Anda di halaman 1dari 17

RIWAYAT

HIDUP PLATO
NAMA : HANDOKO
PRODI : IPA
SEMESTER :1
• Plato (427-347 SM) dilahirkan di lingkungan keluarga
bangsawan kota Athena. Semenjak muda ia sangat mengagumi
Socrates (470-399), seorang filsuf yang menentang ajaran para
sofis, sehingga pemikiran Plato sangat dipengaruhi sosok yang
di kemudian hari menjadi gurunya tersebut. Plato memiliki
bakat yang sangat besar untuk menjadi pengarang, terbukti
hingga saat ini setidaknya 24 dialog Plato dianggap sebagai
kesusastraan dunia. Sebagaimana Socrates, Plato selalu
mengadakan percakapan dengan warga Athena untuk
menuliskan pikiran-pikirannya. Pada tahun 387 SM, Plato
mendirikan sekolah filsafat yang dinamakannya Akademia.

Biografi Plato
Salah satu pemikiran pemikiran Plato yang terkenal
ialah pandangannya mengenai realitas.

Menurutnya realitas seluruhnya terbagi atas dua


dunia:

1. Dunia yang terbuka bagi rasio


2. Dunia yang hanya terbuka bagi panca indra.

Dunia pertama terdiri atas idea-idea dan dunia


berikutnya ialah dunia jasmani.
Pemikiran Plato
Diantara pemikiran Plato yang terpenting
adalah teorinya tentang ide-ide, yang
merupakan upaya permulaan yang mengkaji
masalah tentang universal yang hingga kini
pun belum terselesaikan.
Plato menjelaskan bahwa, jika ada sejumlah individu
memiliki nama yang sama, mereka tentunya juga memiliki
satu “ide” atau “forma” bersama. Sebagai contoh,
meskipun terdapat banyak ranjang, sebetulnya hanya ada
satu “ide” ranjang. Sebagaimana bayangan pada cermin
hanyalah penampakan dan tidak “real”. Demikian pula
pelbagai ranjang partikular pun tidak real, dan hanya
tiruan dari “ide”, yang merupakan satu-satunya ranjang
yang real dan diciptakan oleh Tuhan. Mengenai ranjang
yang satu ini, yakni yang diciptakan oleh Tuhan, kita bisa
memperoleh pengetahuan, tetapi mengenai pelbagai
ranjang yang dibuat oleh tukang kayu, yang bisa kita
peroleh hanyalah opini.
Perbedaan antara pengetahuan dan opini menurut Plato
adalah, bahwa orang yang memiliki pengetahuan berarti
memiliki pengetahuan tentang “sesuatu”, yakni “sesuatu”
yang eksis, sebab yang tidak eksis berarti tidak ada. Oleh
karena itu pengetahuan tidak mungkin salah, sebab secara
logis mustahil bisa keliru. Sedangkan opini bisa saja
keliru, sebab opini tidak mungkin tentang apa yang tidak
eksis, sebab ini mustahil dan tidak mungkin pula tentang
yang eksis, sebab ini adalah pengetahuan. Dengan begitu
opini pastilah tentang apa yang eksis dan yang tidak eksis
sekaligus.
Maka kita tiba pada kesimpulan bahwa opini adalah tentang dunia
yang tampil pada indera, sedangkan pengetahuan adalah tentang dunia
abadi yang supra-inderawi; sebagai misal, opini berkaitan dengan
benda-benda partikular yang indah, sementara pengetahuan berkaitan
dengan keindahan itu sendiri.

Kita bisa melihat obyek dengan jelas ketika matahari


menyinarinya; dalam cahaya temaram penglihatan kita kabur; dan
dalam gelap gulita kita tidak dapat melihat sama sekali. Menurutnya,
dunia ide-ide adalah apa yang kita lihat ketika obyek diterangi
matahari, sedangkan dunia dimana segala sesuatu tidak abadi adalah
dunia kabur karena temaramnya cahaya. Namun untuk memberikan
gambaran yang jelas mengenai apa yang dimaksudnya, Plato
memberikan sebuah tamsil, yakni tamsil tentang gua.
Menurut tamsil itu, mereka yang tidak memiliki
pengetahuan filsafat bisa diibaratkan sebagai narapidana
dalam gua, yang hanya bisa memandang ke satu arah
karena tubuhnya terikat, sementara di belakangnya ada
api yang menyala dan di depannya ada dinding gua.

