Anda di halaman 1dari 34

PENDAHULUAN

Latar Belakang
Stress pasca trauma umumnya terjadi setelah seseorang mengalami,
menyaksikan trauma berat yang mengancam fisik maupun psikis.
Banyaknya peristiwa yang terjadi akhir-akhir ini di Negara kita, seperti
tsunami, gempa bumi, gunung meletus dan banjir yang menimbulkan
banyak korban baik harta atau jiwa umumnya menimbulkan suatu
trauma psikologis akibat goncangan mental terhadap peristiwa yang
berat baik korban atau keluarganya.

Trauma yang dialami tersebut dapat menyebabkan suatu keadaan post


traumatic stress disorder (PTSD), apabila orang tersebut tidak dapat
mengatasinya. Penderita PTSD tersebut mempunyai gambaran berupa
perasaan cemas berlebihan dan ketakutan bila orang tersebut teringat
atau melalui tempat peristiwa itu terjadi, disertai dengan ketegangan
motorik dan kewaspadaan berlebih.

Tidak itu saja, masih banyak lagi masalah yang menghasilkan peristiwa
traumatik seperti: kematian orang yang dicintai, konflik sosial, serta
penyakit kronis. Gangguan stress pasca trauma/ post traumatic stress
disorder ( PTSD) sangat penting kita ketahui, karena PTSD dapat
• Tidak itu saja, masih banyak lagi masalah yang
menghasilkan peristiwa traumatik seperti:
kematian orang yang dicintai, konflik sosial,
serta penyakit kronis. Gangguan stress pasca
trauma/ post traumatic stress disorder ( PTSD)
sangat penting kita ketahui, karena PTSD
dapat menyerang siapa saja yang mengalami
kejadian traumatik, tanpa memandang usia,
jenis kelamin, jabatan dan lain-lain.
• Rumusan Masalah
• 1. Apakah yang dimaksud PTSD ?
• 2. Apa saja faktor-faktor yang mempengaruhi
PTSD ?
• 3. Apakah tanda-tanda dan gejala dari PTSD ?
• 4. Bagaimana cara penanganan pasien yang
mengalami PTSD?
• Tujuan
• Tujuan dari penulian makalah ini yaitu :
• Memenuhi tugas mata ajaran
• Penulis ingin mengetahui lebih dalam tentang
PTSD
• Menguraikan masalah gangguan mental yang
terjadi pasca trauma yaitu post traumatic
stress disorder, serta hal-hal yang berkaitan
dengan masalah PTSD.
• Untuk menambah ilmu pengetahuan serta
wawasan yang luas.
• Memberi pengetahuan kepada para pembaca
mengenai PTSD
• Untuk menambah ilmu pengetahuan serta
wawasan yang luas.
• Memberi pengetahuan kepada para pembaca
mengenai PTS
• Manfaat
• Manfaat dari makalah ini yaitu agar para
pembaca dapat memahami penanganan yang
dapat dilakukan terhadap orang yang
mengalami PTSD.
• BAB II
• PEMBAHASAN


