Anda di halaman 1dari 31

SELF DETERMINATION THEORY

AND WORK MOTIVATION

Maryle`ne Gagne´ & Edward l. Deci


 Cognitive Evaluation Theory (CET), yang menjelaskan efek motivator ekstrinsik
terhadap motivasi intrinsik, CET mendapat sejumlah perhatian awal dalam literatur
organisasi. Namun, dikotomi sederhana antara motivasi intrinsik dan ekstrinsik
membuat teori ini sulit diterapkan ke tatanan kerja. Membedakan motivasi
ekstrinsik ke dalam jenis yang berbeda dalam tingkat otonomi, mendorong
kepada Teori Self Determination, yang telah mendapat perhatian luas di bidang
pendidikan, perawatan kesehatan, dan olahraga. Artikel ini menjelaskan teori Self
Determination sebagai teori motivasi kerja dan menunjukkan relevansinya dengan
teori perilaku organisasional
Teori evaluasi kognitif menyarankan pertama bahwa faktor-
faktor eksternal seperti penghargaan nyata, tenggat waktu
(Amabile, DeJong, & Lepper, 1976), pengawasan (Lepper &
Greene, 1975), dan evaluasi (Smith, 1975) cenderung
mengurangi perasaan otonomi, mendorong perubahan
perceived locus of causality (PLOC) dari internal ke eksternal
(deCharms, 1968; Heider, 1958), dan merusak motivasi intrinsik.
Sebaliknya, beberapa faktor eksternal seperti memberikan
pilihan tentang aspek keterlibatan tugas cenderung
meningkatkan perasaan otonomi, mendorong pergeseran
PLOC dari eksternal ke internal, dan meningkatkan motivasi
intrinsik. (Zuckerman et al., 1978).
Pengurangan motivasi intrinsik oleh penghargaan ekstrinsik dan catatan CET dari fenomena itu
mendapat perhatian dalam literatur organisasi sejak 1970-an sampai awal 1980-an, Ambrose dan
Kulik (1999) merujuk CET sebagai salah satu dari tujuh teori motivasi tradisional dalam organisasi.
Meskipun demikian, ada beberapa alasan mengapa perhatian itu segera memudar.

Pertama, sebagian besar penelitian yang menguji CET adalah eksperimen laboratorium daripada studi organisasi.
Kedua, sulit untuk memasukkan proposisi CET ke dalam pendekatan perilaku dan ekspektasi-valensi yang lazim.
Ketiga, dan lebih praktis, banyak kegiatan dalam organisasi kerja tidak menarik secara intrinsik dan penggunaan
strategi seperti partisipasi untuk meningkatkan motivasi intrinsik tidak selalu layak.
Keempat, kebanyakan orang yang bekerja harus menghasilkan uang, jadi menggunakan hadiah uang sebagai strategi
motivasi utama tampaknya praktis dan menarik.
Kelima, CET tampaknya menyiratkan bahwa manajer dan ahli teori manajemen harus fokus pada satu atau yang lain-
yaitu, baik pada mempromosikan motivasi intrinsik melalui partisipasi dan pemberdayaan sambil meminimalkan
penggunaan faktor ekstrinsik atau, alternatif, menggunakan hadiah dan ekstrinsik lainnya. kemungkinan untuk
memaksimalkan motivasi ekstrinsik sementara mengabaikan pentingnya motivasi intrinsik.
Pusat dari SDT adalah pembedaan autonomous motivation vs controlled motivation.
Motivasi intrinsic adalah contoh dari autonomous motivation. SDT memostulatkan
bahwa motivasi otonomi dan terkendali berbeda baik proses regulatory yang
mendasarinya maupun pengalaman yang dijalani, dan teori ini juga menyarankan
bahwa perilaku bisa dikarakteristikkan dalam hal tingkat keotonomian vs.
keterkendalian. Keduanya sama-sama disengaja dan berbeda dari amotivasi yang
tidak diniatkan dan tidak ada motivasi. Selain itu, teori ini memandang tiga jenis
(amotivasi, ekstrinsik, intrinsik) nya berada pada suatu kontinum.
HAL YANG MENARIK ADALAH …..
SDT model of internalization is not a stage theory and does not suggest that people
must invariantly move through these ‘stages’ with respect to particular behaviors.
Rather, the theory describes these types of regulation in order to index the extent to
which people have integrated the regulation of a behavior or class of behaviors.
As such, SDT proposes that, under optimal conditions, people can, at any time, fully
integrate a new regulation, or can integrate an existing regulation that had been only
partially internalized.
SDT is the only theory that has detailed the processes through which extrinsic
motivation can become autonomous.
1. Goal-setting theory
2. Action regulation theory
3. Kanfer’s task-specific motivation
4. Job characteristics theory
5. Needs and motives: Maslow, Herzberg, and Alderfer
6. Kelman’s theory of internalization and the concept of
identification
7. Organizational commitment
Hubungan antarvariabel di
model samping banyak
terdukung, walaupun derajatnya
beda dan setingan
(organisasi/bukan). (Gagne dan
Deci,2005)
Although, as already
noted, SDT is based on a
strong empirical
foundation, relatively few
studies have
tested the theory within
organizational settings
(Gagne&Deci,2005)
Proposition 1:
Autonomous extrinsic motivation will be more effective in predicting persistence on
uninteresting but effort-driven tasks, whereas intrinsic motivation will be more effective in
predicting persistence on interesting tasks.
Proposition 2:
Controlled motivation will yield poorer performance on heuristic tasks than autonomous
motivation, but will lead to equal to or better short-term performance on algorithmic tasks
Proposition 3:

Autonomy-supportive work climates facilitate internalization of extrinsic motivation, resulting in more autonomous self-regulation of extrinsically motivated behavior.

Proposition 4:

Specific aspects of jobs interact with the work climates to influence autonomous motivation for work.

Proposition 5:

Concrete managerial behaviors that support subordinates’ autonomy in the workplace can be identified emp

Proposition 6:

Employees’ autonomous causality orientations and autonomy-supportive work climates will have additive, independent positive effects on employees’ autonomous motivation and positive work outcomes.
1. It is well established that use of salient extrinsic rewards to motivate work behavior can be
deleterious to intrinsic motivation and can thus have negative consequences for
psychological adjustment, performance on interesting and personally important activities,
and citizenship behavior. However, research also clarifies ways in which tangible rewards
can be used so as not to be detrimental to intrinsic motivation. Furthermore, self-
determination theory has detailed the processes through which extrinsic motivation can
become autonomous, and research suggests that intrinsic motivation (based in interest) and
autonomous extrinsic motivation (based in importance) are both related to performance,
satisfaction, trust, and well-being in the workplace.
2. When the interaction of intrinsic and extrinsic motivation was first identified, cognitive
evaluation theory provided an explanation for the phenomenon. However, many
organizational psychologists and management theorists found the theory of limited use with
respect to promoting performance and satisfaction in work organizations. Self-determination
theory, which incorporates CET but is more comprehensive, particularly with respect to
extrinsic motivation, provides a fuller and more useful approach to understanding the
motivational bases for effective organizational behavior. Because much of the support for
SDT has come from laboratory experiments and field studies in domains other than work
organizations, we outlined a research agenda that will be important for supporting the use of
SDT as a theory of work motivation.
]. RICHARD HACKMAN AND GRECR. OLDHAM
ORGANIZATIONAL BEHAVIOR AND HUMAN PERFORMANCE 16, 250-279 (1976)
enlargement

enrichment

Work Design
Keadaan
psikologis

Job
Characteristic
Model

Job Atribut
characteristic
individu
Porter, Lawler, & Hackman, 1975

Menguji pendekatan teori work redesign

Characteristics of jobs

Characteristics of
people interact

When an enriched job?


beneficial outcomes
or NOT
Recognition
Achievement
Intrinsik Responsibility
(Motivation) Advancement
Personal growth in
competence
Employee satisfaction

