Anda di halaman 1dari 17

Kompetensi PTUN Dalam Sengketa Pengadaan

Tanah Berdasarkan UU Nomor 51 Tahun 2009


PTUN
Tanah adalah sumber daya alam yang terbatas, memiliki nilai yang tinggi
dan merupakan fondasi sebuah pembangunan. Apabila ada masalah tanah, maka hal
ini merupakan masalah yang menyangkut hak rakyat yang paling dasar. Tanah dalam
pengertian yuridis terdapat di dalam Pasal 4 ayat (1) Undang-Undang Pokok Agraria
disebut sebagai permukaan bumi. Tanah di Indonesia dapat digunakan oleh orang-
orang, baik sendiri maupun bersama-sama dengan orang-orang lain serta badan-
badan hukum. Dalam hal ini, berarti semua orang dan badan-badan hukum diberikan
kesempatan yang sama untuk memperoleh sesuatu hak atas tanah serta untuk
mendapat manfaat dari hasilnya, baik bagi sendiri maupun keluarganya. Bukan hanya
bernilai ekonomis saja, tanah juga berfungsi sosial.
Dalam usaha untuk mendapatkan tanah dalam rangka penyelenggaraan
atau keperluan pembangunan, harus dilaksanakan dengan hati-hati dan dengan cara
bijaksana. Pengadaan tanah merupakan langkah pertama yang dapat dilakukan
bilamana pemerintah memerlukan sebidang tanah untuk kepentingan umum.
Pengadaan tanah ialah kegiatan menyediakan tanah dengan cara memberi
ganti kerugian yang layak dan adil kepada pihak yang melepaskan tanah, bangunan,
tanaman, dan benda-benda yang berkaitan dengan tanah atau dengan pencabutan
hak atas tanah. Hal ini dijelaskan di dalam Pasal 1 ayat (2) Undang-Undang Nomor 2
Tahun 2012 Tentang Pengadaan Tanah bagi Pembangunan untuk Kepentingan Umum.
Kemudian tanah untuk kepentingan umum yang dimaksud yaitu diantaranya:
pertahanan dan keamanan nasional; jalan umum, jalan tol, terowongan, jalur
kereta api dan fasilitas operasi kereta api, waduk, bendungan, bendung, irigasi,
saluran air minum, saluran pembuangan air dan sanitasi pembangunan pengairan
lainnya; pelabuhan, bandar udara dan terminal; infrasturktur, minyak gas dan
panas bumi; pembangkit, transmisi, gardu, jaringan dan distribusi tenaga listrik;
jaringan telekomumikasi dan informatika pemerintah; tempat pembuangan dan
pengelolaan sampah; rumah sakit Pemeritah/Pemerintah Daerah; fasilitas
keselamatan umum; tempat pemakaman umum Pemerintah/Pemerintah Daerah;
fasilitas sosial, fasilitas umu dan ruang terbuka hijau publik; cagar alam dan
cagar budaya; kantor Pemeritah/Pemerintah Daerah/desa; penataan pemukiman
kumuh perkotaan dan/atau konsolidasi tanah, serta perumahan untuk masyarakat
berpenghasilan rendah dengan status sewa; prasarana pendidikan atau sekolah
Pemerintah/Pemerintah Daerah; prasarana olahraga Pemerintah/Pemerintah
Daerah; pasar umum dan lapangan parkir umum.
 1. Bagaimana kompetensi Pengadilan Tata Usaha Negara
dalam mengadili sengketa pengadaan tanah berdasarkan
Undang-Undang No. 51 Tahun 2009 Tentang Peradilan Tata
Usaha Negara?
 2. Bagaimana proses penyelesaian sengketa pengadaan
tanah oleh Pengadilan Tata Usaha Negara ditinjau dari kasus-
kasus sengketa pengadaan tanah?
 Keputusan Tata Usaha Negara adalah suatu penetapan tertulis
yang dikeluarkan oleh badan atau pejabat tata usaha negara yang
berisi tindakan hokum tata usaha negara yang berdasarkan
peraturan perundang-undangan yang berlaku, yang bersifat
konkret, individual, dan final, yang menimbulkan akibat hukum
bagi seseorang atau badan hokum perdata.
 Dalam proses penyelenggaraan pengadaan tanah, seorang
pejabat atau badan tata usaha negara, akan mengeluarkan
keputusan tata usaha negara untuk melaksanakan pengadaan
tanah tersebut.
 Oleh karena itu, yang menjadi objek sengketa/objek gugatan
adalah surat keputusan tata usaha negara untuk melaksanakan
pengadaan tanah bagi kepentingan umum.
 Sehingga hal ini menjadi konsekuensi logis sebagai Kewenangan
Absolut PTUN untuk memeriksa, mengadili dan memutus perkara
sengketa pengadaan tanah.
 Berdasarkan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2012 tentang Pengadaan Tanah. Pengadaan
tanah adalah kegiatan menyediakan tanah dengan cara memberi ganti kerugian yang
layak dan adil kepada pihak yang berhak
 Bentuk sengketa Pengadaan Tanah yang sering muncul yaitu

