Anda di halaman 1dari 16

Inkontinensia Urine

KELOMPOK III
ANDRIANI CANDRA
FADILA YULI AGUS
BETRI
HAFIZHAH ULFA
LISA PUTRI
VIRLIA PUTRI
KHAIRAMI
Pengertian
Inkontinensia urine (IU) atau yang lebih
dikenal dengan beser adalah pengeluaran urin
tanpa disadari dalam jumlah dan frekuensi
yang cukup sehingga mengakibatkan masalah
gangguan kesehatan an social. Variasi dari
inkontinensia urin meliputi keluar hanya
beberapa tetes urin saja, sampai benar-benar
banyak, bahkan terkadang juga disertai
inkontinensia alvi (disertai pengeluaran feses)
(brunner,2011).
Klasifikasi
• Inkontinensia stres
(Stres Inkontinence)
• Inkontinensia desakan
(Urgency
Inkontinence)
• Inkontinensia luapan
(Overflow
Incontinence)
• Fistula urine
Etiologi
• Melemahnya otot dasar panggul akibat kehamilan
berkali-kali, kebiasaan mengejan yang salah, atau
batuk kronis.
• Gangguan saluran kemih bagian bawah bisa karena
infeksi
• Gagal jantung kongestif juga bisa menjadi faktor
penyebab produksi urin meningkat
• Gangguan kemampuan ke toilet bisa disebabkan oleh
penyakit kronik, trauma, atau gangguan mobilitas
• Pasien lansia, kerap mengonsumsi obat-obatan
tertentu karena penyakit yang dideritanya.
• Faktor risiko yang lain adalah obesitas atau
kegemukan, riwayat operasi kandungan dan lainnya
juga berisiko mengakibatkan inkontinensia.
Patofisiologi
Pengendalian kandung kencing dan sfinkter diperlukan agar terjadi pengeluaran urin secara
kontinen. Pengendalian memerlukan kegiatan otot normal diluar kesadaran dan yang di dalam kesadaran
yang dikoordinasi oleh reflex urethrovesica urinaria. Pengertian tentang keteraturan stimulus saraf dan
kegiatan otot dapat membantu perawat bagaimana kontinen dapat dapat dipertahankan.
Bila terjadi pengisian kandung kecing, tekanan didalam kandung kemih meningkat. Otot detrusor
(lapisan yang tiga dari dinding kandung kencing) memberikan respon dengan relaksasi agar
memperbesar volume daya tampung. Bila titik daya tampung telah dicapai, biasanya 150 sampai 200 ml
urin daya rentang reseptor yang terletak pada dinding kandung kemih mendapat rangsang. Stimulus
ditransmisi lewat serabut reflek eferan ke lengkungan pusat reflex untuk mikstrurirasi. Impuls kemudian
disalurkan melalui serabut eferen dari lengkungan refleks ke kandung kemih, menyebabkan kontraksi
otot detrusor.
Sfinkter interna yang dalam keadaan normal menutup, serentak bersama-sama membuka dan urin
masuk ke urethra posterior. Relaksasi sfinkter eksterna dan otot perincal mengikuti dan isi kandung
kemih keluar. Pelaksanaan kegiatan refleks bisa mengalami interupsi dan berkemih ditangguhkan melalui
dikeluarkannya impuls inhibitori dari pusat kortek yang berdampak kontraksi diluar kesadaran dari sfinker
eksterna. Bila salah satu bagian dari fungsi yang komlek ini rusak, bisa terjadi inkontinensia urin.
Cerebral clouding (fungsi otak menurun) pada orang lanjut usia adalah biasa. Pada banyak
kejadian orang lanjut usia inkontinen karena berkurangnya kesadaran kebutuhan untuk mengosongkan
kandung kemih. Bentuk inkontinen ini seringkali tidak ada hubungan dengan kelainan patologi pada
tingkat otak. Cerebral clouding terjadi juga pada orang sakit akut yang menderita begitu sakit sehingga
otak tumpul. Mereka tidak dapat berfikir dan tidak mempunyai energy untuk mengendalikan di luar
kesadaran. Demikian juga seseorang dalam keadaan koma mengalami inkontinen, karena hilangnya
