Anda di halaman 1dari 82

neoplasma orofaring

dr. fani paulina


Anatomi

• Termasuk dalam orofaring adalah palatum mole, tonsil


dan fossa tonsilaris, pangkal lidah serta dinding faring
mulai dari setinggi palatum mole sampai setinggi
valekula. Daerah orofaring sangat kaya dengan aliran
limfe, 15 sampai 75% pasien keganasan orofaring datang
dengan metastasis ke kelenjar getah bening leher.
Etiologi

• Etiologi penyakit masih belum diketahui secara pasti,


diduga berhubungan dengan faktor resiko yaitu : Virus.
• Berbagai penelitian mendapatkan peningkatan insiden
keganasan ini yang berhubungan dendan virus human
papiloma, terutama HPV 16. 60-70% tumor ganas
orofaring yang baru terdiagnosis di amerika dan eropa
berhubungan dengan HPV.
• Virus dapat langsung masuk ke sel di daerah mulut dan
merubah gen menjadi sel kanker. Human Papiloma Virus
(HPV) merupakan virus yang diduga dapat merubah sel
normal menjadi sel kanker.
• Ebstein Barr Virus (EBV) juga merupakan virus yang
diduga berperan dalam patogenesis terjadinya kanker.
• Walaupun menurut Jian dkk EBV tidak terdeteksi dalam
sel kanker sehingga belum jelas hubungan antara EBV
dengan penyebab sel kanker.
• Merokok/mengunyah tembakau. Hal ini merupakan faktor
resiko yang paling kuat dalam terjadinya kanker tonsil.
Semakin lama menggunakan tembakau, semakin lama
kemungkinan terkena kanker tersebut. Hal ini bisa
menyebabkan iritasi akibat mulut terlalu lama terpapar
dengan tembakau dan membuat sel berubah menjadi sel
karsinogen.
• Alkohol. Merupakan faktor resiko yang selanjutnya
setelah merokok/mengunyah tembakau. Hal ini
disebabkan oleh adanya proses eliminasi asetaldehide,
karsinogen terbentuk dari metabolisme alkohol sehingga
terjadi penurunan proses eliminasi dari asetaldehide.
• Oral higine yang buruk. Makin kotornya mulut dan
tenggorok, makin membuat zat tersebut membuat iritasi
yang menetap. Setiap saliva mengandung beribu
bakteria, dan menghasilkan suatu zat yang dapat
membersihkan gigi dan tonsil (plak). Walaupun plak
sendiri bukan merupakan penyebab terjadinya kanker,
tapi membuat zat kimia lain tetap berada di mulut,
mengiritasi dan menstimulasi sel agar berubah. Makin sel
berubah, makin banyak kemungkinan dari mereka
berubah menjadi sel kanker.
• Defisiensi nutrisi dan vitamin. Merupakan faktor resiko
yang lain, yang dapat menyebabkan sel normal berubah
menjadi sel kanker.
• Imunodefisiensi. Merupakan faktor resiko yang berperan
dalam timbulnya kanker melalui pengerusakan
mekanisme respon imun.
• Genetik. Faktor ini berperan dalam timbulnya kanker
misalnya pada orang asia timur yang membawa sel
mutan alel inaktif dalam gennya sehingga jika ada faktor
lain dapat memperberat kemungkinan terjadinya
perubahan sel kanker.
• Gejala Klinis

• Pada kanker orofaring stadium awal, gejala klinis


biasanya tidak terlihat/asimtomatik. Gejala biasanya
terlihat jelas jika kanker sudah dalam stadium lanjut.
Adapun gejala klinis yang biasanya terdapat pada
penyakit ini antara lain : nyeri tenggorok yang tidak
sembuh-sembuh yang merupakan salah satu gejala pada
penyakit ini.
