RESUSCITATION FLUIDS Simon.R, Jean-Louis Vincent, et al LATAR BELAKANG
1832: Robert Lewins menjelaskan
tentang efek larutan garam alkali yang diberikan secara intravena untuk pasien yang pandemik kolera.
1885: Alexis Hartmann dan Sidney
Ringerberhasil memodifikasi larutan garam fisiologis yang digunakan untuk rehidrasi pada pasien anak dengan gasrroenteritis.
Tahun 1942: fraksinasi darah albumin
manusia diberikan dalam jumlah besar & berguna menjadi resusitasi pasien yang mengalami luka akibat serangan di Pearl Harbour 1896: Ernest Starling venula kapiler dan postkapiler memiliki mekanisme kerja sebagai membran semipermeabel yang menyerap cairan interstisial dan dijadikan sebagai penentu utama dalam pertukaran transvaskuler.
Temuan terkini meragukan model
klasik tersebut. Suatu jaringan glycoprotein dan proteoglikan berbentuk membran pada sel endotel, berhasil diidentifikasi dan diberi nama lapisan glycocalyx endotelial (Gambar 1).
Gambar A lapisan glycocalyx
yang sehat Gambar B lapisan glycocalyx yang sudah rusak, yang mengakibatkan edema interstisial pada pasien yang mengalami inflamasi (seperti sepsis) CAIRAN RESUSITASI IDEAL
Cairan resusitasi ideal harus:
1. Menghasilkan efek yang dapat diprediksi 2. Mampu meningkatkan volume intravaskuler secara bertahap 3. Memiliki komposisi kimia yang menyerupai cairan ekstravaskuler 4. Hemat u/meningkatkan kondisi pasien
Cairan resusitasi yang dikategorikan menjadi:
1. Larutan koloid suspensi molekul yang berada dalam suatu larutan pengangkut yang relatif tidak mampu melewati membran kapiler semipermeabel karena ukuran molekulnya besar. 2. Larutan kristaloid suatu larutan ion yang bebas secara permeabel namun mengandung natrium dan klorida yang mampu mempengaruhi tonisitas larutan. JENIS RESUSITASI CAIRAN
Global ada banyak variasi dalam
pemilihan cairan resusitasi yang ditentukan oleh daerah dan pengalaman masing-masing dokter, serta protokol institusi, ketersediaan, harga dan pemasaran komersial ALBUMIN
Albumin manusia (4-5%) dalam salin sebagai
lar.koloid standar, di produksi dari fraksionasi darah, dipanaskan u/mencegah penyebaran virus patogenik. 1998: Cochrane Injuries Group Albumin Reviewes mempublikasikan sebuah meta analisis mengenai efek albumin dan lar.kristaloid lain untuk mengatasi pasien yang mengalami hipovolemia, luka bakar atau hipoalbuminemia Mereka menyimpulkan bahwa pemberian albumin berhubungan dengan peningkatan insidensi kematian yang signifikan (relative risk, 1,68; 95% confidence interval, 1,26-2,23; P<0,01). KOLOID SEMISINTETIK Global cairan HES telah menjadi koloid semisintetik yang paling banyak digunakan, terutama di Eropa. Koloid semisintetik lainnya antara lain gelatin suksinil, sediaan gelatin-polygeline yang berikatan dengan urea, dan dextran. Cairan HES dihasilkan melalui substitusi amylopectin oleh hydroxyethyl yang diperoleh dari sorgum, maizena atau kentang. Penggunaan HES digunakan: 1. U/ sediaan yang bermolekul besar berhubungan dengan gangguan koagulasi terutama perubahan pada viskositas dan fibrinolisis 2. Secara luas u/pasien yang menjalani anastesia pada operasi besar, digunakan sebagai terapi lini pertama pada resusitasi di ruang operasi militer dan pasien ICU. Saat ini konsentrasi larutan HES mulai diturunkan (6%) dan besar molekulnya hanya 130 kD serta substitusi molarnya berkisar antara 0,38 hingga 0,45. HES tersedia dalam berbagai larutan vehikulum (carrier) kristaloid. HES berpotensi mengalami akumulasi dalam jaringan, maka dosis