Anda di halaman 1dari 16

JOURNAL READING

DIPHTHERIA: CLINICAL MANIFESTATIONS,


DIAGNOSIS, AND ROLE OF IMMUNIZATION IN
PREVENTION

Dokter Pembimbing:
dr. Lina Marlina, Sp. THT-KL

Presentan:
Putu Novi Suardiyanti (1461050187)

1 KEPANITERAAN KLINIK ILMU PENYAKIT THT-KL


PERIODE 7 MEI – 9 JUNI 2018
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS KRISTEN INDONESIA
2018
PENDAHULUAN
 Difteri disebabkan oleh Corynebacterium diphtheriae.
 Pada 2013, sebanyak 4.700 kasus dilaporkan dengan
3.300 kematian, angka ini turun dari 8,000 kematian
pada 1990.
 Dipercaya, ada satu juta kasus yang terjadi setiap
tahunnya sebelum tahun 1980-an.
 Kasus ini lebih sering terjadi di Sub-Sharan Afrika,
India dan Indonesia.

2
SEJARAH DAN PENEMUAN DIFTERI

 Abad ke-5 SM penduduk Spanyol mengalami wabah


yang dikenal dengan “EL Ano de losGarrotilos” atau
“Tahun Pencekikan”.
 Tahun 1735-1740, Inggris Baru dan Atlantik Tengah
mengalami sebuah “penyakit tenggorokan” yang
menyebabkan kematian lebih dari 20% dari total
populasi yang berusia < 15 tahun.
 Pada 1883 Edwin Klebs mengidentifikasi bakteri
penyebabnya dan pada 1884, Loeffler mengisolasi
bakteri tersebut. Bakteri yang kemudian dinamakan
bakteri Klebs-Loeffler. Belakangan ini, bakteri
tersebut diketahuin bernama Corybacterium
3
diphtheria.
 Pada 1890, Shibasburo Kitasatto dan Emil von
Behring mengimunisasi seekor marmot dengan
toksin difteri yang dipanaskan. Obat pertama
bagi penderita difteri.
 Behring dianugerahi Nobel pada tahun 1901.
Pada 1895, HK Mulford Company of Philadelphia
memulai produksi dan pengetesan difteri di
Amerika Serikat.

4
 Pada 1905, Bela Schick mengembangkan tes
Schick untuk mendeteksi kekebalan yang telah
ada pada diri seseorang yang telah terinfeksi.
 Vaksin difteri ditemukan dan angka kematian
mulai menurun pada 1924.
 Pada 1974, WHO memasukkan vaksin DPT
(difteri, pertusis dan tetaus) pada program
mereka tentang imunisasi bagi negara
berkembang.

5
TOKSIN DIFTERI
 Merupakan eksotoksin yang menghambat sintesis
protein di sitoplasma.
 Rantai polipeptida tunggal tersusun atas 535 asam
amino.
 Terdiri atas sub unit A (stabil) dan B (tidak stabil).

 Memiliki 3 domain.
 A (domain C), B (domain T dan R).
 Domain T memicu transfer domain C ke dalam
sitoplasma.
 Domain R mengikat permukaan sel reseptor,
memungkinkan toksin memasuki sel. 6
PATOGENESIS
 C.diphtheria bertahan di mukosa pernapasan
lapisan superfisial dan lesi kulit, menyebabkan
reaksi peradangan.
 Menginduksi koagulasi jaringan nekrotik tebal
yang terdiri dari fibrin, leukosit, eritrosit, sel
mati epitel pernapasan ; membentuk
pseudomembran (tonsil, faring, nasal, laring,
trakeobronkial).
 Edema jaringan lunak dan adenitis cervical
menyebabkan depresi pernapasan dan bull-neck
appearance.
 Efek toksin pada jantung (miokarditis), saraf,
dan ginjal (nekrosis tubular). 7
MANIFESTASI KLINIS
 Demam  Kesulitan dan nyeri
 Malaise menelan
 Sianosis  Sulit bernapas

 Sakit tenggorokan  Takipneu

 Serak  Mimisan berbau


busuk
 Batuk
 Limfadenopati
 Sakit kepala
 “Bull-neck”
 Stridor

8
MIOKARDITIS
 Dideteksi pada 2/3 pasien.
 10-25% mengalami disfungsi kardiak.

 Toksisitas pada jantung dapat akut (terjadi


setelah 1-2 minggu) dengan kegagalan kongestif
dan kolaps sirkulasi atau dilatasi jantung.
 EKG menunjukkan perubahan ST.

9
NEUROTOKSISITAS
 ¾ pasien menderita neuropati.
 Muncul setelah 10 hari – 3 bulan.

 Kelumpuhan palatum dan dinding faring


posterior menimbulkan manifestasi berupa
regurgitasi cairan.
 Paralisis okulomotor, disfungsi saraf pada wajah,
faring, dan laring juga berperan dalam
kegagalan pernapasan.

10
DIAGNOSIS
 Kriteria :
 Gangguan saluran pernapasan atas disertai sakit
tenggorokan.
 Demam (<39C)
 Pseudomembran berwarna putih keabuan.

 Isolasi C.diphtheria dengan pewarnaan gram


dan kultur dari spesimen klinis tenggorokan
atau diagnostik histopatologi dari Albert Stain.

11
TATALAKSANA
 Rekomendasi CDC
 Metronidazole
 Erythromycin (oral atau injeksi) selama 14 hari
(40mg/kgBB/hari, maksimal 2 gram/hari), atau
 Procaine penicillin G secara IM selama 14 hari
(300.000 U untuk pasien dengan berat < 10kg dan
600.000 U untuk berat >10kg).

 Pasien dengan alergi penicillin/erythromycin dapat


diberikan rifampisin atau clyndamycin.

12
PENCEGAHAN
 Imunisasi Difteri
 3 dosis awal (usia 6 minggu, dengan dosis lanjutan
setiap 4 minggu).
 1 dosis booster setelah 10 tahun.

 Kombinasi
 DT atau dT : dengan toksoid tetanus
 DPT : dengan anti tetanus dan pertusis

13
 Perbaharuan rekomendasi Advisory Committee of
Immunization Practices (tahun 2006 dan 2008),
diterbitkan oleh CDC :
 Usia 11 th atau lebih diberikan satu dosis 0,5 ml,
Tdap diikuti pada 4-8 minggu kemudian (0,5 ml Td)
lalu dosis Td kedua pada 6-12 bulan setelah
pemberian yang pertama.
 Imunisasi booster: usia 11-18 th harus menerima
satu dosis Tdap dan kemudian diberikan Td booster
standar setiap interval 10 tahun.
 Usia 19-64 tahun wajib menerima booster Tdap
selanjutnya untuk meminimalisir risiko pembawaan
penyakit, penyakit klinis, dan perpindahan pertusis.

14
KESIMPULAN
 Gejala-gejala difteri dimulai dengan infeksi
saluran pernafasan yang diikuti dengan
munculnya pseudomembran yang berwaran
putih keabu-abuan. Pada kasus berat, pasien
dapat mengidap kesulitan bernapas dan
kemunculan “bull-neck”. Komplikasinya dapat
termasuk myocarditis, toksisitas neurologi,
endocarditis, dan gagal ginjal. Diagnosa dan
tindakan yang cepat dan awal memungkinkan
hasil yang lebih baik.

15
SEKIAN
&
TERIMAKASIH
16

Anda mungkin juga menyukai