• Nyeri ini biasanya bertambah pada saat menelan. Nyeri
dapat menyebar ke telinga (otalgia) akibat referred pain
yang biasanya terjadi akibat pembesaran kanker apalagi
jika kanker menekan saraf. Selain itu, akibat dari
pembesaran kanker dapat juga menyebabkan disfagia &
disatria.
• Gejala lain yang dapat ditemui adalah limfadenopati,
biasanya pembesaran KGB ini keras dan terfiksir.
Penurunan berat badan juga dapat ditemui pada pasien
ini, hal ini dapat terjadi karena pasien mengalami
kesulitan sewaktu makan. Jika infiltrasi sudah mengenai
m. pterygoidei maka dapat menimbulkan gejala trismus.
Batuk juga dapat terjadi akibat kenaikan produksi lendir di
tenggorok.
• Menurut literatur lain kelainan/ sindrom di saraf dapat
terjadi karena kanker menekan saraf, sindrom yang
biasanya terjadi adalah sindrom jacod’s (berhubungan
dengan ekspresi muka, mata dan gerakan rahang) dan
villaret’s (kesulitan menelan dan kesulitan gerakan lidah
dan leher).
• Diagnosis

• Anamnesis
• Untuk menentukan diagnosis dari penyakit ini, didasarkan
pada riwayat perjalanan penyakit, riwayat penyakit
keluarga dan status sosial. Dari hal ini dapat diketahui
kemungkinan penyebab pasien menderita kanker ini.
Selain itu kita juga harus mengetahui tentang keluhan
penderita.
• Pemeriksaan fisik
• Setelah melakukan anamnesis, kita melakukan
pemeriksaan fisik yang merupakan suatu hal yang rutin
dalam menegakkan suatu penyakit. Adapun pemeriksaan
fisik pada penyakit ini adalah inspeksi sebaiknya
menggunakan lampu kepala (sinar cahaya yang terang).
Tampak tumor di daerah orofaring
• dengan permukaan yang tidak rata, kemerahan yang
kadang disertai perdarahan. Selanjutnya kita melakukan
palpasi (menggunakan sarung tangan, spatula lidah dan
kasa). Pada palpasi teraba tumor dengan konsistensi
lunak sampai padat. Palpasi dilakukan untuk menentukan
besarnya tumor, perlekatan dengan struktur sekitarnya
(otot-otot lidah, dasar mulut, palatum, maksila dll).
• Palpasi juga dilakukan di daerah leher untuk memeriksa
kelenjar getah bening (menentukan ukuran, konsistensi
dan perlekatan dengan jaringan sekitarnya). Pemeriksaan
sebaiknya dilakukan dari belakang secara sistematis.
Selain itu kadang kita memerlukan pemeriksaan dengan
menggunakan fiberoptik nasofaringoskop jika ditemukan
gejala trismus. Direk laringoskopi, esofagoskopi dan
bronkoskopi dilakukan jika terdapat gejala-gejala/adanya
kecurigaan tumor sampai ke arah laring, esofagus atau
bronkus.
• Pemeriksaan Penunjang
• Pemeriksaan penunjang penting untuk melihat perluasan
tumor, metastasis leher dan metastasis jauh. Adapun
pemeriksaan penunjang yang disarankan adalah antara
lain : Foto thorax PA & Lateral (untuk mengevaluasi paru-
paru adakah kelainan seperti gambaran tumor paru atau
gambaran penyakit paru yang akut atau kronis/metastasis
ke paru yang biasanya terdapat gambaran lesi multiple
dan ukuran yang berbeda-beda dari mikroskopik sampai
berdiameter 5 cm atau lebih).
• Foto soft tissue leher dapat dilakukan jika terdapat
keterlibatan soft tissue atau struktur tulang yang dicurigai
dan melihat perluasan ke arah dinding posterior faring.21
Foto panoramik : untuk melihat status gigi pasien, adakah
infiltrasi ke mandibula (gambaran osteolitik yang
menunjukkan adanya kerusakan/destruksi tulang
mandibula), mungkin diperlukan dalam tindakan
mandibulotomi dan untuk terapi lain misalnya untuk
radioterapi (untuk melihat oral hygiene).
