Agama Islam
Pertemuan ke-2
Dari akar kata yang sama Islam juga berarti damai dan
aman. Hal ini mengandung makna bahwa orang yang
ber-Islam berarti orang yang masuk dalam perdamaian
dan keamanan. Dan seorang muslim adalah orang
yang mampu menciptakan perdamaian dan
keamanan bagi lingkungannya.
Pegertian tersebut dapat dipahami dari firman Allah
QS al Baqarah: 208; an Nisa’: 9; at Tahrim: 6; al
Anbiya: 105-107. Pengertian ini merupakan
konsekuensi dari makna al Islam yang berarti
penyerahan diri atau pasrah kepada Tuhan.
Dengan kepasrahan kepada Tuhan, maka
seseorang akan mampu mengembangkan seluruh
kepribadiannya secara menyeluruh untuk berdamai
dan menciptakan kedamaian serta keamanan di
muka bumi ini.
Hal ini disebabkan karena Tuhan mengajarkan
kepada manusia untuk menciptakan perdamaian
dan keamanan di muka bumi (QS al Baqarah: 208).
Ukuran kebenaran Agama
Firman Allah swt. QS Al Mu’minun [23]: 52-53
“sesungguhnya (agama tauhid) ini adalah agama kamu semua, agama yang
satu dan Aku adalah Tuhanmu, maka bertakwalah kepada-Ku, kemudian mereka
(pengikut-pengikut Rasul itu) menjadikan agama mereka terpecah belah menjadi
beberapa pecahan. Tiap-tiap golongan merasa bangga dengan apa yang ada
pada sisi mereka (masing-masing)”.
Agama yang benar sumbernya dari Allah swt. Allah telah mensyariatkan suatu
agama yang telah diwahyukan kepada Nabi Nuh as dan diwahyukan kepada
Nabi Muhammad saw dan yang telah diwasiatkan kepada Nabi Ibrahim as, Nabi
Musa, dan nabi Isa as, yakni tegakkanlah agama Allah swt.
Perhatikan firman Allah QS Al Syura [42]: 13
“Dia telah men syariatkan kamu tentang agama apa yang telah diwasiatkan-Nya
kepada Nuh dan apa yang telah Kami wahyukan kepadamu dan apa yang telah
kami wasiatkan kepada Ibrahim, Musa dan Isa yaitu: Tegakkanlah agama dan
janganlah kamu berpecah belah tentangnya. Amat berat bagi orang-orang
musyrik agama yang kamu seru mereka kepadanya. Allah menarik kepada
agama itu orang yang dikehendaki-Nya dan memberi petunjuk kepada
(agama)-Nya orang yang kembali (kepada-Nya)”.
Manfaat Agama dalam Era Globalisai
Manfaat agama dapat dilihat keyakinan keberagamaan
seseorang yang menimbulkan pengaruh-pengaruh positif dalam
menjalankan hidup. Manfaat agama dapat dilihat dari dua sisi:
1. Manfaat agama secara individual; totalitas individu baik secara
fisik maupun rohani.
Pertama, agama yang diimani dapat menumbuhkan sikap
optimis dalam menjalankan hidup dan kehidupan seseorang di
dunia ini; Kedua, agama yang diimani akan menimbulkan
ketentraman hati; ketiga, agama menjadi pencerahan pikiran.
2. Manfaat agama secara sosial., berkaitan dengan relasi-relasi
kehidupan bermasyarakat baik seagama maupun berbeda
agama. Oleh karena itu, orang yang paling baik adalah orang
yang memberikan manfaat pada orang lain.
Karakteristik Ajaran Islam
Rabbaniyah/Ketuhanan
Ajaran Islam memiliki sifat Rabbaniyah, dalam arti ajarannya bersumber
dari Allah swt. Pemelihara alam raya, bukan dari manusia. Yang halal
atau yang haram adalah yang dihalalkan atau dioharamkan Allah swt.
