Anda di halaman 1dari 58

JOURNAL READING

Pengelolaan Tinea Corporis, Tinea Cruris, dan Tinea


Pedis: Sebuah Tinjauan Komprehensif

OLEH :SISKA MEILISA, S.KED


P E M B I M B I N G : D R . S R I Y U S F I N A H M P H , S P. K K
ABSTRAK

 Prevalensi infeksi mikosis superfisialis di seluruh dunia 20-


25% paling sering disebabkan oleh dermatofita
 Kurangnya reaksi hipersensitivas tipe lambat yang
menghasilkan reaksi hipersensitivitas tipe cepat positif
terhadap antigen Trichophyton akan menyebabkan
kronisitas penyakit
 Dalam penegakan diagnosis keadaan klinis harus
dikonfirmasi dengan pemeriksaan laboratorium
 Beberapa teknik terbaru seperti polymerase chain reaction
(PCR) dan spektroskopi bisa membantu untuk
mengidentifikasi strain dermatofita yang berbeda
 Manajemen melibatkan penggunaan antijamur topikal
pada penyakit tertentu, dan terapi oral biasanya digunakan
untuk kasus yang lebih luas.
 Tinjauan ini bertujuan untuk meninjau kembali
topik penting ini dan akan membahas secara detail
kemajuan terbaru dalam patofisiologi dan
manajemen dari tinea corporis, tinea cruris, dan
tinea pedia sambil menyoroti kurangnya kejelasan
isu-isu manajemen tertentu.
PENDAHULUAN

 Dermatofita adalah jamur yang menyerang dan


berkembang biak dalam jaringan keratin (kulit, rambut,
dan kuku) yang menyebabkan infeksi

 Dermatofita diklasifikasikan : Trichophyton (kulit, rambut,


dan kuku), Epidermophyton (kulit dan kuku), dan
Microsporum (kulit dan rambut).

 Berdasarkan cara penularannya : antrofilik, zoofilik, dan


geophilik
 berdasarkan bagian yang terkena :tinea capitis
(kepala), tinea facialis (wajah), tinea barbae
(jenggot), tinea corporis (tubuh), tinea manus
(tangan), tinea cruris (pangkal paha), tinea pedis
(kaki), dan tinea unguium (kuku).
 Varian klinis lain termasuk tinea imbrikata, tinea
pseudoimbrikata dan Majocchi granuloma.
PERUBAHAN EPIDEMIOLOGI
DERMATOFITOSIS

 Dermatofita adalah agen yang paling umum dari infeksi


jamur superfisial terutama di negara-negara tropis dan
subtropis seperti India, di mana suhu lingkungan dan
kelembaban yang relatif tinggi.
 Faktor-faktor : peningkatan urbanisasi dengan penggunaan
alas kaki oklusif dan pakaian yang ketat prevalensi lebih
tinggi
 studi tentang epidemiologi dari infeksi dermatofita dari di
India telah menunjukkan peningkatan dalam prevalensi
dermatofitosis kulit dengan perubahan dalam spektrum
infeksi dan isolasi beberapa spesies yang jarang
 Trichophyton rubrum penyebab paling umum tinea
corporis dan cruris yang paling sering dibahas dalam
presentasi klinis pada studi yang relatif besar dari Chennai
dan Rajasthan.
 Studi dari Lucknow dan New Delhi, Trichophyton
mentagrophytes dan Microsporum audouinii adalah
penyebab yang paling sering.
 Beberapa penelitian juga menunjukkan spesies langka
seperti Microsporum gypseum di bagian dunia
nonendemik.
PATOGENESIS DERMATOFITOSIS

