Anda di halaman 1dari 40

GAGAL POMPA JANTUNG

Presented by:
Dwi Ruth Rahayuning Asih Budi, S.Ked
Pembimbing :
dr. Imam Ghozali, Sp.An

Kepaniteraan Klinik Senior Ilmu Anestesi


RS Pertamina Bintang Amin
Bandar Lampung
2018
Gagal Pompa Jantung
• Suatu keadaan patologis dimana jantung tidak mampu memompa
kebutuhan darah untuk memenuhi kebutuhan metabolisme jaringan
Anatomi Jantung
• Jantung adalah salah satu organ manusia yang sangat penting
peranannya untuk menjaga agar organ lainnya juga dapat hidup.
• Letak jantung di dalam rongga dada sebelah depan (kavum
mediastinum anterior), sebelah kiri bawah dari pertengahan rongga
dada, diatas diafragma, dan pangkalnya terdapat di belakang kiri
antara kosta V dan VI dua jari di bawah papilla mamae. Pada tempat ini
teraba adanya denyutan jantung yang disebut iktus kordis.
• Ukurannya kurang lebih sebesar genggaman tangan. Panjang + 12 cm, +
lebar 9cm, dan tebal + 6cm beratnya kira-kira 250-300 gram.
Lapisan Jantung
• Perikardium
• Miokardium
• Endokardium
Ruang Jantung
Fisiologi Jantung
Jantung merupakan alat pompa yang berfungsi untuk suplai oksigen
yang diperlukan oleh sel-sel tubuh kita untuk membentuk energi /
ATP di dalam mitokondria sehingga mencegah terjadinya akumulasi
asam laktat yang menyebabkan kematian tingkat seluler.
Patofisiologi Gagal Jantung
Gangguan Jantung
Anestesi pada Gangguan Jantung
• Prolaps Katup Mitral
• Mitral stenosis
• Mitral regugirtasi
• Aorta stenosis
• Aorta insufisiensi
• Regugirtasi trikuspid
• Defek Septum Ventrikel
PROLAPS KATUP MITRAL
• Mitral Valve Prolapsed (MVP) adalah suatu kondisi dimana menggelembungnya berlebihan
lapisan katup mitral (umumnya, lapisan posterior) kedalam atrium kiri selama systole.

• Evaluasi Klinis
• Kebanyakan keluhan dari pasien dengan MVP adalah palpitasi dan dada rasa tidak nyaman.
Nyeri dada seperti angina dengan rasa ditusuk dan diiris. Pada MR yang jelas, dapat pula terjadi
gagal jantung. Terdapat klik midsistolik, yang diikuti dengan murmur sistolik middle-to-late:
semakin berat regurgitasi, semakin panjang pula murmur. Klik timbul pada awal dan murmur
bertambah panjang pada manuver valsava.3

• Premedikasi
• Sangatlah penting persiapan yang tepat secara fisiologis dan farmakologis. Pasien dengan MR
membutuhkan antibiotik profilaksis sebelum operasi.
• Manajemen Anestesi
• Tehnik anestesi terpilih adalah yang paling kecil mengakibatkan
takikardia atau yang menggangu status hemodinamik. Untuk
prosedur perifer, block syaraf atau plexus atau saddle block yang
terpilih. Spinal dan epidural dapat setidaknya secara tiba-tiba
menurunkan preload dan afterload, yang dapat memberatkan
MVP. Menghindari obat-obatan yang melepaskan histamine, dan
pemilihan obat muscle relacsan haruslah dengan pertimbangan
terhadap efek kardiovaskular. Atropin, ketamin hendaknya
dihindari, dan pada keadaan dehidrasi serta penggantian cairan
dan darah hendaknya secara agresif dilakukan. Jika takikardia
timbul pada keadaan euvolemia maka pengobatan dengan beta-
bloker sesuai untuk diberikan. Jika vasopressor dibutuhkan pada
keadaan hipovolemia relatif (pada spinal tinggi) maka
phenylepinefrin yang terpilih. 3,4
• Pemulihan
• Monitoring tekanan darah, denyut jantung dan status
volume intravaskular postoperatif secara terus-menerus
hingga hemodinamik stabil.3
MITRAL STENOSIS
• Mitral Stenosis (MS) seringkali disebabkan penyakit jantung
rheumatik dengan gambaran klinis penyakit bermanifestasi
setelah 3-5 tahun pasca infeksi. Stenosis terjadi karena fusi
komissura, kalsifikasi, dan penebalan lapisan dan chordae
tendineae.