• Pengertian
• Post Traumatic Stress Disorder ( PTSD ) merupakan
gangguan kecemasan, ketidak rentanan emosional yang
berlangsung berkelanjutan terhadap suatu kejadian traumatis.
• Peristiwa traumatis ( traumatic experience )adalah peristiwa
yang menyakitkan yang menimbulkan efek psikologis dan
fisiologis yang berat. Peristiwa traumatis mencakup tragedi
personal, seperti berada dalam kecelakaan yang serius,
menjadi korban kekerasan, atau mengalami peristiwa
bencana yang mengancam hidup. Peristiwa traumatis dapat
terjadi dalam skala yang besar dan dengan segera dapat
mempengaruhi seseorang: misalnya, kebakaran, gempa
bumi, kerusuhan dan perang.
• Etiologi/penyebab
• Faktor-faktor resiko
• Terdapat beberapa faktor resiko PTSD. Memiliki
kejadian traumatis yang dialami, prediktor PTSD
mencakup ancaman yang dirasakan terhadap
nyawa, berjenis kelamin perempuan, pemisahan
dari orang tua dimasa kecil, riwayat gangguan
dalam keluarga, berbagai pengalaman traumatis
sebelumnya dan gangguan yang dialami
sebelumnya ( suatu gagguan anxietas atau
depresi ).( Breslau dkk, 1997,1999).
• Memiliki intelegensi tinggi tampaknya menjadi
faktor protektif, mungkin karena hal itu
diasosiasikan dengan keterampilan coping yang
lebih baik ( macklin dkk,1998). Prevalensi PTSD
juga meningkat sejalan dengan parahnya kejadian
traumatik: sebagai contoh, semakin tinggi
pengalaman dalam pertempuran, semakin besar
resikonya. Diantara mereka yang memiliki riwayat
gangguan dalam keluarga, bahkan sedikit
pengalaman pertempuran menyebabkan tingkat
kejadian PTSD yang tinggi ( Foy dkk, 1987 ).
• Simtom-simtom disosiatif pada saat trauma
juga meningkatkan kemungkinan terjadinya
PTSD ( Ehlers dkk, 1998 ). Disosiasi dapat
memiliki peran dalam menetapnya gangguan
karena mencegah pasien menghadapi ingatan
tentang trauma tersebut.
• Menurut keane dan koleganya ( 2006 ) mengelompokan faktor
resiko PTSD kedalam 3 kategori, yaitu:
• Faktor yang sudah ada dan unik bagi setiap individu,
• Faktor yang sudah ada, seperti kontribusi genetis, jenis kelamin
seperti; para pria lebih berpeluang mengalami trauma ( seperti
pertarungan ) sedangkan para wanita lebih berpeluang mengalami
PTSD.
• Faktor yang terkait dengan kejadian traumatis
• Berasal dari penyebab terjadinya kejadian taumatis. Salah satu
contohnya yaitu: pengalaman cedera tubuh. Dalam suatu
penelitian, tentara yang terluka lebih berpeluang menggalami PTSD
mereka yang terlibat dalam pertempuran yang sama, namun tidak
terluka ( Koren dkk, 2005 ).
• Kejadian-kejadian yang mengikuti pengalaman traumatis.
• Faktor ketiga, yaitu berfokus pada apa yang terjadi setelah
mengalami
• Faktor psikologis
• Para teoris belajar berasumsi bahwa PTSD terjadi
karena pengondisian klasik terhadap rasa takut (
Fairbank & Brown , 1987 ). Seorang wanita yang pernah
diperkosa, contohnya, dapat merasa takut untuk
berjalan di lingkungan tertentu ( CS ) karena diperkosa
di sana (UCS). Berdasarkan rasa takut yang dikondisikan
secara klasik tersebut, terjadi penghindaran yang
secara negatif dikuatkan oleh berkurangnya rasa takut
yang dihasilkan oleh ketidakberadaan dalam CS.
• Suatu teori psikodinamika yang diajukan oleh Horowitz
( 1986, 1990 ) menyataka bahwa ingatan tentang
kejadian traumatik muncul secara konstan dalam
pikiran seseorang dan sangat menyakitkan sehingga
secara sadar mereka mensupresikanya atau
merepresinya.
• Faktor biologis
• Sejarah kecemasan keluarga menunjukan adanya
kerentanan biologis menyeluruh untuk PTSD. True
dan kawan-kawan (1993) melaporkan bahwa,
dengan adanya paparan pertempuran yang sama
banyaknya dan dengan memiliki kembaran yang
mengalami PTSD, seorang pasangan kembar
monozigot (identik) memiliki kemungkinan yang
lebih besar untuk mengembangkan PTSD
dibanding pasangan kembar dizigot. Ini
menunjukan adanya pengaruh genetik tertentu
dalam perkembangan PTSD.
• Faktor sosial dan kultural
• Faktor sosial dan kultural berperan penting
dalam pengembangan PTSD ( misalnya, Carroll
Dkk, 1985 ). Hasil-hasil dari sejumlah studi
dengan sangat konsisten menunjukan bila kita
memiliki sekelompok orang yang kuat dan
suportif, maka kemungkinan kita untuk
mengembangkan PTSD setelah mengalami
trauma akan jauh lebih kecil. Semakin luas dan
mendalam jaringan dukungan sosial, semakin
kecil peluang untuk mengembangkan PTSD.
• Tanda dan Gejala
• Tiga tipe gejala atau symptom yang sering
terjadi pada PTSD adalah :
• Pengulangan pengalaman trauma, ditunjukkan
dengan selalu teringat akan peristiwa yang
menyedihkan yang telah dialami itu, flashback
(merasa seolah-olah peristiwa yang
menyedihkan terulang kembali), nightmares
(mimpi buruk tentang kejadian-kejadian yang
membuatnya sedih), reaksi emosional dan
fisik yang berlebihan karena dipicu oleh
kenangan akan peristiwa yang menyedihkan.
• 2. Penghindaran dan emosional yang
dangkal, ditunjukkan dengan menghindari
aktivitas, tempat, berpikir, merasakan, atau
percakapan yang berhubungan dengan
trauma. Selain itu juga kehilangan minat
terhadap semua hal, perasaan terasing dari
orang lain, dan emosi yang dangkal.
• 3. Sensitifitas yang meningkat, ditunjukkan
dengan susah tidur, mudah marah/tidak dapat
mengendalikan marah, susah berkonsen -trasi,
kewaspadaan yang berlebih, respon yang
berlebihan atas segala sesuatu (Anonim,
2005a; Anonim, 2005b).