Genetika dermatofitosis
 Ada bukti genetik yang dapat dimediasi oleh cacat spesifik
dalam imunitas bawaan dan adaptif. Salah satunya adalah
Tokelau atau tinea imbricata. Menurut Jaradat et al.,
pasien dengan defensin beta 4 yang rendah rentan untuk
semua dermatofita.
 Patogenesis infeksi dermatofita melibatkan interaksi
kompleks antara host, agent dan lingkungan.
 Faktor-faktor yang mempengaruhi infeksi : DM,
limfoma, Status immunocompromised, atau sindrom
Cushing, usia yang lebih tua
 Daerah tubuh yang lebih rentan : intertriginosa
(daerah lipatan dan selangkangan) dimana keringat
berlebih, maserasi, dan pH basa mendukung
pertumbuhan jamur.
 Setelah inokulasi ke dalam kulit hostpenetrasi
yang dimediasi oleh protease, serin-Subtilisin, dan
fungosin tercernanya jaringan keratin dalam
polipeptida atau asam amino dan juga sebagai
rangsangan imunogenik kuat.
 mannans yang diproduksi oleh T. rubrum
menyebabkan penghambatan limfosit.
 Gangguan fungsi sel Th17 menyebabkan menurunya
produksi interleukin-17 (IL-17), IL-22 (sitokin kunci
dalam bersihan infeksi jamur mukokutan) infeksi
persisten.
Imunologi dermatofitosis
 Respon imun terhadap infeksi dermatofita dari
mekanisme agen spesifik ke humoral dan
diperantarai respon imun sel
 respon imun sel bertanggung jawab untuk kontrol
dermatofitosis
Respon imun bawaan
 Dermatofita mengandung molekul karbohidrat
molekul pada dinding sel (β-glukan) yang dikenal
oleh mekanisme kekebalan tubuh bawaan, seperti
Dectin-1 dan Dectin-2, yang mengaktifkan reseptor
target 2 dan 4 (TLR-2 dan TLR-4).
 Dectin-1 menguatkan produksi tumor necrosis
factor-α dan IL-17, IL-6, dan IL-10 merangsang
imunitas adaptif.
 Keratinosit menstimulasi antigen dermatofita,
seperti Trichophyton untuk melepaskan IL-8,
chemoattractant neutrofil kuat.
 Sebuah studi terbaru menunjukkan keterlibatan
TLR-2 dan TLR-4 pada dermatofitosis lokal dan luas
karena T. rubrum. menurunkan ekspresi TLR-4 pada
epidermis lapisan bawah dan atas
Respon imun adaptif
Imunitas humoral:
 Imunitas humoral untuk dermatofita tidak protektif.
 Tingginya kadar IgE spesifik dan IgG4 yang
dideteksi pada pasien dengan dermatofitosis kronis
yang bertanggung jawab untuk tes hipersensitivitas
tipe cepat (IH) positif (IgE termediasi) terhadap
Trichophyton
 Tingkat Ig rendah pada pasien yang tes kulit
hipersensitivitas tipe lambatnya positif.
Imunitas diperantarai sel:
 Beberapa percobaan telah menunjukkan bahwa resolusi
dermatofitosis dimediasi oleh hipersensitivitas tipe lambat.
 Kekebalan terhadap patogen diatur oleh subset Th1 atau
Th2 yang pada akhirnya akan menentukan hasil infeksi.
Respon nonspesifik

 Transferin jenuh telah ditemukan untuk menjadi


penghambatan dermatofita dengan mengikat
hifanya.
 Pityrosporum membantu lipolisis dan meningkatkan
asam lemak untuk menghambat pertumbuhan
jamur.
DIAGNOSIS DERMATOFITOSIS

 Pemeriksaan laboratorium
1. Pemeriksaan mikroskopis langsung
10-20% kalium hidroksida (KOH) adalah bahan
yang cepat dan murah untuk memberikan bukti
infeksi dermatofita.
kerokan positif ditandai dengan adanya filamen
hifa refractile, panjang, halus, bergelombang,
bercabang, dan septate dengan atau tanpa
artokonidiospora.
 Pewarnaan fluroresensi dengan penerangan optik
(diaminostilbene) adalah metode yang paling sensitif untuk
mendeteksi mikroskopis jamur di kulit serta di spesimen
dari kuku dan rambut mengikat chitin, komponen utama
dinding sel jamur
 Kultur dan sensitivitas antijamur: Sabouraud dekstrosa
agar (SDA, 4% pepton, 1% glukosa, agar, air) adalah media
isolasi yang paling umum digunakan untuk dermatofitosis
dan berfungsi sebagai media yang mendeskripsikan
morfologi dari jamur
 Selama 7-14 hari pada suhu kamar.
 SDA dimodifikasi dengan penambahan gentamisin,
kloramfenikol dan cycloheximide sebagai penghambat
pertumbuhan jamur dari saprofit.
 Dermatofita memanfaatkan protein yang mengakibatkan
kelebihan ion amonium dan lingkungan basa yang
mengubah media dari kuning ke merah terang.
Uji kerentanan antijamur
 Kaldu mikrodilusi untuk pengujian kerentanan
antijamur dermatophyta sebelumnya telah
dikembangkan sebagai modifikasi metode standar
Laboratorium Standards Institute Clinical
 Sebuah standar inokulum dibuat dengan
menghitung microconidia yang mikroskopis
 Kultur tumbuh pada SDA yang dimiringkan selama
7 hari pada 35°C untuk menghasilkan konidia.
 Normal saline steril (85%) ditambahkan ke sediaan
agar miring, dan kultur diusap lembut dengan kapas
aplikator untuk mengusir konidia dari lapisan hifa
 Suspensi diletakkan ke tabung centrifuge steril, dan
volume disesuaikan sebanyak 5 ml dengan normal
saline steril.
 Suspensi yang dihasilkan dihitung pada
Hemasitometer dan diencerkan dalam medium
RPMI 1640 dengan konsentrasi yang diinginkan.
 Cawan mikrodilusi diinkubasi pada 35°C dan dibaca
secara visual setelah 4 hari inkubasi.

