Anda di halaman 1dari 29

FRAKTUR KOMINUTIF

PROKSIMAL HUMERUS
PENDAHULUAN

 Fraktur humerus proksimal menyumbang 6% dari semua


fraktur yang terjadi di dunia Barat.
 85% kejadian terjadi pada orang yang berusia lebih tua dari
50 tahun
 memuncak pada kelompok usia 60 sampai 90 tahun dengan
rasio perempuan dan laki-laki 70:30.
DEFINISI FRAKTUR

 Fraktur adalah hilangnya kontuinitas tulang, tulang rawan,


baik yang bersifat total maupun sebagian (parsial)
 Secara ringkas dan umum, fraktur adalah patah tulang yang
disebabkan oleh trauma atau tenaga fisik. Kekuatan dan sudut
tenaga fisik, keadaan tulang itu sendiri, serta jaringan lunak di
sekitar tulang akan menentukan apakah fraktur yang terjadi
lengkap atau tidak lengkap.
PROSES FRAKTUR
Trauma langsung Menyebabkan tekanan langsung pada
tulang dan terjadi fraktur pada
daerah tekanan. Fraktur yang terjadi
biasanya bersifat komunitif dan
jaringan lunak ikut mengalami
kerusakan.
Trauma tidak langsung Apabila trauma dihantarkan ke daerah
yang lebih jauh dri daerah fraktur, misalnya
jatuh dengan tangan ekstensi dapat
menyebabkan fraktur pada klavikula. Pada
keadaa ini biasanya jaringan lunak tetap
utuh.
PROSES FRAKTUR
 Fraktur juga bisa terjadi akibat adanya tekanan yang berlebih di bandingkan
kemampuan tulang dalam menahan tekanan. Tekanan yang terjadi pada tulang
dapat berupa hal-hal berikut :
 Tekanan berputar yang menyebabkan fraktur bersifat spiral atau oblique
 Tekanan membengkok yang menyebabkan fraktur transversal
 Tekanan yang sepanjang aksis tulang yang dapat menyebabkan fraktur impaksi,
dislokasi, atau fraktur dislokasi
 Kompresi vertikal dapat menyebabkan fraktur kominutif atau memecah misalnya
pada badan vertebra, talus, atau fraktur buckle pada anak-anak.
 Trauma langsung disertai dengan resistensi pada satu jarak tertentu akan
menyebabkan fraktur oblique atau fraktur Z
 Fraktur remuk (brust fracture)
 Trauma karena tarikan pada ligamenatau tendon akan menarik sebagian tulang.
GAMBARAN KLINIS FRAKTUR

ANAMNESIS PEMERIKSAAN FISIK


 Biasanya penderita datang dengan suatu  Pada pemeriksaan awal penderita,
trauma ( traumatic fraktur), baik yang hebat perlu diperhatikan adanya :
maupun trauma ringan dan diikuti dengan
ketidakmampuan untuk menggunakan  Shock, anemia atau perdarahan
anggota gerak. Trauma dapat terjadi karena  Kerusakan pada organ-organ lain,
kecelakaan lalu lintas, jatuh dari ketinggian misalnya otak, sumsum tulang
atau jatuh dari kamar mandi pada orangtua, belakang atau organ-organ dalam
penganiayaan, tertimpa benda berat, rongga thoraks, panggul dan
kecelakaan pada pekerja oleh karena mesin abdomen.
atau karena trauama olahraga. Penderita
biasanya datang karena adanya nyeri,  Faktor predisposisi, misalnya pada
pembengkakan, gangguan funsi anggota fraktur patologis
gerak, deformitas, kelainan gerak, krepitasi,
atau dating dengan gejala-gejala lain.
GAMBARAN KLINIS FRAKTUR
PEMERIKSAAN LOKAL

 INSPEKSI (LOOK)

 PALPASI (FEEL)

 PERGERAKAN (MOVE)

 PEMERIKSAAN NEUROLOGIS

 PEMERIKSAAN RADIOLOGIS
PEMERIKSAAN RADIOLOGIS
 FOTO POLOS
 Tujuan pemeriksaan radiologis :
 Untuk mempelajari gambaran normal tuang dan sendi
 Untuk konfirmasi adanya fraktur
 Untuk melihat sejauh mana pergerakan dan konfigurasi fragmen serta
pergerakannya
 Untuk menentukan teknik pengobatan
 Untuk ementukan adanya fraktur itu baru atau tidak
 Untuk menentukan apakah fraktur intra-artikuler atau ekstra-artikuler
 Untuk melihat keadaan patologis selain pada tulang
 Untuk melihat adanya benda asing ( misalnya peluru)
PEMERIKSAAN RADIOLOGIS DILAKUKAN DENGAN
BEBERAPA PRINSIP “DUA” :

