Anda di halaman 1dari 72

MANAJEMENT TERAPI

KERACUNAN OBAT
MANAJEMEN TERAPI PADA KERACUNAN
ACETAMINOPHEN
• SINONIM
APAP; N-Acetyl-P-Aminophenol; Paracetamol

• PENGGUNAAN
• Terapi untuk meredakan nyeri (ringan – sedang) dan
demam.
• Tidak memiliki efek sebagai antirematik dan
antiinflamasi

• MEKANISME KERJA NORMAL


• Menghambat sintesis prostaglandin E2 pada sistem
syaraf pusat.
• Menghambat hantaran rangsangan nyeri di perifer
• Memiliki efek antipiretik dengan menghambat pusat
pengaturan panas tubuh di hipotalamus
Struktur Asetaminofen

 Asetaminofen dalam beberapa obat :

- Tylenol - Liquiprin
- Anacin-3 - Panadol dll

 Bila kombinasi dengan obat lainnya, seperti kodein dan


dextropropoxifen, parasetamol menjadi racun bagi tubuh.

 Meskipun aman, semua obat adalah racun jika


digunakan dalam dosis besar. Karena relatif mudah
diperoleh, parasetamol merupakan salah satu obat yang
sering dipakai untuk bunuh diri.

 Sebagian dari kasus kematian (43%) disebabkan karena


usaha bunuh diri atau penyalahgunaan, sisanya
disebabkan karena ketidaksengajaan dan biasanya
karena digunakan bersama obat lain.
Dosis Toksik
1. Lebih dari 140 mg/kg BB pada anak-anak atau 6 gram
pada orang dewasa (sdh potensial menimbulkan
hepatotoksik). Keadaan khusus bisa terjadi pada :
 Pada pasien yang sering mengkonsumsi alkohol,
 Pada pasien yang mengkonsumsi obat-obatan yang dapat
menginduksi sitokrom P-450 seperti barbiturat
 Sebaliknya untuk obat-obatan yang bersifat inhibitor sitokrom
P-450 yang terjadi adalah kebalikannya, seperti simetidin maka
lebh rentan terhadap ketoksikan PCT
 Anak-anak usia kurang dari 12 tahun, akan lebih resisten
terhadap keracunan parasetamol krn biosintesis sit-P450 nya
blm sempurna

2. Keracunan kronis dilaporkan terjadi setelah


mengkonsumsi parasetamol dosis terapetik yang tinggi
setiap hari, terutama pada pasien alkoholik.
Overdosis parasetamol
 Overdosis parasetamol dapat terjadi pada penggunaan
akut maupun penggunaan berulang.
1. Overdosis parasetamol akut dapat terjadi jika
seseorang mengkonsumsi parasetamol dalam
dosis besar dalam waktu 8 jam atau kurang.
2. Kejadian toksik pada hati (hepatotoksisitas)
akan terjadi pada penggunaan 7,5-10 gram dalam
waktu 8 jam atau kurang.
3. Kematian bisa terjadi (mencapai 3-4% kasus) jika
parasetamol digunakan sampai 15 gram.
Mekanisme Toksisitas
Parasetamol

Yang bertanggungjawab dari ketoksikan


parasetamol adalah bentuk metabolit aktifnya,
yaitu N-Acetil-Benzokuinon-imin (Nabki).

Sit P-450

Parasetamol Nabki

Glutation
Asam merkapturat

Eksresi
Gejala Klinik

 Tidak spesifik (tergantung kondisi pemejanan)


 Setelah keracunan akut, gejala yang muncul umumnya
tidak kelihatan.
 Umumnya hanyalah anoreksia, nausea dan vomiting.
 Hasil pemeriksaan Laboratorium setelah 24 – 48 jam.
Menunjukkan telah terjadinya nekrosis hepar bila :
 Terjadi kenaikkan PT (Protrombin time) dan enzim
transaminase (SGPT dan SGOT)
 Terjadi kenaikkan bilirubin total/direct
Gejalanya :
 Kulit akan terlihat kekuning-kuningan
 Hepar terasa panas
 Bila terjadi gagal hepar akut bisa mengakibatkan
ensefalopatis yang dapat mengakibatkan kematian.
 Gagal ginjal akut juga bisa terjadi krn di ginjal jg ada
proses metabolisme sit-P450

Diagnosis
1. Lakukan wawancara untuk mengetahui tipe keracunan
(apakah akut atau kronis)
2. Lakukan juga pengukuran kadar parasetamol dalam
serum, kemudian lihat kadar spesifik parasetamol dalam
serum.
 Dari kurva dipahami bhw pengukuran kadar dlm serum
atau plasma dilakukan pd jam ke-4 atau ke-12 setelah
pemejanan.
 Jika kadar plasma mencapai lebih dari 200 µg/ml pd jam
ke-4 dan mencapao 50 µg/ml pd jam ke-12, berarti
pasien memang telah mengalami keracunan
paracetamol.
 Tetapi kalau kadar yg ditemukan pd jam ke-4 dan jam
ke-12 berrada di bawah kadar tersebut pasien belum
keracunan PCT walaupun pasiennya telah menunjukan
gejala muntah.
Data Laboratorium yang Lain

 Gas dalam darah


 Elektrolit
 Glukosa darah
 BUN
 Kreatinin
 Fungsi hepar dan ginjal
 PT
 Deteksi urin (leukosit, erithrosit, trombosit, dll.)
Pengobatan
1. Terapi Suportif dan Pertolongan Gawat
Darurat.