kemampuan diluar kesadaran pembukaan sfinter eksterna. Bila air kencing sudah masuk ke urethra
posterior, kandung kencing berkontraksi dan air kemih keluar. Hal seperti ini menyebabkan kenapa
seseorang berkemih pada waktu anesthesia.
Infeksi dimana saja pada saluran kemih dapat berdampak inkontinen, karena bakteri pada saluran kemih
menyebabkan iritasi pada lapisan mukosa kandung kemih dan menstimulir rethrovesica urinaria. Inkontinen terjadi
sebagai dampak dari ketidakmampuan untuk menahan reflek urethro vesica urinaria dengan sempurna oleh pusat-
pusat yang lebih tinggi.
Gangguan reflek urethro vesicalis dapat terjadi karena lesi tulang sum-sum belakang atau rusak saraf perifer
dari kandung kemih. Bentuk kontinen ini dapat terlihat pada orang dengan malforsi sum-sum belakang, cedera,
tumor dan pada mereka dengan komprs sum-sum akibat patah vertebra, diskus yang hernia, tumor metastase di
sum-sum belakang pasca bedah. Bentuk kesulitan ini dapat berakibat kepada dua jenis respon yang dikenal sebagai
neurogenik vesicalis. Orang yang menderita neurogenic vesikalis tidak mempunyai cara untuk mengetahui kapan
berkemih itu terjadi.
Cedera diatas tingkat S2 dari sum-sum belakang atau gangguan pusat cerebrocortical tidak merusak reflek
berkemih, walupun bisa menghilangkan keteraturan. Lesi bisa merusak potensi kortek untuk menahan reflek.
Dampaknya adalah “motor neuron atas” atau kandung kencing yang automatis. Kandung kemih menjadi hipertosis
dan hanya mempunyai sedikit kapasitas (kurang dari 150 ml). Peningkatan tonus detrusor dan peningkatan
sensitifitas terhadap jumlah urin yang sedikit di dalam kandung kemih berdampak mendahului reflek berkemih dan
berpotensi terjadi refluks vesicourethral.
Kerusakan saraf cauda equina atau segmen sakrum bisa berdampak pada lengkungan refleks oleh interupsi
aferennya, eferannya oleh komponen sentral. Berakibat terjadi “motor neuron bawah” atau kandung kemih lemah.
Kandung kemih menjadi hipotonis dengan kapasitas 500 ml atau lebih. Inkontinen luapan, retensi residu urin, dan
potensi vesicourethra refluks merupakan masalah yang didorong oleh kandung kemih yang hipotosis.
Inkontinen karena luapan dianggap disebabkan oleh tekanan dari kandung kemih yang distensi oleh otot-otot
abdomen. Residu urin adalah, urin yang masih berada di dalam kandung kemih setelah pengosongan yang tidak
sempurna, merupakan media untuk berkembangnya bakteri dan infeksi saluran kemih menjadi lumrah.
Kerusakan jaringan dari sfingter kandung kemih oleh instrumen, bedah atau kecelakaan, parut yang
ditinggalkan infeksi, lesi yang mengenai sfingter atau relaksasi struktur perineum dapat berakibat intontinen urin.
Sebab inkontinen yang akhir kadang-kadang sering timbul setelah melahirkan anak. Masalah sifatnya lokal dan tidak
menyangkut saraf.
Manifestasi klinis
• Inkontinensia stres: keluarnya urin selama batuk, mengedan, dan
sebagainya. Gejala-gejala ini sangat spesifik untuk inkontinensia stres.
• Inkontinensia urgensi: ketidakmampuan menahan keluarnya urin
dengan gambaran seringnya terburu-buru untuk berkemih.
• Enuresis nokturnal: 10% anak usia 5 tahun dan 5% anak usia 10 tahun
mengompol selama tidur. Mengompol pada anak yang lebih tua
merupakan sesuatu yang abnormal dan menunjukkan adanya kandung
kemih yang tidak stabil.