 2 posisi proyeksi : dilakukan sekurang kurangnya yaitu pada antero-posterior dan


lateral
 2 sendi : pada anggota gerak dan tungkai harus difoto, diatas dan di bwah sendi
yang megalami fraktur
 2 anggota gerak. Pada anak-anak sebaiknya dilakukan foto pada 2 anggota gerak
terutama pada vraktur empifisis
 2 trauma, pada trauma yang hebat sering menyebabkan fraktur pada 2 daerah
tulang. Mislanya pada fraktur kalkaneus atau femur, maka perlu dilakukan foto
panggul dan tulang belakang
 2 kali dilakukan foto pada fraktur tertentu mislanya fraktur tulang skafoid foto
pertama tidak jelas sehingga diperlukan foto berikutnaya 10-14 hari kemudian.
PEMERIKSAAN RADIOLOGIS

 TOMOGRAFI, misalnya pada fraktur vertebra atau kondilus tibia


 CT-SCAN
 MRI
 RADIOISOTOP SCANNING
ANATOMI TERAPAN
 Sendi glenohumeral distabilkan oleh kartilago artikular, labrum, ligamen, rotator cuff, dan
deltoid
 Kebanyakan kepala humerus (caput humeri) memiliki diameter antara 4 dan 5 cm, dan
posisi kepala humerus sedikit lebih medial dan posterior dalam kaitannya dengan corpus
humeri
 Pemendekan humerus lebih dari 1 cm dapat mengganggu fungsi deltoid, sedangkan
pemanjangan dan retroversi humerus dapat mengganggu penyembuhan tuberositas.
 Tendon menghasilkan kekuatan deformasi pada fragmen tulang. Tendon otot
supraspinatus dan teres minor berinsersi pada tuberositas mayor dan menghasilkan
deformitas posterosuperior. Tendon otot subskapularis berinsersi pada tuberositas minor
dan menghasilkan deformitas medial. Insersi tendon otot pektoralis pada medial corpus
humeri dan menyebabkan deformasi medial, sedangkan tendon otot deltoid berinsersi
pada humerus lateral dan menyebabkan deformitas lateral
ANATOMI TERAPAN

 Suplai darah ke humerus proksimal berasal dari cabang arteri aksillaris yaitu arteri
sirkumfleksa humeri anterior dan posterior, yang terkait erat dengan collum
chirurgicum (leher bedah) dan calcar medial
 Arteri arkuata adalah cabang terminal/akhir dan menanjak dari arteri sirkumfleksa
humeri anterior serta memasuki kepala humerus di dekat collum anatomicum (leher
anatomi)
 Saraf yang paling sering mengalami cedera dalam urutan menurun adalah nervus
aksillaris, supraskapularis, radialis, muskulokutaneus, medianus, dan ulnaris. Ini adalah
cedera-cedera traksi yang paling umum untuk pulih sepenuhnya
 Selama operasi, nervus aksillaris dapat sulit diidentifikasi, terutama pada bahu yang
terluka. Posisi nervus aksillaris adalah sekitar 4,5 hingga 7 cm dari humerus proksimal
dan 0,5 hingga 4 cm dari collum chirurgicum, berjalan melalui ruang segiempat
(quadrilateral space) bersama dengan arteri sirkumfleksa humeri posterior.
KLASIFIKASI NEER

 Fraktur Komunitif adalah serpihan-serpihan atau terputusnya keutuhan


jaringan di mana terdapat leih dari dua fragmen tulang.
 Klasifikasi Neer untuk fraktur humerus proksimal didasarkan pada 4
bagian fraktur: tuberositas mayor, tuberositas minor, caput humeri, dan
corpus humeri.
 Untuk kepraktisan, fraktur didiskusikan berdasarkan jumlah bagian Neer
yang terlibat. Sebuah fragmen dianggap mengalami pergeseran jika
fragmen tersebut berpindah lebih dari 1 cm atau mengalami angulasi
lebih dari 45o; namun, tidak ada indikasi berbasis bukti untuk definisi
pergeseran ini.
 Klasifikasi Neer telah menunjukkan keandalannya yang cukup sebagai
suatu alat penilai.
EVALUASI DAN PERTIMBANGAN UMUM