• USG abdomen : untuk mengevaluasi adakah
kelainan/metastasis ke rongga abdomen.
• CT scan/ MRI dari tumor primer dan leher. CT scan :
untuk melihat lokasi tumor dengan jelas, besar tumor dan
ada tidaknya infiltrasi ke struktur tulang sekitarnya
(misalnya sinus paranasal, mata dan dasar otak).
• MRI : untuk melihat keterlibatan jaringan lunak
disekitarnya. Selain itu ada pemeriksaan khusus seperti
PET (Positron Emission Tomography Scan) : untuk
menemukan perluasan tumor dalam tubuh.
• Daerah perluasan tumor akan terlihat lebih terang pada
gambar. Walaupun pemeriksaan ini belum sepenuhnya
dipercaya untuk pemeriksaan kanker. Selain itu juga
diperlukan pemeriksaan laboratorium untuk melihat status
fisik pasien misalnya : hitung darah, kimia darah, fungsi
liver dll.
• Biopsi
• Untuk menentukan diagnosis pasti dari penyakit ini
dilakukan pemeriksaan histopatologis. Jika memang
diperlukan kita melakukan tindakan fine needle aspiration
biopsy pada pembesaran KGB leher. Dari hasil biopsi
sarkoma orofaring ditemukan sel spindel dengan stroma
myxoid.
• . Stadium
• Penentuan stadium karsinoma orofaring yang digunakan
berdasarkan UICC/ AJCC edisi ke-7 tahun 2010 yaitu :
• Tumor primer (T) :
• Tx : adanya tumor primer belum dapat ditentukan.
• To : tidak ada tumor primer di orofaring.
• Tis : karsinoma in situ.
• enginvasi m. pterigoid lateral, fosa pterigoidea, nasofaring
lateral, dasar tengkorak atau meliputi arteri karotis.
• T1 : tumor 2 cm atau kurang dari dalam dimensi terbesar.
• T2 : tumor 2 - 4 cm dalam dimensi terbesar.
• T3 : tumor lebih besar dari 4 cm dalam dimensi terbesar
atau tumor meluas ke bagian lingual dari epiglotis.
• T4a : Moderately advanced local disease, tumor
menginvasi laring, m. ekstrinsik dari lidah, medial
pterigoid, palatum durum atau mandibula.
• T4b : very advanced local disease, tumor m
• Kelenjar limfe regional (N) :
• Nx : kelenjar limfe tidak dapat ditentukan
• No : tidak ada metastasis kelenjar limfe regional.
• N1 : metastasis pada satu kelenjar limfe ipsilateral, 3 cm
atau kurang dari dalam dimensi terbesar.
• N2 : metastasis pada satu kelenjar limfe ipsilateral, 3 – 6
cm dalam dimensi terbesar atau banyak kelenjar limfe
ipsilateral, 6 cm atau kurang dari dalam dimensi terbesar
atau kelenjar limfe bilateral/kontralateral, 6 cm atau
kurang dari dalam dimensi terbesar.
• N2a : metastasis pada satu kelenjar limfe ipsilateral, 3 – 6
cm dalam dimensi terbesar.
• N2b : metastasis pada banyak kelenjar limfe ipsilateral, 6
cm atau kurang dari dalam dimensi terbesar.
• N2c : metastasis pada kelenjar limfe
bilateral/kontralateral, 6 cm atau kurang dari dalam
dimensi terbesar.
• N3 : metastasis pada kelenjar limfe lebih besar dari 6 cm
dalam dimensi terbesar.
• Metastasis jauh (M) :
• Mx : metastasis jauh tidak dapat ditentukan.
• Mo : tidak ada metastasis jauh.
• M1 : terdapat metastasis jauh.