1. Sengketa penetapan lokasi


2. Sengketa penetapan ganti rugi
3. Konsinyasi
4. Sengketa pidana pemalsuan dokumen tanah dan penggelapan
5. Sengketa hak ulayat
6. Sengketa lingkungan hidup

 Perolehan tanah untuk kepentingan umum diatur berdasarkan pada Undang-Undang


Nomor 2 Tahun 2012 tentang Pengadaan Tanah bagi Pembangunan untuk Kepentingan
Umum, yang diatur lebih lanjut pelaksanaannya di dalam Peraturan Presiden Republik
Indonesia Nomor 71 Tahun 2012 tentang Penyelenggaraan Pengadaan Tanah Bagi
Pembangunan Untuk Kepentingan Umum.
 Inventarisasi dan identifikasi penguasaan, pemilikan,
penggunaan dan pemanfaatan tanah;
 Penilaian ganti kerugian;
 Musyawarah penetapan ganti kerugian;
 Pemberian ganti kerugian; dan
 Pelepasan tanah instansi.
 Penilaian
besarnya nilai ganti kerugian atas tanah yang terkena
pengadaan tanah untuk kepentingan umum ditetapkan oleh Penilai.
 Nilai ganti kerugian berdasarkan hasil penilaian Penilai tersebut menjadi
dasar musyawarah penetapan ganti kerugian antara Lembaga Pertanahan
dengan pihak yang berhak atas ganti rugi. Hasil kesepakatan dalam
musyawarah menjadi dasar pemberian ganti kerugian kepada pihak yang
berhak. Jika tidak terjadi kesepakatan mengenai bentuk dan/atau
besarnya ganti kerugian, pihak yang berhak dapat mengajukan
keberatan kepada pengadilan negeri setempat dalam waktu paling
lama 14 hari setelah musyawarah penetapan ganti kerugian.
 Jika ada pihak yang keberatan dengan putusan pengadilan negeri, maka
pihak yang keberatan tersebut, dalam waktu paling lama 14 hari kerja,
dapat mengajukan kasasi kepada Mahkamah Agung Republik
Indonesia. Putusan pengadilan negeri/Mahkamah Agung yang telah
memperoleh kekuatan hukum tetap menjadi dasar pembayaran ganti
kerugian kepada pihak yang mengajukan keberatan.
Kemudian siapapun tidak dapat digusur dengan paksa karena
berdasarkan Pasal 5 Undang-Undang No. 2 Tahun 2012 Tentang
Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan Untuk Kepentingan Umum,
pemilik tanah wajib melepaskan tanahnya pada saat
pelaksanaan pengadaan tanah untuk kepentingan umum setelah
pemberian ganti kerugian atau berdasarkan putusan pengadilan
yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap. Jadi, selama
belum ada kesepakatan mengenai ganti kerugian dan belum ada
pemberian ganti kerugian, siapapun tidak wajib melepaskan
tanahnya.
Penyelesaian Sengketa Pengadaan Tanah antara masyarakat Bukit Duri dengan Pemerintah
Provinsi DKI Jakarta dengan gugatan jenis class action. Dalam hal tersebut yang menjadi objek
sengketa dalam Putusan Nomor 205/G/2016/PTUN-JKT tersebut yaitu Surat Kepala Satuan Polisi
Pamong Praja Kota Administrasi Jakarta Selatan Nomor: 1779/-1.758.2. Kedua yaitu Surat Kepala
Satuan Polisi Pamong Praja Kota Administrasi Jakarta Selatan Nomor: 1837/-1.758.2. Ketiga yaitu
Surat Kepala Satuan Polisi Pamong Praja Kota Administrasi Jakarta Selatan Nomor: 1916/-1.758.2.
Yang mana surat keputusan tata usaha negara tersebut perihal Surat Peringatan I (SP I), Surat
Peringatan II (SP II), dan Surat Peringatan III (SP III) yang ditujukan kepada para
pemilik/penghuni di Bantaran Kali Ciliwung, Kelurahan Bukti Duri, Kecamatan Tebet, Jakarta.