• Gejala infeksi urine (frekuensi, disuria, nokturia), obstruksi (pancara
lemah, menetes), trauma (termasuk pembedahan, misalnya reseksi
abdominoperineal), fistula (menetes terus-menerus), penyakit
neurologis (disfungsi seksual atau usus besar) atau penyakit sistemik
(misalnya diabetes) dapat menunjukkan penyakit yang mendasari.
Penatalaksanaan
1. Penanganan konservatif inkontinensia urine dengan latihan otot dasar
pinggul (‘pelvic floor exercises’)
2. Obat-obatan
• Alfa Adrenergik Agonis
• Otot leher vesika dan uretha proksimal megandung alfa adrenoseptor
yang menghasilkan kontraksi otot polos dan peningkatan tekanan
penutupan urethra obat aktif agonis alfa-reseptor bisa menghasilkan
tipe stmulasi ini dengan efek samping relatif ringan..
• Efedrin
• Efek langsung merangsang alfa sebaik beta-adrenoseptor dan juga
melepaskan noradrenalin dari saraf terminal obat ini juga dilaporkan
efektif pada inkotinensia stres. Efek samping menigkatkan tekanan
darah, kecemasan dan insomnia oleh karena stimulasi SSP
ASKEP INKONTINENSIA URINE
1. Pengkajian
a. Identitas klien
Meliputi nama, umur, jenis kelamin, pendidikan, alamat, pekerjaan, alamat, suku bangsa,
tanggal, jam MRS, nomor registrasi, dan diagnosa medis.
b. Riwayat kesehatan
1) Riwayat kesehatan sekarang
Berapakah frekuensi inkonteninsianya, apakah ada sesuatu yang mendahului
inkonteninsia (stres, ketakutan, tertawa, gerakan), masukan cairan, usia/kondisi fisik,
kekuatan dorongan/aliran jumlah cairan berkenaan dengan waktu miksi. Apakah ada
penggunaan diuretik, terasa ingin berkemih sebelum terjadi inkontenin, apakah terjadi
ketidakmampuan.
2) Riwayat kesehatan dahulu.
Apakah klien pernah mengalami penyakit serupa sebelumnya, riwayat urinasi dan
catatan eliminasi klien, apakah pernah terjadi trauma/cedera genitourinarius, pembedahan
ginjal, infeksi saluran kemih dan apakah dirawat dirumah sakit.
3)Riwayat kesehatan keluarga.
Tanyakan apakah ada anggota keluarga lain yang menderita penyakit serupa dengan
klien dan apakah ada riwayat penyakit bawaan atau keturunan, penyakit ginjal
bawaan/bukan bawaan.
c. Pemeriksaan fisik
1. Keadaan umum
• Klien tampak lemas dan tanda tanda vital terjadi peningkatan karena respon dari terjadinya inkontinensia.
2. Pemeriksaan Sistem
• B1 (breathing)
Kaji pernapasan adanya gangguan pada pola nafas, sianosis karena suplai oksigen menurun. kaji ekspansi dada, adakah
kelainan pada perkusi.
• B2 (blood)
Peningkatan tekanan darah, biasanya pasien bingung dan gelisah
• B3(brain)
Kesadaran biasanya sadar penuh
• B4 (bladder)
Inspeksi:
Periksa warna, bau, banyaknya urine biasanya bau menyengat karena adanya aktivitas mikroorganisme (bakteri) dalam
kandung kemih serta disertai keluarnya darah apabila ada lesi pada bladder, pembesaran daerah supra pubik lesi pada
meatus uretra,banyak kencing dan nyeri saat berkemih menandakan disuria akibat dari infeksi, apakah klien terpasang
kateter sebelumnya.
Palpasi :
Rasa nyeri di dapat pada daerah supra pubik / pelvis, seperti rasa terbakar di urera luar sewaktu kencing / dapat juga di luar
waktu kencing.
• B5 (bowel)
Bising usus adakah peningkatan atau penurunan, Adanya nyeri tekan abdomen, adanya ketidaknormalan perkusi, adanya
ketidaknormalan palpasi pada ginjal.
• B6 (bone)
Pemeriksaan kekuatan otot dan membandingkannya dengan ekstremitas yang lain, adakah nyeri pada persendian.
Data Masalah etiologi

