Anda di halaman 1dari 25

Tim Pengajar Hukum Perdata Islam

FH - UI

1
Pengertian
• Subyek Hukum adalah setiap pengemban kewajiban
dan penerima hak dalam bermu’amalah
 Bentuk subjek hukum:
a. Manusia (asy-syakhsiyah thabi’iyah)
b. Badan hukum (asy-syakhsiyah i’tibariah hukmiah)

2
A. MANUSIA
 Manusia sebagai subjek hukum adalah manusia yang
sudah dapat dibebani hukum, disebut mukallaf

 Mukallaf adalah orang-orang yang telah dianggap


mampu bertindak hukum,baik yg berhubungan dg
perintah Allah SWT.maupun dg laranganNya & dapat
mempertanggungjawabkan kpdAllah swt

• Al-Mukallaf (Bahasa Arab) = yang dibebani hukum.


• Dalam Usul Fikih, istilah mukallaf disebut juga al-
mahkum ‘alaih (subyek hukum)
3
 Orang mukallaf adalah orang yang telah dianggap
mampu bertindak hukum, baik yang berhubung
dengan perintah Allah SWT maupun dengan
larangan-Nya.

 Seluruh tindakan hukum mukallaf harus


dipertanggung jawabkan. Apabila seseorang (ia)
mengerjakan perintah Allah SWT, ia mendapat pahala
dan kewajibannya terpenuhi, bila ia mengerjakan
larangan Allah SWT, maka ia mendapat dosa dan
kewajibannya belum terpenuhi.

4
Dilihat dari Allah sebagai Pencipta
Hukum
 Manusia adalah penerima hukum, pengemban
hukum, yang melaksanakan kewajiban hukum.

 Pada ayat al-Qur’an disebutkan bahwa, subyek hukum


adalah manusia dan jin. (Q. S. Az-Zariyat (51) : 56).
Karena manusia dan jin diwajibkan melaksanakan
perintah Allah.

5
Dasar Hukum dalam al-Qur’an
diatur dalam
 Q.S.2 (II) ayat 286, yang terjemahnya:

“Allah tidak memberatkan (membebani) satu jiwa


(seseorang) melainkan sesuai dengan
kesanggupannya, baginya apa yang diusahakannya dan
untuknya apa yang diusahakannya.”

Di ayat tersebut terdapat ketentuan pembebanan


hukum (Taklif)

6
 Dasar (Alasan) Taklif.
 Seorang manusia belum dikenakan taklif
(pembebanan hukum) sebelum ia cakap untuk
bertindak hukum.
 Menurut Ulama Usul Fikih dasar pembebanan hukum
adalah akal dan pemahaman; maksudnya seseorang
baru dapat dibebani hukum apabila ia berakal dan
dapat memahami secara baik taklif yang ditujukan
kepadanya

7
– Dengan demikian orang yang tidak atau belum
berakal, seperti orang gila dan anak kecil tidak
dikenakan taklif. Karena mereka tidak atau belum
berakal
– sehingga mereka dianggap tidak dapat memahami taklif
dari syarak (syari’at)
– Termasuk dalam hal ini, orang yang tidur, orang mabuk,
orang lupa, mereka tidak dikenai taklif (pembebanan
hukum) karena dalam keadaan tidak sadar.

8
 Hal ini sejalan dengan sabda Rasulullah SAW

yang mengatakan:

“Diangkat pembebanan hukum

dari tiga jenis orang: orang tidur

sampai ia bangun, anak kecil sampai ia balig,

dan orang gila sampai ia sembuh”

(H.R. al- Bukhari, Abu Dawud, at-Tirmizi, an-Nasa’i,


Ibnu Majah dan ad-Daruqutni dari Aissyah binti Abu
bakar dan Ali bin Abi Talib)
9
Dalam hadits lain dikatakan
“Umatku tidak dibebani hukum
apabila mereka terlupa, tersalah
dan dalam keadaan terpaksa”
(Hadits Riwayat Ibnu Majah dan
at-Tabrani).

10
3 hal penting dlm subyek akad
 Ahliyah (kecakapan)
- Ahliyah. Wujub : k’ckp’ memiliki hak
- Ahliyah. Ada’: melakukan tasharuf + tgg jwb
 Wilayah (kewenangan)
- Niyabah Ashliyah (melakukan sendiri)
- Niyabah al-Syar’iyyah (mell wali)
 Wakalah (perwakilan)

11
Syarat-syarat Subjek Hukum
1. Aqil Baligh
 Mencapai perubahan fisik dan berakal sehat
2. Tamyiz (dapat membedakan)
 Dapat membedakan yang baik dan buruk
3. Mukhtar (bebas dari paksaan)
 Dalam akad harus tercermin prinsip antharadin
yaitu suka sama suka yang terbebas dari paksaan
dan tekanan. An Nisa ayat 29: “Hai orang-orang
yang beriman, janganlah kamu saling memakan
harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali
dengan jalan perniagaan yang berlaku suka sama
suka di antara kamu”
Syarat-Syarat Taklif, Ulama Usul
Fikih sepakat menyatakan bahwa,
Perbuatan seseorang baru dapat dinilai, bila
telah memenuhi dua syarat, yaitu:

1 Orang itu telah mampu memahami khitab asy-


syar’i (tuntutan syarak/syari’ah) yang
terkandung dalam al-Qur’an dan Sunnah.