• Stadium Anatomi/ Kelompok Prognosis :
• Stadium 0 Tis No Mo
• Stadium I T1 No Mo
• Stadium II T2 No Mo
• Stadium III T3 No Mo
• T1 N1 Mo
• T2 N1 Mo
• T3 N1 Mo
• Stadium IVa T4a No Mo
• T4a N1 Mo
• T1 N2 Mo
• T2 N2 Mo
• T3 N2 Mo
• T4a N2 Mo
• Stadium IVb T4b any N Mo
• any T N3 Mo
• Stadium IVc any T any N M1
• f. Histopatologi
• Kanker orofaring biasanya termasuk dalam tipe sel
squamosa berdiferensiasi baik sampai sedang (terdapat
kira-kira pada 50% pasien). Untuk karsinoma sel
squamosa diberikan pengobatan operasi, radiasi baik
tunggal atau kombinasi. Limfoepitelioma lebih jarang
ditemukan pada tonsil (kurang dari 1,5%).
• Limfoepitelioma menunjukkan diferensiasi yang buruk,
karsinoma sel squamosa tidak berkeratinisasi dengan
infiltrasi jaringan limfe. Gambaran klasik tumor ini
biasanya terdapat sel epitel yang jernih, nukleus yang
berisi satu atau lebih nukleus yang besar. Limfoepitelioma
dapat diberikan pengobatan radiasi karena termasuk jenis
yang sensitif dengan pengobatan tersebut. Tindakan
operasi bertujuan untuk penyelamatan atau penyakit leher
yang persisten.
• Limfoma maligna, biasanya tipe non-Hodgkin’s
yang merupakan 10-15% kanker pada tonsil. Menurut
klasifikasi Rappaport, mereka dibagi menjadi tipe sel yang
kecil dan besar. Mereka cenderung tumbuh secara
submukosa dan dapat mencapai ukuran yang besar
tanpa menimbulkan ulserasi mukosa. Untuk Limfoma
diberikan kemo dan radioterapi.
• Penyakit Hodgkin’s yang primer pada tonsil sangat jarang
terjadi. Menurut Conley dan Pack, Melanoma maligna pd
fossa tonsilaris hanya terdapat 6% dari seluruh
melanoma. Untuk Melanoma dan Sarkoma diberikan
pengobatan dengan eksisi lokal dan diseksi leher
digunakan bila terdapat keterlibatan kelenjar atau untuk
akses tindakan operasi.
• Penatalaksanaan
• Pengobatan untuk kanker orofaring sangat kompleks.
Berbagai modalitas pengobatan yang dapat diberikan
berupa operasi, radioterapi dan kemoterapi. Masing-
masing modalitas terapi dapat diberikan secara tunggal
atau kombinasi. Kanker orofaring dengan T1 atau T2
dapat diberikan radioterapi atau operasi. Untuk kanker
orofaring dengan T3 atau T4 dilakukan pengobatan
kombinasi antara radioterapi dan operasi.
• Operasi
• Tindakan operasi menjadi pilihan pengobatan, terutama
jika lesi tumor radio atau kemoresisten. Adapun
keuntungan tindakan ini adalah operasi memberikan
reseksi yang luas dan akses untuk histopatologis tumor
primer. Tetapi memberikan kerugian seperti kecacatan
fungsi akibat tindakan reseksi tersebut.
• Radioterapi
• Tujuan radioterapi dapat kuratif atau paliatif. Dengan
kombinasi pembedahan dengan radioterapi dapat
memberantas kanker dengan tetap mempertahankan
anatomi dan fungsi organ di dalamnya. Selain itu radiasi
juga menjadi pilihan ketika pasien menolak untuk
dilakukan tindakan operasi dan terdapat resiko tinggi
untuk dilakukannya operasi. Radiasi dapat dikombinasi
dengan kemoterapi, yang bertujuan untuk membinasakan
sisa tumor dan meningkatkan efektifitas radioterapi.
