Anda di halaman 1dari 6

Cenat-cenut II

Ngobrol yang
Sakit
Pernah gak kamu merasa menyesal
setelah terjalin perbincangan lama
dengan rekan bicaramu?
Kamu tidak menyesal berbicara
dengannya. Tapi, kamu merasa
bersalah dengan apa yang
dibicarakan.
Karena yang dibicarakan bukan tentang apa, melainkan tentang siapa. Mungkin yang
memulai pertama adalah kamu; atau bisa jadi kamu awalnya hanya berniat menjadi
pendengar saja.
Lalu lama-lama terjalin ikatan emosionalmu dengannya. Kamu mulai terbawa arus
ceritanya, kamu ikut merasa kesal dan membayangkan bagaimana jika kamu menjadi
dia yang merasakan kekesalan memuncak pada partnernya saat itu.
Hingga akhirnya dia kehabisan nafas, menandakan bahwa ceritanya cukup panjang. Tak
terlihat lagi semangat menggebu-gebu seperti di awal. Lalu dia memandangmu, seakan
mengatakan “aku sudah selesai bicara. Menurutmu tentang dia bagaimana? Pantas saja
kan aku kesal karena dia memang semenyebalkan itu?”
Kamu mulai menimang dan menjalin kata di dalam pikiran. Sekiranya diksi apa yang
terbaik untuk menenangkannya, alih-alih menanggapi kekecewaannya. Meski kamu
merasakan hal yang sama tentang dia yang diceritakannya, apakah pantas
memberikan vetsin terlalu banyak pada masakan yang pertama kali kamu cicipi?
Awalnya kamu merasa cukup, lama kelamaan rasanya dosisnya terlalu sedikit.
Kamu harus terus menambah agar mencapai kenikmatan yang kamu harapkan.
Sama seperti interaksi saat berkomunikasi dengan orang lain, membicarakan
seseorang lainnya.
Apa yang kamu harapkan saat membicarakan orang lain. Terutama sisi-sisi
kelemahannya?
Seringkali di dalam interaksi, tak selamanya mampu me

Anda mungkin juga menyukai