1 Cakap bertindak dalam hukum.

13
Ad. 1. Orang itu telah mampu
memahami khitab asy-syar’i

Kemampuan memahami taklif dapat


dicapai melalui akal manusia.

Dalam menentukan seseorang telah


berakal atau belum, indikasi luar :
telah balig

14
 Untuk menentukan seseorang telah balig:
ditandai dengan keluarnya haid untuk
pertama kali bagi wanita dan keluarnya mani
bagi pria melalui mimpi, juga untuk pertama
kali.
(Al-Qur.an surah an-Nur (24) ayat 59
(yang artinya: ”Dan apabila anak-anakmu telah
sampai umur balig, maka hendaklah mereka
Seperti orang-orang sebelum mereka meminta izin…..”)

15
Mengenai syarat 1 ini, timbul pertanyaan, bukan kah
dalam beberapa hal, anak kecil dan orang gila
dikenakan kewajiban, seperti membayar zakat
dari hartanya?.

16
Menurut Imam al-Gazali, Imam al-Amidi dan Imam
Syaukani, anak kecil dan orang gila dikenakan
kewajiban membayar zakat, nafkah diri mereka,
ganti rugi akibat perbuatan merusak atau
menghilangkan harta orang lain, yang
dikeluarkan dari harta mereka sendiri.

Menurut para Ulama yang bertindak membayarkan


kewajiban zakat pada harta mereka adalah wali
mereka.

17
Ad. 2 Cakap bertindak dalam
hukum.
2. Seseorang harus cakap bertindak hukum, yang
dalam istilah usul fikih disebut dengan al-
ahliyah.

Artinya, bila seseorang belum atau tidak cakap


bertindak hukum, maka seluruh perbuatan yang
ia lakukan belum atau tidak dapat
dipertanggungjawabkan.

18
Tahapan kapasitas seseorang dalam hukum
 Abdurrahman Raden Haji Haqqi, dalam buku The
Philosophy of Islamic Law of Transactions,
menyebutkan empat (4) tahapan kapasitas seseorang
dalam hukum ( Stages of Legal Capacity:
 Marhalah al-janin (tahap embryo),
 Marhalah al-saba (tahap/ masa kanak-kanak),
 Marhalah al-tamyiz (tahap pembeda),
 Marhalah al-bulugh (tahap/masa puber)

19
Stages of Legal Capacity
1. Marhalah al Janin (embryonic stage)
Sejak masa janin hingga lahir hidup. Ia hanya dapat
memiliki hak tetapi tidak dapat mengemban
kewajiban.
2. Marhalah al Saba (childhood stage)
Sejak lahir hidup hingga usia 7 th. Hak dan
kewajibannya yang menyangkut harta miliknya
dilakukan oleh walinya
Stages of Legal Capacity
3. Marhalah al Tamyiz (discerment stage)
Sejak usia 7 th hingga masa pubertas (baligh).
Disebut juga dengan mumayyiz yaitu dapat
membedakan baik dan buruk.
Sebagai subjek hukum ia memiliki kecakapan
bertindak hukum tidak sempurna. Transaksi yang
dilakukan oleh mumayyiz dapat dianggap sah
sepanjang tidak dibatalkan oleh walinya.
Pada tahap/masa ini dapat membedakan antara yang baik
dengan yang buruk, usia antara 7 sampai 15 atau 18
tahun.
Stages of Legal Capacity
4. Marhalah al Bulugh (stage of puberty)
Manusia yang telah mencapai aqil baligh dianggap
telah mukallaf. Pada tahap ini ia memiliki kapasitas
hukum penuh sebagai subjek hukum untuk
melakukan tindakan hukum. Ia dianggap telah
memiliki intelektualitas yang matang dan cakap,
kecuali terbukti sebaliknya.
 Wahbah Az-Zuhaily menambahkan dengan satu
tahapan lagi yaitu “Daur ar-Rushd” tahap bijaksana
(stage of prudence).
 Pada tahap ini manusia memiliki kapasitas hukum
sempurna karena telah mampu mengelola dan
mengontrol usahanya dengan bijaksana (rasyid).
Tahap ini adalah tahapan paling sempurna dalam
bertindak hukum bagi seseorang (kira-kira mencapai
usia 19, 20, atau 21 th).

23
B. BADAN HUKUM
 Badan hukum adalah badan yang dianggap bertindak dalam
hukum dan yang mempunyai hak-hak, kewajiban-
kewajiban, dan perhubungan hukum terhadap orang lain
atau badan lain
 Mrpk persekutuan (Syirkah) yg dibentuk b’dsrkan hak &
memiliki tgg jwb kehartaan yg terpisah dr pendirinya
 Memperoleh hak & kewajiban’
 Dasar Hukum:
Q.s. an-Nisa (4):12, Qs.Shaad (38):24
- Hadits Qudsi riwayat Abu Dawud & Al
Hakim dr Abu Hurairah
 Berbeda dg subyek hukum manusia.
Perbedaan Badan Hukum
dengan Subjek Hukum Manusia
1. Memiliki hak yg berbeda dari hak manusia,sprti
hak berkeluarga, hak pusaka, sedangkan Badan
Hukum tdk memiliki hak tsb
2. Tidak hilang dg meninggalnya pengurus badan
hukum
3. Diperlukan adanya pengakuan hukum
4. Memiliki ruang lingkup terbatas
5. Memiliki tindakan hukum yg tetap,tdk berkembang
6. Tidak dapat dijatuhi hukuman pidana

Anda mungkin juga menyukai