 Pertolongan muntah : metoklopramida 10 -20 mg i.v


(anak-anak 0,1 mg/KgBB). Menunda pemberian anti
dot dan arang aktif.
 Obat-obat anti hepatotoksik sebagai pelengkap
terapi suportif

2. Pemberian anti dot dan obat spesifik.

Bila level serum di atas kurva, dapat diberikan anti


dot asetil sistein dosis 140 mg/KgBB secara oral.
Asetil sistein
 Asetilsistein dapat mengikat kelebihan
metabolit aktif (Nabki) dan kemudian dapat
diekskresikan keluar tubuh.
 Efektifitasnya tergantung kecepatan
pemberian, lebih baik diberikan sebelum
terjadi akumulasi metabolit reaktifnya dan
biasanya setelah 12-16 jam setelah
pemejanan akut.
 Bila pasien muntah, asetilsistein diberikan
melalui gastric tube yang langsung
dimasukan ke dalam lambung.
3. Dekontaminasi atau pengeluaran racun
 Induksi muntah atau bilas lambung, dapat dilakukan
dengan pemberian sirup ipekak, susu kental manis atau
air garam.
 Berikan arang aktif dan katartika bila perlu.
 Hati-hati pada pemberian arang aktif, karena dapat
menganggu absorbsi obat lain. Penggunaan arang aktif
akan mengganggu absorbsi asetilsistein sehingga harus
dipilih salah satunya.
Kalau masih dalam tahap absorbsi lebih efektif
menggunakan arang aktif, tetapi bila fase absorbsi sdh
terlewati akan lebih efektif menggunakan asetisistein.
 Pengosongan lambung tidak perlu dilakukan jika
pemejanan parasetamol dalam jumlah yang sedikit atau
yang sudah dimulai dengan pemberian arang aktif.
4. Percepatan eliminasi

 Biasanya tidak perlu dilakukan.


 Menjadi perlu dilakukan jika sudah ada gejala
ensefalopatik.
 Pada kasus keracunan parasetamol percepatan
eliminasi dengan hemoperfusi lebih efektif
daripada hemodialysis.
TEOFILIN
 Bronkodilator
 Mekanisme kerja Secara pasti belum diketahui
 Umumnya teofilin bisa menghambat fosfodiesterase
pada level yang tinggi, meningkatkan cAMP intraselluler,
melepas kotekolamin endogen dan menstimulasi
reseptor beta-adrenergik, serta merupakan antagonis
adenosine dan menghambat enzim phospodiesterase
PDEIII dan PDE IV.
 Pada keadaan normal t ½ nya adalah 4 – 6 jam, pd
keadaan tertentu t ½nya bs mencapai 20 jam seperti pd
keadaan fungsi hepar terganggu, penyakt yg disebabkan
virus, atau krn meminum simetidin atau eriromisin yg dpt
menghambat metabolisme teofilin.
Dosis Toksis

 Pada pemejanan tunggal dengan dosis theurapatik (8 –


10 ng/Kg) akan menghasilkan level theuraphetik 15 – 20
mg/L. Tanda-tanda awal ketoksikan akan baru kelhatan
jika level serum melebihi 20mg/L.
 Pada pemejanan tunggal dengan dosis lebih dari 50
ng/Kg akan menghasilkan level seum yang lebih dari 100
mg/L dan pada level ini akan menghasilkan efek toksik
secara signifikan
Gejala klinis
1. Over dosis akut
 Vomiting (kadang dengan hematemesis atau muntah darah kalau
dalam keadaan parah), tremor, anxiety, takhikardi, hipokalemia,
hipofostemia, hiperglikemik dan asidosis metabolik.
 Dengan level serum lebih dari 100 mg/L bisa mengakibatkan
hipotensi, aritmia dan kejang. Biasa terjadi pada pasien dengan
epilepsi. Pengatasannya diberi diazepam.

