Anda di halaman 1dari 26

AKUNTANSI PAJAK ATAS

KLASIFIKASI BIAYA DAN


KOMPENSASI KERUGIAN

HARIRI, SE., M.AK


UNIVERSITAS ISLAM MALANG
2017
Biaya Menurut UU Perpajakan

Saat pengukuran biaya dalam ketentuan perpajakan


pada umumnya disesuaikan dengan cara pencatatan
yang dipakai dalam pembukuan perusahaan apakah
metode kas (cash method) atau metode akrual
(accrual method).
Dalam hal pembebanan biaya dilakukan pengaitan
(matching) dengan penghasilan yang menggunakan
3 (tiga) pendekatan, yaitu:
 Sebab Akibat (Kausalitas)
Pada pendekatan sebab akibat ini mengaitkan biaya secara
langsung dengan penghasilan. Pengakuan biaya sebagai
beban dalam periode diakuinya penghasilan. Contoh:
persediaan sebagai penyebab dari hasil penjualan.
 Alokasi Sistematis dan Rasional
Pada pendekatan ini tidak mengaitkan secara langsung biaya
dengan penghasilan, tetapi biaya dialokasikan secara
sistematis dan rasional dengan penghasilan atas dasar masa
manfaat. Contoh: pada aset tetap, alokasi biayanya segera
pada tahun tersebut sebagai pengurang terhadap penghasilan
atau dilakukan penundaan atau dikurangkan dengan
penghasilan di masa mendatang melalui alokasi penyusutan
dan amortisasi.
 Pengakuan Segera
Pendekatan pengakuan segera ini yaitu terhadap
biaya yang dapat dilakukan dengan penghasilan
melalui pendekatan kesatu atau pendekatan kedua
akan dibebankan segera terhadap penghasilan pada
tahun pengeluaran. Contoh: biaya pendirian, biaya
emisi.
Beban-beban yang dapat dikurangkan dari
penghasilan bruto bagi WP dalam negeri dan BUT
dibagi dalam 2 (dua) golongan, yaitu:
1. Beban atau biaya yang mempunyai masa manfaat
tidak lebih dari 1 (satu) tahun. Misalnya, gaji, biaya
administrasi dan bunga, dll.
2. Beban atau baya yang mempunyai masa manfaat
lebih dari 1 (satu) tahun. Misalnya, beban
penyusutan atau amortisasi.
Pasal 6 UU Pajak Penghasilan menyatakan bahwa untuk
menghitung besarnya PKP bagi WP dalam negeri dan
BUT, ditentukan berdasarkan penghasilan bruto
dikurangi:
 Biaya untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara
penghasilan, termasuk biaya pembelian bahan, biaya
yang berkenaan dengan pekerjaan atau jasa.
 Penyusutan atas pengeluaran untuk memperoleh aset
berwujud dan amortisasi atas pengeluaran untuk
memperoleh hak dan atas biaya lain yang mempunyai
masa manfaat lebih dari 1 tahun.
 Iuran kepada dana pensiun telah tegas dibatasi yaitu
yang pendiriannya telah disahkan oleh Menteri
Keuangan.
 Kerugian karena penjualan dan pengalihan aset yang
dimiliki dan digunakan dalam perusahaan atau yang
dimiliki untuk mendapatkan, menagih, dan
memelihara penghasilan.
 Kerugian selisih kurs mata uang asing.
 Biaya penelitian dan pengembangan perusahaan
yang dilakukan di Indonesia.
 Biaya beasiswa, magang dan pelatihan.
 Piutang yang nyata-nyata tidak dapat ditagih.
 Sumbangan dalam rangka penanggulangan bencana
nasional yang ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah.
 Sumbangan dalam rangka penelitian dan pengembangan
yang dilakukan di Indonesia yang ketentuannya diatur
dengan Peraturan Pemerintah.
 Biaya pembangunan infrastruktur sosial yang
ketentuannya diatur dengan Peraturan Pemerintah.
 Sumbangan fasilitas pendidikan yang ketentuannya
diatur dengan Peraturan Pemerintah.
 Sumbangan dalam rangka pembinaan olahraga yang
ketentuannya diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Biaya Yang Tidak Boleh Dibebankan