• Simtom-simtom PTSD dikelompokan dalam 3 kategori utama.
Diagnosis dapat ditegakan jika simtom-simtom dalam tiap kategori
berlangsung selama lebih dari satu bulan.
• 1. Mengalami kembali kejadian traumatis. Individu kerap teringat
pada kejadian tersebut dan mengalami mimpi buruk tentang hal itu.
Penderitaan emosional yang mendalam ditimbulkan oleh stimuli
yang menyimbolkan kejadian tersebut ( petir, mengingatkan
seorang veteran pada medan perang ) atau tanggal terjadinya
pengalaman tertentu ( hari dimana seorang wanita mengalami
penyerangan seksual ). Pentingnya mengalami kembali tidak dapat
diremehkan karena kemungkinan merupakan penyebab simtom-
simtom kategori lain. Beberapa teori PTSD membuat mengalami
kembali sebagai ciri utama dengan mengatribusikan gangguan
tersebut pada ketidak mampuan untuk berhasil mengintegrasikan
kejadian traumatik kedalam skema yang ada pada saat ini ( foa dkk,
1992 ).
• 2. Penghindaran stimuli yang diasosiasikan dengan
kejadian terkait atau mati rasa dalam responsivitas.
Orang yang bersangkutan berusaha menghindari untuk
berpikir tentang trauma atau menghadapi stimuli yang
akan mengingatkan pada kejadian tersebut ( dapat
terjadi amnesia pada kejadian tersebut ). Mati rasa
adalah menurunya ketertarikan pada orang lain, suatu
rasa keterpisahan, dan ketidakmampuan untuk
merasakan berbagai emosi positif. Simtom-simtom ini
tampaknya hampir konradiktif dengan simtom-simtom
pada item 1. Pada PTSD kenyataanya terdapat suatu
fluktuasi ( penderita bergantian mengalami kembali
dan mati rasa ).
• 3. Simtom-simtom peningkatan ketegangan. Simtom-
simtom ini mencakup sulit tidur atau
mempertahankanya, sulit berkonsentrasi, waspada
berlebihan dan respon terkejut yang berlebihan.
• Gangguan Sosial PTSD
• PTSD memiliki gejala yang memiliki gangguan.
Umumnya, gangguan tersebut adalah panic attack (
serangan panik ), perilaku menghindar, depresi,
membunuh pikiran dan perasaan, merasa disishkan
dan sendiri, merasa tidak dipercaya dan dikhianati,
mudah marah dan gangguan yang berarti dalam
kehidupan sehari-hari, persepsi dan kepercayaan yang
aneh.
– Panic attack, anak/ remaja yang mengalami serangan panik
ketika dihadapkan/menghadapi sesuatu yang
mengingatkan mereka pada trauma. Serangan panik
meliputi perasaan yang kuat atas ketakutan atau ketidak
nyamanan yang menyertai gejala fisik dan psikologis.
Gejala fisik meliputi: jantung berdebar, berkeringat,
gemetar, sesak nafas, sakit dada, sakit perut, pusing,
merasa kedinginan, badan panas, mati rasa.
– Perilaku menghindar, salah satu gejala PTSD adalah
menghindari hal-hal yang dapat mengingatkan
penderita pada kejadian traumatis. Kadang-kadang
penderita mengaitkan semua kejadian dalam
kehidupanya setiap hari dengan trauma, padahal
kondisi kehidupan sekarang jauh dari kondisi trauma
yang pernah dialami. Hal ini sering menjadi lebih
parah sehingga penderita takut untuk keluar rumah
dan harus ditemani oleh orang lain jika harus keluar
rumah.
– Depresi, banyak orang menjadi depresi setelah
mengalami kejadian trauma dan menjadi tidak tertarik
dengan hal-hal yang disenanginya sebelum peristiwa
trauma. Mereka mengembangkan perasaan yang tidak
benar, rasa bersalah, menyalahkan diri sendiri, dan
merasa peristiwa yang dialami merupakan
kesalahanya, walaupun itu semua tidak benar.
– Membunuh pikiran dan perasaan, kadang-kadang orang
yang depresi berat merasa kehidupanya sudah tidak
berharga. Hasil penelitian menjelaskan bahwa 50% korban
kejahatan mempunyai pikiran untuk bunuh diri.
– Merasa disisihkan dan sendiri. Penderita PTSD
memerlukan dukungan sosial dari lingkungan sosialnya
tetapi mereka sering kali merasa sendiri dan terpisah.
Karena parasaan mereka tersebut, penderita kesulitan
untuk berhubungan dengan orang lain dan mendapatkan
pertolongan. Penderita sulit percaya bahwa orang lain
dapat memahami apa yang dia alami.
– Merasa tidak percaya dan dikhianati, setelah mengalami
pengalaman yang menyedihkan, penderita mungkin
kehilangan kepercayaan dengan orang lain dan merasa
dikhianati atau ditipu oleh dunia, nasib, atau oleh tuhan.
– Marah dan mudah tersinggung, adalah reaksi yang paling umum
diantara penderita trauma, khususnya ketika penderita merasa
