Anda di halaman 1dari 14

Upacara Adat Ngaben (Bali)

Nama Kelompok :
1. Anggun Esterlita
2. Dimas Rahadi
3. Dinda Tiara
4. Eka Ainnur Qiro
5. Miftah Nilam Sari
6. Mufadhal faraz
Definisi Upacara Adat Ngaben
Ngaben merupakan salah satu upacara yang dilakukan oleh Umat
Hindu di Bali yang tergolong upacara Pitra Yadnya (upacara yang
ditunjukkan kepada Leluhur). Kata Ngaben sendiri berasal dari kata
api. Penggunaan peralatan dan prosesi yang cukup panjang dan
membutuhkan biaya yang cukup besar (150-200 juta rupiah)
menandakan betapa pentingnya proses peralihan kehidupan sampai
kematian.
Bentuk-bentuk Upacara Ngaben
1. Ngaben Sawa Wedana
Sawa Wedana adalah upacara ngaben dengan melibatkan jenazah yang masih
utuh (tanpa dikubur terlebih dahulu) . Biasanya upacara ini dilaksanakan dalam
kurun waktu 3-7 hari terhitung dari hari meninggalnya orang tersebut. Dewasa
ini pemberian ramuan sering digantikan dengan penggunaan formalin. Selama
jenazah masih ditaruh di balai adat, pihak keluarga masih memperlakukan
jenazahnya seperti selayaknya masih hidup, seperti membawakan kopi,
memberi makan disamping jenazah, membawakan handuk dan pakaian, dll
sebab sebelum diadakan upacara yang disebut Papegatan maka yang
bersangkutan dianggap hanya tidur dan masih berada dilingkungan keluarganya.
2. Ngaben Asti Wedana
Asti Wedana adalah upacara ngaben yang melibatkan kerangka jenazah yang pernah
dikubur. Upacara ini disertai dengan upacara ngagah, yaitu upacara menggali kembali
kuburan dari orang yang bersangkutan untuk kemudian mengupacarai tulang belulang
yang tersisa. Hal ini dilakukan sesuai tradisi dan aturan desa setempat, misalnya ada
upacara tertentu di mana masyarakat desa tidak diperkenankan melaksanakan upacara
kematian dan upacara pernikahan maka jenazah akan dikuburkan di kuburan setempat
yang disebut dengan upacara Makingsan ring Pertiwi ( Menitipkan di Ibu Pertiwi).
3. Swasta
Swasta adalah upacara ngaben tanpa memperlibatkan jenazah maupun kerangka mayat, hal ini
biasanya dilakukan karena beberapa hal, seperti : meninggal di luar negeri atau tempat jauh,
jenazah tidak ditemukan, dll. Pada upacara ini jenazah biasanya disimbolkan dengan kayu
cendana (pengawak) yang dilukis dan diisi aksara magis sebagai badan dari atma orang yang
bersangkutan.
4. Ngelugah
Ngelungah adalah upacara untuk anak yang belum tanggal gigi
5. Warak Kruron
Warak Kruron adalah upacara untuk bayi yang keguguran.
Tujuan Upacara Ngaben
Upacara ngaben secara konsepsional memiliki makna dan tujuan sebagai berikut :
1. Dengan membakar jenazah maupun simbolisnya kemudian menghanyutkan abu ke sungai, atau
laut memiliki makna untuk melepaskan Sang Atma (roh) dari belenggu keduniawian sehingga dapat
dengan mudah bersatu dengan Tuhan (Mokshatam Atmanam)
2. Membakar jenazah juga merupakan suatu rangkaian upacara untuk mengembalikan segala unsur
Panca Maha Bhuta (5 unsur pembangun badan kasar manusia) kepada asalnya masing-masing agar
tidak menghalangi perjalan Atma ke Sunia Loka Bagian Panca Maha Bhuta yaitu : a. Pertiwi : unsur
padat yang membentuk tulang, daging, kuku, dll b. Apah: unsur cair yang membentuk darah, air liur,
air mata, dll c. Bayu : unsur udara yang membentuk napas. d. Teja : unsur panas yang membentuk
suhu tubuh. e. Akasa : unsur ether yang membentuk rongga dalam tubuh.