Pedoman Pengobatan Radioterapi Pada Kanker
• Kemoterapi
• Kemoterapi merupakan terapi sistemik dan lebih
diindikasikan untuk malignansi sistemik dan untuk tumor
yang tidak operable/tidak dapat direseksi, sudah
metastasis jauh, untuk jenis tumor yang agresif secara
histopatologi, untuk mengeliminasi mikrometastasis jauh
dan memperkuat (sensitizer) radioterapi.
• Cara terbaru menggunakan konkuren kemoterapi dengan
radioterapi untuk kanker orofaring yang lanjut mulai
popular. Beberapa penelitian menyatakan konkuren
kemoradiasi mempunyai kontrol lokal dan regional yang
baik, dengan angka kelangsungan hidup yang mirip jika
dibandingkan operasi dan radiasi postoperasi untuk
kanker orofaring yang lanjut.
• Menurut literatur lain penggunaan adjuvan kemoterapi
masih diteliti, walaupun sebagian onkologis tetap
menggunakan adjuvan kemoterapi dalam pengobatan
kanker orofaring stadium lanjut. Pernyataan ini didukung
juga oleh beberapa penelitian yang menyatakan jika
ukuran kanker > 6 cm, terdapat nekrosis koagulasi dan
metastasis di rongga abdomen maka adjuvan kemoterapi
dianjurkan.
• Pengobatan Kanker Orofaring Menurut National Cancer
Institut :
• Stadium I : radioterapi, operasi.
• Stadium II : radioterapi dan operasi.
• Stadium III : kombinasi operasi dan radioterapi atau
kombinasi kemo dan radioterapi.
• Stadium IV : kanker yang dapat direseksi dilakukan
kombinasi operasi dan radioterapi postoperasi dan
kemoterapi. Untuk kanker yang tidak dapat direseksi
dilakukan radioterapi atau kemoterapi.
terima kasih
45. For which of the following reasons is CT favored over
MR for routine sinonasal imaging?
• A. CT better demonstrates the bony walls of the sinuses.
B. CT provides better soft tissue detail compared to MR.
• C. cr differentiates between soft tissue and fluid.
• D. CT is ideal for evaluating the brain and orbit.
• 45. Answer: A. Clear delineation of bony sinonasal
anatomy is a distinct advantage of CT imaging. In
general, MR is better able to differentiate soft tissue mass
from retained secretions, and at imaging soft tissues.
PAGE 422-442, TABLE 27.1
46. Which of the following is true about the relationship between allergic rhinitis
and asthma?
• A. There is no evidence of inflammation in both the upper and lower airways
in patients who have either allergic rhinitis or asthma.
• B. Medical treatment of allergic rhinitis in patients with concurrent asthma has
no effect on asthma symptoms.
• C. Allergic rhinitis is an independent risk factor for the development of
asthma.
• D. Targeted/specific immunotherapy in patients with allergic rhinitis without
asthma does not seem to slow or prevent the subsequent development of
asthma.
• 46. Answer: C. Allergic rhinitis has been shown to be a
risk factor for the subsequent development of asthma.
Patients with asthma almost universally have sinonasal
inflammation, though it may be subclinical. Treatment of
upper respiratory disease can improve patients' asthma.
Finally, allergen-specific immunotherapy in rhinitis
patients may prevent the subsequent development of
asthma. PAGES 553-554
47. Hereditary hemorrhagic telangiectasia is best described
by:
• A. Most commonly presents on the turbinates
• B. Requires screening for endocarditis
• C. Is treated in the perioperative period with amino
caproic acid
• D. Results from dysregulation in the transforming growth
factor beta (TGF-P) and vascular endothelial growth
factor (VEGF) pathways
• 47. Answer: D. The nasal hereditary hemorrhagic
telangiectasias (HHT) most commonly develop on the
nasal septum. These patients need to be screened for
pulmonary and intracranial arteriovenous malformations.