2. Kronis
 Biasanya korbannya adalah anak-anak dan orang tua
 Vomiting mungkin terjadi
 Takhikardi dan hipotensi jarang terjadi
 Hipokalemia dan hiperglikemik tidak terjadi
 Kejang jarang terjadi dengan level serum 40 – 60 mg/L
Diagnosis

1. Level serum spesifik, Biasanya dilakukan


pengukuran berulang tiap 2 – 4 jam. Level 20 -
90 mg/L setelah pemejanan akut tidak selalu
berhubungan dengan gejala klinis yang berat.
Toksisitas berat umumnya terjadi pada level 40 –
60 mg/L
2. Data laboratorium
data urin (erithrosit, leukosit, throbosit), Hb
glukosa darah dan monitoring EKG
Pengobatan
1. Terapi suportif dan pertolongan gawat
darurat
 Pemeliharaan sirkulasi udara
 Pengobatan kejang dengan injeksi diazepam, aritmia
dan hipotensi dengan propanolol
 Hipokalemia bisa diobati dengan terapi suportif
(pemberian infus elektrolit/infus kristaloid)
 Monitoring TTV (DN, TD, RR dan T tiap ½ atau ¼
jam)

2. Anti dot spesifik


Hipotensi, aritmia dan takhikardi bisa diberi propanolol
0,01 – 0,03 mg/Kg i.v atau dosis rendah esmolol 25 –
50 mcg/Kg/menit.
3. Dekontaminasi

 Induksi muntah dengan sirup ipekak mungkin lebih efektif


dibandingkan dengan bilas lambung (lihat waktu pemejanannya)
 Pemberian arang aktif dan katartika secara oral
 Untuk preparat sustained release, dilakukan pengulangan Arang
aktif dan katartika dan dilakukan bilas lambung.

4. Percepatan eliminasi

 Hemoperfusi, khususnya pada pasien epilepsi atau serum level


lebih dari 100 mg/L
 Pengulangan arang aktif untuk mencegah resirkulasi dapat
dilakukan jika kadar serum level kurang dari 100 mg/L
 Untuk keadaan hiperglikemik jangan digunakan pemberian infus
glukosa karena akan dapat meningkatkan kadar glukosa darah.
GLIKOSIDA JANTUNG
 Berasal dari berbagai tanaman, biasanya dari familia
digitalis (D. Purpurea atau D. lanata) dan oleander.
 Dalam terapi umumnya berbentuk tablet digoksin dan
digitoksin.
 Keracunan sering terjadi karena akut, pemejanan bunuh
diri dan terapi kronis.
 Tanda klinis keracunan akut berbeda dengan keracunan
kronis
 Keracunan kronis biasanya terjadi pada pasien yang
memang mengkonsumsi glikosida untuk mengobati
jantungnya dan biasanya dikombinasi dengan diuretik.

Mekanisme kerja
 Inhibisi fungsi pompa Na-K-ATPase.
 Pada over dosis akut terjadi hiperkalemia.
 Pada over dosis kronis, kalium umumnya normal atau
cenderung rendah
Mekanisme kerja normal
 Ionotropik positif (meningkatkan
kontaktilitas jantung)
 Knototropik negatif (mengurangi
frekuensi denyut ventrikel pd takikardi)
 Mengurangi aktivasi saraf simpatis
Mekanisme toksisitas
1. overdosis digoksin ( > 1 ng/ml
tonus simpatis : konduksi sel, otomatisitas otot
menurunnya otomatisitas SA node dan konduksi AV
node
2. Terjadi interaksi dengan obat lain
a. kuinidin, verapamil, amiodaron akan menghambat P-
glikoprotein, yakni transporter di usus dan di tubulus ginjal
shgg terjadi peningkatan absorbsi dan penurunan sekresi
digoksin, akibat kadar plasma digoksin meningkat 70-100
%
b. Aminoglikosida, siklosporin, amfoterisin B menyebabkan
gangguan fungsi ginjal, shgg ekskresi digoksin terganggu,
kadar plasma digoksin meningkat
c. diuretik tiazid, furosemid menyebabkan hipokalemia
sehingga meningkatkan toksisitas digoksin.
Gejala Klinis
1. Akut : vomiting, hiperkalemia, Gloking sinus dan
atrioventrikular, Ventrikular takhiaritmia terlihat pada
keracunan yang parah. Ventrikular takhiaritmia pada
keracunan digitalis terlihat pada EKG.
2. Kronis : weakness (terasa lemah) dan ventrilular
takhiaritmia sering terjadi. Hipokalemia dan
hipomegnesemia karena diuretik akan memperburuk
takhiaritmia.
Diagnosis
1. Wawancara untuk mengetahui sejarah penyakit dan
karakteristik dari aritmia. Kalau pemakaian digitalis sudah
cukup lama (kronis) biasanya aritmia yang terjadi cukup
parah.
2. Pengukuran serum level digoksin, walaupun tidak ada
hubungannya dengan keparahan keracunan. Level
theurapetik untuk digoksin adalah 10 – 30 ng/mL.
3. Data laboratorium
4. Darah komplit, elektrolit, BUN, kreatinin dan monitoring
EKG
Pengobatan
1. Terapi suportif dan emergensi
 Air way dan ventilasi (perbaikan sirkulasi udara)
 Monitoring pasien setiap 12 – 24 jam untuk melihat distribusi obat
pada jaringan yang tertunda
 Obati hiperkalemia (ion K > 5,5 mEq/L) dengan :
natrium bikarbonat (1 mEq/kg)
glukosa (0,5 g/kg i.v)
insulin (0,1 unit/Kg i.v)
polistiren sulfonat.
 Obati bradikardi atau heart blok dengan atropine 0,5 – 2 mg i.v
 Ventrikular takhiaritmia bisa berespon dengan lidokain atau
fenitoin atau dengan pengganti kalium atau magnesium. Jauhi
kinidin, prokainamid dan brettilium.
2. Antidot spesifik

Digibind akan cepat mengikat digoksin tetapi kurang


pada digitoksin.