3. Bagi pihak keluarga, upacara ini merupakan simbolisasi bahwa pihak keluarga telah ikhlas, dan
merelakan kepergian yang bersangkutan.
Upacara Ngaben sendiri memiliki beberapa ritual, yang sangat unik dan memiliki banyak makna, yaitu
:
1. Ritual Ngulapin :
Ritual Ngulapin adalah proses penyucian peti yang berisi jenazah yang dilakukan oleh Pinandita.
2. Ritual Memandikan Jenazah :
Jenazah diletakan diatas pepaga (meja) kemudian dimandikan oleh keluarganya. Dalam proses
ini kemaluan jenazah akan ditutupi oleh kain hitam, sementara bajunya akan dibuka. Kemudian
kain hitam sebagai penutup kemaluan akan di ganti dengan daun teratai (bagi wanita) dan daun
terong (bagi laki-laki) dan akan dipakaikan pakaiaan adat lengkap. Diberikan bunga melati di
lubang hidung, belahan kaca di atas mata, dan daun intaran di alis. Dengan tujuan
mengembalukan kembali fungsi bagian dari tubuh dan jika roh mengalami reinkarnasi agar
dianugrahi badan yang lengkap. Upacara memandikan jenazah ini dilakukan di halaman rumah
keluarga.
3. Ritual Narpana :
Setelah jenazah dimandikan, jenazah akan dimasukan keadalam peti. Petugas rohaniwan akan
melaksanakan Narpana. Keluarga akan memercikan tirta : penglukatan, pembersihan tirta
khayangan. Kemudian dilanjutkan dengan mamasukan barang-barang yang akan ikut dibakar, dan
kemudian peti akan ditutup.
4. Ritual Pakiriman Ngutang :
Jenazah yang ada di dalam peti kemudian dinaikan katas Bade, yaitu menara penyusung jenazah
diiringi dengan suara Baleganjur (gong khas Bali). Dalam perjalan menuju ke tempat pembakaran
Bade akan di arak berputar tiga kali berlawanan arah jarum jam, yang memiliki makna sebagai simbol
pengembalian unsur panca Maha Bhuta ketempatnya masing-masing. Perputaran ini berarti
perpisahan dengan keluarga, lingkungan masyarakat, dan dunia ini.
5. Ritual Ngising :
Ngising adalah acara puncak dari Upacara Ngaben, yaitu pembakaran jenazah. Jenazah akan
dibaringkan ditempat yang disediakan, disertai sesaji kemudian diperciki oleh pendeta pemimpin
upacara dengan Tirta Pengentas yang bertindak sebagai api abstrak diiringi dengan Puja Mantra dari
pendeta. Setelah selesai barulah jenazah dibakar hingga hangus, tulang-tulang hasil pembakaran
kemudian diulek (digilas) dan dirangkai lagi dalam buah kelapa gading yang telah dikeluarkan airnya.
6 Ritual Ngayud :
Ritual terakhir dari Upacara Ngaben adalah Ngayud, yaitu menghanyutkan abu yang sudah
dimasukan ke dalam kelapa gading ke laut atau ke sungai. Yang memiliki makna menghanyutkan
segala kekotoran yang tertinggal dalam roh.
Serangkaian ritual yang ada pada Upacara Ngaben juga memiliki beberapa arti, yaitu sebagai jalan
agar bisa melaksanaan pembayaan hutang terhadap leluhur (Pitra Rina) yang wajib dilakukan oleh
seorang anak dari hasil kerjanya sendiri bukan dengan harta warisan dari orang tuanya. Yang kedua
adalah agar memiliki kesempatan untuk bisa melaksanakan ajaran Putra Sesana dan Aji Sesana,
sehingga dapat melahirkan anak yang Suputra dan Aji Sadhu Dharma percepatan proses
pengembalian “Panca Maha Bhuta” kepada sang Hyang Prakerti, Maya Sang Hyang Widhi. Yang
terakhir memberi kesempatan pada masyarakat sekitar lingkungannya unruk berkama yang baik,
sehingga tercipta masyarakat sosial yang sesuai ajaran Tri Hitakarana.

Anda mungkin juga menyukai