• Epidural anestesi merupakan tekhik anestesi regional yang


terpilih. Hindari hidrasi yang cepat, dan pertahankan level
anestesi yang pelan. Efedrin dapat meningkatkan denyut
jantung. Epinefrin menyebabkan peningkatan afterload ventrikel
yang dapat mencetuskan gagal jantung. 3,4
• Premedikasi
Pemberian obat profilaksis pada pasien dengan MS seperti
penanganan gagal jantung antara lain digitalis untuk
memperlambat laju ventrikel pada atrial fibrillasi, diuretika dan
retriksi natrium. Pemberian antikoagulan 1-3 hari sebelum operasi.
Terdapat beberapa obat-obatan untuk mengobati hipertensi
pulmonal yang berat antara lain inhaled prostasiklin dan nitrit
oxide.

• Monitor
Pembesaran Atrium kiri dan atrial fibrilasi merupakan gambaran
utama pada EKG. Deviasi aksis kanan dan hipertropi ventrikel
kanan timbul akibat hipertensi pulmonal. Gambaran rontgen dada
menunjukkan pembesaran atrium kiri dan ventrikel kanan.
• Takikardi memperberat hemodinamik dengan cara menurunkan waktu
diastolik. Curah jantung yang menurun berkaitan tidak hanya dikarenakan
oleh derajat beratnya stenosis tetapi juga sekunder oleh penyakit vaskuler
pulmonal dan reflex vasokontriksi pada sirkulasi sistemik. Kenaikan yang
mendadak pada volume darah dapat mecetuskan edema, gagal jantung
kanan, atau atrial fibrillasi. 2-5

• Manajemen Anestesi
• Epidural anestesi merupakan tekhik anestesi regional yang terpilih. Hindari
hidrasi yang cepat, dan pertahankan level anestesi yang pelan. Efedrin dapat
meningkatkan denyut jantung. Epinefrin menyebabkan peningkatan
afterload ventrikel yang dapat mencetuskan gagal jantung. 3,4

• Pemulihan
• Pasien dengan MS mempunyai resiko terjadinya edema paru dan gagal
jantung kanan. Nyeri, hiperkarbia, asidosis respiratorik, dan hipoksia arteri
merupakan penyebab meningkatnya denyut jantung atau pulmonary vascular
resistence (PVR). Pemberian antibiotik dan antikoagulan dilanjutkan.3
MITRAL REGURGITASI
• Prolapse Katup Mitral dan penyakit jantung rheumatik kronis akan menyebabkan mitral
regurgitasi (MR). Ruptur chordae tendineae dan prolaps katup mitral dapat disebabkan
trauma dan endokarditis. Derajat beratnya regurgitasi dan lesi merupakan faktor yang
menentukan perjalanan penyakit. MR berat akut yang disebabkan oleh apapun, tanpa
terapi bedah memiliki prognosis yang jelek. MR ringan kronik memiliki prognosis yang
lebih baik hingga beberapa tahun tanpa adanya tanda-tanda disfungsi ventrikel kiri.
Kelelahan dan dispnoe merupakan gejala yang timbul sebagai konsekuensi dari disfungsi
ventrikel kiri. MR akut dapat menimbulkan manifestasi gagal jantung kongestif yang
berat dan edema paru, dan kadang terdapat kolaps kardiovaskuler dan hipotensi. 3,4

• Evaluasi Klinis
• Pada MR kronis terjadi overload volume ventrikel kiri. Hipertropi ventrikel kiri
menyebabkan LV end-diastolic pressure (LVEDP) terpelihara normal, meskipun ada
peningkatan LV end-diastolic volume (LVEDV). Pembesaran atrium kiri dan distensible
menyebabkan tekanan atrium kiri normal walaupun pada keadaan volume regurgitasi
yang besar. Stroke volume ventrikel kiri meningkat. Pada MR akut, complains dari
atrium kiri terbatas dan secara jelas meningkatkan tekanan pada atrium kiri yang
menyebabkan edema pulmonal serta mencetus kontraksi dan takikardia karena
kompensasi simpatis. 3,4
• Premedikasi
• Reduksi afterload bermanfaat dalam hal penatalaksanaan pasien dengan akut dan
kronik MR yang diharapkan akan mempertahankan stroke volume. Selain itu dengan
menurunkan volume ventrikel kiri dapat menurunkan ukuran annulus mitral dengan
demikian terhadap orifisium regurgitasi. Pasien ini seringkali juga diobati dengan
inotropik (digitalis) dan diuretik, karena akan menurunkan fraksi regurgitan.
• Beberapa tindakan pembedahan dapat lebih bijaksana dipertimbangkan sebelum
terjadinya kegagalan ventrikel kiri yang jelas, misalnya pada pasien dengan disfungsi otot
papillary mungkin memerlukan pemasangan pompa balon intraortic pre operatif. 3,4

