Muhammad erfan ( 109 ) Aulia Rachman ( 143 ) Mahmud Yumassik ( ) Rosalia FILOSOFI LAGU cublak-cublak suweng Masih ingat dolanan saat kita masih kecil dan biasanya dilakukan pas terang bulan ini? Beberapa anak ikut bermain, satu anak duduk telungkup seperti posisi sujud dan memejamkan matanya sementara anak-anak lainnya duduk mengitarinya lalu tangan anak-anak tersebut dalam posisi menengadah menunggu giliran sebuah batu kerikil yang nanti akan jatuh dalam salah satu genggaman tangan seorang anak. Sambil menggilir batu tsb anak-anak menyanyikan lagu ini : Cublak-cublak suweng Suwenge ting gelenter Mambu ketundung gudhel Pak gempo lerak-lerek Sopo ngguyu ndelekakhe
Sir-sir pong dele kopong
Sir-sir pong dele kopong Sir-sir pong dele kopong Selesai menyanyi lagu itu, anak yang telungkup bangun dan disuruh menebak siapa yang menggenggam batu tsb. Si anak yang telungkup bila salah menebak maka dia akan disuruh telungkup lagi dalam fase permainan berikutnya. Permainan ini pastilah sudah lama kita tinggalkan. Namun tanpa kita sadari sampai kita dewasa pun kita masih melakukan ’permainan’ ini. Dalam kehidupan sehari-hari. Permainan anak- anak yang akrab bagi masyarakat Jawa ini ternyata mengandung banyak makna dan mengajarkan kehidupan sedari kecil. Konon (katanya) permainan ini awalnya dikenalkan oleh Walisongo. Apa sebenarnya makna dari dolanan bocah cilik ini? Filosofi dari lagu ini , kurang lebih seperti ini: Permainan ini memang mengajari tentang pencarian harta dalam hidup. Dari lirik lagunya ”cublak-cublak suweng” …suweng artinya hiasan di telinga, lebih berharga daripada anting…identik dengan harta. Bisa diartikan ayolah ”tebak tempat menyimpan harta” ”Suwenge ting gelenter”
maksudnya hartanya tersebar dimana-mana.
Hal ini terlihat pula dalam permainannya dimana anak-anak menyembunyikan batu kerikil (diibaratkan suweng) lalu beredar dari satu tangan ke tangan yang lain (”suwenge ting gelenter”) ”Mambu ketundung gudhel”
mambu artinya tercium, ketundung artinya yang
dituju, sedangkan gudhel artinya anak kerbau….mengapa anak kerbau, bukan kerbaunya? Anak kerbau identik dengan kebodohan(karena masih berwujud anak, yang belum matang alias belum tahu apa-apa). Secara garis besar kabar tentang tempat harta ini mudah tercium (tersiar) oleh orang-orang bodoh. ”Pak Gempo lerak-lerek”
Pak Gempo melirik-lirik (mencarinya). Pak Gempo
digambarkan sebagai kebalikan dari gudhel yang masih berwujud anak. Makanya menggunakan kata awalan ’Pak’. Pak Gempo adalah sosok manusia yang telah dewasa dan berusaha mencari harta (’suweng’) tsb. Pak Gempo diwujudkan sebagai manusia yang berakal, beda dengan ’gudhel’ yang hanya anak hewan yang identik dengan kebodohan. Sehingga dianggap Pak Gempo bisa mencari harta tsb. Dalam permainan wujud Pak Gempo adalah anak yang bermainan dalam posisi sujud dan akhirnya dia harus menebak siapa yang menyimpan batu kerikil tsb. ”Sopo ngguyu ndelekakhe”
Siapa yang tertawa pasti menyembunyikan. Di
permainannya kita tahu bahwa anak-anak yang lain (yang tidak telungkup) pasti tertawa saat anak yang telungkup berusaha menebak siapa yang menyimpan batu kerikilnya. ” Sir-sir pong dele kopong”
di dalam hati nurani yang kosong. Suatu
petunjuk bagi yang ingin mencari harta/menebak di permainan bahwa untuk mencari pelakunya gunakanlah hati nurani. Bisa ditafsirkan secara garis besar makna dari lagu dan permainan ini adalah sebagai berikut: Kita sebagai manusia biasa yang tercipta dari tanah. Makanya dalam permainan seorang anak harus telungkup mencium tanah seolah sedang sujud. Hanya manusia biasa yang tak tak tahu apa-apa. Namun manusia tetap ada hasrat nafsu sebagaimana nabi Adam dikeluarkan dari surga karena mencium wanita. Manusia mempunyai hasrat nafsu harta, tahta dan wanita. Dalam lagu daerah ini manusia tetap memenuhi hasratnya untuk mencari harta (”cublak-cublak suweng”). Namun harta tercecer dimana-mana dan semua orang pasti menginginkannya. Begitu mudahnya tercium ’bau’ harta sampai orang tak berilmu pun tahu, kita tahu bahwa setiap hari ada maling, copet, koruptor yang mengincar harta. Zaman sekarang istilah koruptor identik dengan ”tikus” yang sama saja binatang atau ”gudhel” dalam lagu ini. Berarti zaman lagu dan permainan ini ditemukan, sudah diajarkan kepada masyarakat bahwa kita harus was- was akan bahaya koruptor. Dan kita tahu tampang para koruptor seperti apa, biasanya mereka selalu senyum mesem-mesem (”sopo ngguyu ndelekakhe”). Lihatlah tampangnya para koruptor yang tetap saja nyengir meskipun sudah dipanggil KPK. Cara terbaik untuk mencari harta adalah dengan hati nurani yang bersih. Tidak dipengaruhi hawa nafsu dsb. Dengan hati nurani akan lebih mudah menemukannya, tidak tersesat. TERIMA KASIH