DS: biasanya pasien Gangguan eliminasi Gangguan sensori


mengatakan sering
berkemih urine motor
DO: inkontinesia urin
retensi urine
DS: biasanya klien Gangguan citra tubuh Kehilangan fungsi
mengungkapkan
perasaan yang tubuh, perubahan
mencerminkan keterlibatan sosial
perubahan pandangan
tentang tubuh individu
DO:
Respon nonverbal
terhadap perubahan
actual pada tubuh.
Perubahan actual pada
fungsi danstruktur tubuh
DS: biasanya klien Ansietas Perubahan dalam
mengatakan gelisah
Klien mengeluhkan status kesehatan
kekhawatiran karena
perubahan dalam
peristiwa hidup.
Klien mengatakan
susah tidur.

DO:
Klien tampak cemas.
Klien tampak gelisah.
Klien insomnia.
DIAGNOSA KEPERAWATAN
a. Gangguan eliminasi urine b/d gangguan
sensori motor.
b. Gangguan citra tubuh b/d kehilangan
fungsi tubuh, perubahan keterlibatan sosial.
c. Ansietas b/d perubahan dalam status
kesehatan.
NO DIAGNOSA NIC NOC
KEPERAWATAN

1. Gangguan eliminasi Urinary retention care 1. Lakukan penilaian kemih


urine b/d gangguan Criteria Hasil: yang komprehensif
sensori motor.  Kandung kemih kosong berfokus pada
secara penuh. inkontinensia (misalnya,
 Tidak ada residu urine output urin, pola
>100-200 cc. berkemih, fungsi
 Intake cairan dalam kognitif)
rentang normal. 2. Pantau penggunaan obat
 Balance cairan dengan sifat
seimbang. antikolinergik
3. Memantau intake dan
output
4. Memantau tingkat
distensi kandung kemih
dengan palpasi atau
perkusi
5. Bantu dengan toilet
secara berkala
6. Kateterisasi
2. Gangguan Body image enhancement 1. kaji secara verbal dan non verbal
citra tubuh Criteria Hasil: respon klien terhadap tubuhnya
b/d  Body image positif 2. jelaskan tentang pengobatan dan
kehilangan  Mampu mengidentifikasi perawatan penyakit
fungsi tubuh, kekuatan personal 3. identifikasi arti pengurangan melalui
perubahan  Mendeskripsikan secara pemakaian alat bantu.
keterlibatan factual perubahan fungsi 4. Fasilitasi kontak dengan individu
sosial. tubuh lain dalam kelompok lain
 Mempertahankan interaksi
sosial

3 Ansietas b/d Anxiety self control 1. Gunakan pendekatan yang


perubahan Criteria hasil: menenangkan.
dalam status  klien mampu 2. Jelaskan semua prosedur dan apa yang
kesehatan. mengidentifikasi dan dirasakan selama prosedur.
mengungkapkan gejala 3. Pahami prespektif klien terhadap situasi
cemas. stress.
 Mengidentifikasi, 4. Temani pasien untuk memberikan
mengungkapakan dan keamanan dan mengurangi takut.
menunjukkan teknik untuk 5. Dorong keluarga untuk menemani
mengontrol cemas. pasien.
 Postur tubuh, ekspresi wajah,
bahasa tubuh dan tingkat
aktifitas menunjukkan
berkurangnya kecemasan.

Anda mungkin juga menyukai