3. Dekontaminasi
 Induksi emesis atau bilas lambung. Peringatan : hati-hati
karena stimulasi vagal mungkin akan memperberat
bradikardia dan heart blok
 Pemberian arang aktif dan katartika

4. Percepatan eliminasi
1. Dialisis dan hemoperfusi tidak efektif pada keracunan
digoksin karena Vd digoksin terlalu besar
2. Vd digitoksin kecil dan mengalami sirkulasi
enterohepatik. Eliminasi akan meningkat dengan
pengulangan arang aktif.
ANTINFLAMASI NON STEROID
(AINS)
Mekanisme

1. Menghambat enzim siklooksigenase (COX).


2. Mengurangi produksi prostaglandin dan tromboksan
yang berperan sebagai :
 Pertahanan pain (rasa nyeri) dan inflamasi (sistem syaraf dan
jaringan)
 Sistem mukosa lambung
 Regulasi renal blood flow (ginjal)
Efek Samping
1. Mual, muntah (pada lambung bagian atas), abdominal
paint, kadang-kadang hematoemesis
2. Bisa terjadi lethargi, ataksia, nistagmus, tinnitus dan
disorientasi.
3. Pada over dosis asam mefenamat, pirosikam dan ibuprofen
sering dilaporkan dapat menyebabkan kejang, koma, gagal
ginjal, hipoprotombinemia, metabolik asidosis,
cardiorespiratory arest.

Diagnosi
s Dari wawancara untuk mengetahui apakah mempunyai
1.

riwayat pengobatan dengan AINS.


2. Data laboratorium seperti pemeriksaan darah komplit,
elektrolit, glukosa, fungsi ginjal, fungsi hepar, PT dan urin
analisis
Gejala Klinis
1. Ataksia
2. Tinnitus
Pengobatan
1. Suportif dan
emergency
 Air way dan ventilasi
 Penanganan kejang, koma dan hipotensi
 Antasida dapat diberikan untuk gangguan lambung atas
 Ganti infus dengan cairan kristaloid

2. Spesifik anti dot


Tidak ada, vitamin K untuk pasien dengan PT yang
tinggi
Dekontaminasi

 Induksi emesis
 Bilas lambung untuk obat dengan resiko kejang
 Karbon aktif bila ingesti kecil dan dilanjutkan dengan
katartika

Percepatan eliminasi

Karena kadar terikat protein yang tinggi dan metabolisme


yang luas maka dialisis dan diuresis menjadi tidak efektif.
ANTIBIOTIKA
Untuk antibiotoka efek yang berbahaya adalah reaksi
alergi termasuk idiosinkrasi yang biasanya muncul
pada awal pemejanan.

Mekanisme

Tergantung dari masing-masing senyawanya dan tidak


mudah untuk dipahami.

Dosis Toksik
Sengat bervariasi tergantung pada senyawanya. Reaksi
alergi kadang terjadi pada individu yang hipersensitif dengan
dosis yang cukup rendah (dosis sub theuraphetik).
Gejala Klinis

Setelah over dosis akut gejala toksik dapat


berupa nausea, vomiting dan diare.

Diagnosi

s Sejarah keracunannya
 Serum level, biasanya digunakan untuk memprediksi
efek toksik pada aminoglikosida, kloramfenikol dan
vankomisin
 Lab : darah lengkap, elektrolit, glukosa, Fungsi ginjal,
hepar dan level methemoglobin
Pengobatan
1. Terapi suportif dan emergensi
 Ventilasi dan air way bila perlu
 Obati koma, seizures, hipotensi dan anafilaksis
 Ganti cairan yang hilang karena diare (gastroenteritis)
dengan infus kristaloid

2. Anti dot spesifik


 Trimetropin eucovorim (asam folinat)
 Dapson, metilen blue jika terjadi methemoglobin
 Tidak digunakan asam folat karena tidak efektif seperti
trimetropim
3. Dekontaminasi
 Induksi muntah atau bilas lambung
 Arang aktif atau katartika bila tidak diare