The genetic aberrations in HHT involve the TGF-� and
VEGF genes. PAGE 497
48. Chronic sinusitis is differentiated from acute sinusitis on
CT imaging based on the presence of:
• A. Frothy secretions within the paranasal sinuses
• B. Ostial obstruction
• C. Bony sclerosis
• D. Mucosal thickening
• 48. Answer: C. The clinical differentiation of acute and
chronic sinusitis is usually made clinically. However, the
finding of bony sclerosis in sinus walls suggests a chronic
inflammatory process. PAGE 426
49. What structure marks the posterior limit of the frontal
recess?
• A. Agger nasi
• B. Basal lamella
• C. Anterior ethmoid artery
• D. Bulla ethmoidalis
• 49. Answer: C. The anterior ethmoid artery originates from
the ophthalmic artery in the orbit and passes through the
anterior ethmoidal foramen to enter the anterior ethmoidal
cells. The artery typically crosses the ethmoids very near
the skull base at the ethmoid roof and marks the posterior
border of the frontal recess.
50. The natural os of the maxillary sinus is identified in what
orientation?
• A. Parasaggital plane
• B. Coronal
• C. Axial
• D. Variable
• 50. Answer: A. The natural os of the maxillary sinus lies in
a somewhat oblique parasagittal plane. PAGE 596
51. A patient presents in the office with a history of smell loss that occurs
intermittently and with varying degrees. During the evaluation and testing, you
would expect to find:
• A. Absent olfactory bulbs on MRI
• B. Frontal contusions on contrast-enhanced cr of the brain
• C. Opacified ethmoid sinuses on noncontrast cr of the sinuses
• D. Areas of demyelination on contrast-enhanced MRI of the brain
• 51. Answer: C. A history of intermittent smell loss
suggests that inflammatory sinonasal disease is the
cause. PAGE 373
52. What is the mechanism of action of vasoconstriction by
topical decongestants?
• A. a-Adrenergic stimulation of the nasal mucosa and
blood vessels
• B. Release of exogenous norepinephrine
• C. Parasympathetic stimulation of the nasal mucosa
• D. Release of endogenous acetylcholine
• 52. Answer: A. Topical decongestants act via a-adrenergic
receptors.
• 53. In which form do bacteria most commonly exist?
• A10% planktonic, 90% in biofilm
• B. 30% planktonic, 70% in biofilm
• C. 90% planktonic, 10% in biofilm
• D. 1% planktonic, 99% in biofilm
• 53. Answer: D. Most bacteria exist in the form of a biofilm.
(PAGE 537) Biofilms appear to be the preferred form of
bacterial existence, with only approximately 1% of
bacteria existing in the free-floating planktonic form. The
Centers for Disease Control and Prevention estimates
that around 65% of all human infections are caused or
persist due to biofilms.
54. Which of these is the pattern of auricular inflammation in
relapsing polychondritis?
• A. Lobule-sparing
• B. Conchal bowl only
• C. Helical sparing
• D. Total auricle
• 54. Answer: A. One characteristic of relapsing
polychondritis of the ear is the lobule-sparing pattern of
inflammation. PAGE 494
• 55. During an anterior transmaxillary
• A. Bone graft
• B. Cartilage graft
• C. Titanium mesh
• D. No need for reconstruction
• 55. Answer: D. Removal of the anterior wall of the
maxillary sinus does not weaken the structural integrity of
the midface, nor does it result in cosmetic deformity.