• Monitor
• Monitoring didasarkan pada derajat disfungsi ventrikel. Pemantauan tekanan arteri
pulmonal sangat bermanfaat pada pasien dengan gejala. Penurunan afterload
intraoperatif akibat vasodilator memerlukan pengawasan penuh terhadap
hemodinamik.4
• Kateterisasi arteri pulmonal sangat berguna untuk menilai tekanan pengisian ventrikel,
curah jantung, dan efek pemberian vasodilator. Ukuran regurgitan dan gelombang V
tidak berkorelasi dengan derajat MR. 4,5
• Manajemen Anestesi
• Penanganan anestesi disesuaikan dengan derajat beratnya MR dan fungsi
ventrikel kanan. Faktor-faktor yang memicu regurgitasi harus dihindari,
seperti denyut jantung yang lambat (sistolik yang panjang) dan peningkatan
afterload secara mendadak. Bradikardi dapat meningkatkan volume
regurgitasi akibat peningkatan volume akhir diastolik ventrikel kiri dan
annulus mitral yang melebar secara mendadak. Denyut jantung harus
dipertahankan antara 80-100x/menit. Peningkatan afterload ventrikel kiri
secara mendadak, seperti akibat intubasi endotrakeal dan stimulasi
pembedahan, harus segera ditangani tetapi tanpa depresi miokardium yang
berat. Kelebihan cairan juga dapat memperburuk regurgitasi akibat
melebarnya ventrikel kiri.3,4
• Anestesi spinal dan epidural dapat ditoleransi dengan baik, juga dapat
menghindari terjadinya bradikardi. Anestesi epidural dapat menurunkan
tahanan vaskular sistemik (SVR), sehingga membantu aliran darah dan
mencegah kongesti paru. Pasien dengan gangguan ventrikel yang berat sering
sangat sensitif dengan efek depresan dari obat volatile. Anestetik yang
berbahan dasar opioid lebih cocok digunakan, karena menghindari
bradikardia. Pemilihan pankuronium sebagai relaksan otot disertai anestetik
yang berbahan dasar opioid biasanya sangat bermanfaat.4
• Pemulihan
• Mencegah nyeri, hipoksemia, hiperkarbia dan asidosis dapat
membantu meningkatkan SVR.3
AORTA STENOSIS
• Aorta stenosis (AS) bisa terjadi kongenital atau didapat. Penyebab kongenital
meliputi katup unikuspid atau bikuspid dan fusi sebelum lahir. Penyebab
didapat meliputi kalsifikasi senilis dan penyakit jantung rematik. Pada AS
karena kalsifikasi terjadi degenerasi dari daun katup, pembentukan
kalsifikasi, diikuti obstruksi akibat stenosis. Pada AS terjadi kelebihan tekanan
ventrikel kiri. Hipertropi konsentrik mempertahankan tekanan dinding yang
normal, sehingga fraksi ejeksi dipertahankan. Tekanan sistolik yang
melampaui 50 mmHg dengan curah jantung yang normal atau muara aorta
efektif <0,75 cm2 pada rata-rata ukuran dewasa biasanya dianggap sebagai
kritis obstruksi aliran ventrikel kiri. Ventrikel kiri menghadapi peningkatan
secara bertahap untuk mengatasi ejeksi. Afterload terus meningkat sampai
pada saat volume sekuncup berkurang dan ventrikel kiri mulai membesar
akibat timbunan volume.2,3
• Evaluasi klinis
• Tanda kardinal dari AS adalah trias dispnoe, angina, dan sinkop. Pasien bisa
tetap asimptomatik untuk waktu yang lama, namun onset gejala
menunjukkan harapan hidup kurang dari 5 tahun. Ekokardiagrafi sangat
penting untuk menilai derajat beratnya AS. Pada pasien yang menunjukkan
gejala diperlukan kateterisasi jantung untuk menilai gradasi AS berdasarkan
pengukuran aortic valve area (AVA). Pasien bisa ditangani secara non operatif
dengan ballon valvuloplasi aorta perkutaneus. Sedangkan pada pasien senilis
dengan fungsi ventrikel yang buruk mungkin memerlukan pembedahan
penggantian katup aorta untuk dapat memperbaiki gejala klinis.3,4

