Anda di halaman 1dari 4

Hukum Perdata Tentang Otopsi

Pasal 133 KUHAP:


Ayat 1:
Dalam hal penyidik untuk kepentingan peradilan menangani seorang korban
baik luka, keracunan ataupun mati yang diduga karena peristiwa yang
merupakan tindak pidana, ia berwenang mengajukan permintaan keterangan
ahli kepada ahli kedokteran kehakiman atau dokter dan atau ahli lainnya.
Ayat 2:
Permintaan keterangan ahli sebagaimana dimaksud dalam ayat 1 dilakukan
secara tertulis yang dalam surat itu disebutkan dengan tegas untuk
pemeriksaan luka atau pemeriksaan mayat dan atau pemeriksaan bedah
mayat.
Ayat 3:
Mayat yang dikirim kepada ahli kedokteran kehakiman atau dokter pada
rumah sakit harus diperlakukan baik dengan penuh penghormatan terhadap
mayat tersebut dan diberi label yg memuat identitas mayat diberi cap jabatan
yang dilekatkan pada ibu jari kaki atau bagian lain badan mayat.
Pasal 134 KUHAP:
1. Dalam hal sangat diperlukan di mana untuk keperluan pembuktian
bedah mayat tidak mungkin lagi dihindari, penyidik wajib
memberitahukan terlebih dahulu kepada keluarga korban.
2. Dalam hal keluarga keberatan, penyidik wajib menerangkan sejelas-
jelasnya tentang maksud dan tujuan perlu dilakukannya pembedahan
tersebut.
3. Apabila dalam waktu dua hari tidak ada tanggapan apapun dari
keluarga atau pihak yang perlu diberitahu tidak ditemukan, penyidik
segera melaksanakan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam pasal
133 ayat (3) undang-undang ini.
Pasal 179 KUHAP:
1. Setiap orang yang diminta pendapatnya sebagai ahli kedokteran
kehakiman atau dokter ahli lainnya wajib memberikan keterangan ahli
demi keadilan.
2. Semua ketentuan tersebut di atas untuk saksi berlaku juga bagi
mereka yang memberikan keterangan ahli, dengan ketentuan bahwa
mereka mengucapkan sumpah atau janji akan memberikan keterangan
yang sebaik-baiknya dan yang sebenarnya menurut pengetahuan dalam
bidang keahliannya.
Undang-undang R.I nomor 36 Tahun 2009
1. Pasal 119
(1) Untuk kepentingan penelitian dan pengembangan pelayanan
kesehatan dapaat dilakukan bedah mayat klinis di rumah sakit.
(2) Bedah mayat klinis sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
ditujukan untuk menegakkan diagnosis dan/atau menyimpulkan
penyebab kematian.
(3) Bedah mayat klinis sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dilakukan atas persetujuan tertulis keluarga terdekat terdekat pasien.
(4) Dalam hal pasien diduga meninggal akibat penyakit yang
membahayakan masyarakat dan bedah mayat klinis mutlak
diperlukan untuk menegakkan diognosis dan/atau penyebab
kematiannya, tidak diperlukan persetujuan.
2. Pasal 121
(1) Bedah mayat klinis dan bedah mayat anatomis hanya dapat
dilakukan oleh dokter sesuai dengan keahlian dan kewenangannya.
3. Pasal 124
(1) Tindakan bedah mayat oleh tenaga kesehatan harus dilakukan
sesuai dengan norma agama, norma kesusilaan, dan etika profesi.
Referensi
Idries, AM. Prosedur Khusus. Dalam: Pedoman
Ilmu Kedokteran Forensik. Edisi Pertama.
Binarupa Aksara. Jakarta. 1997 : 354-61.
Undang-undang No 36 tahun 2009 Tentang
Kesehatan.

Anda mungkin juga menyukai