Anda di halaman 1dari 9

Riba

 DEFINISI
Secara bahasa, riba = tambahan (secara kuantitas atau kualitas)

Secara istilah, terdapat pendekatan definisi mengenai riba.


 Ibn Hajar al Asqalani (773 - 852 H / 1372 – 1449 M) seorang
ulama ahli hadist madzhab syafi’i “ bahwa esensi riba adalah
tambahan baik itu berupa barang ataupun uang”
 Muhammad ibn Abdullah al Arabi al Maliki “ setiap tambahan
yang diambil tanpa adanya ‘iwad (pengganti) yang dibenarkan
syariah (hukum islam).
 Imam al araby “ semua tambahan yang tidak disertai dengan
adanya kompensasi
 Imam Suyuthi “tambahan yang dikenakan didalam mu’amalah,
uang maupun makanan, baik kadar (jumlah/bentuk/jenis)
maupun waktunya.
Esensi riba
 Prof. DR. M. Quraish Shihab, riba = Tambahan yang
mengandung penganiayaan (eksploitasi /
memberatkan / merugikan) …. Yang disebabkan
pinjaman, atau transaksi lain (pertukaran barang
dengan barang sejenis).
 Bentuk tambahan  uang / barang

 Contoh : pinjam Rp. 100  wajib bayar 120


tukar 1 gram emas 20 karat  2 gram emas 20
karat

 tukar 1 gram emas 24 karat  2 gram emas 20 karat


(bukan riba karena secara kualitas berbeda)
(hukum dasar riba = haram (tidak bisa dibantah)

1. Qs. Al Baqarah 275 wa ahalallahu al b’aia wa harrama ar


riba
2. Hadist yang diriwayatkan Ali ibn Abi Thalib ra. Kullu
qardhin jarra manfa’atan fahuwa riba“ setiap pinjaman
yang membawa manfaat keuntungan adalah riba”
3. Pendapat ulama
 Imam Ibn Hazm Al andalusi “ setiap pinjam meminjam yang
didalamnya disyaratkan sebuah keuntungan termasuk riba”
 Imam Thabari “ riba merupakan jumlah yang ditambahkan bagi
pokok modal sipemilik atas penangguhan jatuh tempo untuk
debiturnya, dan penangguhan atas pelunasan hutang”
 Dstnya…
Macam riba
1. Riba Qardh  tambahan yang disyaratkan pada
hutang
2. Riba Jahiliyah /nasi’ah  tambahan yang
disyaratkan pada hutang (pinjaman) karena
tidak mampu melunasi pada saat jatuh
tempo
3. Riba Fadhl  tambahan pada pertukaran
barang sejenis
Praktik riba pada masa sebelum Islam

 Pandangan Ibn al arabi (w.543 H/1148 M)


Pada masa pra – Islam, praktik riba terdiri atas pelipatgandaan uang
dan barang serta umur ternak. Pada saat pinjaman telah jatuh
tempo, sementara debitur belum sanggup melunasi, maka hutang/
pinjaman tersebut akan digandakan (dari pinjaman semula).

Pinjam 100  120 150 dst nya


Pinjam anak sapi  bayar sapi dewasa, dstnya

Tambahan yang disyaratkan cukup memberatkan debitur (apabila


dikonotasikan pada zaman sekarang, maka tambahan tersebut dapat
di identikkan dg suku bunga yang terlampau tinggi, diatas
kewajaran)
Kajian tentang praktik pembungaan uang
 Bunga uang  tambahan atas pinjaman
 Sifat  baik pinjaman tersebut menghasilkan nilai
tambah (laba usaha) atau tidak, bunga tetap wajib
dibayar  bentuk penganiayaan.

 Maunya  jika usaha untung = bayar bunga, jika


tidak = tidak bayar bunga..
 Jika demikian, bukan berati malah debitur (nasabah)
yang menganiaya pihak bank ..??
 Maka penetapan suku bunga “wajar” (bukan bentuk
eksploitasi) dapat menjembatani kepentingan
debitur (nasabah) dan kreditur (bank).
 Maka…penetapan kebijakan suku bunga tersebut
menjadi tanggung jawab PEMERINTAH melalui bank
sentral…

Analogi :
jika suku bunga bank terlampau tinggi, maka usaha
menjadi lesu…

 Jika suku bunga bank terlampau rendah, maka terjadi


inflasi (permintaan akan barang yg tidak terkontrol /
demand pull inflation)
Kesimpulan

1. Dengan memilih lembaga keuangan syariah,


maka sudah termasuk tindakan ihtiar untuk
menghindari perbuatan aniaya.

2. Memilih lembaga keuangan konvensional


(ada pendapat yg membolehkan ada yg
melarang ). Sebatas tidak ada tindakan
aniaya maka diperkenankan.

Anda mungkin juga menyukai