Anda di halaman 1dari 31

INFERTILITAS

Soraya Rahmanisa, S.Si, M.Sc


Bagian Biologi Kedokteran
FK Unila
PENDAHULUAN
 Definisi:
 Infertil: adalah pasangan suami-isteri yang sudah menikah
satu tahun belum hamil, tanpa menggunakan alat
kontrasepsi apapun
 Macamnya:
 Infertil primer: sebelumnya belum pernah hamil
 Infertil sekunder: sebelumnya sudah pernah hamil (asal
hamil, tidak perlu harus lahir hidup)
EPIDEMIOLOGI
 Meskipun pelayanan infertilitas meningkat, prevaleni
pasangan infertil masih tetap sekitar 10-15%
 Faktor demografi yang mempengaruhi infertil adalah:
umur, status sosial ekonomi dan usia nikah yang lebih tua
 Prevalensi inftil tidak dipengaruhi oleh suku
 Pasangan infertil yang mencari pengobatan biasanya dari
sosial ekonomi tinggi, sehingga pasangan infertil lebih
banyak pada pasangan dengan sosial ekonomi rendah
INFERTIL DAN UMUR
 Ada hubungan antara umur ibu dan penurunan
fecundability
 Penurunan fecundability terjadi sejak umur awal tiga
puluh dan terus meningkat sampai akhir 30 dan awal 40
th
 Tiga puluh persen ibu umur 35-44 th infertil
 Angka kehamilan setelah 1 tahun insiminasi buatan
adalah: 74% pada umur 30 th atau kurang, 62% pada
umur 30-35th dan 54% pada umur 35 th atau lebih
PASANGAN INFERTIL
 Kunjungan keklinik infertil pertama harus dengan suami
untuk kepentingan diagnostik dan terapi
 Pemeriksaan pertama ditujukan pada suami, faktor suami
bisa karena semen yang abnormal, perlu semen analysis
 Pada isteri ditanyakan riwayat medis, bedah dan
ginekologis
 Informasi tentang keteraturan haid, nyeri panggul dan
riwayat obstetrik pada yang infertil sekunder
Lanjutan
 Faktor risiko terjadnya infertilitas misal: infeksi panggul,
akseptor IUD, operasi panggul dan pernah menggunakan
DES (diethylstilbestrol)
 Ditanya tentang fungsi pituitary, adrenal dan thyroid
 Pada pasangannya ditanya tentang operasi alat genital,
infeksi, trauma dan riwayat pernah nikah sebelumnya.
 Riwayat pekerjaan yang terpapar zat kimia, important
dan frekuensi hubungan seksual
Lanjutan
 Diteliti juga pengaruh emosi dan psikologis yang
berpengaruh pada infertilitas
 Terlalu sibuk, kurang istirahat, hubungan seksual tidak masa
subur
 Tinggi badan, berat badan, BMI, pertumbuhan rambut,
galactorrhea dan pemeriksaan pelvis
 Pada partner diperiksa urologisnya
SEBAB INFERTILITAS
 1. Abnormalitas dari semen
 2. Gangguan ovulasi
 3. Sumbatan pada tuba, endometriosis
 4, Abnormalitas pada serviks, mukus serviks
 5. Kelainan uterus
 6. Faktor imunologi
SEBAB INFERTILITAS
 Prevalensi relatif sebab infertilitas:
 1. Male factor 25-40%
 2. Both 10%
 3. Female factor 40-55%
 4. Unexplained infertility 10%
PREVALENCE OF FEMALE INFERTILITY
 1. Ovulatory dysfunction 30-40%
 2. Tubal/peritoneal factor 30-40%
 3. Unexplained infertility 10-15%
 4. Miscellaneous causes 10-15%
OVULATORY FACTORS
 Penyebab infertil sekitar 30-40%
 Siklus haid normal 25-35 hari, banyak wanita yang siklus haidnya
sekitar 27-31 hari
 Kira-2 setiap 4 minggu dapat haid yang disertai dengan moliminal
symptom seperti premenstrual breast swelling dan dysmenorrhoe
 Karena ovulasi adalah syarat untuk terjadinya konsepsi maka
ovulasi harus selalu diperhatikan pada infertilitas
 Apakah anovulasi, oligoovulation, dif dx adalah kelainan aksis
hipotalamik dan pituitary, kelaianan thyroid, adrenal atau
hyperandrogenic oligoovulation
DETEKSI OVULASI
 Basal Body Temperature/BBT:
 Suhu badan pada pagi hari sebelum ibu bangun, makan
atau minum, dilarang merokok
 Mekanismenya adalah pengeluaran progesteron oleh
ovarium biasanya terjadi setelah ovulasi, progesteron
adalah hormon thermogenic
 Kenaikan suhu sebesar 0,5 derajat F diatas suhu fase
follicular yang biasanya sekitar 97-98 derajat F
 Perbedaan suhu tsb disebut biphasic menunjukkan adanya
ovulasi
Lanjutan
 Waktu pasti ovulasi tidak tahu, tapi umumnya terjadi 1
hari sebelum suhu naik
 Unequivocal temperature terjadi setelah LH surge dan
ada hubungannya dengan kadar progesteron serum >4