• Premedikasi
• Pasien AS memerlukan antibiotika profilaksis untuk mencegah endokarditis
infektif. Teknik anestesi yang dapat menyebabkan depresi miokardium atau
penurunan tekanan darah harus dihindari, biasanya yang disebabkan oleh
agen volatile. Pemilihan agen penghambat neuromuscular didasarkan pada
denyut jantung pada saat istirahat. Obat-obatan yang menurunkan afterload
dapat menurunkan tekanan diastolik aorta dan mengganggu aliran darah
subendokardial. 3,4
• Monitor
• Diperlukan pengawasan ketat pada EKG dan tekanan darah, yang bertujuan
mempertahankan irama sinus, denyut jantung, dan volume intravaskular
yang normal. Hipotensi harus dihindari dan preload harus dipertahankan
adekuat. Hipotensi harus segera diatas untuk mencegah penurunan tekanan
perfusi koroner. Kebutuhan oksigenasi meningkat. Fenilefrin dosis kecil (50-
100 ug) dapat menaikkan tekanan darah dan perfusi koroner. Takikardi
sangat penting diperhatikan karena menurunkan waktu perfusi
subendokardial. Bradikardi akan meningkatkan gradient katup, yang
menyebabkan hipertensi sistemik dan iskemik subendokardial. Pada EKG,
iskemia akan menunjukkan depresi segmen-ST dan kelainan gelombang-T.
Takiartimia supraventrikular harus ditangani segera karena dapat
menyebabkan kekacauan hemodinamik. Hilangnya sistolik atrial dapat
mengganggu pengisian ventrikel kiri dan kongesti paru yang berat. Disritmia
atrial memerlukan DC kardioversi. 3-5
• Manajemen Anestesi
• Pada pasien dengan AS ringan sampai sedang (biasanya asimptomatik)
umumnya anestesi spinal atau epidural lumbal dapat ditoleransi dengan
baik. Perhatian khusus diberikan pada terjadinya hipotensi akibat
penurunan preload, afterload, atau keduanya. Anestesi epidural lebih
disukai karena onset hipotensi lebih lambat dan memungkinkan
penanganan yang lebih agresif. 3,4
• Pada pasien dengan AS yang berat, anestesi spinal dan epidural menjadi
kontraindikasi. Pemilihan obat anestesi umum sangat penting. Tekhik
anestesi yang berbahan dasar opioid biasanya menyebabkan depresi
jantung minimal, sehingga lebih sesuai dipakai agen induksi non-opioid
seperti etomidat dan kombinasi ketamin dan benzodiazepine. Jika
digunakan agen volatile, konsentrasinya harus diperhatikan untuk
menghindari depresi miokardium, vasodilatasi, dan hilangnya sistolik
atrium yang normal. Esmolol, pilihan penghambat beta adrenergik,
lebih disukai karena waktu paruhnya pendek.4
• Pemulihan
• Analgesia harus diberikan serta menghindari disritmia,
hiperkarbia, dan hipotermia merupakan hal yang
diperhatikan post operatif.3
AORTA INSUFISIENSI
Evaluasi klinis
• Aorta insufisiensi (AI) dapat disebabkan oleh penyakit katup akibat
demam rematik, atau proses degeneratif pada akar aorta yang
menyebabkan kelemahan katup pada usia lanjut. AI biasanya
berkembang secara lambat dan progresif (kronis), tetapi juga bisa
berkembang secara akut. Pada AI kronis, terjadi kelebihan volume yang
menyebabkan dilatasi ventrikel kiri, hipertrofi dinding ventrikel, dan
dapat berlanjut menjadi disfungsi ventrikel kiri akibat hipertrofi yang
tidak lagi adekuat untuk mengatasi tekanan pada dinding ventrikel.
Pada AI yang akut, terjadi overload diastolik ventrikel kiri yang berat,
yang dapat berlanjut menjadi kegagalan ventrikel kiri. Penurunan curah
jantung mengaktifkan refleks system saraf simpatik yang meningkatkan
denyut jantung dan SVR.
– Premedikasi
• Pasien AI akut sering memerlukan operasi emergensi sehingga beresiko tinggi
untuk terjadi aspirasi. Induksi dengan etomidat bermanfaat karena
menurunkan SVR dengan depresi miokardium minimal. Pankuronium
merupakan pilihan yang baik sebagai relaksan otot karena dapat mencegah
bradikardi. 3,4