tersakiti, marah adalah suatu reaksi yang wajar dan dapat dibenarkan.
Bagaimanapun, kemarahan yang berlebihan dapat mempengaruhi
proses penyembuhan dan menghambat penderita untuk berinteraksi
dengan orang lain dirumah dan ditempat terapi.
– Ganguan yang berarti dalam kehidupan sehari-hari, beberapa
penderita PTSD mempunyai beberapa gangguan yang terkait dengan
fungsi sosial dan gangguan disekolah dalam jangka waktu yang lama
setelah trauma. Seorang korban kejahatan mungkin menjadi sangat
takut untuk tinggal sendirian. Penderita mungkin kehilangan
kemampuanya dalam berkonsentrasi dan melakukan tugasnya
disekolah. Bantuan perawatan pada penderita sangat penting agar
permasalahan tidak berkembang lebih lanjut.
– Persepsi dan kepercayaan yang aneh, adakalanya seseorang yang
mengalami trauma yang menjengkelkan, sering kali untuk sementara
dapat mengembangkan ide atau persepsi yang aneh ( misal: percaya
bahwa dia bisa berkomunikasi atau melihat orang –orang yang sudah
meninggal ). Walaupun gejala ini menakutkan, menyerupai halusinasi
dan khayalan, gejala tersebut bersifat sementara dan hilang dengan
sendirinya.
• Diagnosis
• Berikut ini adalah kriteria diagnostik untuk gangguan
stres pasca trauma menurut DSM-IV yaitu:
• 1. Orang telah terpapar dengan suatu kejadian
traumatik dimana kedua dari berikut ini terdapat:
• a. Orang mengalami, menyaksikan, atau dihadapkan
dengan suatu kejadian atau kejadian-kejadian yang
berupa ancaman kematian atau kematian yang
sesungguhnya cedera yang serius atau ancaman
kepada integritas fisik diri sendiri atau orang lain.
• b. Respon orang tersebut berupa takut yang kuat, rasa
tidak berdaya atau horor.
• Catatan: pada anak-anak hal ini diekspresikan dengan
perilaku yang kacau atau teragitasi.
• 2. Kejadian traumatik secara menetap dialami kembali
dalam satu (atau lebih) cara berikut:
• a. Rekoleksi yang menderitakan, rekuren, dan mengangu
tentang kejadian, termasuk bayangan, pikiran atau
persepsi.
• Catatan: pada anak kecil, dapat menunjukan permainan
berulang dengan tema atau aspek trauma.
• b. Mimpi menakutkan yang berulang tentang kejadian.
• Catatan: pada anak-anak, mungkin terdapat mimpi
menakutkan tanpa isi yang dapat dikenali.
• c. Berkelakuan atau merasa seakan-akan kejadian
traumatikterjadi kembali ( termasuk perasaan penghidupan
kembali pengalaman, ilusi, halusinasi, dan episode kilas
balik disosiatif, termasuk yang terjadi selama terbangun
atau saat terintoksikasi ).
• Catatan: pada anak kecil, dapat terjadi penghidupan
kembali yang spesifik dengan trauma.
• d. Penderitaan psikologis yang kuat saat
terpapar dengan tanda internal atau eksternal
yang menyimbolkan atau menyerupai suatu
aspek kejadian traumatik.
• e. Reaktifitas psikologis saat terpapar
dengan tanda internal atau eksternal yang
menyimbolkan atau menyerupai suatu aspek
kejadian traumatik.
• Penghindaran stimulus yang persisten yang berhubungan
dengan trauma dan kaku kerena responsivitas umum ( tidak
ditemukan sebelum trauma ), seperti yang ditujukan oleh
tiga ( atau lebih ) berikut ini:
– Usaha untuk menghindari pikiran, perasaan atau percakapan
yang berhubungan dengan trauma.
– Usaha untuk menghindari aktivitas, tempat atau orang yang
menyadarkan rekoleksi dengan trauma.
– Tidak mampu untuk mengingat aspek penting dari trauma.
– Hilangnya minat atau peran serta yang jelas dalam aktivitas yang
bermakna.
– Perasaan terlepas atau asing dari orang lain.
– Rentang efek yang terbatas ( misalnya tidak mampu memiliki
perasaan cinta ).
– Persaan bahwa masa depan menjadi pendek ( misalnya, tidak
berharap memiliki karir, menikah, anak-anak, atau panjang
kehidupan normal ).
• . Gejala menetap adanya peningkatan kesadaran (
tidak ditemukan sebelum trauma ), seperti yang
ditujukan oleh dua (atau lebih ) berikut:
• a. Kesulitan untuk tidur atau tetap tertidur.
• b. Iritabilitas atau ledakan kemarahan.
• c. Sulit berkonsentrasi.
• d. Kewaspadaan yang berlebihan.
• e. Respon kejut yang berlebihan.
• 5. Lama gangguan ( gejala dalam kriteria 1, 2, 3, dan
4 ) adalah lebih dari satu bulan.
• 6. Gangguan menyebabkan penderitaan yang
bermakna secara klinis atau gangguan dalam fungsi
sosial, pekerjaan, atau fungsi lainya.