 Gambaran tipikal fraktur humerus proksimal adalah wanita lanjut usia yang jatuh dan
mengalami patah tulang bergeser minimal atau patah tulang 2 bagian.
 Sekitar 1 dari 10 pasien akan datang dengan fraktur tambahan. Unsur-unsur historis
penting termasuk diantaranya tingkat kemandirian pasien, kebutuhan fungsional, dan
kondisi rotator cuff yang sudah ada sebelumnya
 Evaluasi harus dimulai dengan inspeksi jaringan lunak dan kulit, karena pasien lanjut usia
sering mengalami penyembuhan luka yang buruk.
 Pemeriksaan neurologis lengkap dapat sulit dilakukan setelah trauma, tetapi fungsi jari-jari,
pergelangan tangan, dan siku seringkali masih dapat dievaluasi. Inervasi otot deltoid oleh
nervus aksillaris perlu diperiksa karena reverse shoulder arthroplasty (RTSA) merupakan
pilihan pengobatan yang memerlukan deltoid yang intak dan terinervasi dengan baik.
EVALUASI DAN PERTIMBANGAN UMUM

 X-foto sendi glenohumeral posisi anteroposterior (AP), lateral, dan aksillaris


harus dilakukan.
 Computed tomography direkomendasikan untuk pola fraktur yang kompleks atau
ketika garis fraktur tidak dapat terlihat dengan jelas
 Magnetic resonance imaging (MRI) mungkin berguna untuk menilai integritas
rotator cuff ketika mempertimbangkan tatalaksana non-operatif.
 Dalam penelitian prospektif terhadap 30 pasien, hampir 40% fraktur humerus
proksimal terkait dengan robekan rotator cuff. Dalam penelitian kohort MRI lain
dari 76 pasien dengan fraktur humerus proksimal, 22 mengalami robekan pada
saat cedera, dan 10 mengalami robekan pada 1 tahun. Kehilangan fungsional
berkorelasi dengan robekan yang terjadi pada saat cedera.
TATALAKSANA

 Tatalaksana fraktur humerus proksimal masih kontroversial


 Fraktur yang mengalami pergeseran, kominutif, atau angulasi
menjadi kandidat bedah yang baik untuk diterapi dengan teknik
perkutan, paku intramedullar, pelat, atau artroplasti.
TATALAKSANA

 Fraktur bergeser minimal (Minimally displaced fracture)


 Sekitar 50% hingga 65% dari semua fraktur humerus proksimal adalah fraktur
bergeser minimal dari tuberositas mayor dan/atau collum chirurgicum yang
berespon dengan baik terhadap tatalaksana non-operatif
 Bahu harus ditempatkan dalam selempang (sling) diikuti dengan terapi fisik
awal.
 Latihan isometrik, pendulum, atau latihan rentang gerak (range of motion) pasif
harus dimulai dalam beberapa hari setelah cedera. Selempang dapat dipakai
sampai penyembuhan terlihat jelas, yang biasanya terjadi pada 4 hingga 6
minggu
TATALAKSANA

 Fraktur Collum Chirurgicum Dua Bagian


 Sekitar 20% hingga 30% fraktur humerus proksimal adalah fraktur collum
chirurgicum 2 bagian.
 Pembedahan dapat dipertimbangkan untuk fraktur dengan pergeseran signifikan dan
pasien dengan kualitas tulang yang cukup baik.
 Teknik perkutan  Pengawatan perkutan umumnya menggunakan titik awal tepat
di atas insersi deltoid, di mana 2 kawat berulir diarahkan proksimal ke dalam kepala
humerus. Selanjutnya, dengan menggunakan titik awal pada tuberositas mayor, 2
kawat berulir tambahan diarahkan secara distal ke dalam corpus humeri. Kawat
tanpa ulir dapat digunakan untuk memanipulasi lokasi fraktur sebelum fiksasi
dengan kawat berulir dilakukan
TATALAKSANA
 The Humerus Block (Synthes, Oberdorf, Switzerland)
 teknik perkutan yang relatif baru menggunakan kawat Kirschner yang diamankan
posisinya oleh blok logam.
 Pertama, blok disekrupkan ke korteks humerus lateral. Menggunakan perangkat
pemandu, 2 kawat kemudian dikirim melalui blok pada sudut 35o ke corpus humeri
dan bersudut 25o satu sama lain.
 Setelah fraktur dimanipulasi ke dalam posisi yang sesuai (tereduksi), kawat-kawat itu
dipasang ke dalam pecahan kepala humerus dan kemudian dikunci ke dalam blok
logam.
 Fragmen tambahan dapat diamankan dengan sekrup.
 Hasilnya baik pada pasien usia lanjut, dengan skor Constant sekitar 80% hingga 90%
dari lengan kontralateral; Namun, perangkat ini besar dan perlu dilepas dengan operasi
kedua.
TATALAKSANA