– Monitor
• Denyut jantung harus dipertahankan dalam batas atas normal (80-100
x/menit). Bradikardi meningkatkan volume regurgitan. Distensi ventrikel
dapat menghasilkan bradikardi yang berat. Penderita lebih bisa mentoleransi
kenaikan denyut jantung yang moderat.
• Agen inotropik positif dapat bermanfaat untuk mempertahankan tekanan
perfusi sistolik, khususnya pasien pre-operatif dengan disfungsi ventrikel kiri.
Sebagai vasopressor untuk mengatasi hipotensi lebih dipilih menggunakan
efedrin. Fenilefrin dosis kecil (25-50 ug) dapat digunakan jika terjadi hipotensi
akibat vasodilatasi yang berat. Penurunan afterload intraoperatif dengan
nitroprusside secara optimal membutuhkan monitoring ketat pada
hemodinamik.3,4
Manajemen Anestesi
• Penderita AI kronik dapat dengan aman diberikan anestesi
umum atau regional. Sebagian besar penderita mentoleransi
dengan baik anestesi spinal dan epidural. Anestesi umum
sebaiknya menggunakan isoflurane dan desflurane karena
adanya vasodilatasi. Penderita AI berat mungkin tidak dapat
mentoleransi depresi miokardium, sehingga tekhik narkosis
berbahan dasar opioid lebih sesuai.4
REGURGITASI TRIKUSPID
Evaluasi klinis
• Regurgitasi trikuspid umumnya merupakan kelainan fungsional
yang ditandai dilatasi dari ventrikel kanan yang disebabkan
hipertensi pulmonal. Regurgitasi trikuspid biasanya terjadi pada
hipertensi pulmonal dan overload volume dari ventrikel kanan
yang sering disebabkan kegagalan ventrikel kiri akibat penyakit
katup aorta atau mitral. Angka kejadian yang signifikan
regurgitasi tricuspid yang merupakan komplikasi sekunder dari
infeksi endokarditis yang sering menyertai penderita
penyalahgunaan obat secara intravena. Regurgitasi trikuspid
biasanya dikarenakan stenosis dari katup tricuspid yang
merupakan komplikasi dari demam rheumatik. 6
– Monitor
• Volume cairan intravaskuler dan tekanan vena sentral dipertahankan dalam batas
maksimal normal untuk menjamin terpenuhinya stroke volume ventrikel kanan dan
pengisian dari ventrikel kiri. Tekanan intratorak yang tinggi pada tekanan positif
ventilasi paru atau venodilatasi oleh obat dapat menurunkan tekanan balik vena dan
lambat laun akan mempengaruhi stroke volume ventrikel kiri. Hindari terjadinya
peningkatan resistensi vaskuler pulmonal seperti hypoxemia arterial dan hiperkarbia.6
• Pengawasan intraoperatif temasuk pengukuran tekanan pengisian atrium kanan akan
sangat membantu dalam memilih pengganti cairan intravena dan menditeksi efek yang
lebih lanjut dari obet anastesi atau tehnik pada jumlah regurgitasi tricuspid. 5,6

