonrebreathing
dengan dosis 12 sampai 15 L/menit pada awalnya,
kemudian dikurangi sesuai dengan kebutuhan.
C ( circulation )
Cairan kristaloid harus diberikan lebih awal, sebelum
pemberian obat anafilaktik.
3. Pemberian epinefrin ( adrenalin )
Pemberian epinefrin dalam larutan 1 : 1000
secara intramuscular di daerah otot deltoid atau
paha sebelah luar ( otot vastus lateralis ) dengan
dosis 0,3 mL ( 0,01 mL/kg BB ). Dosis tersebut
dapat diulang tiap 15 – 20 menit bila diperlukan.
Penderita yang mendapat terapi penyekat ᵝsering
kali resisten terhadap Epinefrin sehingga
diperlukan dosis yang lebih tinggi.
4. Pemberian cairan intravena
Pemberian cairan infus dilakukan bila tekanan
sistolik mencapai 100 mmHg ( dewasa ) dan 50
mmHg ( anak ). Cairan yang dapat diberikan
adalah RL / Nacl, Dextra / Plasma. Pada dewasa
sering dibutuhkan cairan sampai 2000 ml dalam
jam pertama dan selanjutnya diberikan 2000 –
3000 ml / LPB / 24 jam. Karena cukup banyak
cairan yang diberikan pemantauan CVP dan
hematokrit serial sangat membantu.
5. Obat – obat vasopressor
Bila pemberian adrenalin dan cairan infus yang
diarasakn cukup adekuat tetapi tekanan sistolik
belum mencapai 90 mmHg atau syok belum
teratasi, dapat diberikan vasopressor, dopamine
dapat diberikan secara infus dengan dosis awal
0,3 mg/kg BB/jam dan dapat ditingkatkan secara
bertahap 1,2 mg/kg BB/jam untuk
mempertahankan tekanan darah yang membaik.
Noradrenalin dapat diberikan untuk hipotensi
yang tetap membandel.
6. Aminophilin
Sama seperti adrenalin, aminophilin
menghambat pelepasan histamine dan mediator
lain dengan meningkatkan C-AMP sel mast dan
basofil.
7. Kortikosteroid
Berperan sebagai penghambat mitosis sel precursor
IgE dan juga menghambat pemecahan fosfolipid
menjadi asam arakhidonat pada fase lambat. Dosis
yang dapat diberikan addalah 7 10 mg/kg iv.
Prednisolon dialnjutkan dengan 5 mg/kg tiap 6 jam
atau dengan deksamethason 40 – 50 mg iv. Kortisol
dapat diberikan secara iv dengan dosis 100 – 200 mg
dalam interval 24 jam dan selanjutnya diturunkan
secara bertahap.
8. Antihistamin
Bekerja sebagai penghambat sebagian pengaruh
histamine terhadap sel target. Antihistamin
diindikasikan pada kasus reaksi yang memanjang /
bila terjadi odema angioneurotik dan urtikaria.
Dipenhidraimin dapat diberikan dengan dosis 1 -2
mg/kg sampai 50 mg dosis tunggal im. Umtuk anak –
anak dosinya 1 mg/kg tiap 4 – 6 jam.
Pencegahan