Anda di halaman 1dari 12

PERAN KEBANGSAAN

MUHAMMADIYAH
DI INDONESIA
KELOMPOK 5
A. Dakwah Kultural Kecakapan Hidup
Berbasis Pengguna Jasa AUM
Di abad kedua usia gerakan, Muhammadiyah sudah waktunya
mengelola jasa amal usaha muhammadiyah (AUM), baik bidang
pendidikan, kesehatan, atau pun lainnya.
Dakwah kecakapan hidup ialah dakwah yang tidak hanya berpusat
pada ranah kognisi atau pengetahuan, melainkan menyasar
kemampuan atau kecakapan hidup, dalam beribadah dan memenuhi
kebutuhan hidup masyarakat yang menjadi objek dakwah.
Selama ini, aktvis gerakan terbatas dipahami sebagai anggota
persyarikatan, terutama pimpinan, yang setiap lima tahun sekali
berganti posisi.
Kini sudah waktunya dakwah kecakapan hidup menempatkan
pengelula AUM sebagai inti gerakan. Sassaran dakwahnya ialah
stakeholder yang terdiri dari murid dan mahasiswa, pasien, anak asuh
panti dan keluarga besarnya.
B. Memperluas Tradisi Sosio-Ritual
dalam Kehidupan Berbangsa
Tradisi sosio-ritual adalah suatu kegiatan sosial yang dimaknai atau
dipahami sebagai salah satu bentuk dari ibadah kepada Allah.
Kegiatan sosio-ritual mencakup pembinaan kesehatan, pendidikan,
santunan sosial, dan kedermawanan sosial (filantropi). Sejak itu
kegiatan sosial yang diniatkan sebagai ibadah ditempatkan sebagai
bagian dari kegiatan ibadah itu sendiri, sehingga pastisipasi publik
lebih didasari oleh niat ikhlas, bukan karena kepentingan.
Saatnya dipertimbangkan untuk memperluas tradisi sosio-ritual sebagai
praktik berorganisasi dalam gerakan Muhammadiyah layaknya virus
yang menyebar menjadi etika kehidupan kebangsaan negeri ini.
C. Keunikan Perkembangan
Persyarikatan di Daerah
Dalam penjelasan Mukaddimah AD, pokok pikiran keenam gerakan ini
membagi masyarakat ke dalam 2 kelompok, yaitu:
• Umat dakwah ialah umat atau kelompok orang yang belum
sepenuhnya menerima Islam sebagai agamanya.
• Umat ijabah ialah umat atau kelompok orang yang sudah menerima
Islam sebagai agamanya.
Perluasan gerakan di suatu daerah selalu bersifat unik dan spesifik
serta bergantung pada tokoh lokal dan problem umat di daerah yang
bersangkutan. Seperti setiap orang berbeda cara hidup di ruang yang
berbeda, berbeda pula cara dan pemicu seseorang untuk berubah
atau berkembang menjadi aktivis gerakan ini.
D. Indikator Kesuksesan Persyarikatan
Aktivis persyarikatan kini mulai merasa tersaingi oleh gerakan sejenis
atau tradisionalis bukan karena gagal, tapi akibat keberhasilan yang
kurang disadari detempatkan sebagai strategi dakwah kultural
kecakapan hidup tersebut. Di saat yang sama, nilai sukses AUM dilihat
dari banyaknya alumni yang menjadi aktivis Persyarikatan .
Saat warga negeri ini “memaksa” meniru apa yang dilakukan
Muhammadiyah tapi tetap enggan mengaku Muhammadiyah, apakah
itu berarti kegagalan gerakan ini atau sebaliknya? Berapa kali dalam
setahun pimpinan AUM / PTM berdialog dengan orang tua murid AUM /
keluarga pasien / warga sekitar dalam rangka dakwah?
E. Belajar dari Sukses Ranting dan
Cabang
Banyak kisah sukses di daerah atau cabang tentang bagaimana
Muhammadiyah diterima oleh publik umat dan berkembang. Hal ini
menunjukkan kearifan lokal, peran tokoh lokal, dan kemampuan
gerakan ini menyelesaikan problem yang dihadapi oleh umat lokal.
Kita bisa belajar dari ranting dan cabang yang maju di berbagai daerah
di Jawa dan luar Jawa. Di dalamnya, dengan mudah kita temukan
beberapa aktivis yang terus bekerja dan dengan setia memelihara
“tradisi” secara lestari. Dan, dengan “tradisi” itu penduduk dan warga
setempat menyatukan diri sebagai bagian dari komunitas spiritual.
F. “Pesaing Baru” Muhammadiyah
Apa yang dipelopori Kiai Dahlan seratus tahun lalu, kini sudha menjadi
tradisi sosio-ritual pemeluk Islam di negeri ini. Aksi-aksi kemanusiaan
