UNIBBA 2015 Interest, Usury & Riba Interest atau bunga adalah uang yang dikenakan atau dibayar atas penggunaan uang. Usury adalah pekerjaan meminjamkan uang dengan mengenakan bunga yang tinggi. Riba berasal dari bahasa Arab yang berarti tambahan (az-ziyadah), berkembang (an-numuw), meningkat (al-irtifa’) dan membesar (al ‘uluw).
Beberapa pengertian riba yang dikemukakan oleh ulama antara lain:
Pengertian riba secara bahasa adalah tambahan, namun yang dimaksud riba dalam ayat al-qur’an yaitu setiap penambahan yang diambil tanpa adanya suatu ‘iwad (penyeimbang/pengganti) yang dibenarkan syariah. (Muhammad ibnu Abdullah ibnu al-Arabi al-Maliki, dalam kitab Ahkam Al-Qur’an.) Prinsip utama riba adalah penambahan. Menurut syariah riba berarti penambahan atas harta pokok tanpa adanya transaksi bisnis riil. (Badr ad-Dien al-Ayni, dalam kitab Umdatul Qari.) Riba adalah tambahan yang disyaratkan dalam transaksi bisnis tanpa adanya iwadh (padanan) yang dibenarkan syariah atas penambahan tersebut. (Imam Sarakhsi, dalam kitab al-Mabsut.) Jenis Riba 1. Riba akibat utang-piutang: Riba Qard. Suatu tambahan atau tingkat kelebihan tertentu yang disyaratkan terhadap yang berhutang. Riba Jahiliyyah. Hutang yang dibayar lebih dari pokoknya, karena si peminjam tidak mampu membayar hutangnya pada waktu yang ditetapkan. 2. Riba akibat jual-beli: Riba Fadl. Pertukaran antara barang sejenis dengan kadar atau takaran yang berbeda dan barang yang dipertukatkan termasuk dalam jenis barang ribawi. Riba Nasi’ah. Penangguhan atas penyerahan atau penerimaan jenis barang ribawi yang dipertukarkan dengan jenis barangt ribawi lainnya. Riba nasi’ah terjadi karena adanya perbedaan, perubahan, atau tambahan antara yang diserahkan saat ini dan yang diserahkan kemudian. Barang ribawi adalah: Emas dan perak, baik dalam bentuk uang maupun dalam bentuk lainnya. Bahan makanan pokok seperti beras, gandum, jagung serta bahan makanan tambahan seperti lauk-pauk, sayur-sayuran dan buah-buahan. Theory of Interest A. Pure Theory of Interest 1. Classical Theory of Interest 2. Abstinence Theory of Interest 3. Productivity Theory of Interest 4. Austrian Theory of Interest B. Monetary Theory of Interest 1. Loanable Funds Theory of Interest 2. Keynesia Theory of Interest Classical Theory of Interest Smith dan Ricardo : bunga merupakan kompensasi yang dibayarkan oleh peminjam (borrower) kepada si pemberi pinjaman (lender) sebagai balas jasa atas keuntungan yang diperoleh dari uang pinjaman tersebut. Kedua ekonom ini percaya bahwa terjadinya akumulasi kapital adalah akibat dari penghematan. Penghematan tidak akan terlaksana tanpa mengharapkan imbalan atas pengorbanan. Karena itulah bunga ada sebagai kompensasi atau balas jasa atas pengorbanan si penabung serta sebagai perangsang agar orang mau menabung. Argumentasi ini tidak meyakinkan, dengan alasan: Tidak setiap penabung meminjamkan tabungannya, oleh karena itu tabungan bisa saja terjadi walaupun tanpa bunga. Seseorang bisa meminjamkan uang tidak berasal dari tabungannya, misalkan dari harta warisan. Sebagian besar tabungan dalam masyarakat modern (dana masyarakat) berasal dari dana perusahaan atau individu untuk usaha, bukan berasal dari Penghematan. Bank tidak melakukan pengorbanan apapun baik dalam menghimpun uang maupun meminjamkan uang. Abstinence Theory of Interest N.M. Senior berpendapat bahwa bunga adalah harga yang dibayarkan sebagai imbalan atas tindakan “tahan nafsu”. Tindakan ini didefinisikan sebagai tindakan seseorang yang absen dari kegiatan produktif atau kegiatan yang direncanakan akan mendapatkan hasil (Abstinence Theory of Interest). Teori ini dikritik dengan alasan bahwa pwnderitaan akibat pengorbanan “tahan nafsu” berbeda menurut tingkat pendapatan penabung. Alasan lain yaitu dapat saja si penabung tidak memilih untuk meminjamkan uangnya agar tabungannya tetap likuid. Dengan demikian tidak ada alasan untuk mendapat bunga. Productivity Theory of Interest Menurut Marshall, tingkat suku bunga ditentukan oleh interaksi kurva penawaran dan permintaan tabungan. Dari sisi penawaran, tingkat suku bunga merupakan balas jasa atas pengorbanan tabungan atau menunggu. Permintaan akan kapital bergantung pada produktivitas