Minimum fungicidal concentration (MFC)


 Ditentukan dengan 100-ml aliquots dikeluarkan dari
tempat uji dan tidak terlihatnya pertumbuhan pada
akhir inkubasi. Cawan diinkubasi pada 30 ° C selama
7 hari.
 MFC didefinisikan sebagai konsentrasi obat
terendah di mana tidak terlihatnya pertumbuhan
jamur atau perkembangan koloni.
Identifikasi dermatofita
 Didasarkan pada karakteristik koloni, morfologi
mikroskopis, dan tes fisiologis.
 Dermatofita dapat dibedakan berdasarkan morfologi
macroconidianya.
 Beberapa tes fisiologis tersedia untuk membantu
dalam konfirmasi spesies tertentu. Selain itu, asam
amino dan vitamin khusus dapat membedakan
spesies Trichophyton dari yang lain.
Histopatologi
 digunakan dalam diagnosis granuloma Majocchii
 Bahan khusus yang paling sering digunakan adalah
periodic acid-Schiff dan Gomori methanamine
silver yang membantu untuk menyinari hifa.
Dermoskopi
 Pertumbuhan rambut yang terhambat, sedikit
melengkung, dan rambut yang patah digambarkan
sebagai penanda dermoskopi dari tinea capitis.
Rambut rusak dan distrofik juga terlihat.
 dalam tinea corporis, keterlibatan rambut vellus
seperti yang terlihat pada dermoskopi merupakan
indikator terapi sistemik.
polymerase chain reaction (PCR)

 Tes ini tidak hanya membantu dalam diagnosis yang


cepat dan dini dari infeksi tetapi juga membantu
dalam menentukan resistensi obat
 Uniplex PCR untuk deteksi dermatofita langsung
sensitivitas dan spesifisitas tes dibandingkan dengan
kultur adalah 80,1% dan 80,6%.
 Multiplex PCR untuk deteksi jamur dermatofita:
mengaktifkan amplifikasi simultan dari 21 patogen
dermatomikosis dengan deteksi DNA dengan cara
elektroforesis gel agarosa.
Reflectance confocal microscopy
 dapat digunakan untuk mendeteksi jamur kulit dan
infestasi parasit.
 Percabangan jamur hifa dapat dideteksi melalui
annular eritematosa patch
Tatalaksana dermatofitosis

Tatalaksana nonfarmakologis
 Memakai pakaian longgar terbuat dari katun atau
bahan sintetis yang dirancang untuk menghindari
dari kelembaban permukaan.
 Daerah terinfeksi harus dikeringkan sebelum
tertutup dengan pakaian.
 Menghindari berjalan tanpa alas kaki dan berbagi
pakaian .
Tatalaksana medikamentosa dengan
antijamur

 Pada Lesi yang meliputi area permukaan tubuh yang


luas yang tidak sembuh dengan pengobatan ulang
menggunakan agen topikal yang berbeda harus
dipertimbangkan untuk menggunakan terapi
sistemik.
 Obat topikal memiliki farmakokinetik lebih baik dari
terapi sistemik.
 Terapi kombinasi diharapkan memiliki bersihan
mikologi lebih baik daripada sistemik dan topikal
saja.
 Kombinasi harus dari kelompok yang berbeda untuk
cakupan yang luas dan juga untuk mencegah
timbulnya resistensi
 Obat dengan durasi yang lebih pendek dan dosis
yang lebih tinggi memiliki kecenderungan kearah
resistensi dibandingkan dengan dosis yang lebih
rendah dan durasi yang lama
Indikasi antijamur sistemik pada dermatofitosis:
 Tinea capitis
 Tinea yang mengenai kuku
 Tinea melibatkan lebih dari satu daerah tubuh
secara bersamaan, misalnya tinea cruris dan corporis
, atau tinea cruris dan tinea pedis
 Tinea corporis dimana lesi sangat luas.
 Tinea pedis ketika ada keterlibatan luas di daerah
tumit, atau dorsum kaki atau ketika penyakit
berulang.
Terapi antijamur topikal untuk tinea
cruris, corporis, dan pedis