harian maksimal HES adalah 33-35 mL perkilogram berat badan per hari. Dari percobaan acak terkontrol, tersamar ganda, yang disebut Crystalloid versus Hydroxyethyl Starch Trial (CHEST), yang melibatkan 7000 orang dewasa di ICU, penggunaan HES 6% (130/0,4) jika dibandingkan dengan saline, justru ditemukan tidak memiliki perbedaan yang signifikan dalam aspek insidensi kematian selama 90 hari (relative risk, 1,06; 95% CI, 0,96-1,18; P=0,26). Namun, penggunaan HES berhubungan dengan peningkatan relatif insidensi terapi ganti ginjal. Penelitian Skandinavia dan CHEST menunjukkan bahwa HES dan kristaloid tidak memiliki perbedaan yang signifikan jika ditilik dari indikator hemodinamika, meskipun dalam penelitian CHEST terlihat bahwa penggunaan HES dapat meningkatkan tekanan vena sentral dan menurunkan penggunaan vasopresor. Rasio penggunaan HES terhadap kristaloid pada penelitian ini mendekati 1:1,3, yang konsisten dengan rasio albumin terhadap kristaloid pada penelitian SAFE maupun penelitian-penelitian lain.
Penelitian Skandinavia dan CHEST menunjukkan bahwa HES dan
kristaloid tidak memiliki perbedaan yang signifikan jika ditilik dari indikator hemodinamika, meskipun dalam penelitian CHEST terlihat bahwa penggunaan HES dapat meningkatkan tekanan vena sentral dan menurunkan penggunaan vasopresor. Rasio penggunaan HES terhadap kristaloid pada penelitian ini mendekati 1:1,3, yang konsisten dengan rasio albumin terhadap kristaloid pada penelitian SAFE maupun penelitian-penelitian lain.
Namun hingga saat ini masih belum diketahui apakah hasil
penelitian mengenai HES dapat dijadikan patokan untuk larutan koloid semisintetik lainnya, seperti gelatin atau polygeline. KRISTALOID
Natrium klorida (saline) lar.kristaloid yang paling sering digunakan di
seluruh dunia, terutama Amerika Serikat. Saline normal (0,9%) mengandung natrium dan klorida dalam konsentrasi yang sama, hal ini yang membuat larutan ini lebih isotonik jika dibandingkan cairan larutan fisiolog Belanda, Hartog Hamburger pada tahun 1882 dan 1883, dari penelitian ini diketahui bahwa 0,9% merupakan konsentrasi garam dalam darah manusia, bukannya konsentrasi aktual 0,6%. Perbedaan ion kuat dalam saline 0,9% adalah nol, hampir tidak ada, sehingga pemberian saline dalam jumlah besar dapat mengakibatkan asidosis metabolik hiperkloremik. Efek samping seperti disfungsi imunitas dan disfungsi ginjal dapat ditemukan pada asidosis metabolik, hanya saja konsekuensi klinis dari efek ini masih belum di ketahui. Kekhawatiran mengenai kelebihan natrium dan air yang berhubungan dengan resusitasi saline telah melahirkan konsep resusitasi kristaloid “volume kecil” yang menggunakan larutan saline (3%, 5%, dan 7,5%). Namun, penggunaan saline hipertonik secara dini untuk resusitasi, terutama pada pasien cedera otak traumatik, tidak memperbaiki luaran jangka panjang maupun jangka pendek. Larutan garam seimbang relatif bersifat hipotonik karena konsentrasi garamnya cenderung lebih rendah dari cairan ekstraseluler. Karena adanya instabilitas larutan yang mengandung bikarbonat dalam kontainer plastik maka anion alternatif, seperti laktat, asetat, glukonat, dan malat lebih sering digunakan. Pemberian lar.garam seimbang yang dilakukan secara berlebihan dapat mengakibatkan hiperlaktatemia, alkalosis metabolik, dan hipotonitis (u/yang mengandung natrium laktat) dan kardiotoksisitas (yang mengandung asetat). Penambahan kalsium pada beberapa larutan mengakibatkan mikrotrombus jika dikombinasikan dgn transfusi