yang dilandasi cinta kasih itu pula yang antara lain membuat Dr.
Soetomo kepincut, lalu menyatakan diri menjadi prngikut
Muhammadiyah. Sementara itu, aktivis gerkan ini “ merasa” terancam
ketika warga negeri ini meniru apa yang dilakukan Muhammadiyah
(lihat kasus aktivis pegawai Kmenag dan PTAIN), akibat terperangkap
pada bentuk AUM bukan pada isi dari amal usaha tersebut.
Kini muncul beragam sekolah model baru (sekolah alam, kuttab
SIT(sekolah Islam terpadu)) seolah mendelegitimasi marwah gerakan
ini. Tapi apakah bisa bersaing dalam situasi budaya yang semakin
terbuka, terutama saat MEA benar-benar berfungsi.
G. Gerakan Budaya Dakwah Luar
Ruang
Dakwah sebenarnya merupakan kegiatan edukasi luar ruang,
sementara praktik pendidikan lebih bekerja dalam ruang. Semua
kegiatan itu merupakan kegiatan budya, yaitu suatu kegiatan yang
fokus pada pengembangan mental atau cara pandang dan sikap hidup.
Sama halnya, kegiatan Muhammadiyah termasuk kegiatan budaya.
Muhammadiyah merupakan gerakan budaya yang sering di
salahpahami, bahkan oleh aktivisnya sendiri. Seluruh kegiatan gerakan
ini merupakan inovasi kreatif yang sulis dicari padanannya di masa
lalu.
Pendidikan atau dakwah adalah proses sosial-budaya untuk
mengembangkan atau mengubah tata pikir dan tata kelola kehidupan
secara bertahap.
H.Pembelajar Alternatif “Mletik”
Perlu pembelajaran model baru yang lebih bermutu, produktif, dan
spiritual memanfaatkan model Boarding School (BS) atau Madrasah
Boarding School (MBS) sebagai media percepatan atau akselerasi (SD
cukup 4 tahun, SMP 2 Tahun, SMA/SMK 2 tahun). Melalui apa
yangdisebut MBS Prambanan kegiatan amal Amal Bakti Sosial (ABS),
bisa dikembangkan pelatihan kecakapan hidup mandiri, baik di bidang
sosial ekonomi, juga di bidang ubudiah dengan memanfaatkan
kemampuan pelatihan kepanduan Hizbul Wathan.
Sintesis pembelajaran BS (Boarding School)/MBS (madrasah boarding
school), Home Schooling, sekolah alam, kuttab, mengikuti jenjang
KKNI bagi pembelajaran lebih peroduktif, efektif, efisien. Sistematisasi
majelis taklim distandarisasi seperti kejar paket hingga model
Universitas Terbuka.
I. Reposisi Perempuan sebagai Simbol
Modernitas
Kini, sudah biasa perempuan tampil di ruang publik, bahkan sebagai
pemimpin pilitik di daerah. Apa yang dilakukan muhammadiyah 100
tahun yang lalu terhadap peran publik perempuan itu dianggap aneh,
bahkan dituduh menyimpang dari ajaran Islam. Sementara kini publik
sudah familiar dengan peran publik perempuan, ‘Aisyiah, perempuan
Muhammadiyah, cenderung kurang “greget”, dan terkesan “ketinggalan
zaman”.
Reposisi perempuan dalam gerakan Islam dan jabatan publik bisa
membawanya ke tengah pusaran peradaban modern dan global
dengan segala dampak budaya yang tak seluruhnya sesuai doktrin
Islam dalam tafsir-tafsir klasik. Penolakan atas praktik-praktik tak
bermoral dan pelanggaran ajaran Islam dalam kebudayaan
kontemporer, tidaklah memadai kecuali diikuti strategi perdaban
futuristik.
J. Duet Kiai Dahlan dan Nyai Walidah
Kaum wanita telah berada di tengah pusaran peradaban modern dan
global dengan segala dampak kebudayaan yang hampir tak
terbendung. Kita tidak bisa hanya menolak praktik-praktik tak bermoral
dan pelanggaran doktrin ajaran Islam, namun yang lebih diperlukan
ialah bagaimana Muhammadiyah dan ‘Aisyiah merancang sebuah
peradaban futuristik yang bisa menjadi pemandu umat dalam
menghadapi peradaban global yang terbuka, hedonis, dan yang
mungkin cenderung barbar. Perlu penafsiran baru yang mungkin bisa
disebut liberal seperti yang pernah dilakukan Kiai Ahmad Dahlan dan
istrinya, Siti Walidah. Namun, untuk itu, Muhammadiyah dan ‘Aisyiah
harus bersedia menerima cemoohan seperti dulu dialami oleh duet Kiai
Ahmad Dahlan dan Siti Walidah.
Terima Kasih

Anda mungkin juga menyukai