– Manajemen anestesi
• Manajeman anastesi dari pasien dengan regurgitasi tricuspid sama, baik dengan satu
kelainan itu saja maupun yang disertai dengan penyakit katup aorta atau mitral.
• Kombinasi obat-obat anestesi atau tehnik yang spesifik tidak dianjurkan dalam
menangani pasien dengan regurgitasi tricuspid. Namun anastesi volatile yang dapat
menyebabkan vasodilatasi pulmonal dapat dipertimbangkan untuk digunakan, dan
ketamin dapat digunakan karena efeknya dalam mempertahankan aliran balik vena.
Nitro-oksida adalah vasokonstriktor yang lemahapabila dikombinasikan dengan opioid
dan dapat memperparah regurgitasi tricuspid dengan mekanisme ini. Penggunaan nitro-
oksida akan membantu mengontrol aliran darah balik vena sentral dan kemungkinan
dapat membantu meningkatkan tekanan atrium kanan. 6
• Evaluasi klinis
• Defek septum ventrikel yang kecil akan menimbulkan bising pansistolik
yang ringan pada intercostals ke 4 dan ke 5 kiri, foto toraks yang normal
dan gambaran elektrokardiogram right bundle branch. Tekanan
intrakardial masih normal dengan shunting left-to-right yang minimal.
Ventrikel septal defek yang sedang sampai besar menimbulkan murmur
pansistolik yang keras dengan expiratory splitting pada suara jantung
kedua dan adanya pembesaran jantung kiri, akhirnya bisa juga terjadi
pembesaran jantung kanan. Saturasi oksigen pada ventrikel kanan
meningkat sebagai akibat adanya left-to-right shunt. Tekanan end
diastolic ventrikel kanan, tekanan arteri pulmonal dan tekanan end
diastolic ventrikel kiri juga meningkat. Ventrikel septal defek yang
sedang biasanya menyebabkan penurunan tahanan vascular pulmonal,
sedangkan VSD yang besar menyebabkan peningkatan tahanan
vaskuler pulmonal tersebut. Peningkatan tahanan vaskuler pulmonal
yang berlangsung lama menyebabkan shunting yang biridectional dan
akhirnya right-to-left shunt yang disertai dengan sianosis dan
clubbing.7,8
• Manajemen anestesi
• Panduan dalam premedikasi, monitoring, induksi, dan penatalaksanaan intraoperatif dapat diaplikasikan
untuk seluruh tipe defek septum. Problem khusus pada pasien defek septum ventrikel diantaranya adalah:
peningkatan PBF, CHF, dan penurunan fungsi ventrikuler.7
• Pada pasien dengan defek septrum ventrikel supracristal, insufisiensi aorta merupakan problem tambahan.
Pada defek septum ventrikel kecil akan membebani ventrikel kiri, sedangkan defek septum ventrikel besar
akan membebani kedua ventrikel.7,8
• Sebagian besar pasien dengan defek septum mengalami pintasan kiri-ke-kanan yang akan cenderung
menurunkan waktu induksi pada penggunaan agen inhalasi yang relative soluble, seperti misalnya
halothane. Karena darah yang melewati pintasan kemudian mengalami resirkulasi melalui paru, sebagian
akan mengalami saturasi oleh agen anestesi, oleh sebab itu konsentrasi alveolar akan meningkat dengan
lebih cepat, akibatnya induksi anestesi akan terjadi lebih cepat. Konsentrasi agen insoluble misalnya nitrous
oksida relatif lebih tidak terpengaruh oleh mekanisme ini, sehingga tidak terjadi akselerasi induksi. Agen
intravena dikatakan memiliki efek onset yang lebih lambat, karena terjadinya dilusi tambahan oleh darah
yang mengalami resirkulasi. Anestesiolog dapat mengkompensai dampak adanya pintasan dengan
meningkatkan konsentrasi agen intra vena; meskipun terdapat risiko overdosis.7,8
• Faktor–faktor tersebut, meskipun nyata, namun memiliki aspek kepentingan klinis yang kecil dalam induksi
anestesi dibandingkan dengan faktor lain, seperti misalnya kecukupan premedikasi dan mempertahankan
volume ventilasi yang adekuat.7
• Teknik induksi pada pasien dengan pintasan kiri-ke-kanan bukanlah hal yang bersifat kritis dan dapat
disesuaikan menurut keinginan pasien, tingkat kooperativitas, atau ada-tidaknya jalur infus intravena pre-
induksi. Pasien yang telah terpasang infus ataupun menginginkan induksi intravena dapat dengan aman
diinduksi dengan menggunakan thiopental 2-4 mg/kg atau preparat induksi intravena lainnya, diikuti
dengan pemberian suksinilkolin atau pancuronium sebagai agen blokade neuromuscular sebelum dilakukan
intubasi. Pada pasien dengan penyakit yang lebih parah (hipertensi pulmoner dengan gagal jantung kanan)
dapat diberikan fentanyl 5-10 μg/kg atau ketamin 1-2 mg/kg untuk menggantikan thiopental sebagai agen
induksi intravena. Setelah dilakukan induksi, kemudian ditambahkan agen inhalasi sesuai dengan
kebutuhan situasi klinis.7,8
• Pemantauan
• Pemantauan dasar untuk perbaikan ASD atau VSD adalah sama dengan sebagian besar
prosedur operasi kardiovaskuler: EKG, tekanan darah (invasif dan non-invasif), oksimetri
nadi, kapnografi, tekanan vena sentral/CVP, temperatur, produksi urin, pemeriksaan
laboratoris berupa analisis gas darh dan elektrolit. CVP merupakan panduan yang baik
untuk memberikan terapi cairan. Namun, hasilnya dapat meragukan paling tidak dalam
2 situasi berikut:
• Segera setelah ventrikulotomi, tekanan jantung kanan akan cenderung tinggi sebagai