Pasal 9 ayat (1) UU PPh yaitu untuk menentukan


besarnya PKP bagi WP dalam negeri dan BUT tidak
boleh dikurangkan, yaitu:
 Pembagian laba dengan nama dan dalam bentuk apa
pun seperti deviden, termasuk dividen yang
dibayarkan oleh perusahaan asuransi kepada
pemegang polis, dan pembagian sisa hasil usaha
koperasi.
 Biaya yang dibebankan atau dikeluarkan untuk
kepentingan pribadi pemegang saham, sekutu atau
anggota.
 Pembentukan atau pemupukan dana cadangan, kecuali
piutang tidak tertagih.
 Premi asuransi kesehatan, asuransi kecelakaan, asuransi
jiwa, asuransi dwiguna, dan asuransi beasiswa, yang
dibayar oleh WP orang pribadi, kecuali jika dibayar oleh
pemberi kerja dan premi tersebut dihitung sebagai
penghasilan bagi WP yang bersangkutan.
 Penggantian atau imbalan sehubungan dengan pekerjaan
atau jasa yang diberikan dalam bentuk natura dan
kenikmatan, kecuali penyediaan makanan dan minuman
bagi seluruh pegawai serta penggantian atau imbalan
dalam bentuk natura dan kenikmatan di daerah tertentu
dan yang berkaitan dengan pelaksanaan pekerjaan, yang
ditetapkan dengan Keputusan Menteri Keuangan.
 Jumlah yang melebihi kewajaran yang dibayarkan
kepada pemegang saham atau kepada pihak yang
mempunyai hubungan istimewa sebagai imbalan
sehubungan dengan pekerjaan yang dilakukan.
 Harta yang dihibahkan kepada keluarga sedarah
dalam garis keturunan lurus satu derajat dan kepada
badan keagamaan atau badan pendidikan atau
badan sosial atau pengusaha kecil, serta bantuan
atau sumbangan termasuk zakat.
 Pajak penghasilan
 Biaya yang dibebankan atau dikeluarkan untuk
kepentingan pribadi WP atau orang yang menjadi
tanggungannya.
 Gaji yang dibayarkan kepada anggota persekutuan,
firma, atau perseroan komanditer yang modalnya
tidak terbagi atas saham.
 Sanksi administrasi berupa bunga, denda dan
kenaikan, serta sanksi pidana.
Klasifikasi Biaya Sesuai Aturan Pelaksanaan UU
Perpajakan

Pasal 6 dan Pasal 9 UU PPh sebagai berikut:


 Biaya program BPJS
 Biaya pengobatan
 Biaya rekreasi dan olahraga
 Biaya perumahan
 Biaya kendaraan dinas
 Telp seluler karyawan
 Pajak masukan yang tidak dapat dikreditkan
 Pajak masukan sebagai pengurang penghasilan
bruto
 Pasal 4 PP No.138 Tahun 2000 yaitu pengeluaran
dan biaya yang tidak boleh dikurangkan dalam
menghitung besarnya PKP WP dalam negeri dan
BUT.
 Pemberian natura atau kenikmatan yang berkaitan
dengan pelaksanaan pekerjaan dapat dibebankan
dan bukan merupakan objekPPh Pasal 21.
 Biaya entertaiment, representasi, jamuan tamu
 Pajak daerah dan Retribusi daerah
Konpensasi Kerugian

Terdapat 2 macam kompensasi kerugian, yaitu:


 Kompensasi Horizontal
Kompensasi ini diterapkan apabila WP dalam tahun
pajak yang bersamaan memperhitungkan
kompensasinya antara penghasilan suatu bidang
usaha dengan kerugian dan bidang usaha lainnya.
 Kompensasi Vertikal
Kompensasi ini dilakukan dengan jalan WP
mengompensasikan penghasilan suatu tahun pajak
dengan kerugian tahun sebelumnya. UU PPh
menganut kompensasi vertikal.
Apabila penghasilan bruto dari WP dalam negeri dan
BUT setelah dilakukan pengurangan-pengurangan
sesuai dengan pengeluaran-pengeluaran yang
diperkenankan seperti di atas didapat kerugian,
maka kerugian tersebut dapat dikompensasikan
dengan penghasilan neto atau laba fiskal selama 5
tahun berturut-turut, dimulai sejak tahun pajak
berikutnya sesudah tahun didapatnya kerugian
tersebut.
Contoh:
Pada tahun 2009, PT A menderita kerugian fiskal
sebesar Rp.1.200.000.000 dalam 5 tahun berikutnya
laba (rugi) fiskal PT A sebagai berikut:
2010 Laba fiskal 200.000.000
2011 Rugi fiskal (300.000.000)
2012 Laba fiskal NIHIL
2013 Laba fiskal 100.000.000
2014 Laba fiskal 800.000.000
Kompensasi kerugian dilakukan sebagai berikut:
Rugi fiskal tahun 2009 (1.200.000.000)
Laba fiskal tahun 2010 200.000.000 (+)
Sisa rugi fiskal tahun 2009 (1.000.000.000)
Rugi fiskal tahun 2011 (300.000.000)
Sisa rugi fiskal tahun 2009 (1.000.000.000)
Laba fiskal tahun 2012 NIHIL
Sisa rugi fiskal tahun 2009 (1.000.000.000)
Laba fiskal tahun 2013 100.000.000 (+)
Sisa rugi fiskal tahun 2009 (900.000.000)
Laba fiskal tahun 2014 800.000.000 (+)
Sisa rugi fiskal tahun 2009 (100.000.000)
Akuntansi Pajak