4. Percepatan eliminasi
 Menjaga kecukupan urin flow sangat penting.
 Hemodialisis tidak dianjurkan kecuali pada pasien
dengan gangguan fungsi ginjal dan level serum yang
sangat tinggi
 Hemoperfusi dengan karbon aktif cukup efektif pada
keracunan berat kloramfenikol (dengan level serum
yang tinggi) dan asidosis metabolik
 Dapson mengalami resirkulasi entrohepatik, akan lebih
cepat dieliminasi dengan pengulangan arang aktif
AMFETAMIN / METAMFETAMIN
(MDMA)
Pendahuluan
 Ectasay : Methylenedioxy methamphetamine
(MDMA)
 shabu-shabu : methamphetamine.
 kedua jenis zat tersebut merupakan
derivat yang sama yaitu golongan Amfetamine.
 Istilah amphetamine digunakan untuk sekelompok
obat yang secara struktural mempunyai
keterbatasan dalam penggunaan klinis tetapi
sangat potensial untuk menjadi toksik adiksi dan
disalah gunakan.
 Golongan betafenilisopropilamin adalah bentuk
dasar dari golongan amfetamin dan pertama kali
disintesa pada tahun 1887
 amfetamine banyak digunakan untuk
pengobatan narkolepsi, Attention Defict
Hyperactive Disorder (ADHD), dan
obesitas.
 Tetapi khasiat dan keamanannya masih
kontroversial di beberapa negara dan
penggunaannya dilarang.
Mekanisme kerja normal
 senyawa yang mempunyai efek :
a. simpatomimetik tak langsung dengan aktivitas
sentral maupun perifer.
b. efek menghalangi re-uptake dari katekolamin
oleh neuron presinap dan menginhibisi aktivitas
monoamin oksidase, sehingga konsentrasi dari
neurotransmitter cenderung meningkat dalam
sinaps.
c. pelepasan biogenik amine yaitu dopamin,
norepinefrin dan serotonis atau ketiganya dari
tempat penyimpanan pada presinap yang
terletak pada akhiran saraf. Efek yang dihasilkan
dapat melibatkan neurotransmitter atau sistim
monoamine oxidase (MAO) pada ujung
presinaps saraf.
Efek klinis
 Saat ini penggunaan amfetamine hanya
mempunyai 3 indikasi secara medis yaitu
narkolepsi, ADHS pada anak-anak dan
obesitas.
 narkolepsi : dosis yang dianjurkan adalah
antara 20-60 mg/hari.
 ADHD : dosis berkisar antara 2,5 – 40 mg/hari.
 pada kondisi obesitas amfetamine sering
menyebabkan adiksi dan penyalahgunaan.
Dalam waktu singkat jelas menekan nafsu
makan, tetapi bila jangka lama akan timbul
toleransi terhadap efek anoreksia.
Dosis Toksik

 Dosis toksik amfetamine sangat bervariasi.


 Kadang-kadang manifestasi toksik dapat terjadi
sebagai idiosinkrasi setelah dosis sedikitnya 2
mg. Tetapi sangat jarang terjadi dengan dosis
dibawah 15 mg.
 Reaksi yang berat dapat terjadi pada
penggunaan kronis.
Mekanisme toksisitas