akibat dari penurunan fungsi jantung kanan, sedangkan fungsi jantung kiri normal.
• Setelah penutupan ASD, tekanan atrium kiri untuk sementara waktu akan lebih tinggi
dibandingkan tekanan atrial kanan. Pemasangan kanula pada atrium kiri bias jadi
berguna pada beberapa kasus, namun tidak diperlukan secara rutin.
• Kateter arteri pulmonalis yang dipasang dengan tujuan untuk mengukur tekanan atau
curah jantung digunakan pada beberapa sentra, namun hingga saat ini belum diterima
secara luas karena adanya penyulit berupa insersi pada anak kecil, perubahan letak yang
terjadi saat kanulasi atau perbaikan, kemungkinan menembus defek septum, biaya yang
harus dikeluarkan, dan sejauh mana perannya dalam mempengaruhi outcome penderita
belumlah diketahui.7,8
• PERTIMBANGAN ANESTESI PADA PENYAKIT
• JANTUNG BAWAAN
• Dua akibat utama pada penyakit jantung bawaan yang bermakna adalah
gagal jantung kongestif dan sianosis. Gagal jantung kongestif harus dikontrol
dengan digitalis, diuretik, dan atau obatobatan yang mengurangi afterload
sebelum dilakukan tindakan bedah elektif apapun. Terapi obat-obatan harus
diteruskan pada periode perioperatif. Kadar kalium serum yang adekuat dan
menghindari hipokarbia penting untuk menghindari keracunan digitalis
pada pasien-pasien yang mengkonsumsi digitalis. Pengendalian penyakit
jantung kongestif dapat memperbaiki fungsi paru dan mengurangi
kemungkinan terjadinya hipoksemia perioperatif atau gagal nafas.9,10
• Sianosis merupakan ciri gangguan jantung dengan shunt kanan ke kiri.
Aliran darah paru yang terbatas, dan atau campuran vena pada sirkulasi
sistemik. Hipoksemia berat menyebabkan polisitemia yang diikuti oleh
peningkatan volume dan viskositas darah, neovaskularisasi, hiperventilasi
alveolar untuk mempertahankan normokarbia pada arteri, dan koagulopati.
Clubbing atau osteoarthropati ruas distal jari-jari tangan dan kaki merupakan
tanda dari penyakit jantung sianotik yang berkepanjangan.9,10
• Evaluasi preoperatif
• Evaluasi preoperatif harus ditujukan untuk mendapatkan gambaran yang menyeluruh dari anatomi dan
semua prosedur bedah yang pernah dijalani. Hanya dengan adanya hipoksemia, hal ini menunjukkan
penanganan yang inadekuat dan terdapatnya abnormalitas jantung. Selain menentukan derajat hipoksemia
pada keadaan istirahat, riwayat episode hipersianotik termasuk faktor pencetus atau perubahan yang
mendadak pada derajat hipoksemia harus diketahui. Walaupun penurunan toleransi latihan tidak spesifik
untuk hipoksemia, ini dapat menjadi indikator yang baik untuk fungsi kardiovaskuler secara keseluruhan
dan merupakan bagian anamnesis yang dapat mempengaruhi pengelolaan anestesi.11
• Anak dengan hipoksemia biasanya lebih kecil untuk usianya. Walaupun sangat sulit untuk membedakan
apakah hipoksemia disebabkan gangguan pada jantung atau paru, usaha ini harus dilakukan karena infeksi
paru aktif merupakan indikasi untuk menunda prosedur bedah elektif. Bila terdapat gejala yang berkaitan
dengan hiperviskositas atau hemostasis abnormal, harus dikonsultasikan dengan ahli hematologi untuk
menentukan perlunya phlebotomi preoperatif. Riwayat kerusakan neurologis sebelumnya akibat
pembedahan, emboli, atau infeksi harus diperhatikan.11
• Pemeriksaan laboratorium preoperatif harus dimulai dengan hematokrit dan indeks ukuran eritrosit. Secara
umum, hematokrit berhubungan dengan tingkat keparahan hipoksemia. Namun, anak-anak atau dewasa
dapat menderita defisiensi besi atau phlebotomi yang berlebihan, sehingga hematokrit tampak berkurang.
Bergantung pada besarnya pembedahan, hemostasis yang adekuat harus dipastikan dengan uji fungsi
platelet dan koagulasi. Pemeriksaan echocardiografi sangat penting untuk menentukan anatomi dan pola
aliran darah. Echocardiografi transesofageal harus dipertimbangkan bila dengan pemeriksaan prekordial
tidak adekuat.9,11
• Hipoksemia saja bukan merupakan indikasi untuk pemantauan invasif. Besarnya pembedahan, fungsi
ventrikel, teknik anestesi dan tingkat keparahan penyakit yang mendasari merupakan faktor-faktor yang
harus dipertimbangkan sebelum memasang kateter vena sentral atau arteri. Pemasangan kateter pada arteri
pulmonalis secara teknis sulit dan informasi yang didapat sulit untuk ditafsirkan. Tentu saja, oksimeter yang
baik sangat diperlukan. Bila tersedia, echocardiografi transesofageal dapat memberikan data yang berguna
tentang fungsi ventrikel, volume akhir diastolik dan besarnya shunt kanan ke kiri. Ruang rugi fisiologis
dapat meningkat dan pengukuran end tidal CO2 dapat lebih rendah dari PCO2 arteri.9,11
• Premedikasi dan Pemilihan Obat Anestesi
• Premedikasi dapat sangat berguna bila anak mempunyai riwayat hipoksemia yang diperparah dengan eksitasi atau agitasi. Obat-
obatan oral, rektal atau intramuskular semuanya aman dan efektif. Pemberian melalui oral memiliki keuntungan yaitu
menghindari rasa terkejut atau takut saat memberikan obat premedikasi. Suplemen oksigen dapat diberikan untuk
mempertahankan saturasi oksigen pada garis dasar.11
