Bahwa berdasarkan dalil-dalil yang dikemukakan oleh Para Penggugat, yaitu objek gugatan
telah menimbulkan akibat hukum yang merugikan kepentingan Para Penggugat. Sebagaimana
dinyatakan dalam Pasal 1 angka 9 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata
Usaha Negara jo. Undang-Undang Nomor 51 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua atas Undang-
Undang Nomor 5 Tahun 1986 yaitu keputusan tata usaha negara sebagaimana yang dimaksud
bersifat konkret, individual, dan final, telah menimbulkan akibat hukum yang merugikan bagi
Para Penggugat. Dalam hal ini Para Penggugat mendalilkan bahwa objek gugatan harus
dibatalkan karena bertentangan dengan undang-undang dan bertentangan dengan asas-asas
umum pemerintahan yang baik (AUPB). Yaitu bertentangan dengan Undang-Undang Nomor 30
Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan, Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang
Hak Asasi Manusia, Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan
Pengelolaan Lingkungan Hidup, dan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2012 tentang Pengadaan
Tanah bagi Pembangunan untuk Kepentingan Umum.
PTUN Jakarta mengabulkan keseluruhan gugatan Para Penggugat
yaitu Dalam Penundaan mewajibkan Tergugat untuk tidak
melanjutkan rencana penerbitan Surat Perintah Bongkar Paksa untuk
wilayah Bukti Duri RW. 9, 10, 11, dan 12, Kecamatan Tebet, Jakarta
Selatan, dan memerintahkan Tergugat untuk tidak melakukan
kegiatan apapun yang terkait dengan pelaksanaan penertiban
bangunan yang terletak di Bantaran Kali Ciliwung RW. 9, 10, 11, dan
12, Kecamatan Tebet, Jakarta Selatan. Kemudian Dalam Pokok
Perkara mengabulkan gugatan Para Penggugat untuk seluruhnya,
menyatakan batal atau tidak sah menerbitkan objek gugatan. Oleh
karena itu, dalam hal ini dalam pertimbangannya majelis hakim pun
berpendapat, bahwa Pemrov DKI Jakarta tidak melaksanakan
pembebasan tanah warga Bukti Duri berdasarkan tahap-tahap yang
diperintahkan dalam Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2012 tentang
Pengadaan Tanah, dan Pemprov DKI wajib memberikan ganti rugi
yang layak kepada warga Bukit Duri akibat dari diterbitkannya
objek gugatan.
Berdasarkan keterangan pihak PTPN XII Malangsari Banyuwangi, tahun 2000 lahan yang telah
dikelola warga tersebut pengelolaannya diserahkan oleh pemerintah kepada PTPN XII, tetapi
proses pemberian hak pengelolaan lahan tersebut tidak diketahui oleh warga. PTPN XII
mengklaim mempunyai hak mengelola tanah seluas kurang lebih 3.000 hektar.
Ketika sampai batas waktu akhir tersebut warga tidak bersedia meninggalkan lahan dengan
alasan bahwa perjanjian penyerahan lahan yang mereka lakukan kepada PTPN XII dengan
cara terpaksa karena intimidasi oleh PTPN XII yang cenderung menggunakan alat keamanan
negara atau polisi untuk menakut-nakuti mereka.
Secara hukum, penguasaan tanah yang berupa tanah yang bukan merupakan hak pihak lain
(tanah bebas) dapat dibenarkan secara hukum sebab Hukum Agraria mengenal Hak Adat
(pasal 5 UU No. 5/1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria), di mana tanah Hak
Adat muncul dengan cara penguasaan terhadap tanah bebas (bukan hak atau milik pihak
lain) yang kemudian dikuasai secara turun menurun sehingga dinamakan menjadi tanah Hak
Adat berdasarkan norma adat di daerah masing-masing.
Pasal 8 PP No. 36 / 1998 tentang Penertiban dan Pendayagunaan Tanah Terlantar menentukan
bahwa tanah yang sudah diperoleh penguasaannya, tetapi belum diperoleh hak atas tanah
sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku dapat dinyatakan sebagai
tanah terlantar, apabila tanah tersebut oleh pihak yang telah memperoleh dasar penguasaan
tidak dimohon haknya atau tidak dipelihara dengan baik (ayat 1). Jika hanya sebagian dari
bidang tanah yang sudah diperoleh dan dikuasai sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang
memenuhi kriteria terlantar, maka hanya bagian bidang tanah tersebut yang dapat
dinyatakan terlantar (ayat 2).
Jadi, pemberian hak pengeloaan atas lahan yang telah ditempati warga
tersebut kepada PTPN XII merupakan bentuk pelanggaran prinsip-prinsip
keadilan sosial sebab melanggar asas partisipasi sosial sebab tidak
dilakukan proses yang terbuka. Artinya, jika benar bahwa PTPN XII telah
memperoleh HGU dilokasi tanah yang telah dikuasai warga maka
perolehan HGU tersebut cacat hukum karena dilakukan dengan itikad
tidak baik atau dengan cara sembunyi-sembunyi, meski mungkin pernah
ada publikasi secara formal tapi malah mengabaikan warga selaku pihak
yang lebih dulu menguasai dan memelihara tanah tersebut. Setelah PTPN
XII memperoleh Hak Pengelolaan maka barulah PTPN XII berkomunikasi
dengan warga dengan cara mengintimidasi orang-orang kecil yang awam
hukum tersebut. Fakta seperti itu oleh hukum disebut sebagai
penyalahgunaan keadaa dengan cara mempergunakan kekuasaan untuk
menekan masyarakat yang lemah.
Sebenarnya bagi pemerintah, kasus ini mudah diselesaikan jika tidak ada
kebijakan politik yang memihak kepada PTPN XII. Seandainya negara c.q.
pemerintah bersedia memberikan hak milik atas tanah kepada rakyat
maka hal itu sama mudahnya dengan dikeluarkannya HGB, HGU ataupun
Hak Pakai atas tanah negara kepada para korporasi. Kasus ini hanya
persoalan kehendak otoritas pemberi hak-hak atas tanah yang masih
selalu bersikap tidak adil kepada rakyat.
Atas dasar ketidakadilan, itikad tidak baik, serta penyalahgunaan keadaan
seperti itulah maka warga dapat menggugat pemerintah dan PTPN XII
agar diperlakukan adil dalam memiliki hak atas tanah atau lahan tersebut.
Selama ini, PTPN XII mendalilkan mempunyai sertifikat Hak Guna
Usaha (HGU) tetapi tetap saja merahasiakannya. Hal ini
menimbulkan pertanyaan mendasar; jika ada kejujuran dalam kasus
tersebut mengapa harus merahasiakan bukti hak? Ini sebagai
indikasi awal bahwa tidak ada transparansi dalam terbitnya hak
pengelolaan bagi PTPN XII, yang ada kaitannya dengan prinsip-
prinsip Hukum Agraria yang akan dijabarkan berikutnya ini.