Therefore reconstruction is not required. PAGE 605
56. The term "allergy" refers to which of the following?
• A. An elevated total serum IgE level
• B. Demonstrable IgE reaction to an allergen
• C. Presence of corresponding symptoms upon allergen
exposure
• D. In vitro demonstration of an allergen-specific IgE
• 56. Answer: C. Clinical allergy is defined by symptoms
after exposure to a specific allergen. A positive allergy test
does not define allergic disease. Some individuals may
demonstrate "hypersensitivity" or "sensitization" via
testing, yet have no allergic symptoms. This is one reason
that allergy testing should be performed only when there
is a clinical suspicion of allergy. PAGE 452
• 57. The anterior transmaxillary approach provides access
to:
• A. Pterygopalatine fossa
• B. Lateral recess of the sphenoid sinus
• C. Infratemporal fossa
• D. All are correct
• 57. Answer: D. The anterior transmaxillary approach
provides broad access to the skull base anatomic
compartments. PAGE 604
58. Which surgical landmark indicates the posterior limit of
bone dissection in the endoscopic modified Lothrop
procedure {EMLP)?
• A. Middle turbinate
• B. Posterior table of frontal sinus
• C. Posterior border of septectomy
• D. First olfactory neuron
• 58. Answer: D. During EMLP, the anterior poles of the
middle turbinates are resected up to the skull base. A
valuable landmark to facilitate safe posterior dissection is
the first olfactory nerve (or filum). Once this is reached, no
further posterior resection of the middle turbinates should
be performed. PAGE 684
59. The sphenopalatine artery is a branch of:
• A. Facial artery
• B. Ascending palatine artery
• C. Superficial temporal artery
• D. Internal maxillary artery
• 59. Answer: D. The sphenopalatine artery is a terminal
branch of the internal maxillary artery. PAGE 503
60. A patient has nasal congestion when in his basement apartment. A specific
IgE ( slgE) panel is positive only for a mold, Helminthosporium. He seeks a
second opinion, and his skin prick test is negative for Helminthosporium. Which
is the best explanation?
• A. slgE testing is more sensitive and less specific than skin prick tests.
• B. His mold sensitization changed in the week between tests.
• C. Helminthosporium testing may vary between manufacturers.
• D. His nasal congestion is not caused by mold allergy.
• 60. Answer: C. Nonstandardized allergens such as
Helminthosporium may yield conflicting results if multiple
testing modalities are used. There are multiple variables
that affect test results for nonstandardized and especially
mold allergens. Differences between manufacturers may
be clinically important. PAGE 413
61. Which of these is the most effective pharmacological
treatment for children and adults with AR?
• A. Intranasal antihistamines
• B. Intranasal steroids
• C. Oral antihistamines
• D. Leukotriene inhibitors
• 61. Answer: B. As also discussed in the chapter on
allergic rhinitis, the most effective pharmacologic class
used for treatment of allergic rhinitis is the intranasal
steroid sprays. PAGE 402
62. What are the indications for imaging g in acute sinusitis?
• A. Any patient who has a child in day care or works in a health care
environment
• B. Any patient who has had exposure to antibiotics within the previous 6
weeks
• C. Any patient suspected of complications of acute sinusitis or who is
immunocompromised and at high risk for such complications
• D. Any patient who has a history of recurrent acute sinusitis presenting with
an acute flare
• 62. Answer: C. Sinus imaging is appropriate in
complicated acute sinusitis. cr is the preferred imaging
modality. Plain films have limited value in contemporary
medicine. PAGE 516
63. All structures have a relation with the sphenoid sinus,
except:
• A. Anterior cranial fossa
• . Posterior cranial fossa
• C. Meckel's cave
• D. Optic nerve
• E. External carotid artery
• 63. Answer: E. The sphenoid sinus is anatomically related
to many important structures and compartments, including
the internal carotid artery (not the external carotid). PAGE
610
64. The creation of a middle meatus antrostomy
• includes removal of:
• A. Anterior pole of middle turbinate
• B. Inferior concha bone
• C. Uncinate process
• D. Agger nasi
• 64. Answer: C. In generaL a middle meatus antrostomy
requires neither resection of the middle turbinate nor
disruption of the inferior concha. The agger nasi cell does
not obstruct access to the maxillary sinus. However,
visualization of the natural maxillary ostium usually
requires removal of at least part of the uncinate process.
PAGE 598
• terima kasih

Anda mungkin juga menyukai