marginal dan tingkat suku bunga dan cenderung mencapai tingkat keseimbangan sama dengan persediaan agregat pada masa yang akan datang (aggregate stock forthcoming). Jika penawaran (tabungan) lebih besar dibanding permintaan untuk investasi, maka tingkat suku bunga akan turun dan investasi akan meningkat hingga mencapai tingkat keseimbangan antara tabungan dan investasi. Demikian pula sebaliknya. Kritik untuk menunjukkan kelemahan teori Marshall: Disadari bahwa yang menjamin keseimbangan antara tabungan dan investasi adalah tingkat pendapatan, bukan tingkat suku bunga. Perubahan tingkat suku bunga pengaruhnya sangat kecil terhadap tabungan . Demikian pula motivasi orang untuk menabungpun sangat kompleks. Peningkatan atas tabungan tidak selalu diikuti oleh peningkatan atas investasi, atau secara kasar dapat dikatakan bahwa investasi tidak dipengaruhi oleh tinggi-rendahnya tingkat suku bunga. Dalam kondisi depresi misalnya, meskipun terjadi penurunan tingkat suku bunga, akan tetapi fakta menunjukkan bahwa investasi tidak meningkat. Pendapatan yang menyatakan bahwa tingkat suku bunga ditentukan oleh produktivitas kapital adalah alasan yang berputar-putar karena produktivitas kapital itu sendiri ditentukan oleh tingkat suku bunga. productivity theory of interest menyebutkan bahwa produktivitas sebagai suatu property yang terkandung dalam kapital, dan produktivitas kapital tersebut dipengaruhi oleh bunga. Austrian Theory of Interest Menurut Bohm-Bawerk, nilai kapital yang dikonsumsi dala produksi akan menimbulkan adanya nilai tambah. Teori ini juga gagal menjelaskan alasan tentang bunga. Pertama, meningkatnya produktivitas barang modal dapat berakibat menurunnya harga. Penurunan harga yang cukup besar akan mengakibatkan pendapatan dari bunga menjadi negatif. Kedua, teori ini tidak bisa menjelaskan mengapa perlu dibebankan bunga jika seseorang meminjam untuk konsumsi. Ketiga, untuk menghitung tingkat bunga, seseorang harus mengetahui nilai kapital sedangkan nilai kapital itu sendiri ditentukan oleh barang dan jasa yang dihasilkan. Sekiranya nilai hasil dari kapital tersebut dianggap tetap, maka nilai kapital sebelumnya harus ditentukan oleh tingkat bunga. Keempat, teori tersebut tidak dapat menjelaskan mengapa bunga harus dibayarkan kalau peminjam (borrower) menderita kerugian akibat pinjaman tersebut. Loanable Funds Theory of Interest Teori dana yang tersedia untuk dipinjamkan didasarkan atas konsep bunga yang berasal dari tabungan dan investasi. Keynes berpendapat bukan tingkat bunga melainkan tingkat pendapatan yang menjamin tercapainya tingkat kesamaan antara tabungan dan investasi. Menurutnya, bunga bukan sebagai harga atau imbalan balas jasa atas tabungan atau pengeluaran melainkan merupakan pembayaran untuk pinjaman uang. Pembayaran bunga menurut teori bunga moneter adalah berupa tindakan opportunity untuk memperoleh keuntungan dari meminjamkan uang. Keynes menyebutnya sebagai motif spekulasi dari permintaan akan uang (liquidity preference). Motif ini didefinisikan sebagai usaha untuk menjamin keuntungan pada masa yang akan datang. Pelarangan riba dalam Islam Sejarah mencatat tidak kurang seperti Plato serta Aristoteles dari Yunani serta Cicero dan Cato dari Romawi begitu mengecam aktivitas ini. Plato berpandangan bahwa riba menyebabkan perpecahan dan menjadi penyebab ketidakpuasan di masyarakat. Selain itu menurutnya, riba merupakan alat eksploitasi golongan kaya terhadap golongan miskin. Aristoteles melihat riba sebagai suatu konsep yang sangat tidak adil dan bertentangan dengan fungsi asal dari uang yaitu sebagai alat tukar. Bagaimana mungkin uang bisa lahir dari uang tanpa adanya usaha, begitu pandangannya. Cicero sangat tidak setuju dengan riba, bahkan ia menyuruh anaknya untuk menghindari dua pekerjaan yaitu memungut cukai dan memberi pinjaman. Cato mengecam mereka yang memberi pinjaman dengan riba sebagai golongan yang tidak sopan dan melarang norma sehingga harus didenda dua kali lebih berat dibanding pencuri. Proses pelarangan riba sesuai dengan teori sosiologi modern, di mana untuk menggantikan sesuatu yang sudah memasyarakat digunakan melting method. Tahap pertama, penolakan terhadap anggapan bahwa riba merupakan