Anda di halaman 1dari 7

Benih Pemikiran Negara

Islam
Rahmad Rizaldi Fakih Nur Sofyan
Annisa Indira Kelompok 6
Negara Islam Era Rasulullah

Pengurusan negara dilakukan seperti sebuah kepanitiaan. Jika ada suatu proyek negara, misalnya perang,
pengumpulan zakat dan lain-lain, nabi menunjuk seorang sahabat untuk memimpinnya, sedangkan sahabat
yang lain akan membantunya dalam struktur yang lepas. Semuanya dilakukan secara sukarela, tidak ada gaji,
tetapi bila ada keuntungan (misalnya pampasan perang) mereka akan mendapat bagiannya.
Pusat pemerintahan adalah Nabi, beliau memegang kekuasaan eksekutif, yudikatif dan legislatif. Jika Nabi
telah memutuskan, maka “sami’na wa ato’na” – dengarkan dan laksanakan. Tidak ada lembaga kontrol. Jika
Nabi salah, Allah sendiri yang akan menegur melalui wahyunya atau malaikat.
Sebelum mengambil keputusan, beliau kadang meminta pendapat para sahabat. Akan tetapi keputusan
terakhir mutlak ditangan Nabi, beliau tidak terikat dengan masukan dari sahabat. Bisa jadi keputusan Nabi
berbeda dengan masukan sahabat, tetapi setelah nabi menetapkan, wajib bagi umat Islam untuk taat kepada
keputusan Nabi.
Pemerintahan yang berpusat pada Nabi ini kacau saat Nabi wafat. Terjadi kebingungan, kepanikan diantara
para sahabat. Nabi tidak pernah menentukan siapa penggantinya, dengan cara bagaimana penggantinya
dipilih dan apa saja wewenang penggantinya. Akibat kebingungan ini, jenazah nabi baru dikuburkan tiga
hari setelah Nabi wafat.
Negara Islam Era Khulafaul Rasyidin

Khalifah pertama setelah Nabi adalah Abu Bakar, beliau dipilih dari hasil musyawarah para
sahabat.
Suksesi pertama ini adalah terobosan besar umat Islam dalam berpolitik yang belum ada
contohnya di berbagai kebudayaan lainnya. Ketika dunia masih memilih seorang Raja/Kaisar
karena ia adalah anak dari Raja/Kaisar sebelumnya, umat Islam memilih pemimpin karena
kualitas dan kapasitas pribadi pemimpin tersebut.
Prinsip suksesi ini terulang dalam periode Khulafaur Rasyidin ini, walau dengan metode yang
berbeda-beda. Berikut ini daftar Khalifah dalam periode ini beserta metode pemilihannya:
1. Abu Bakar, dipilih dalam musyawarah para sahabat.
2. Umar Bin Khatab, ditunjuk Abu Bakar sebelum beliau meninggal.
3. Usman Bin Affan, dipilih oleh tim formatur yang dibentuk Umar.
4. Ali bin Abi Thalib, dipilih dalam musyawarah para sahabat.
Negara Islam Era Khulafaul Rasyidin

Dalam organisasi pemerintahan, para sahabat mulai membangun struktur pemerintah secara profesional. Mulai
dibentuk tentara profesional dan aparat negara yang digaji negara, dibentuk semacam kementrian untuk lebih fokus
mengurusi kepentingan negara.
Dalam pengambilan keputusan, mereka meniru apa yang dijalankan Nabi yaitu pemusatan semua kekuasaan eksekutif,
legislatif dan yudikatif ditangan pemimpin tertinggi, yaitu Khalifah. Tidak ada lembaga kontrol. Jika Khalifah
dianggap salah, para sahabat yang lebih senior akan menegur Khalifah, akan tetapi hal itu tidak mengikat Khalifah.
Kekuasaan Khalifah adalah mutlak. Perbedaan pendapat akan selalu ada di sistem manapun. Dan dimana tidak ada
mekanisme kontrol untuk kepala negara, perbedaan pendapat bisa menjadi suatu hal yang berbahaya.
Pada akhir masa Khulafaur Rasyidin, Negara Islam telah menjelma menjadi imperium raksasa, menelan imperium
Romawi dan Persia yang ada sebelumnya. Kekuatan militer menjadi unsur penentu untuk penguasaan wilayah yang luas
tersebut.
Muawiyah yang secara de-facto menguasai sebagian besar militer negara dan berseberangan secara politik dengan
Ali, mengambil kesempatan saat Ali tewas dibunuh.
Ia mengangkat diri menjadi Khalifah. Ia mengakhiri tradisi suksesi pada periode Khulafaur Rasyidin, yaitu pemimpin
dipilih berdasarkan kapasitas pribadinya. Ia memulai periode dimana jabatan Khalifah direbut oleh kekuatan militer
dan diwariskan secara turun-menurun.
Dinasti Islam