 Paku Intramedullar (Intramedullary nailing).


 Paku intramedullar dapat digunakan pada fraktur collum chirurgicum, tetapi titik
awal sering dikompromikan pada fraktur 3 bagian. Titik awal paku sedikit medial
ke tuberositas mayor dan insersi tendon cuff.
 Lebih baik untuk melalui otot supraspinatus pada tepi lateral dari permukaan
artikular, dibandingkan membelah tendon
 Paku lurus lebih disukai daripada paku melengkung karena mereka lebih jarang
melukai rotator cuff dan paku lurus memiliki tingkat operasi ulang yang lebih
rendah dengan hasil fungsional yang lebih baik.
TATALAKSANA

 Pelat pengunci (Locking plates).


 digunakan untuk fraktur collum chirurgicum, tetapi mereka cenderung
berhubungan dengan tingkat operasi ulang yang tinggi mulai dari 16% hingga 30%.
 Hal ini terutama disebabkan oleh screw cutout.
 Studi biomekanik menunjukkan pelat memiliki tingkat kegagalan yang lebih
rendah dibandingkan dengan paku baik pada fraktur 2 bagian maupun 3 bagian.
 Kelemahan pelat terutama pada sisi medial, dan oleh karena itu, perhatian khusus
harus diberikan untuk angulasi varus dan kominusi medial.
 Faktor-faktor ini terkait dengan kegagalan reduksi. Pengisi tulang (bone void filler),
sekrup divergen, dan dukungan calcar medial dapat mencegah beberapa
komplikasi yang terkait dengan penggunaan pelat pada tulang osteoporosis.
TATALAKSANA
FRAKTUR TUBEROSITAS DUA BAGIAN

 Fraktur tuberositas mayor menyumbang 12% hingga 17% fraktur humerus proksimal.
 Fraktur tuberositas mayor dengan pergeseran minimal tanpa disertai keadaan patologis lain
merespon dengan baik terhadap tatalaksana non-operatif, tetapi pemulihan penuh bisa
memakan waktu hingga satu tahun.
 Fraktur dengan pergeseran, terutama fraktur dengan pergeseran ke arah posterosuperior,
dapat diterapi dengan fiksasi.
 Teknik reduksi termasuk diantaranya sekrup atau kawat yang tegak lurus terhadap bidang
fraktur atau penjahitan fragmen melalui terowongan tulang. Jika fragmen kecil atau kominusi
dianjurkan untuk melakukan penjahitan.
 Fraktur tuberositas minor jarang terjadi sendiri.
 Mereka lebih sering terjadi dengan disertai keadaan lain seperti dislokasi posterior (0,2%
dari fraktur) atau fraktur collum chirurgicum (0,3% dari fraktur).
 Ketika dikaitkan dengan dislokasi posterior, mereka dapat direduksi secara tertutup dengan
imobilisasi dalam keadaan sedikit rotasi eksternal
TATALAKSANA
FRAKTUR TIGA DAN EMPAT BAGIAN

 Fraktur tiga dan empat bagian menyebabkan 21% hingga 23% fraktur humerus
proksimal. Reduksi tertutup dengan tatalaksana non-operatif merupakan salah
satu pilihan
 Pada 5 tahun, percobaan Proximal Fracture of the Humerus: Evaluation by
Randomisation (PROFHER) belum menemukan perbedaan yang signifikan dalam
hasil antara pengobatan operatif dan non-operatif pada fraktur 2, 3, atau 4 bagian.
Meskipun bukti saat ini menunjukkan hasil non-operatif memuaskan, mayoritas
ahli bedah melakukan reduksi dengan pelat pengunci atau artroplasti pada pasien
dengan fraktur berat.
TATALAKSANA
PELAT PENGUNCI (LOCKING PLATES).