sel darah merah. Mengingat adanya kekhawatiran yg berhubungan dgn kelebihan natrium & klorida yg berhubungan dgn salin normal maka lar.garam seimbang lbh sering direkomendasikan sbg cairan resusitasi lini 1 u/pasien dgn trauma, dan pasien dgn ketoasidosis diabetik. Ada penelitian observasional Kohort yg membandingkan insidensi komplikasi mayor pd 213 pasien yang mendapatkan hanya 0,9% saline dan 714 pasien yg hanya mendapatkan lar.garam seimbang bebas kalsium (PlasmaLyte) u/mengganti cairan yg hilang selama operasi. Penggunaan lar.garam seimbang berhubungan dgn penurunan insidensi komplikasi mayor lar.garam seimbang yg berhubungan dgn penurunan insidensi komplikasi mayor (odd rasio, 0,79; 95% CI, 0,66-0,97; P <0,05) serta berhubungan dgn penurunann insidensi inf.post operasi, terapi ganti ginjal, transfusi darah, dan asidosis. Dlm penelitian observasional ICU, diketahui bahwa penggunaan strategi yg minimal terhadap klorida (menggunakan lar.laktat & kalsium) seimbang bebas kalsium menggantikan cairan intravena yg kaya akan (saline 0,9%, gelatin suksinil, albumin 4%) berhubungan dgn penurunan insidensi cedera ginjal akut, dan insidensi terapi ganti ginjal. Sejak meluasnya penggunaan saline di seluruh dunia u/AS saja mencapai >200 juta liter per tahun maka diperlukan percobaan acak terkontrol agar dpt menjamin tingkat dan khasiat saline u/kemudian dibandingkan dgn lar.garam seimbang. Larutan garam seimbang relatif hipotonik karena mereka memiliki konsentrasi natrium lebih rendah dari cairan ekstraseluler. Karena ketidakstabilan solusi bikarbonat yang mengandung dalam wadah plastik, anion alternatif, seperti laktat, asetat, glukonat, dan malat, telah digunakan. Administrasi yang berlebihan dari larutan garam seimbang dapat mengakibatkan byperlactatemia, alkalosis mçtabolic, dan hipotonisitas (dengan diperparah natrium laktat) dan cardiotoxicity (dengan asetat). Penambahan kalsium dalam beberapa solusi dapat menghasilkan mikrotrombi dengan citrate- mengandung transfusi-sel darah merah. Mengingat kekhawatiran tentang kelebihan natrium dan klorida yang terkait dengan normal saline, larutan garam seimbang semakin dianjurkan sebagai lini pertama Resi, cairan iscitation pada pasien yang menjalani operasi pasien dengan trauma, dan pasien dengan diabetes ketoacidosis. Resusitasi dengan larutan garam seimbang adalah elemen kunci dalam pengobatan awal pasien dengan luka bakar, meskipun ada peningkatan kekhawatiran tentang efek samping dari kelebihan cairan, dan strategi "hipovolemia permisif" pada pasien tersebut telah advocated. DOSIS & VOLUME
Kebutuhan dan respon resusitasi cairan untuk pasien-pasien yang sakit
berat biasanya berbeda-beda. Tidak ada satupun pengukuran fisiologis atau biokimiawi yang secara adekuat dapat memperkirakan penurunan cairan atau jumlah resusitasi cairan pada pasien yang sakit akut. Namun, hipotensi sistolik dan oligouria pada umumnya dijadikan sebagai pemicu untuk melakukan “fluid challenge” yang kisaran volume cairannya antara 200-1000 ml kristaloid atau koloid untuk pasien dewasa. Meskipun penggunaan cairan resusitasi telah menjadi salah satu intervensi yang paling sering di gunakan dalam kedokteran, hingga saat ini belum ada satu pun cairan resusitasi yang ideal. Pemilihan, penentuan waktu dan dosis cairan intravena harus dievaluasi secara hati-hati terutama ketika menggunakan obat-obatan intravena jenis lain, agar kita dapat memaksimalisasi khasiat dan meminimalisasi toksisitas iatrogenik TERIMA KASIH