upaya menolong mereka yang memerlukan sebagai perbuatan taqarrub (mendekatkan diri) kepada Allah. Firman Allah: “Dan sesuatu riba (tambahan) yang kamu berikan agar dia bertambah pada harta manusia, maka riba itu tidak menambah pada sisi Allah. Dan apa yang kamu berikan berupa zakat yang kamu maksudkan untuk mencapai keridaan Allah, maka (yang berbuat demikian) itulah orangorang yang melipatgandakan (pahalanya).” (ar-Rūm: 39) Tahap kedua, kilas balik tentang dilarangnya riba bagi kaum sebelum Islam serta ancaman bagi mereka yang tetap melakukannya. Firman Allah: “Maka disebabkan kezaliman orang-orang Yahudi, Kami haramkan atas mereka (memakan makanan) yang baik-baik (yang dahulunya) dihalalkan bagi mereka, dan karena mereka banyak menghalangi (manusia) dari jalan Allah, dan disebabkan mereka memakan riba, padahal sesungguhnya mereka telah dilarang daripadanya, dan karena mereka memakan harta orang dengan jalan yang batil. Kami telah menyediakan untuk orang-orang kafir di antara mereka itu siksa yang pedih.” (an-Nisā: 160 - 161) Tahap ketiga, pelarangan riba dengan dikaitkan pada suatu tambahan yang“berlipat ganda”. Firman Allah: “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memakan riba dengan berlipat ganda, dan bertaqwalah kamu kepada Allah supaya kamu mendapat keberuntungan.” (Ali Imran: 130) Tahap keempat, merupakan tahap terakhir di mana Allah dengan tegas dan jelas mengharamkan apapun jenis tambahan yang diambil dari pinjaman. Firman Allah: “Hai orang-orang yang beriman, bertaqwalah kepada Allah dan tinggalkanlah sisa-sisa riba (yang belum dipungut) jika kamu orang-orang yang beriman. Maka jika kamu tidak mengerjakan (meninggalkan sisa riba), maka ketahuilah bahwa Allah dan rasul-Nya akan memerangimu. Dan jika kamu bertobat (dari pengambilan riba), maka bagimu pokok hartamu; kamu tidak menganiaya dan tidak pula dianiaya.” (al-Baqarah 278-279) Pelarangan Riba Berdasarkan Hadis Dalam amanat terakhirnya pada tanggal 9 Zulhijjah tahun ke–10 Hijrah, Rasulullah saw menekankan sikap Islam yang melarang Riba. Beliau bersabda, “Ingatlah bahwa kamu akan menghadap Tuhanmu, dan Dia pasti akan menghitung amalanmu. Allah telah melarang kamu mengambil riba, oleh karena itu hutang akibat riba harus dihapuskan. Modal (uang pokok) kamu adalah hak kamu. Kamu tidak akan menderita ataupun mengalami ketidakadilan.” (Riwayat Bukhari) Diriwayatkan oleh Abu Said al-Khudri bahwa pada suatu ketika Bilal membawa kurma barni (kualitas terbaik) ke hadapan Rasulullah saw dan beliau bertanya kepadanya, “Dari mana engkau mendapatkannya?” Bilal menjawab, saya mempunyai sejumlah kurma radiy (kualitas rendah) dan menukarkannya dua şa’ untuk satu şa’ kurma jenis barni untuk dimakan oleh Rasulullah saw. Selepas itu Rasulullah saw berkata, “Hati-Hati! Ini sesungguhnya riba, ini sesungguhnya riba. Jangan berbuat begini, tetapi jika kamu membeli (kurma yang mutunya lebih tinggi), juallah kurma yang mutunya lebih rendah untuk mendapatkan uang akan kemudian gunakanlah uang tersebut untuk membeli kurma yang bermutu tinggi itu.” (Riwayat Bukhari) Diriwayatkan oleh Abu Said al-Khudri bahwa Rasulullah saw bersabda, “Emas hendaklah dibayar dengan emas, perak dengan perak, gandum dengan gandum, bayaran harus dari tangan ke tangan (cash). Barangsiapa memberi tambahan atau meminta tambahan, sesungguhnya ia telah berurusan dengan riba. Penerima dan pemberi sama-sama bersalah”. (Riwayat Muslim) Diriwayatkan oleh Samurah bin Jundub bahwa Rasulullah saw bersabda, “Malam tadi aku bermimpi, telah datang dua orang dan membawaku ke tanah suci. Dalam perjalanan, sampailah kami ke suatu sungai yang berwarna merah seperti darah, di mana di dalamnya berdiri seorang lakilaki. Di pinggir sungai tersebuit berdiri seorang laki-laki lain dengan batu yang banyak yang sudah dikumpulkan di tangannya. Laki-laki yang di tengah sungai itu berusaha menepi untuk ke luar, tetapi laki-laki yang di penggir sungai tadi melempari mulutnya dengan batu yang sudah terkumpul tadi dan memaksa kembali ke tempat asal. Setiap kali mencoba menepi kembali dia dilempar batu. Aku bertanya, ‘Siapa itu?’ Aku diberitahu, bahwa dia yang di tengah sungai itu ialah orang yang memakan riba”. (Riwayat Bukhari)