 Mekanisme toksisitas amfetamin adalah


melalui mekanisme kerja normalnya yaitu
terutama aktivitas sistim saraf
simpatis yaitu stimulasi susunan saraf
pusat, pengeluaran ketekholamin perifer,
inhibisi re uptake katekholamine atau
inhibisi dari monoamin oksidase.
 Dosis toksik biasanya hanya sedikit diatas
dosis biasa.
Gejala Klinis Keracunan
• Akut pada SSP, euphoria, talkactiveness, anxieti, restessness,
agitation, seizures dan koma. Hemorargi intrakranial mungkin
terjadi pada hipertensi atau cerebral
 Akut pada perifer, keringat dingin, tremor, fasikulasi dan
kekakuan otot serta hipertensi
 Kematian mungkin disebabkan karena aritmia ventrikuler,
status epilepticus, hemoragi intrakranial, hipertermia.
Hipertermia sering merupakan akibat dari seizure, hiperaktifitas
otak dan kerusakan otak, rhabdo-miolisis serta gagal ginjal
mioglobinuria.
 Kronis, biasanya karena penyalahgunaan, kehilangan berat
badan, kardiomiopati, stereotypic behaviour, paranoid psycosis.
Untuk gangguan kejiwaan dapat terjadi beberapa hari atau
beberapa minggu. Pebnghentian penggunaan mengakibatkan
kelelahan, hipersomnia, hiperfagi dan depresi.
Diagnosis
 Riwayat pengguna amfetamine dan gambaran klinik dari intoksikasi obat
simpatomimetik
 Pemeriksaan spesifik
a. Amfetamine dapat dideteksi melalui urine dan cairan lambung. Obat
ditemukan sangat cepat setelah penggunaan dan diekresi hanya
dalam beberapa hari.
b. Toksisitas sangat kurang berhubungan dengan kadar dalam serum
kadar serum kuantitatif tidak berhubungan dengan beratnya efek
klinis
c. Dilaporkan pula bahwa untuk mendeteksi penyalahgunaan
amfetamine dapat diperiksa pada rambut manusia.
d. Pada keringat amfetamine dapat dideteksi segera setelah
dikonsumsi.
e. Saliva dapat digunakan pula sebagai bahan untuk mendeteksi
amfetamine. Tetapi kadar obatnya jauh lebih rendah daripada dalam
urine, biasanya dapat digunakan pada keadaan toksik akut.
 Pemeriksaan lain
Kadar elektrolit, glukosa, BUN dan kreatinin, COK, urinalisis, urine
dipstick test untuk memeriksa hemoglobin yang tersembunyi. EKG dan
monitoring EKG, serta CT scan.
Manajemen keracunan amfetamin
 Penatalaksanaan terhadap akibat toksisitas dari
amfetamine bertujuan untuk :
a. menstabilisasi fungsi vital,
b. mencegah absorbsi obat yang lebih lanjut,
c. mengeliminasi obat yang telah diabsorbsi,
d. mengatasi gejala toksik spesifik yang ditimbulkan
dan disposisi.
 Toksisitas amfetamine kurang berhubungan dengan
kadar dalam serum, penatalaksanaan hanya berupa
perawatan tidak spesifik berdasarkan gejala klinik
yang ditimbulkan
 penatalaksanaan hanya berupa perawatan tidak
spesifik berdasarkan gejala klinik yang ditimbulkan
1. Tindakan emergensi dan suportif
a. Mempertahankan fungsi pernafasan
- Terapi agitasi: Midazolam 0,05-0,1 mg/Kg IV
perlahan-lahan atau 0,1-0,2 mg/kg IM;
Diazepam 0,1-0,2 mg/kg IV perlahan-lahan;
Haloperidol 0,1-0,2/kg IM atau IV perlahan-lahan
- Terapi kejang: Diazepam 0,1-0,2 mg/kg BB IV;
Phenitoin 15-20 mg/kg BB infus dengan dosis
25-50 mg/menit; pancuronium dapat digunakan
bila kejang tidak teratasi terutama dengan
komplikasi asidosis dan atau rabdomiolisis
- Terapi coma
- Awasi suhu, tanda vital dan EKG minimal selama
6 jam
b. Terapi spesifik dan antidotum, pada amfetamine
tidak ada antidotum khusus
Lanjutan
c. Terapi hipertensi: phentolamine atau nitroprusside
d. Terapi takiaritmia: propanolol atau esmolol
e. Terapi hipertermia: bila gejala ringan terapi dengan kompres
dingin atau sponging bila suhu lebih dari 40°C atau
peningkatan suhu berlangsung sangat cepat terapi lebih
agresif dengan menggunakan selimut dingin atau ice baths.
Bila hal ini gagal dapat digunakan Dantrolene. Trimethorfan
0,3-7 mg/menit IV melalui infus
d. Terapi hipertensi dengan bradikardi atau takikardi bila ringan
biasanya tidak memerlukan obat-obatan. Hipertensi berat
(distolik > 120 mmHg) dapat diberikan terapi infus nitroprusid
atau obat-obat lain seperti propanolol, diazoksid,
khlorpromazine, nifedipin dan fentolamin
e. Gejala psikosa akut sebaiknya diatasi dengan supportive
environment dan evaluasi cepat secara psikiatri. Gejala yang
lebih berat dapat diberikan sedatif dengan khlorpromazin atau
haloperidol.
2. Dekontaminasi
 Dekontaminasi dari saluran cerna
setelah penggunaan amfetamine
tergantung pada jenis obat yang
digunakan, jarak waktu sejak digunakan,
jumlah obat dan tingkat agitasi dari
pasien.
 Pada pasien yang mempunyai gejala toksik tetapi
keadaan sadar berikan activated charcoal 30-100
gr pada dewasa dan pada anak-anak 1-2 gr/kg
BB diikuti atau ditambah dengan pemberian
katartik seperti sorbitol.
 Bila pasien koma lakukan gastric lavage dengan
menggunakan naso atau orogastric tube diikuti
dengan pemberian activated charcoal.
Pengabatan dengan sedatif hipnotik sangat luas
terutama untuk pengobatan anxiety dan insomnia. Obat
yang termasuk kedalam golongan ini adalah :

1. Golongan barbiturat
2. Golongan benzodiazepin
3. Antihistamin
4. Antikholinergik
5. Obat lainnya antara lain kloralhidrat,
glutethimide, meprobamat, methaqualon
dan methypyron
SEDATIF DAN HIPNOTIK
 Hipnotik sedatif adalah istilah untuk
obat-obatan yang mampu mendepresi
sistem saraf pusat.
 Sedatif : substansi yg memiliki
aktifitas/efek moderat menenangkan
 Hipnotik : substansi yg dapat
memberikan efek mengantuk dan
menimbulkan tidur.
Pengobatan dengan sedatif hipnotik sangat luas
terutama untuk pengobatan anxiety dan insomnia.
Obat yang termasuk kedalam golongan ini adalah :
1. Golongan barbiturat
2. Golongan benzodiazepin
3. Antihistamin
4. Antikholinergik
5. Obat lainnya antara lain kloralhidrat, glutethimide,
meprobamat, methaqualon dan methypyron
Mekanisme
 Mekanisme aksi ataupun farmakokinetika obat sangat
bervariasi.
 Efek terbesar dalam keracunan atau kematian adalah
depresi SSP yang menghasilkan koma, gagal
pernafasan dan terutama depresi kontraktilitas jantung.