Mereka hanya dapat melihat bayang-bayang yang


dipantulkan pada dinding gua oleh cahaya api.
Mereka hanya bisa menganggap bayang-bayang itu
sebagai kenyataan dan tidak dapat memiliki pengertian
tentang benda-benda yang menjadi sumber bayang-
bayang.
Sedangkan orang yang memiliki pengetahuan filsafat, ia
gambarkan sebagai seorang yang mampu keluar dari gua tersebut
dan dapat melihat segala sesuatu yang nyata dan sadar bahwa
sebelumnya ia tertipu oleh bayang-bayang. Namun ketika ia
kembali ke gua untuk memberitahukan kepada teman-temannya
tentang dunia nyata, ia tidak dapat lagi melihat bayang-bayang
secara jelas jika dibandingkan dengan teman-temannya, sehingga
di mata teman-temannya ia tampak menjadi lebih bodoh daripada
sebelum ia bebas.
Pemikiran Plato
Tentang Mimesis
Mimesis berasal bahasa Yunani yang berarti tiruan.
Dalam hubungannya dengan kritik sastra mimesis
diartikan sebagai pendekatan sebuah pendekatan yang
dalam mengkaji karya sastra selalu berupaya untuk
mengaitkan karya sastra dengan realitas atau
kenyataan. Perbedaan pandangan Plato dan Aristoteles
menjadi sangat menarik karena keduanya merupakan
awal filsafat alam, merekalah yang menghubungkan
antara persoalan filsafat dengan kehidupan .
Plato menganggap Idea yang dimiliki manusia terhadap
suatu hal merupakan sesuatu yang sempurna dan tidak
dapat berubah. Idea merupakan dunia ideal yang terdapat
pada manusia. Idea oleh manusia hanya dapat diketahui
melalui rasio,tidak mungkin untuk dilihat atau disentuh
dengan panca indra. Idea bagi Plato adalah hal yang tetap
atau tidak dapat berubah, misalnya idea mengenai bentuk
segitiga, ia hanya satu tetapi dapat ditransformasikan
dalam bentuk segitiga yang terbuat dari kayu dengan
jumlah lebih dari satu . Idea mengenai segitiga tersebut
tidak dapat berubah, tetapi segitiga yang terbuat dari
kayu bisa berubah .
Berdasarkan pandangan Plato mengenai konsep Idea
tersebut, Plato sangat memandang rendah seniman dan
penyair dalam bukunya yang berjudul Republic bagian
kesepuluh. Bahkan ia mengusir seniman dan sastrawan
dari negerinya. Karena menganggap seniman dan
sastrawan tidak berguna bagi Athena, mereka dianggap
hanya akan meninggikan nafsu dan emosi saja.
Pandangan tersebut muncul karena mimesis yang
dilakukan oleh seniman dan sastrawan hanya akan
menghasilkan khayalan tentang kenyataan dan tetap
jauh dari ‘kebenaran’.
Seluruh barang yang dihasilkan manusia menurut Plato
hanya merupakan copy dari Idea, sehingga barang tersebut
tidak akan pernah sesempurna bentuk aslinya (dalam Idea-
Idea mengenai barang tersebut). Sekalipun begitu bagi
Plato seorang tukang lebih mulia dari pada seniman atau
penyair. Seorang tukang yang membuat kursi, meja, lemari
dan lain sebagainya mampu menghadirkan Idea ke dalam
bentuk yang dapat disentuh panca indra. Sedangkan
penyair dan seniman hanya menjiplak kenyataan yang
dapat disentuh panca indra (seperti yang dihasilkan
tukang), mereka oleh Plato hanya dianggap menjiplak dari
jiplakan .
Menurut Plato mimesis hanya terikat pada ide
pendekatan. Tidak pernah menghasilkan kopi sungguhan,
mimesis hanya mampu menyarankan tataran yang lebih
tinggi. Mimesis yang dilakukan oleh seniman dan
sastrawan tidak mungkin mengacu secara langsung
terhadap dunia ideal. (Teew.1984:220). Hal itu disebabkan
pandangan Plato bahwa seni dan sastra hanya mengacu
kepada sesuatu yang ada secara faktual seperti yang telah
disebutkan di muka. Bahkan seperti yang telah dijelaskan
di muka, Plato mengatakan bila seni hanya menimbulkan
nafsu karena cenderung menghimbau emosi, bukan rasio .
Kesimpulan

Dari pembahasan singkat mengenai pemikiran


Plato, dapat kita simpulkan adanya perbedaan yang cukup
mendasar antara keduanya tentang realitas hakiki.
Plato mengembangkan pendekatan yang sifatnya rasional-
deduktif sebagaimana mudah dijumpai dalam matematika.
Problem filsafati yang digarap oleh Plato adalah keterlemparan
jiwa manusia kedalam penjara dunia inderawi, yaitu tubuh. Ini
adalah persoalan ada (“being”) dan mengada (menjadi,
“becoming”).

Mimesis merupakan salah satu wacana yang ditinggalkan Plato


dan Aristoteles sejak masa keemasan filsafat Yunoni Kuno,
hingga pada akhirnya Abrams memasukkannya menjadi salah
satu pendekatan utama untuk menganalisis sastra selain
pendekatan ekspresif, pragmatik dan objektif. Mimesis
merupakan ibu dari pendekatan sosiologi sastra yang darinya
dilahirkan puluhan metode kritik sastra yang lain.
TERIMAKASIH

Anda mungkin juga menyukai