ng/ml
 Hubungan antara kenaikan suhu BBT dan LH surge
mungkin lebih reliable daripada hubungannya dengan
kadar progesteron
 BBT simple, adanya biphasic menunjukkan adanya
ovulasi, jika monophasic perlu konfirmasi lebih lanjut
MIDLUTEAL SERUM PROGESTERON
 Kenaikan kadar progesteron menunjukkan adanya ovulasi
 Kadar progesteron minimal pada midluteal phase berbeda
disetiap laboratorium, tapi kadar >3 ng/ml (10 nmol/l)
terjadi ovulasi
 Pengukuran harus dilakukan saat skresi peak progesteron saat
midlutealphase biasanya hari ke 21-23 pada sikjus 28 hari
LH MONITORING
 LH surge dapat memprediksi ovulasi
 Ovulasi terjadi 34-36 jam mulai LH surge, kira-2 10-12
jam setelah LH peak
 Karena LH adalah pulsatile hormon, deteksi yang benar-
2 kenaikan sukar
 2 sampai 3 kali lipat diatas base line kadar serum LH bisa
untuk LH surge
 Banyak pabrik yang membuat kit untuk pemeiksaan LH
surge dalam urine yang akurat, cepat dan relatif murah
INDOMETRIAL BIOPSY
 Untuk mengetahui sekresi endometrium
 Cara ini invasive dan tidak nyaman, sehingga cara ini tidak
untuk deteksi ovulasi tapi untuk diagnosis defek luteal phase
 Umumnya dilakukan pada 2-3 hari sebelum haid yang akan
datang
 Interpretasinya dating endometrium sesuai kriteria Noyes,
Hertig dan Rock
ULTRASOUND MONITORING
 Perkembangan dominant follikel bisa diikuti sampai
terjadi ovulasi dengan pemeriksaan USG
 Adanya ovulasi ditunjukkan adanya penurunan ukuran
follikel dan terdapatnya cairan bebas di cul de sac
 Ovulasi akan terjadi jika ukuran follikel mencapai 21-23
mm, meskipun demikian ovulasi mungkin terjadi
meskipun ukurannya 17 mm atau 29 mm
 Pemantauan ovulasi dengan cara USG biasanya dipakai
untuk memonitor ovulasi pada induksi ovulasi dalam
program IVF
LUTEAL PHASE DEFECT/LPD
 LPD atau inadequate luteal phase pada infertilitas masih
kontroversi
 Kontroversi dalam hal definisi dan treatment
 LPD terjadi bila 2 biopsi endometrial menunjukkan
kelambatan >2 hari dari siklus dalam perkembangan
histologi endometrium
 Short luteal phase from BBT kenaikan suhu
dipertahankan dalam luteal phase selama >11 hari, hal
ini disebabkan karena berkurangnya produksi
progesteron oleh corpus luteum
Lanjutan
 LPD penyebab infertilitas skresi progesteron yang kurang
menyebabkan poor secretory endometrial development yang
berakibat keterlambatan maturasi endometrium
 Dapat menyebakan kegagalan implantasi atau abortus sangat awal
 Yang mendasari LPD adalah perkembangan follikel yang kurang,
sekresi FSH yang kurang,sekresi LH yang abnormal atau efek
abnormal dari progesteron pada endometrium
 LPD mungkin ada hubungannya dengan hyperprolactinemia yang
terjadi pada wanita usia reproduksi lanjut yang haidnya fluktuatif
TUBA/PERITONEAL FACTORS
 Penyebab infertil sekitar 30-40%
 Faktor tuba termasuk kerusakan atau sumbatan dari tuba,
biasanya ada hubungannya dengan infeksi sebelumnya
(PID) atau operasi panggul atau tuba
 Faktor peritoneum termasuk perlengketan perituba atau
periovarium sebagai akibat PID yang insidensinya 12%,
23% dan 54% setelah infeksi yang pertama, kedua dan
ketiga
 Umumnya subclinical chlamydial infections
TEST PATENSI TUBA
 Test patensi tuba yang utama adalah HSG
(Hysterosalpingography) dengan memasukkan kontras
kedalam cavum uteri pada hari ke 6 sampai 11, kemudian
di Rontgen panggul
 Untuk mengurangi kemungkinan infeksi post HSG 1-3%
tidak dikerjakan pada PID, untuk PID khronis perlu
pemeriksaan KED dan pemberian antibiotika
 Perlu pemeriksaan bimanual untuk mendeteksi adanya
rasa sakit dan masa di adneksa menunjukkan adanya
tumor atau infeksi baru
LAPAROSKOPI
 Merupakan Gold standard untuk Dx kelainan tuba dan
peritoneum
 Dengan laparoskopis bisa dilihat organ panggul, mioma,
kistoma ovarii, perlengketan tuba dan perituba dan
endometriosis
 Apa yang didapat dengan HSG dikonfirmasi dengan
laparoskopi
 Patensi tuba dapat diketahui dengan memasukkan dye
kedalam cavum uteri kemudian dilihat apa ada dye yang
keluar dari ujung tuba atau spil.