Bahwa berdasarkan dalil-dalil yang dikemukakan oleh Para Penggugat, yaitu objek gugatan
telah menimbulkan akibat hukum yang merugikan kepentingan Para Penggugat. Sebagaimana
dinyatakan dalam Pasal 1 angka 9 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata
Usaha Negara jo. Undang-Undang Nomor 51 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua atas Undang-
Undang Nomor 5 Tahun 1986 yaitu keputusan tata usaha negara sebagaimana yang dimaksud
bersifat konkret, individual, dan final, telah menimbulkan akibat hukum yang merugikan bagi
Para Penggugat. Dalam hal ini Para Penggugat mendalilkan bahwa objek gugatan harus
dibatalkan karena bertentangan dengan undang-undang dan bertentangan dengan asas-asas
umum pemerintahan yang baik (AUPB). Yaitu bertentangan dengan Undang-Undang Nomor 30
Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan, Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang
Hak Asasi Manusia, Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan
Pengelolaan Lingkungan Hidup, dan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2012 tentang Pengadaan
Tanah bagi Pembangunan untuk Kepentingan Umum.
PTUN Jakarta mengabulkan keseluruhan gugatan Para Penggugat
yaitu Dalam Penundaan mewajibkan Tergugat untuk tidak
melanjutkan rencana penerbitan Surat Perintah Bongkar Paksa untuk
wilayah Bukti Duri RW. 9, 10, 11, dan 12, Kecamatan Tebet, Jakarta
Selatan, dan memerintahkan Tergugat untuk tidak melakukan
kegiatan apapun yang terkait dengan pelaksanaan penertiban
bangunan yang terletak di Bantaran Kali Ciliwung RW. 9, 10, 11, dan
12, Kecamatan Tebet, Jakarta Selatan. Kemudian Dalam Pokok
Perkara mengabulkan gugatan Para Penggugat untuk seluruhnya,
menyatakan batal atau tidak sah menerbitkan objek gugatan. Oleh
karena itu, dalam hal ini dalam pertimbangannya majelis hakim pun
berpendapat, bahwa Pemrov DKI Jakarta tidak melaksanakan
pembebasan tanah warga Bukti Duri berdasarkan tahap-tahap yang
diperintahkan dalam Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2012 tentang
Pengadaan Tanah, dan Pemprov DKI wajib memberikan ganti rugi
yang layak kepada warga Bukit Duri akibat dari diterbitkannya
objek gugatan.
Berdasarkan keterangan pihak PTPN XII Malangsari Banyuwangi, tahun 2000 lahan yang telah
dikelola warga tersebut pengelolaannya diserahkan oleh pemerintah kepada PTPN XII, tetapi
proses pemberian hak pengelolaan lahan tersebut tidak diketahui oleh warga. PTPN XII
mengklaim mempunyai hak mengelola tanah seluas kurang lebih 3.000 hektar.
Ketika sampai batas waktu akhir tersebut warga tidak bersedia meninggalkan lahan dengan
alasan bahwa perjanjian penyerahan lahan yang mereka lakukan kepada PTPN XII dengan
cara terpaksa karena intimidasi oleh PTPN XII yang cenderung menggunakan alat keamanan
negara atau polisi untuk menakut-nakuti mereka.
Secara hukum, penguasaan tanah yang berupa tanah yang bukan merupakan hak pihak lain
(tanah bebas) dapat dibenarkan secara hukum sebab Hukum Agraria mengenal Hak Adat
(pasal 5 UU No. 5/1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria), di mana tanah Hak
Adat muncul dengan cara penguasaan terhadap tanah bebas (bukan hak atau milik pihak
lain) yang kemudian dikuasai secara turun menurun sehingga dinamakan menjadi tanah Hak
Adat berdasarkan norma adat di daerah masing-masing.
Pasal 8 PP No. 36 / 1998 tentang Penertiban dan Pendayagunaan Tanah Terlantar menentukan
bahwa tanah yang sudah diperoleh penguasaannya, tetapi belum diperoleh hak atas tanah
sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku dapat dinyatakan sebagai
tanah terlantar, apabila tanah tersebut oleh pihak yang telah memperoleh dasar penguasaan
tidak dimohon haknya atau tidak dipelihara dengan baik (ayat 1). Jika hanya sebagian dari
bidang tanah yang sudah diperoleh dan dikuasai sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang
memenuhi kriteria terlantar, maka hanya bagian bidang tanah tersebut yang dapat
dinyatakan terlantar (ayat 2).
 Jadi, pemberian hak pengeloaan atas lahan yang telah ditempati warga
tersebut kepada PTPN XII merupakan bentuk pelanggaran prinsip-prinsip
keadilan sosial sebab melanggar asas partisipasi sosial sebab tidak
dilakukan proses yang terbuka. Artinya, jika benar bahwa PTPN XII telah
memperoleh HGU dilokasi tanah yang telah dikuasai warga maka
perolehan HGU tersebut cacat hukum karena dilakukan dengan itikad
tidak baik atau dengan cara sembunyi-sembunyi, meski mungkin pernah
ada publikasi secara formal tapi malah mengabaikan warga selaku pihak
yang lebih dulu menguasai dan memelihara tanah tersebut. Setelah PTPN
XII memperoleh Hak Pengelolaan maka barulah PTPN XII berkomunikasi
dengan warga dengan cara mengintimidasi orang-orang kecil yang awam
hukum tersebut. Fakta seperti itu oleh hukum disebut sebagai
penyalahgunaan keadaa dengan cara mempergunakan kekuasaan untuk
menekan masyarakat yang lemah.
 Sebenarnya bagi pemerintah, kasus ini mudah diselesaikan jika tidak ada
kebijakan politik yang memihak kepada PTPN XII. Seandainya negara c.q.
pemerintah bersedia memberikan hak milik atas tanah kepada rakyat
maka hal itu sama mudahnya dengan dikeluarkannya HGB, HGU ataupun
Hak Pakai atas tanah negara kepada para korporasi. Kasus ini hanya
persoalan kehendak otoritas pemberi hak-hak atas tanah yang masih
selalu bersikap tidak adil kepada rakyat.
 Atas dasar ketidakadilan, itikad tidak baik, serta penyalahgunaan keadaan
seperti itulah maka warga dapat menggugat pemerintah dan PTPN XII
agar diperlakukan adil dalam memiliki hak atas tanah atau lahan tersebut.
Selama ini, PTPN XII mendalilkan mempunyai sertifikat Hak Guna
Usaha (HGU) tetapi tetap saja merahasiakannya. Hal ini
menimbulkan pertanyaan mendasar; jika ada kejujuran dalam kasus
tersebut mengapa harus merahasiakan bukti hak? Ini sebagai
indikasi awal bahwa tidak ada transparansi dalam terbitnya hak
pengelolaan bagi PTPN XII, yang ada kaitannya dengan prinsip-
prinsip Hukum Agraria yang akan dijabarkan berikutnya ini.