 Reduksi terbuka dengan pelat dapat dipertimbangkan pada pasien dengan kualitas
tulang yang baik, tetapi ini tidak mungkin dilakukan pada pola fraktur kompleks.
 Beberapa uji coba yang membandingkan pelat dengan perawatan non-operatif
pada fraktur 3 dan 4 bagian tidak menunjukkan perbedaan dalam hasil,dan
beberapa penelitian menunjukkan tidak ada perbedaan antara pelat pengunci dan
hemiartroplasti (HA).
 Ketika melakukan pemasangan pelat pada fraktur kompleks, fiksasi tuberositas
dengan jahitan dan augmentasi medial dengan semen, graft tulang, serta
penggunaan sekrup calcar disarankan.
 Fiksasi pelat diduga memiliki risiko nekrosis avaskular yang lebih tinggi akibat
pengupasan periosteal. Hal ini dapat dihindarkan dengan desain minimal invasif
yang lebih baru,
 Penggunaan strut graft fibula untuk menambah konstruksi pelat pengunci telah
menunjukkan hasil yang menjanjikan pada pasien dengan osteoporosis. Teknik ini
melibatkan penempatan intramedullar dari 6 sampai 8 cm segmen fibula, dengan 2
hingga 3 cm dari graft proksimal ke collum chirurgicum.
 Menggunakan sekrup, graft intramedullar "didorong" ke posisi, mereduksi korteks
medial dan memberikan dukungan calcar.
TATALAKSANA
HEMIARTROPLASTI

 pengobatan pilihan untuk fraktur kompleks, tetapi hasilnya beragam dan


bergantung pada penyembuhan tuberositas
 Tekniknya secara teknis cukup menantang dan membutuhkan rotator cuff
fungsional dengan reduksi tuberositas yang baik
 Pemanjangan dan retroversi yang berlebihan terkait dengan hasil yang buruk, oleh
karena itu perhatian terhadap pemanjangan humerus dan retroversi kepala
humerus adalah hal yang penting.
TATALAKSANA
REVERSE TOTAL SHOULDER ARTHROPLASTY (RTSA)

 Hasil dari RTSA cukup menjanjikan


 Sebuah tinjauan sistematis pada tahun 2013 menyimpulkan bahwa hasil RTSA
lebih unggul dibandingkan hasil HA, sedangkan tinjauan sistematik pada awal
tahun 2014 menemukan peningkatan fleksi ke depan pada RTSA tetapi penurunan
rotasi eksternal.
 Artroplasti terbalik (RTHA) dapat bermanfaat sebagai prosedur utama dan
sebagai prosedur sekunder untuk reduksi terbuka.
 Notching pada skapula pasca operasi dan komponen yang melonggar tetap
menjadi masalah dengan signifikansi klinis yang tidak diketahui, tetapi ada bukti
yang menunjukkan hal itu terkait dengan pelonggaran pelat dasar dan hasil yang
buruk. Notching dapat dicegah dengan penempatan yang tepat dari komponen
glenoid.
KESIMPULAN

 Fraktur humerus proksimal pada orang lanjut usia umum terjadi. Sebagian besar
fraktur dengan pergeseran minimal dapat diobati secara konservatif dengan terapi
fisik dini. Perawatan untuk fraktur dengan pergeseran harus mempertimbangkan
tingkat kemandirian, kualitas tulang, dan faktor risiko bedah pasien.
 Fiksasi dengan teknik perkutan, paku intramedullar, pelat pengunci, dan artroplasti
merupakan pilihan-pilihan pengobatan yang dapat diterima. Dengan fiksasi
internal, perhatian khusus harus diberikan pada kominusi medial, angulasi varus,
dan pemulihan calcar.
 Dengan artroplasti, perhatian harus diberikan pada restorasi anatomis tuberositas
dan penempatan prostesis yang tepat. Tidak ada pilihan pengobatan berbasis bukti
yang jelas, dan ahli bedah harus mempertimbangkan tingkat kenyamanan mereka
dengan berbagai prosedur selama proses pengambilan keputusan.

Anda mungkin juga menyukai