Insaniyah/Kemanusiaan
Ajaran Islam memiliki ciri Insaniyah, karena ia ditujukan kepada manusia,
maka semua tuntunan akan sesuai dengan fitrah manusia. Tidak satupun
yang tidak sejalan dengan jiwa dan kecenderungan positif manusia,
karena itu misalnya Islam tidak mengharamkan penyaluran kebutuhan
seksual, bahkan menilainya sebagai ibadah, selama tidak
mengantarkannya kepada runtuhnya nilai kemanusiaan. Atas dasar itulah
Islam melakukan pengaturan-pengaturan.
Asy-Syumul/Ketercakupan semua aspek
Islam menghadirkan ajaran yang bersifat menyeluruh,d alam arti tidak
ada persoalan yang diperlukan manusia guna kebahagiaannya di dunia
dan akhirat kecuali diatur dalam Islam.
Dapat dipastikan bahwa tidak ada suatu agama atau aliran yang memberi
tuntunan sempurna menyangkut segala aspek kehidupan manusia seperti
halnya Islam. Islam tidak hanya memberi tuntunan ritual, dalam rangka
hubungan dengan Tuhan, tetapi juga memberi bimbingan dalam hubungan
antara manusia, bahkan hubungan manusia dengan alam dan
lingkungannya. Tuntunan bukan menyangkut hal-hal besar saja, tetapi juga
yang kecil-kecil dan boleh jadi dianggap kecil atau remeh oleh sementara
orang, lalu yang “remeh” itu pun dikaitkan dengan Tuhan Yang Maha Esa.
Al Waqi’iyyah/Realistis
Karakteristik ini mengandung makna bahwa ajarannya dapat diamalkan oleh
semua manusia, apa dan bagaimana pun tingkat pendidikannya, keadaan
dan situasinya, serta kapan dan dimana pun ia berada.
Al Wasathiyah/Moderasi
Wasathiyah/moderasi dalam arti pertengahan menyangkut tuntunannya, baik
tentang Tuhan maupun tentang dunia, alam dan manusia. Islam
berpandangan bahwa di samping ada dunia yang nyata, ada juga akhirat
yang belum Nampak. Keberhasilan di akhirat, ditentukan oleh iman dan amal
di dunia. Manusia tidak boleh tenggelam dalam materialisme, tidak juga boleh
membumbung tinggi dalam spiritualisme. Islam mengajar umatnya agar
meraih materi duniawi, tetapi dengan nilai-nilai samawi.
AL Wudhuh/Kejelasan
Ini menunjukkan bahwa tuntunan Islam jelas dan logis. Tidak ada dogma
atau ajaran yang bertentangan dengan akal.
Qillat At-Taklif/Sedikitnya Tugas Keagamaan
Islam dengan tuntunanya tidak membebani manusia dengan tugasp-
tugas yang berat, tetapi juga tidak membebaninya dengan tugas-tugas
yang banyak.
At Tadarruj/Penahanan dan Keberangsuran
Ajaran Islam tidak diturunkan sekaligus, tetapi berangsur-angsur, tahap
demi tahap. Pada dasarnya yang pertama diturunkan adalah hal-hal
yang berkaitan dengan akidah.
‘Adam al Haraj/Tidak memberatkan
Allah tidak menghendaki adanya kesukaran dan kesempitan bagi
penganut agama Islam. Hakikat ini berkali-kali dikemukakan
penegasannya dalam al Qur’an, antara lain dalam QS al Hajj: 78, Allah
berfirman: “Dia sekali-kali tidak menjadikan untuk kamu dalam agama
suatu kesulitan”.