Company policies
Ektrinsik Supervisory practices
(Hygiene factors) Pay plans
Working conditions
 Sejumlah peneliti tidak dapat memberikan dukungan empiris untuk prinsip-
prinsip utama dari teori dua faktor (Dunnette, Campbell, & Hakel, 1967; Hinton,
1968; King, 1970)
 Teori ini tidak memberikan perbedaan tentang seberapa responsif terhadap
pekerjaan “enriched” (Ford, 1969)
 Teori ini tidak memberikan bantuan dalam menentukan bagaimana fenomena
perbedaan individual harus ditangani, baik pada tingkat konseptual atau dalam
aplikasi yang sebenarnya (Hulin, 1971)
 Teori juga membatasi sejauh mana teori dapat digunakan untuk mendiagnosis
pekerjaan sebelum perubahan yang direncanakan, atau untuk mengevaluasi efek
kegiatan work redesign setelah perubahan telah dilakukan.
Teori aktivasi berguna dalam memahami pekerjaan yang repetitive dalam
perencanaan untuk desain tugas yang meminimalkan konsekuensi disfungsional
dari pekerjaan yang kurang aktif.
 Sarana harus dikembangkan untuk mengukur tingkat aktivasi individu saat ini
dalam pengaturan kerja yang sebenarnya dan untuk menilai tingkat optimal
aktivasi untuk individu yang berbeda (Thayer, 1967)
 Ambiguitas mengenai proses di mana individu beradaptasi dengan tingkat
perubahan dalam stimulasi. Tingkat aktivasi individu menurun secara nyata
sebagai fungsi familiarity dengan situasi stimulus yang diberikan.
Pendekatan sistem sosio-teknis untuk mendesain ulang pekerjaan memberikan
wawasan yang signifikan ke interdependensi antara aspek teknis dari pekerjaan
dan lingkungan sosial yang lebih luas di mana pekerjaan dilakukan.
Penciptaan kelompok kerja menjadikan mereka semakin menonjol dan berguna
sebagai strategi untuk mendesain ulang dan memperbaiki sistem kerja.
 Eksplisitnya sarana untuk mendiagnosis sistem kerja sebelum berubah (untuk
memastikan apa yang harus diubah, dan bagaimana), atau untuk mengevaluasi
secara sistematis hasil perubahan yang telah diselesaikan.
 Penggunaan terbatas dalam menghasilkan pemahaman baru melalui tes kuantitatif
dari proposisi yang ditentukan oleh teori, atau dalam memberikan panduan
eksplisit dan konkret tentang apa perubahan organisasi yang dibuat dalam situasi
apa.
Penelitian tentang desain kerja yang berfokus pada karakteristik obyektif dari
pekerjaan
Hackman dan Lawler (1971) memberikan bukti lebih lanjut bahwa karakteristik
pekerjaan dapat secara langsung mempengaruhi sikap dan perilaku karyawan di
tempat kerja.
Para penulis menyarankan bahwa karyawan harus bereaksi positif terhadap empat
dimensi inti yang diadaptasi dari yang sebelumnya digunakan oleh Turner dan
Lawrence (yaitu, variasi, identitas tugas, otonomi, umpan balik).
 Bukti substansial bahwa terdapat perbedaan moderasi bagaimana mereka
bereaksi terhadap kompleksitas dan tantangan pekerjaan mereka, menggunakan
ukuran langsung dari kebutuhan individu memberikan dukungan yang lebih
konsisten dan kuat daripada mengukur latar belakang subkultur atau nilai kerja
secara umum.
Skill variety
• kegiatan pekerjaan yang berbeda yang melibatkan beberapa keterampilan dan bakat

Task identity
• penyelesaian keseluruhan, bagian kerja yang dapat diidentifikasi

Task significance
• dampak yang penting dan positif terhadap kehidupan orang lain

Autonomy
• dalam pengalaman psikologis ini, individu mempersepsikan seberapa baik dia bekerja?

Feedback
• informasi (masukan) tentang kinerja pekerjaan
Experienced Meaningfulness
• adalah sejauh mana pengalaman dan pandangan individu dalam
pekerjaannya sebagai hal yang bermakna dan berharga.
Experience Responsibility
• adalah tingkatan dimana seseorang merasa bertanggung jawab
sepenuhnya terhadap pekerjaan yang dia lakukan
Experience, Knowledge and Results of the Work
• dalam pengalaman psikologis ini, individu mempersepsikan seberapa
baik dia bekerja?
 Model job karakteristik diuji menggunakan data yang diperoleh dari 658 karyawan
yang mengerjakan 62 pekerjaan yang berbeda di tujuh organisasi.
 Pekerjaannya sangat heterogen. Organisasi industri dan jasa. Organisasi-organisasi
tersebut berlokasi di Timur, Tenggara, dan Barat Tengah, di lingkungan perkotaan dan
pedesaan.
 Instrumen pengumpulan data primer adalah Job Diagnostic Survey (JDS), sebuah
instrumen yang dirancang khusus untuk mengukur masing-masing variabel dalam
model job karakteristik.
 Analisis dilakukan secara terpisah untuk masing-masing organisasi bila
memungkinkan, dan hasil median dilaporkan.
 Signifikansi statistik ditentukan dengan menggabungkan nilai p yang diperoleh dalam
tujuh analisis terpisah, mengikuti prosedur yang dikembangkan oleh Stouffer et al.
(1949) dan dijelaskan dalam Mosteller and Bush (1954, hal. 329).
 Relationships of the Job Dimensions and Psychological States with the Outcomes