 Rugi fiskal tahun 2009 sebesar Rp.100.000.000


yang masih tersisa pada akhir tahun 2014, tidak
boleh dikompensasikan lagi dengan laba fiskal tahun
2011. Sedangkan rugi fiskal 2011 sebesar
Rp.300.000.000 hanya boleh dikompensasikan
dengan laba fiskal tahun 2015 dan tahun 2016,
karena jangka waktu 5 tahun yang dimulai sejak
tahun 2012 berakhir pada akhir tahun 2016.
 Kompensasi kerugian ini hanya diberlakukan apabila WP
menyelenggarakan pembukuan. Dalam praktik
akuntansi komersial, kompensasi kerugian vertikal ini
dilakukan secara otomatis, yaitu dalam akun “saldo laba”
karena hasil operasi akhir tahun (penghasilan setelah
pajak) selalu dibukukan ke akun “saldo laba”. Sementara
dalam akuntansi pajak, perlu diperhatikan bahwa
penghitungan laba fiskal berada di jalur ekstra komtable
(di luar jalur pembukuan).
 Bagi perusahaan yang mempunyai cabang-cabang di luar
negeri, sesuai penjelasan Pasal 4 UU PPh, tidak dapat
mengonsolidasikan kerugian yang diderita cabang
karena laba cabang luar negeri ini selalu dikenakan pajak
tanpa memperhitungkan kerugian.
Rekonsiliasi (Koreksi) Fiskal

Rekonsiliasi (koreksi) fiskal adalah proses penyesuaian


atas laba akuntansi yang berbeda dengan ketentuan
fiskal untuk menghasilkan penghasilan neto atau
laba yang sesuai dengan ketentuan perpajakan.
Koreksi fiskal tersebut dapat dibedakan antara beda
tetap dan beda waktu/sementara.
 Beda tetap/permanen
Beda tetap terjadi karena adanya perbedaan
pengakuan penghasilan dan beban menurut
akuntansi dengan fiskal, yaitu adanya penghasilan
dan beban yang diakui menurut akuntansi namun
tidak diakui menurut fiskal, ataupun sebaliknya.
Beda tetap mengakibatkan laba atau rugi menurut
akuntansi (laba sebelum pajak/pre tax income) yang
berbeda secara tetap dengan laba atau rugi menurut
fiskal (taxable income).
Beda tetap biasanya terjadi karena peraturan perpajakan
mengharuskan hal-hal berikut dikeluarkan dari perhitungan
PhKP.
 Penghasilan yang dikenakan PPh bersifat final-Pasal 4 ayat
(2) UU PPh.
 Penghasilan yang bukan objek pajak-Pasal 4 ayat (3) UU PPh.
 Pengeluaran yang tidak berhubungan langsung dengan
kegiatan usaha-Pasal 9 ayat (1) UU PPh.
 Beban yang digunakan untuk mendapatkan penghasilan yang
bukan objek pajak dan penghasilan yang telah dikenakan PPh
bersifat final.
 Penggantian sehubungan dengan pekerjaan atau jasa yang
diberikan dalam bentuk natura.
 Sanksi perpajakan
 Beda waktu/sementara
Beda waktu merupakan perbedaan perlakuan akuntansi
dan perpajakan yang sifatnya temporer. Artinya, secara
keseluruhan beban atau pendapatan akuntansi maupun
perpajakan sebenarnya sama, tetapi tetap berbeda
alokasi setiap tahunnya.
Beda waktu biasanya bisa timbul karena perbedaan
metode yang dipakai antara fiskal dengan akuntansi:
1. Akrual dan realisasi
2. Penyusutan dan amortisasi
3. Penilaian persediaan
4. Kompensasi kerugian fiskal
Koreksi Positif dan Negatif dari Rekonsiliasi Fiskal

 Koreksi fiskal dapat berupa koreksi positif dan


negatif. Koreksi positif terjadi apabila laba menurut
fiskal bertambah. Koreksi positif biasanya dilakukan
akibat adanya sebagai berikut:
1. Beban yang tidak diakui oleh pajak-Pasal 9 ayat (1)
UU PPh.
2. Penyusutan komersial lebih besar dari penyusutan
fiskal.
3. Amortisasi komersial lebih besar dari amortisasi
fiskal.
4. Penyesuaian fiskal positif lainnya.
 Koreksi negatif terjadi apabila laba menurut fiskal
berkurang. Koreksi negatif biasanya dilakukan akibat
adanya hal-hal berikut:
1. Penghasilan yang tidak termasuk objek pajak-Pasal 4
ayat (3) UU PPh.
2. Penghasilan yang dikenakan PPh bersifat final- Pasal 4
ayat (2) UU PPh.
3. Penyusutan komersial lebih kecil daripada penyusutan
fiskal.
4. Amortisasi komersial lebih kecil daripada amortisasi
fiskal.
5. Penghasilan yang ditangguhkan pengakuannya.
6. Penyesuaian fiskal negatif lainnya.

Anda mungkin juga menyukai