Anda di halaman 1dari 13

TERAPI GEN

UNTUK
GENODERM
ATOSIS

KELOMPOK 2
1. Atika rizki
2. Diyah ayu afrida
3. Izza Mufarrikhah
Pendahuluan

Penemuan biomolekuler terhadap berbagai penyakit genetik telah


membuka wawasan baru di bidang kesehatan di antaranya terapi gen, pemahaman
terhadap patofisiologi berbagai zat karsinogenik, proses penyembuhan luka, reaksi
inflamasi kulit, dan fibrosis.Terapi gen merupakan bidang baru dalam bioteknologi
untuk mengobati penyakit dengan target DNA, penggunaannya terutama pada
keganasan dan penyakit genetik yang diturunkan
Genodermatosis

kandidat terbaik untuk terapi gen berupa kelainan genetik resesif


monogenik, yaitu dermatosis akibat kerusakan gen tunggal, dan bukan merupakan
interaksi beberapa gen.
Prinsip Dasar Terapi Gen

Terapi gen adalah satu teknik untuk memperbaiki gen yang rusak dengan tujuan
untuk pengobatan. Gen merupakan unit dasar fisis dan fungsional yang diwariskan
dan berada dalam kromosom inti sel. Gen terdiri atas rantai pasangan basa yang
mengkode instruksi perakitan berbagai protein. Ketika terjadi perubahan gen,
protein yang dikode akan berubah dan tidak dapat berfungsi secara normal
sehingga terjadi penyakit genetik.
Pendekatan terapi gen
genodermatosis
– Terapi gen pada kasus genodermatosis bermanfaat untuk mengoreksi abnormalitas
genetik melalui gene restoration, gene augmentation, gene correction, dan gene
inhibition.
– Terapi gen menunjukkan berbagai manfaat di bidang dermatologi, misalnya pengobatan
genodermatosis monogenik; keganasan; luka kulit; pengantaran sitokin, hormon, dan
faktor pertumbuhan secara sistemik; serta genetic imunization. Sel yang menjadi target
pada terapi gen adalah keratinosit, fibroblas, melanosit, makrofag, endotel, atau sel
punca. Sel punca merupakan target yang baik untuk mendapatkan efek terapi gen jangka
panjang.
Pengantaran terapi gen pada kulit

Cara pengantaran terapi gen dibagi menjadi dua yaitu in vivo dan ex vivo. Kulit adalah organ yang
baik untuk kedua jenis terapi gen ini.
Pengantaran in vivo

Terapi gen dengan pengantaran in vivo dilakukan dengan cara mengantarkan


materi genetik secara langsung ke kulit atau jaringan pasien.Kerugian teknik ini adalah
belum tercapainya keamanan, efisiensi, dan sarana pengantar yang sesuai untuk
transfer materi genetik. Pengantaran in vivo dapat menggunakan vektor virus dan
vektor non-virus. Vektor non-virus dapat dioleskan secara topikal, injeksi langsung,
dioleskan pada permukaan kulit yang luka, secara electroporation, dan insersi partikal
bioplastis.
Injeksi materi genetik secara langsung ke kulit yang utuh menggunakan vektor
virus dan non-virus dapat mencapai epidermis, dermis, dan subkutan.
GonzalezGonzalez dkk. memperkenalkan alat berupa protrusion array device terdiri
atas kumpulan microneedle untuk mengantarkan small interfering RNA ke sel-sel
keratinosit secara in vivo
Pengantaran ex vivo

Pada pengantaran ex vivo, jaringan kulit pasien dipotong terlebih dahulu, sel keratinosit atau sel fibroblas dikultur,
kemudian ditransplantasikan atau disuntikkan kembali ke pasien. Walaupun teknik ini lebih rumit, mahal,
menimbulkan rasa nyeri, dan meninggalkan jaringan parut, sebagian besar penelitian difokuskan pada teknik ini
karena menunjukkan banyak keunggulan, di antaranya:

– Teknik autologous skin grafting yang digunakan pada pengantaran ex vivo sudah lazim digunakan
untukpengobatan luka biasa atau luka bakar.