• Pilihan obat-obat anestesi kurang penting dari pada mencapai kondisi hemodinamik yang sesuai untuk tiap kelainan jantung.
Apapun kelainan jantung yang mendasarinya, tujuan utama adalah untuk mempertahankan oksigenasi jaringan yang adekuat.
Hal ini paling baik dicapai dengan memahami penyebab yang mendasari hipoksemia pada tiap pasien. Terdapat dua kategori
umum pasien yang mengalami hipoksemia akibat kelainan jantung, yaitu pasien dengan aliran darah pulmonal yang terbatas dan
shunt darah dari kanan ke kiri, dan pasien dengan aliran darah paru yang tidak terganggu dan terdapat pencampuran darah
vena pulmonal dan vena sistemik. Pengelolaan anestesi pada masing-masing kondisi ini cukup berbeda, bila aliran darah
pulmonal terbatas, sumber obstruksi aliran harus diidentifikasi dan dilakukan pemeriksaan aliran darah melewati obstruksi
tersebut.
• Strategi umum untuk menghindari hipoksemia saat induksi dan pemeliharaan anestesi pada pasien dengan aliran darah paru
terbatas adalah dengan memastikan hidrasi yang adekuat, mempertahankan tekanan darah sistemik arteri, meminimalkan
resistensi aliran darah pulmonal, dan menghindari peningkatan kebutuhan oksigen sistemik yang tiba-tiba (menangis, berontak,
dan anestesi yang kurang dalam).8
• Pada keadaan-keadaan dimana aliran darah pulmonal tidak terganggu namun terdapat pencampuran darah vena sistemik dan
pulmonal, saturasi arteri akan bergantung pada perbandingan aliran darah pulmonal dan sistemik (Qp/Qs ratio). Secara umum,
tidak dapat diharapkan darah arteri tersaturasi maksimal. Peningkatan perbandingan aliran darah pulmonal dan sistemik
(Qp/Qs ratio) dapat meningkatkan beban kerja jantung atau dapat pula menyebabkan penurunan perfusi sistemik bila fungsi
kardiovaskuler sudah maksimal. Pertimbangan utama anestesi pada kategori pasien ini adalah mempertahankan fungsi ventrikel
dan mencegah terjadinya perubahan Qp/Qs ratio.8,11
• Walaupun efek shunting pada kecepatan induksi harus dipertimbangkan, namun kemaknaan klinisnya minimal. Pertimbangan
harus ditujukan pada pengelolaan hemodinamik.8,9
• Pertimbangan postoperatif yang penting adalah tumpulnya respon kemoreseptor terhadap hipoksia. Situasi ini sama dengan
pasien yang telah mengalami endarterektomi karotid bilateral. Hipoksia yang berat dapat terjadi tanpa menimbulkan respon
normal peningkatan ventilasi, terutama bila diberikan obat yang menekan respirasi seperti narkotik. Saturasi oksigen harus
dipertahankan pada kadar yang sesuai dengan pemberian suplemen oksigen sampai anak sadar penuh. Mekanisme tumpulnya
respon terhadap hipoksia ini belum diketahui, namun tampaknya respon ventilasi terhadap hipoksemia akan kembali normal
setelah pembedahan untuk mengoreksi hipoksemia. Hipoksemia kronis tidak menyebabkan perubahan respon ventilasi terhadap
karbon dioksida atau konsentrasi ion hidrogen.8,9
Kesimpulan
• Dalam pemberian obat anestesi dalam pembedahan pasien
dengan kelainan jantung bawaan, apapun kelainan jantung
yang mendasarinya, tujuan utama adalah untuk
mempertahankan oksigenasi jaringan yang adekuat. Hal ini
paling baik dicapai dengan memahami penyebab yang
mendasari hipoksemia pada tiap pasien.
TERIMA KASIH
DAFTAR PUSTAKA
• Latief SA, Suryadi KA, Dachlan MR. Petunjuk praktis anestesiologi. Edisi kedua. Jakarta. Bagian
anestesiologi dan terapi intensif Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2001: 1-8
• Morgan GE, Mikhail MS, Murray MJ. Valvular heart disease. In: Clinical anesthesiology. 4th ed. The United
States of America. Appleton and lange, 2006:463-78
• Bready LL, Mullins RM, Noorily SH, Smith RB. Decision making in anesthesiology an algorithmic approach.
3rd ed. Mosby. St Louis Missouri. 2000: 122-34
• Bongard FS, Sue DY. Critical care diagnosis and treatment. 1st ed. The United States of America. Appleton
and lange. 1994: 463-77
• Stoelting RK, Dierdorf SF. Anesthesia and co-existing disease. 4th ed. Churchill livingstone. Philadelphia.
2002: 25-43
• Gurkowski MA, Bracken CA. Specialty Anesthesia. 2nd ed. Mosby. Pennsylvania. 2002: 279-89
• Nasution AH. Anestesi pada Ventrikel Septal Defek. Majalah Kedokteran Nusantara, 2008; 41(2): 133-138
• Morgan, GE, Mikhail, MS & Murray, MJ. Anesthesia for Patients With Cardiovascular Disease. In: Clinical
Anesthesiology, 4th edition, McGraw- Hill Companies, New York. 2006, p424-5
• Ahmad MR. Anesthesia for Non-Cardiac Surgery in Children with Congenital Heart Disease. The Indonesian
Journal of Medical Science, 2010; 1(8): 467-476.
• Hollinger I. Congenital Heart Disease. Clinical cases in anesthesia. 3rd edition. 2005; 69: 409-18.
• Frankville DD, Lake CL. Anesthesia for noncardiac surgery in children and adults with congenital heart
disease. Pediatric Cardiac Anesthesia. 3nd edition. 1998; 26: 485-513.
• Mashour GA, Avery EG. Anesthesia for cardiac surgery. Dalam: Clinical anesthesia procedures of the
Massachusetts general hospital. 7th edition. 2007; 23: 421-3.

Anda mungkin juga menyukai