Dosis Toksik
 Dosis toksik juga bervariasi, tergantung dari masing-
masing obat,
 Toleransi masing-masing individu dan ada tidaknya
obat lain yang dikonsumsi pasien bersama-sama
dengan obat ini, misalnya alkohol.
 Untuk sebagian besar obat, ingesti 3 – 5 kali dosis
lazim dapat menyebabkan koma.
Gejala Klinis
 Drowsiness
 Ataksia
 Nistagmus
 Stupor
 Koma
 Gagal pernafasan.
 Kloralhidrat dimetabolisme menjadi trikloroetanol,
menyebabkan depresi aktivitas SSP dan juga dapat
menyebabkan aritmia.
 Glutethimide menyebabkan midriasis dan efek
samping antikholinergik secara umum serta
perpanjangan masa koma. Bila dikombinasikan
dengan kofein dapat menyebabkan efek opiat.
 Meprobamat, efek hipotensinya lebih besar daripada
yang lain.
Diagnosis

 Sejarah pemakaian (ingesti).


 Kadar serum selalu berhubungan dengan tingkat
keparahan keracunan.
 Adanya obat lain seperti kloralhidrat, glutethimide yang
mempunyai metabolit aktif. Metabolit aktif ini mempunyai
korelasi yang lebih besar dengan keadaan keracunan.
 Pemeriksaan laboratorium : darah lengkap, elektolit,
glukosa darah, etanol serum, BUN, kreatinin, gas darah
arteri dan x-ray.
Pengobatan
1. Suportif dan emergensi

 Air way dan ventilasi, kalau perlu oksigenasi


 Sembuhkan hipotermia, koma, hipotensi dan udem
paru jika terjadi
 Pasien dimonitor terus paling tidak sampai 6 jam
setelah ingesti karena kemungkinan bisa terjadi
absorbsi yang tertunda

2. Anti dot spesifik

 Anti dot spesifik flumazenil


 Antagonis spesifik reseptor benzodiazepin.
3. Dekontaminasi
 Induksi emesis atau bilas lambung
 Pemberian karbon aktif dan katartika
 Karbon aktif berulang diiukuti dengan bilas lambung
komplit (gastric concretion)

4. Percepatan eliminasi
 Dialisis dan hemoperfusi tidak efektif, karena distribusinya sangat
luas
 Karbon aktif berulang mungkin akan mempercepat eliminasi dari
glutethimide dan mepromat
 Mepromat yang mempunyai Vd kecil, direkomendasikan untuk
dilakukan tindakan hemoperfusi jika terdapat gejala klinis berupa
koma yang dalam dengan komplikasi hipotensi yang sukar
disembuhkan atau resisten terhadap perbaikan, parah dan tidak
berespon terhadap terapi suportif.
BENZODIAZEPIN
 jenis obat yang memiliki efek sedatif
atau menenangkan
 Gangguan penyakit yang diterapi
dengan obat golongan ini antara lain
adalah kecemasan, insomnia (tidak
bisa tidur), kejang, gejala putus
alcohol, dan untuk relaksasi otot.
 Penyakit-penyakit tersebut disebabkan
karena aktivitas syaraf pusat yang
berlebihan, karena itu memerlukan obat
yang dapat menekan aktivitas system
syaraf.
Mekanisme kerja normal

 BZP bekerja pada


reseptor GABA di sistim syaraf
pusat manusia yaitu
meningkatkan efek GABA untuk
menekan aktivitas otak/sistim
syaraf pusat, shgg diperoeh efek
menenangkan (sedatif),
menidurkan, juga mengurangi
kejang/kekakuan otot.
 GABA adalah suatu senyawa
penghantar di
otak (neurotransmitter) yang
bekerja menekan system
syaraf pusat sebagai
penyeimbang stimulasi syaraf.
 Jika dipakai pada dosis terapi sesuai kebutuhannya,
sebenarnya obat-obat ini relatif aman dan memberikan
efek yang diharapkan, yaitu menenangkan dan
membantu tidur.
 Tetapi jika dosisnya makin meningkat, apalagi jika
sampai over dosis, maka dapat muncul efek-efek lain
akibat penekanan system syaraf pusat, seperti
: bingung, nggliyeng, gangguan penglihatan,
kelemahan, bicara melantur, gangguan koordinasi,
susah bernafas, bahkan bisa sampai koma.
 Benzodiazepin relatif aman digunakan dan jarang
menimbulkan kematian, namun bila dikombinasikan
dengan depresan SSP yang lain seperti alkohol,
barbiturat dan antikonvulsan maka efek yang dihasilkan
bisa fatal
 Untuk penggunaan tunggal efek toksiknya tidak akan
muncul, tapi bila dikombinasikan atau jika ada
penggunaan obat lain maka bisa menimbulkan interaksi
obat.
 Benzodiazepin yang dicampur dengan etanol efeknya
hanyalah berupa depresan SSP (efek benzodiazepin
akan diperkuat oleh alkohol), tetapi bila dicampur
dengan methanol maka dapat menyebabkan asidosis
metabolik dan bisa menyebabkan akibat yang lebih
berbahaya
 Kombinasi dengan alkohol akan dapat meningkatkan
absorbsi benzodiazepin sehingga bisa menimbulkan
koma dan kematian.
 Dengan obat-obat depresan dapat menghambat
metabolisme obat-obat depresan (sebagai inhibitor)
sehingga akan berefek pada depresi, merusak SSP,
depresi sistem pernafasan dan sistem kardiovaskuler.
 Secara kualitatif, efek obat-obat benzodiazepin mirip,
contoh :
 a. Flurazepam : hipnotik
b. Chlordiazepixide : anxiolytic
c. Clonazepam : anxiolytuc, relaksan otot, dan
antikonvulsan
d. Klorazepam : hipnotik
 Obat golongan benzodiazepine berpotensi
menyebabkan toleransi dan kecanduan, terutama pada
penggunaan yang lama.
 Awalnya obat ini akan menyebabkan toleransi,yaitu diperlukan
dosis yang semakin meningkat untuk mendapatkan efek yang
sama.
 Jika semula cukup dengan 5 mg untuk mendapatkan efek, maka
berikutnya diperlukan 10 mg untuk mendapatkan efek yang
sama.
 hal ini diduga karena reseptor GABA menjadi semakin kurang
sensitive terhadap obat dan saraf makin beradaptasi dengan
obat, shgg menyebabkan penderita cenderung meningkatkan
dosisnya untuk mendapatkan efek yang sama, bahkan sampai
mencapai dosis maksimalnya.
 Toleransi dapat meningkatkan risiko ketergantungan, di mana
ketika obat dihentikan pemakaiannya, pengguna akan
merasakan gejala-gejala semacam gejala putus obat (sakaw).
Gejala putus obat juga dapat terjadi setelah pemberian
benzodiazepine pada dosis normal yang diberikan pada jangka
pendek.
Doksis Toksik