– Efisiensi transfer gen dan jenis sel yang dituju (misalnya: sel keratinosit atau sel fibroblas) dapat ditentukan
sebelum dihantarkan ke kulit pasien.

– Transfer gen pada kultur bermanfaat untuk merekayasa sel-sel yang tumbuh melalui vektor virus yang hanya
menginfeksi sel-sel yang sedang membelah. Pengantaran vektor secara langsung ke pasien dapat dicegah,
sehingga risiko penyebaran sistemik dapat dihindari.
Keterbatasan terapi gen

 Keterbatasannya adalah munculnya mekanisme pertahanan kulit untuk mencegah


masuknya asam nukleotida asing. Terapi gen secara ex vivo dan in vivo akan menginduksi
respons imun. Lu dkk. Menemukan penolakan transfer gen secara in vivo yang didominasi
oleh respons T-helper tipe 1, sedangkan transfer gen secara ex vivo dikaitkan dengan
respons T-helper tipe 2. Penggunaan terapi gen terbatas hanya untuk penyakit monogenik,
tidak untuk kelainan multigenik. Terapi gen juga berisiko menginduksi tumor.
 Hal lain yang membatasi perkembangan terapi gen adalah genotoksisitas dan gene
silencing terhadap materi gen. Genotoksisitas adalah proses penghapusan materi gen yang
dianggap berbahaya oleh tubuh, sedangkan gene silencing adalah proses regulasi untuk
menginaktivasi gen.
Penggunaan terapi gen pada beberapa genodermatosis yang umum ditemukan,
telah banyak diteliti, dan sudah mencapai percobaan klinis, yaitu epidermolisis
bulosa, iktiosis, dan xeroderma pigmentosum

1. Epidermolisis bulosa
Epidermolisis bulosa (EB) adalah kelompok penyakit lepuh kongenital dengan sejak klinis
mulai dari ringan berupa lepuh pada kulit akibat trauma (EB simpleks) hingga bentuk parah
berupa epidermolisis yang tersebar luas disertai ulserasi kronis dan pembentukan skar (junctional
EB dan recessive dystrophic EB). Terapi gen bertujuan mengembalikan kadar protein struktural
yang hilang.
Pada penelitian yang dilakukan menggunakan teknik transfer gen ex vivo pada skin graft
manusia atau model tikus yang mengalami imunodefisiensi, Seitz dkk. melaporkan keberhasilan
transfer gen BP180 pada junctional EB,24 sedangkan Robbins dkk. melaporkan keberhasilan
pengembalian ekspresi laminin-5 β3 secara in vivo pada junctional EB
2. Iktiosis
Iktiosis merupakan kelompok penyakit monogenetik akibat gangguan
keratinisasi.Gambaran klinis iktiosis berupa peningkatan produksi skuama, abnormalitas
ketebalan stratum korneum, dan peradangan kulit. Hal ini menyebabkan skuama yang tebal,
kulit kering, hipohidrosis, konstriksi pada persendian, ektropion, dan eklabium.
Penelitian terapi gen sudah pernah dicobakan pada kedua bentuk iktiosis, yaitu X-
linked ichthyosis dan lamellar ichthyosis. Pengembalian jaringan kulit pasien X-linked
ichthyosis dan lamellar ichthyosis telah dilakukan melalui percobaan xenograft
3. Xeroderma pigmentosum
Xeroderma pigmentosum (XP) adalah penyakit autosom resesif dengan gejala
hipersensitivitas terhadap matahari dan kecenderungan terjadi kanker kulit.
Hingga sekarang pengobatannya masih terbatas pada menghindari pajanan sinar
ultraviolet dan tindakan bedah pada tumor kulit. Mayoritas penelitian terapi gen
ditujukan pada penyakit lepuh sehingga hanya sedikit penelitian yang berfokus
pada XP.

Anda mungkin juga menyukai