• Sementara itu kriteria diagnostik untuk gangguan stress pasca
traumatik menurut PPDGJ III (F43,1) adalah sebagai berikut:
– Diagnosis baru ditegakkan bilamana gangguan ini timbul dalam kurun
waktu 6 bulan setelah kejadian traumatik berat ( masa laten yang
berkisar antara beberapa minggu sampai beberapa bulan, jarang
sampai melampaui 6 bulan ). Kemungkinan diagnosis masih dapat
ditegakkan apabila tertundanya waktu mulai saat kejadian dan onset
gangguan melebihi waktu 6 bulan, asal saja manivestasi klinisnya
adalah khas dan tidak didapat alternatif gangguan lainya.
– Sebagai bukti tambahan selain trauma, harus didapatkan bayang-
bayang atau mimpi-mimpi dari kejadian traumatik tersebut secara
berulang-ulang kembali ( flashback ).
– Gangguan otonomik, gangguan afek dan kelainan tingkah laku
semuanya dapat mewarnai diagnosis tetapi tidak khas.
– Suatu “ sequelae “menahun yang terjadi lambat setelah stres yang
luar biasa misalnya saja beberapa puluh tahun setelah trauma,
diklasifikasikan dalam kategori F 62,0 ( perubahan kepribadian setelah
mengalami katastofa ).