 Sebagian besar penelitian dalam pengobatan tinea


corporis dan cruris telah melihat efektivitas
antijamur topikal dengan sangat sedikit penelitian
tentang penggunaan antijamur oral.
 Sebuah meta-analisis oleh Rotta et al mengevaluasi
kemanjuran pengobatan antijamur yang melibatkan
14 antijamur topikal yang berbeda
 Membandingkan antijamur topikal dengan satu
sama lain atau dengan plasebo
 Tidak ada perbedaan statistik yang signifikan antara
antijamur tentang hasil penyembuhan mikologis
pada akhir pengobatan.
 Butenafine dan terbinafine lebih baik dibandingkan
klotrimazol.
 Uji berpasangan dari antijamur topikal untuk hasil
penyembuhan jamur menunjukkan Butenafine dan
terbinafine lebih baik dari klotrimazol, oxikonazol
dan sertakonazol; terbinafin lebih baik dari
Ciclopirox, dan naftifin lebih baik dari oxikonazol.
 Antijamur topikal lain seperti azoles juga efektif
dalam hal kesembuhan klinis dan menghambat
perkembangan mikologi.
 Kombinasi terapi steroid topikal dan antijamur 
terjadi kambuhan
 Antijamur topikal biasanya diberikan sekali atau dua
kali sehari selama 2-4 minggu
Alasan umum kegagalan terapi: Moriarty et al
 Ketidakpatuhan dalam pengobatan, kontak langsung yang
berulang, resistensi obat, misdiagnosis, dan infeksi dengan
spesies yang jarang.
 Menyarankan penggunaan hidrokortison topikal untuk
waktu yang singkat pada lesi meradang meningkatkan
bioavailabilitas dari sebagian besar antijamur topikal
kelompok imidazol
 Tidak dianjurkan pada negara-negarayang mudah
tersedianya steroid topikal  Tinea incognito
 Tinea pedis diobati dengan krim antijamur topikal selama 4
minggu dan tinea pedis interdigitalis hanya memerlukan 1
minggu terapi.
 Antijamur topikal efektif terhadap tinea pedis:termasuk
azoles, allylamines, Butenafin, Ciclopirox, tolnaftate, dan
Amorolfine
 Sebuah meta-analisis dari 11 percobaan acak
menyimpulkan bahwa pengobatan dengan terbinafin atau
naftifin menghasilkan angka kesembuhan sedikit lebih
tinggi dari pengobatan dengan azol.
 Nistatin tidak efektif untuk pengobatan infeksi
dermatofita.
 Naftifine hidroklorida gel juga ditemukan efektif
baik untuk tinea pedis jenis interdigitalis dan
moccasin.
Antijamur topikal baru

 Lulikonazol (mirip terbinafin) antijamur azol


bersifat fungisida terhadap spesies Trichophyton
 Tersedia dalam formulasi cream 1%, efektif dipakai
sehari sekali untuk 1-2 minggu pada infeksi
dematofita
 Amfoterisin B gel berbasis lipid telah menunjukkan
sifat farmakologis dan hasil klinis pada pengobatan
berbagai infeksi jamur mucocutaneous termasuk
dermatofitosis, tanpa efek samping.
 Keberhasilan pengobatan tinea corporis dengan
kombinasi isokonazole topikal dengan diflukotolon
(steroid topikal yang poten) juga telah dilaporkan
Terapi antijamur oral pada Tinea
corporis, cruris dan pedis

 Antijamur sistemik diindikasikan pada pasien yang


gagal terapi topikal.
 Terbinafin dan itrakonazol adalah yang sering
diresepkan
 Griseofulvin dan flukonazol juga efektif tetapi
memerlukan pengobatan jangka panjang.
 Uji perbandingan antara itrakonazol 100 mg / hari dengan
ultra micronized griseofulvin 500 mg / hari untuk tinea
corporis atau tinea cruris menunjukkan hasil klinis dan
mikologi secara signifikan lebih baik mendukung
itraconazole setelah 2 minggu terapi.