 Secara umum, hasil konsisten dengan harapan dari model: Korelasi berada dalam arah
yang diprediksi, dan sebagian besar mencapai tingkat signifikansi statistik yang dapat
diterima.
 Keadaan psikologis (yang dalam model merupakan sebab langsung dari hasil)
umumnya berkorelasi lebih tinggi dengan ukuran hasil daripada dimensi pekerjaan.
 Ringkasan Motivating Potential Score (MPS) berhubungan lebih kuat dengan hasil
dibandingkan dimensi pekerjaan komponennya, juga seperti yang diharapkan.
 Hubungan yang melibatkan absensi dan kinerja, tidak sekuat yang diharapkan dan
umumnya lebih kecil dari hubungan yang melibatkan ukuran kepuasan dan motivasi
(karena ketidakhadiran dan kinerja tidak terbagi ke dalam varians metode umum
dengan karakteristik pekerjaan dan keadaan psikologis).
 Empirical Validity of the Job Characteristics Model
 Hasil memberikan dukungan yang kuat secara umum untuk validitas model job
karakteristik.
 Hubungan dasar antara dimensi pekerjaan dan ukuran hasil seperti yang
diprediksi dan umumnya dari kekuatan substansial, meskipun korelasi yang
melibatkan absensi dan kinerja lebih rendah daripada ukuran hasil lainnya.
 Tanggung jawab ditentukan tidak hanya oleh otonomi tetapi oleh dimensi
pekerjaan lain (Tabel 5), dan otonomi memiliki efek langsung pada beberapa
variabel hasil yang sama atau melebihi dampak tidak langsung pada tanggung
jawab (Tabel 3 dan 4). .
 MPS as a Summary Measure of the Job Characteristics
 Formulasi MPS yang digunakan tidak dikonfirmasikan dengan data, akan tetapi
tidak ada formulasi yang dapat mewakili cara yang lebih memadai untuk
menggabungkan dimensi pekerjaan dengan yang lainnya.
 Membandingkan kinerja empiris MPS dengan model alternatif yang lebih
sederhana.
 The Nature and Effects of Growth Need Strength
 Individu dengan kebutuhan pertumbuhan yang kuat bereaksi lebih positif terhadap
pekerjaan yang kompleks daripada individu dengan kebutuhan yang lemah untuk
pertumbuhan.
 Moderator reaksi individu terhadap pekerjaan mereka dapat dikonseptualisasikan dan
diukur secara langsung sesuai dengan kebutuhan manusia (mengenai hubungan antara
langkah-langkah tersebut dan variabel demografi dan subkultur yang juga telah
diusulkan sebagai moderator).
 Pengaruh pekerjaan dan struktur organisasi terhadap kebutuhan pertumbuhan
karyawan terbukti informatif. Kebutuhan individu berubah atau menyesuaikan untuk
memenuhi tuntutan situasi di mana mereka menemukan diri mereka.
 Kebutuhan seorang individu menjadi lebih berorientasi pada pertumbuhan ketika ia
dihadapkan dengan pekerjaan yang kompleks yang menuntut individu
mengembangkan dirinya dan menjalankan pemikiran dan tindakan independen dalam
karyanya.
 Uses and Distinguishing Features of the Job Characteristics Model
 Model job karakteristik dirancang dari tiga fokus variabel; yaitu, job karakteristik
obyektif, mediasi keadaan psikologis, dan pertumbuhan kebutuhan kekuatan
individu, dapat langsung diukur dalam situasi kerja yang sebenarnya,
menggunakan Job Diagnostic Survey (Hackman & Oldham, 1975).
 Model dapat digunakan sebagai dasar konseptual untuk diagnosis job yang
dipertimbangkan untuk redesign.
 Model dapat berfungsi sebagai kerangka kerja untuk menilai dan menafsirkan
pengukuran untuk mengevaluasi efek perubahan yang telah dilakukan, misalnya:
1) untuk menentukan dimensi pekerjaan yang dilakukan, 2) untuk menilai dampak
dari perubahan pada respon afektif dan motivasi karyawan, dan 3) untuk menguji
setiap perubahan dalam kebutuhan pertumbuhan karyawan yang pekerjaannya
dirancang ulang.
THANK YOU

Anda mungkin juga menyukai