Sesuai dengan semua tempat dan situasi
Al Qur’an melukiskan masyarakat Islam sebagai masyarakat yang terus
maju dan berubah:
“…seperti tanaman yang mengeluarkan tunasnya maka tunas itu
menjadikan tanaman itu kuat lalu menjadi besarlah dia dan tegak lurus di
atas pokoknya; tanaman itu menyenangkan hati penanam-penanamnya
sehingga menjengkelkan hati orang-orang kafir”. (QS. Al Fath [48]: 29)
Ajaran Islam memiliki keluwesan/fleksibelitas sehingga mampu
menyesuaikan diri dengan perkembangan positif masyarakat, antara lain:
1. Islam memperkenalkan dua macam nilai ajarannya. Pertama, langgeng
tidak berubah dan ada juga kenyal/fleksibel. Yang pertama bersifat
universal dan abadi, berlaku kapan dan di mana saja, karena itu
dinamai juga ats Tsawabit. Kedua, praktis, local, dan temporal, juga
dinami al Mutaghayyirat, yaitu berubah.
Kedua jenis nilai ini diisyaratkan oleh firman-Nya QS Ali Imran [3]: 104
“Dan hendaklah ada di antara kau segolongan umat yang mengajak
kepada kebajikan, menyuruh kepada yang makruf dan mencegah dari
yang mungkar; merekalah orang-orang yang beruntung”.
Al Khair adalah nilai-nilai universal yang terdapat dalam al Qur’an
dan sunnah. Ini menyangkut ketentuan-ketentuan yang berkaitan
dengan keperluan manusia yang tidak dapat berubah. Misalnya,
tidak ada perubahan dalam insting manusia menyangkut ibu
bapaknya, atau kevemburuan perempuan terhadap perempuan
lain yang menjadi “madu”nya.
Adapun al Ma’ruf adalah sesuatu yang baik menurut pandangan
umum satu masyarakat selama tidak bertentangan dengan al khair.
Al Ma’ruf adalah hak/kebenaran yang diakui dan dengan kadar
yang diakui pula, dan ini tidak dapat diukur dengan waktu tertentu
karena dia terus menerus berubah dan berkembang sesuai dengan
perubahan kondisi dan perkembangan situasi masyarakat, tetapi
perubahan itu tidak boleh bertentangan dengan al Khair.
Al Khair atau ats Tsawabit memiliki peranan yang sangat besar
dalam menciptakan ketentuan-ketentuan rinci yang menjamin
kemaslahatan individu dan masyarakat dalam perkembangan dan
perubahan.
2. Islam tidak menekankan bentuk-bentuk formal menyangkut hal-
hal yang berkaitan dengan perkembangan ilmu dan teknologi.
Islam dalam hal tersebut lebih mengandalkan sisi substansi dan
jiwa ajaran, apalagi perkembangan ilmu dan teknologi tidak
mengakibatkan perubahan tujuan. Nabi saw. Tidak jarang
mengubah dan menerima hal-hal baru yang disodorkan kepada
beliau, lalu meninggalkan yang lama. Dari sini juga kita dapat
berkata bahwa Islam tidak mengkultuskan alat atau materi.
3. Islam memperkenalkan apa yang dinamai ijtihad, yakni uapay
sungguh-sungguh untuk menemukan hokum/tuntunan agama
melalui dalil-dalail al Qur’an dan sunnah. Ini membuka peluang
bagi lahirnya tuntunan baru yang sebelum ini belum dikenal.
Dalam konteks ini dapat dicatat bahwa Islam menetapkan,
dalam konteks tuntunan agama yang berkaitan dengan ibadah
mahdah (murni/ritual), maka ia harus diterima sebagaimana apa
adanya, sedang selebihnya maka setiap tuntunan hendaknya
dicari apa ‘illat/motivasinya. Bila ‘illat itu tiada, maka hukum
dapat berubah.
4. Islam memperkenalkan apa yang dapat dinamai “hak
veto”, yakni kendati telah ada ketetapan-ketetapan
hukum yang pasti, tetapi bila lahir dari
pelaksanaannya mudharat/kesulitan, maka ketetapan
hukum tersebut dapat diveto sehingga berganti, atau
berubah menjadi ringan, bahkan batal secara hukum.
Ini sejalan dengan ciri ‘Adam al Haraj yang telah
disinggung di atas.