 Studi serupa membandingkan terbinafine dengan


griseofulvin (500 mg sehari selama 6 minggu) untuk tinea
corporis menemukan angka kesembuhan mikologi sekitar
87% pada kelompok pertama yang terkena dibandingkan
dengan 73% pada kelompok yang terkena setelahnya.
 Studi double-blinded antara itrakonazol (100 mg /
hari) dan griseofulvin (500 mg / hari) ditemukan
itrakonazol lebih baik sebagai obat mikologi.
 Terapi topikal kurang efektif dibandingkan antijamur oral
untuk pengobatan tinea pedis, dan pengobatan oral
umumnya diberikan selama 4-8 minggu.
 Dalam review sistematis khasiat antijamur oral pada
terbinafine ditemukan menjadi lebih efektif dari
griseofulvin, sedangkan khasiat terbinafine dan itrakonazol
mirip.
 Antijamur topikal bersama dengan antijamur
sistemik telah ditemukan lebih berguna dalam
pencapaian awal kesembuhan klinis dan mikologi
serta mengurangi durasi antijamur oral untuk
kepatuhan pasien yang lebih baik.
 Penggunaan bedak antijamur dapat membantu
untuk mencegah maserasi
Agen antijamur oral yang lebih baru
 posokonazole diketahui efektif pada pasien dengan
dermatofitosis luas dan menginfeksi kuku
Terapi baru dan potensial

 Selain antijamur yang telah disebutkan, beberapa


tanaman ekstrak (herbal Cina) juga ditemukan
efektif terhadap infeksi dermatofita umum.
 Macrocarpal C, bahan aktif yang diperoleh dari daun
Eucalyptus globulus Labill segar dengan kerja
antijamur terhadap T. mentagrophytes dan T.
rubrum.
 Sebuah peptida antimikroba memiliki kerja anti
jamur pada konsentrasi normal dalam keringat
memberikan pengetahuan terapi terbaru untuk
infeksi dermatofita.
SITUASI KHUSUS

Granuloma Majocchi
 Dermatofitosis yang dalam terjadi ketika infeksi
jamur superfisial yang lama menyebabkan
penyebaran progresif ke dalam jaringan subkutan 
T. rubrum.
 Kerusakan pada kulit yang dihasilkan dari trauma
memungkinkan penetrasi jamur ke dalam retikular
dermis menghasilkan kerusakan sel dan
menurunkan pH dermal cocok untuk
kelangsungan hidupnya
 Ditemukan pada host immunocompromised
 Terbinafin dalam dosis 250 mg / hari selama 4-6
minggu, itrakonazol 200 mg dua kali sehari selama 1
minggu / bulan selama 2 bulan telah berhasil
digunakan.
 Pengobatan rejimen dengan griseofulvin dan
itrakonazol harian juga telah disarankan.
Tinea imbrikata dan pseudoimbrikata
 Tinea imbrikata adalah infeksi jamur superfisial
kronis pada kulit tidak berambut yang disebabkan
oleh Trichophyton concentricum kontak dengan
spora dan filamen ibu dan anak
 Hal ini menjelaskan bahwa faktor genetik,
lingkungan, dan imunologi yang memainkan peran
penting dalam pengembangan infeksi jamur ini.
 Pengaruh diet, kekurangan zat besi, dan kekurangan
gizi sebagai faktor yang terkait
 Pengobatan harus melibatkan kombinasi agen
antijamur topikal dan sistemik karena rekuren
 terbinafine merupakan pilihan terapi terbaik, dalam
dosis 250 mg / hari pada orang dewasa
Terapi antijamur pada imunosupresi dan
kehamilan
 Pada pasien dengan gangguan ginjal, gangguan hati,
harus hati-hati dalam meresepkan antijamur
sistemik.
 Bersihan terbinafin berkurang secara signifikan pada
pasien gangguan ginjal
 Itrakonazol harus dihindari pada pasien dengan
gangguan hati.
 Terbinafine adalah obat kategori B pada kehamilan.
Dermatofitosis kronis
 Sebagai sindrom T. rubrum, rubrophytia persisten
kronis, tinea corporis generalisata dan infeksi T.
Rubrum tipe kering.
 Ditandai setidaknya keterlibatan empat lokasi tubuh
seperti kaki (plantar), tangan (palmar), kuku, serta
satu daerah lainnya dengan pengecualian daerah
inguinal dengandiidentifikasinya T. rubrum pada
pemeriksaan mikroskop dan kultur.
KESIMPULAN

 Terbinafine topikal selama 4 minggu tampaknya


menjadi terapi pilihan untuk penyakit tertentu
(Tinea corporis / cruris / pedis).
 Untuk penyakit yang lebih luas Terbinafine (250-
500 mg / hari untuk 2-6 minggu) dan itrakonazol
(100-200 mg / hari selama 2-4 minggu) tampaknya
efektif
 Namun, dosis yang sesuai dan durasi pengobatan
yang dapat menghasilkan menyembuhkan mikologis
dan mencegah kekambuhan tetap sulit dipahami.
TERIMA KASIH

Anda mungkin juga menyukai