CERVICAL FACTOR
 Penyebab infertilitas sebesar 5%
 Postcoital test (PCT) atau uji pasca sanggama (UPS)
untuk menilai kualitas lendir serviks, adanya sperma
yang motile di mulut serviks setelah sanggama
 Dan interaksi antara lendir serviks dan sperma
 UPS dikerjakan sebelum ovulasi karena menilai lendir
serviks pada saat dipengaruhi estrogen
 Lendir endocervix canal diambil dengan tuberculi
syringe kemudian diletakkan diatas object glass
Lanjutan
 Kemudian dinilai daya membenang / spinnbarkeit, fern test /
gambaran daun pakis, jumlah dan motilitas sperma
 Lendir serviks dibawah pengaruh estrogen bening dan encer,
setelah ovulasi dibawah pengaruh progesteron kental, opaq
dan kurang fern test
 Jumlah sperma >20 pada pemeriksaan mikroskopis
UTERINE FACTOR
 Kelainan uterus sering menyebabkan terjadinya abortus awal
berulang, tidak menyebabkan infertilitas
 Mioma submukus menyebabkan pregnancy loss, adanya
mioma dalam cavum uteri akan mengganggu transport
sperma dan implantasi
 Seringnya perdarahan pada mioma menyebabkan kegagalan
implantasi
ASHERMAN’S SYNDROME
 Perlengketan pada cavum uteru menyebabkan infertil,
amenorea, haid tidak teratur dan abortus
 HSG dapat melihat contour endometrium, polip endometrial
dan submucus fibroid, kelainan bawaan uterus atau synechia
 Kelainan-2 tsb dikomfirmasi dan diterapi dengan
hysteroscopy/meneropong cavum uteri
IMMUNOLOGIC FACTOR
 Sperma bisa menjadi autoantigenic yang mungkin timbul
antibody respons thd spermatozoon yang akan
mengurangi fertilitas
 Antisperm antibodies didapatkan pada pria dan wanita
yang dikenal IgG dan IgM
 Molekul IgG mungkin didapatkan dalam serum, lendir
serviks dan semen
 Agglutinating antibodis IgA terdapat dalam lendir serviks
dan seminal plasma
 IgM antibodiy sukar melewati mukosa alat genital,
karena itu terdapat dalam serum
ANTISPERM ANTIBODIES
 Etiologinya belum diketahui mungkin multifactorial
 Selama senggama wanita terekspose ber-kali-2 berjuta-2
spermatozoon, tapi jarang timbul repons immun
 Terbentuknya antisperma antibodies mungkin ada
hubungannya dengan trauma yang menyebabkan pecahnya
epitel vagina
Lanjutan
 Antibodi mengikat sperma, kalau melekat pada kepala akan
mempengaruhi ikatan dengan zona pellucida, kalau melekat
pada ekor akan mengurangi motilitas
 Antisperma antibodi mempengaruhi transport sperma
dengan obstruksi gamete interaction atau dengan cara
promoting sperm phagocytosis
TEST IMMUNOLOGIK
 Sperm agglutination test (Kibrick’s atau Franklin-Dukes)
 Sperm complement-dependent immobilization test
(Isojama’s) telah diganti dengan immunobead atau mixed
agglutination test
 Immunobead test menggunakan anti-IgG-, anti-IgA- atau
anti-IgM- yang dibungkus dengan polyacrylamide beads
Lanjutan
 Spermatozoon dicuci kemudian dibri labeled bead.
Kemudian sperma binding dinilai
 Specific information mengenai IgG dan IgM
 Dalam reaksi aglutinasi, eritrosit yang telah disensitisasi
oleh IgG dicampur dengan semen pasen
 Adanya antibody coated spermatozoon akan
mengakibatkan aglutinasi dengan eritrosit

Anda mungkin juga menyukai