1. Overdosis diazepam 15 – 20 kali dosis terapi


tidak memperlihatkan keadaan depresi
consciousness yang serius.
2. Gagal pernafasan baru akan terjadi pada
ingesti trizolam 5 mg atau injeksi intravena
cepat diazepam, midazolam dan benzodiazepin
lainnya.
Gejala toksik
a. Depresi SSP mumnya akan terjadi setelah 30 – 120 menit
setelah ingesti, tergantung dari kecepatan distribusi masing2
obat
b. Lethargy, slurred speech, ataksia, koma, gagal pernafasan
mungkin terjadi.
c. Tanda koma yang khas pada hyporeflexia dan small pupil.
Untuk obat-obat sedatif hipnotik, tanda-tanda komanya
spesifik karena semua reflek akan hilang, sedangkan pada
benzodiazepin yang paling khas adalah terjadinya small pupil
d. Hipotermia mungkin terjadi
e. Jika diminum bersamaan dengan obat depresi yang lain maka
bisa menimbulkan komplikasi yang serius karena efeknya
akan bertambah kuat.
f. Jika dipakai dengan obat lain (walaupun bukan dengan obat-
obat golongan depresan) bisa menimbulkan komplikasi,
misalnya : misalnya jika dikombinasikan dengan aspirin
Diagnosis

1. Sejarah ingesti atau ada tidaknya bekas suntikan


2. Koma dan small pupil yang tidak berespon dengan
nalokson tetapi sembuh kembali dengan flumazenil.
3. Skrining kualitatif darah dan urin merupakan cara
tercepat untuk mengetahui pasien terpejani
4. Pemeriksaan laboratorium : darah lengkap, elektrolit,
glukosa, BUN, kreatinin dan gas darah arteri.
Pengobatan
1. Suportif dan emergensi
 Air way dan ventilasi
 Sembuhkan hipotermia, koma dan hipotensi jika terjadi

2. Flumazenil sebagai anti dot spesifik


 Digunakan untuk koma
 Pemakaian flumazenil tidak diperlukan jika sudah
bisa ditangani dengan terapi suportif
Flumazenil
 Fumazenil adalah salah satu dari
turunan 1,4-benzodiazepin dengan
afinitas tinggi untuk ikatan
benzodiazepine di reseptor
GABAyang bekerja sebagai
antagonis kompetitif.
 MK : berikatan dengan afinitas tinggi
pada tempat spesifik, pada tempat
tersebut obat ini mengagonis ikatan
dan efek
alosterik benzodiazepine dan ligan-
ligan lainnya secara kompetitif.
3. Dekontaminasi
a. Induksi emesis. Jangan dilakukan pada keracunan
trizolam karena trizolam adalah golongan
benzodiazepin yang paling mudah memperlihatkan
efek kejang.
b. Bilas lambung boleh dilakukan
c. Karbon aktif dan katartika

4. Percepatan eliminasi
a. Tidak dilakukan karena volume distribusi yang besar
sehingga tidak efektif dilakukan.
b. Dialisis atau hemoperfusi tidak dilakukan, kecuali jika
keadaan ginjal pasien sudah rusak sehingga perlu
dilakukan dialisis untuk mempercepat eksresi obat
melalui ginjal.
SEKIAN DAN
TERIMA KASIH

Anda mungkin juga menyukai