• Treatment Gangguan Stres Pasca Trauma
• Ada 2 macam terapi pengobatan yang dapat dilakukan penderita
PTSD, yaitu dengan menggunakan farmakoterapi dan psikoterapi.
• 1. Farmakoterapi
• Pengobatan farmakoterapi dapat berupa terapi obat hanya dalam
hal kelanjutan pengobatan pasien yang sudah dikenal. Para klinisi
mempertimbangkan pengobatan sebagai cara pertam untuk
mempertahankan diri dari penyebab munculnya gejala-gejala
tersebut. Klien yang mengalami gejala hyperexcitability dan reaksi
berulang dapat mengambil keuntungan dari obat anti kecemasan
seperti: benzodiazepin. Bagi mereka yang mengalami iritabilitas,
agresi implusif atau ingatan mundur dapat mengonsumsi
anticonvulsants, seperti: karbamazepina atau valproic acid. Anti
depresi, seperti selective serotonin reuptake inhibitors dan
monoamine-oxidase inhibitor sering digunakan untuk memberikan
terapi bagi gejala kekakuan, gangguan dan menarik diri dari
lingkungan sosial ( londborg dkk, 2001 ).

• . Psikoterapis
• Meskipun pengobatan dapat mengurangi gejala yang ada,
hal yang naif jika kita berfikir bahwa obat-obatan tersebut
cukup untuk mengurangi tekanan psikologis dan masalah
interpersonal yang dialami oleh para penderita PTSD.
Konsekwensinya, para klinisi merekomendasikan
psikoterapi berkelanjutan, tidak hanya untuk mengatasi
masalah emosional, namun juga untuk memonitor
bagaimana reaksi individu terhadap pengobatan medis (
davidson dkk, 2004 ).
– Teknik menutup, seperti: terapi suportif dan management
stress, membantu klien mengemas rasa sakit yang disebabkan
oleh trauma. Mereka juga dapat membantu klien mengurangi
stres secara lebih efektif dan selama proses tersebut,
menghilangkan beberapa masalah sekunder yang disebabkan
oleh gejala-gejala tersebut. Pada anxiety management, terapis
akan mengajarkan beberapa keterampilan untuk mengatasi
gejala PTSD dengan lebih baik melalui:
– Relaxation training, yaitu belajar mengontrol ketakutan
dan kecemasan secara sistematis dan merelaksasikan
kelompok otot-otot utama.
– Breathing retraining, yaitu belajar bernafas dengan perut
secara perlahan-lahan, santai dan menghindari bernafas
dengan tergesa-gesa yang menimbulkan perasaan yang
tidak nyaman, bahkan reaksi fisik yang tidak baik seperti:
jantung berdebar-debar dan sakit kepala.
– Positive thinking dan self-talk, yaitu belajar untuk
menghilangkan pikiran negatif dan menganti dengan
pikiran positif ketika menghadapi hal-hal yang membuat
stres ( stresor ).
– Asser-tivenes, yaitu belajar bagaimana mengekspresikan
harapan, opini, dan emosi tanpa menyalahkan atau
menyakiti orang lain.
– Throught stopping, yaitu belajar bagaimana mengalihkan
pikiran ketika kita sedang memikirkan hal-hal yang
membuat kita stres ( Anonim, 2005 ).
• b. Teknik tidak menutup, yang termasuk pengungkapan
trauma, meliputi treatment perilaku dengan cara imaginal
flooding dan disentisasi sistemik. Menghadapkan penderita
PTSD dengan tanda-tanda yang membangkitkan kenangan
terhadap kejadian traumatis pada tingkat tertentu atau
pada situasi ketika individu diajarkan untuk santai, dapat
memecahkan reaksi kecemasan terkondisi.
• c. Terapi cognitive, terapis membantu untuk mengubah
kepercayaan yang tidak rasional yang menganggu emosi
dan menganggu kegiatan-kegiatan kita. misalnya: seorang
korban kejahatan mungkin menyalahkan diri sendiri karena
tidak hati-hati. Tujuan kognitif terapi adalah
mengidentifikasi pikiran-pikiran yang tidak rasional,
mengumpulkan bukti bahwa pikiran tersebut tidak rasional
untuk melawan pikiran tersebut yang kemudian
mengadopsi pikiran yang lebih realistik untuk membantu
mencapai emosi yang lebih seimbang (anonim, 2005 ).

Anda mungkin juga menyukai