Dalam sistem pemerintahan, Islam mengadopsi sistem yang terbukti stabil, yaitu sistem
kerajaan.
Khalifah adalah Raja/Kaisar versi Islam, ia menjadi Khalifah karena mewarisi jabatan ini
dari ayahnya yang Khalifah. Para bangsawan ditempatkan dalam posisi-posisi strategis
untuk melanggengkan kepentingan keluarga.
Dalam pemerintahan, Khalifah adalah memegang kekuasaan eksekutif, legislatif dan
yudikatif. Ia mungkin mengangkat beberapa ulama terkemuka sebagai penasehatnya, akan
tetapi kekuasaan mutlak ada di tangan Khalifah, ia tidak bisa dikontrol oleh apapun.
Dalam sejarah tercatat beberapa Dinasti berkuasa. Ceritanya sama, para pendiri dinasti
adalah tokoh kuat yang merebut kekuasaan dari penguasa sebelumnya dan kemudian
mewariskan kekuasaan itu kepada keturunannya.
Di masa ini muncullah banyak pemikir-pemikir negara islam bermunculan, salah sekian dari
mereka ialah: Ibnu Abi Rabi & Al-Mawardi
Ibnu Abi Rabi

Dengan melihat realitas politik yang dialami pada masa pemerintahan Abbasiyah saat itu, maka
tidak salah kalau kecenderungan Ibnu Abi Rabi dalam konteks ini -- dianggap oleh sejumlah
pemikir politik -- terpengaruh oleh suasana kerajaan yang saat itu memang sedang mencapai
puncak kejayaannya. Bagi Ibnu Abi Rabi bentuk yang paling ideal dari sebuah negara ialah
monarki dan seorang raja adalah orang yang memiliki segala keutamaan yang serba lebih dari
para warga negara. Seorang raja tidak dapat dianggap sebagai bagian dari warga negara dan
tidak harus tunduk kepada hukum negara sebagaimana warga negara yang lain, justru
rajalah yang merupakan sumber sekaligus pelaksana hukum.
Dari sejumlah pernyataan dan alasan yang dikemukakan oleh Ibnu Abi Rabi mengenai kekuasaan
istimewa raja tersebut, maka otoritas atau dasar kekuasaan seorang raja menurut Ibnu Abi Rabi
adalah mandat dari Tuhan.
Perspektif di atas, dapat dikemukakan bahwa Ibnu Abi Rabi adalah salah seorang pemikir politik
muslim pertama yang telah banyak memberikan kontribusi dalam bidang politik dan kenegaraan
dengan landasan moral-keagamaan.
Al-Mawardi

Al-Mawardi mendasarkan teorinya secara realistik, hal itu dapat dilihat dalam
pemikirannya yang tetap mempertahankan kepala negara harus berbangsa Arab
dari suku Quraisy. Dan yang melatar belakangi adalah situasi politik pada saat itu,
orang-orang Persi dan Turki terang-terangan akan merebut kekuasaan dari tangan
Abbasiyah, dan merekapun bekerja sama dengan Syiah untuk menggulingkannya.
Karenanya, status quo perlu dipertahankan agar terjamin stabilitas politik.

Anda mungkin juga menyukai