Suatu Hak Pengelolaan jika dirupakan dalam bentuk HGU atas


tanah, berdasarkan pasal 28 – 34 UU No. 5 / 1960 (UUPA) hanya bisa
terjadi atas tanah yang langsung dikuasai negara dengan jangka
waktu paling lama 35 tahun (untuk perusahaan) dan dapat
diperpanjang lagi selama 25 tahun. Selanjutnya aturan soal itu dapat
dilihat dalam PP No. 40/1996 tentang HGU, HGB dan Hak Pakai atas
Tanah.
Pengadaan tanah ialah kegiatan menyediakan tanah dengan cara
memberi ganti kerugian yang layak dan adil kepada pihak yang
melepaskan tanah, bangunan, tanaman, dan benda-benda yang
berkaitan dengan tanah atau dengan pencabutan hak atas tanah. Hal
ini dijelaskan di dalam Pasal 1 ayat (2) Undang-Undang Nomor 2
Tahun 2012 Tentang Pengadaan Tanah bagi Pembangunan untuk
Kepentingan Umum.
Dalam usaha untuk mendapatkan tanah dalam rangka
penyelenggaraan atau keperluan pembangunan, harus dilaksanakan
dengan hati-hati dan dengan cara bijaksana. Pengadaan tanah
merupakan langkah pertama yang dapat dilakukan bilamana
pemerintah memerlukan sebidang tanah untuk kepentingan umum.
Untuk menghindari sengketa yang berpotensi timbul karena
tindakan pengadaan tanah ini, sudah seharusnya pemerintah dan
pihak terkait untuk mengikuti prosedur sebagaimana dinyatakan
dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku.
THANK YOU FOR YOUR ATTENTION

Anda mungkin juga menyukai