Anda di halaman 1dari 27

Berbagai Macam Kaidah Berkaitan dengan Aktivitas

Mengenyampingkan/Meninggalkan Suatu Hal yang


Yakin
Pasca Sarjana

Ekonomi Syariah UIN


Dosen Pengampu:
Prof. Dr. H. Rachmat Syafe`i.,MA
disusun oleh:
Agus Bagianto
Latar Belakang Masalah

 Seseorang yang belum mengetahui secara jelas dan nyata sesuai faktanya, hal
itu merupakan suatu permasalahan dalam meyakini apa yang sedang atau
telah diperbuat. Seseorang akan sulit menentukan suatu pedoman atau dalil
yang menjadikan dasar hukum karena disebabkan oleh keragu-raguan orang
yang mengerjakan suatu hal yang mestinya diperbolehkan atau tidak.
 Prasangka seseorang tidak akan berguna bila tidak sesuai dengan faktanya,
kecuali Alloh SWT yang Maha Mengetahui apa yang manusia kerjakan. Manusia
memerlukan suatu kaidah yang dapat meyakinkan manusia itu sendiri dalam
aktivitas kehidupan sehari-hari.
Latar Belakang Masalah
 Kaidah tersebut bisa saja menjadi hukum baik yang sudah ada sebelumnya dan
tetap menjadi hukum hingga sampai sekarang contohnya melakukan kewajiban
shalat, zakat dan lain-lain. Adapun kaidah yang lain bila terdapat perbedaan maka
sesuatu yang telah pasti dan yakin maka keyakinan ini tidak akan gugur kecuali
dengan ada keyakinan yang lain yang menyerupai, adapun hal-hal yang merupakan
keragu-raguan tidak dapat menggugurkan keyakinan tersebut.

 Menetapkan hukum atas sesuatu hukum atas sesuatu berdasarkan keadaan


sebelumnya, sehingga ada dalil yang menunjukkan atas perubahan keadaan
tersebut atau yang disebut istishab serta ijma atau kesepakatan ulama akan sulit
dilakukan dikarenakan ada keragu-raguan dan tidak disertai bukti yang cukup.

 Keragu-raguan dan bukti yang cukup menjadikan persoalan dalam kehidupan sehari-
hari manusia, sehingga terjadi banyak ikhtilaf atau perbedaan diantara para ulama
untuk memutuskan hukum pada aktivitas manusia dalam menjalankan kaidah hukum
islam.
Latar Belakang Masalah

 Pada dasarnya merdeka itu berlaku selama belum diketahui oleh orang lain.
Namun seseorang mengaku-ngaku merdeka/bukan hamba sahaya (pada
zamannya) tidak bisa dijadikan dasar hukum bila dia tidak memiliki bukti bahwa
dia adalah orang yang merdeka. Bukti hukum adalah alasan yang kuat dalam
menetapkan dasar hukum.
Rumusan Masalah

 Mengapa tidak menolak yakin kecuali dengan keyakinan lagi?


 Barang siapa yang mengetahui tentang sesuatu maka dialah
bidangnya sehingga datang penjelasan yang menentangnya?
 Mengapa tidak akan terhalang kebenaran oleh keragu-raguan?
 Mengapa Asal manusia itu adalah merdeka (sifat, pendapat,
kebebasan) sehingga kapan mereka sudah tidak merdeka lagi?
Tujuan Masalah

 Untuk mengetahui makna, dalil, pandangan dan representasi


“tidak menolak yakin kecuali dengan keyakinan lagi”.
 Untuk mengatahui makna, dalil, pandangan dan representasi
“Barang siapa yang mengetahui tentang sesuatu maka dialah
bidangnya sehingga datang penjelasan yang menentangnya”.
 Untuk mengatahui makna, dalil, pandangan dan representasi
“tidak akan terhalang kebenaran oleh keragu-raguan”.
 Untuk mengatahui makna, dalil, pandangan dan representasi
“asal manusia itu adalah merdeka (sifat, pendapat, kebebasan)
sehingga kapan mereka sudah tidak merdeka lagi”.
Batasan Masalah

Kemudian, guna menghindari terjadinya perluasan dan pelebaran


masalah dalam pembahasan makalah ini, maka penulis menyusun
batasan-batasan masalah seputar macam-macam kaidah atau aturan
tentang yang dirumuskan dalam rumusan masalah.
Kaidah-kaidah
A. KAIDAH B. KAIDAH KE C. KAIDAH KE D. KAIDAH KE
AWAL: Tidak DUA: Barang TIGA :Tidak akan EMPAT :Asal
siapa yang terhalang manusia itu
akan mengetahui kebenaran oleh adalah merdeka
menolak tentang sesuatu keragu-raguan (sifat, pendapat,
yakin kecuali maka dialah (dasarnya ilmu kebebasan)
bidangnya bisa sehingga kapan
dengan sehingga datang difahami/fahami mereka sudah
keyakinan penjelasan yang ilmunya nanti tidak merdeka
lagi menentangnya bisa menetralisir) lagi
KAIDAH AWAL
(Saya (Imam Syafi’i) tidak menolak yakin kecuali dengan yakin)
A. Pokok Masalah Utama
1). Makna kata Qaidah ini
 Kata ‫ ادفع‬berasal dari fi’il mudori (kata kerja yang menunjukkan pekerjaan yang
sedang atau yang akan dilakukan) dari kata ( ‫( دفع الشيء يدفعه دفعا إذا نحاه وأزاله بقوة‬adaf’u
alshai' yadfau daf’an 'iidha nahah wa'azalah biquwwah) (ia menolak sesuatu yang
ia tolak ketika ia sedang tuju dan menghilangkannya dengan sepenuh tenaga)
Dan disebutkan bahwa arti kata tersebut secara bahasa adalah ( ‫دفع القول إذا رده بالحجة‬
(dafú alqawal 'iidha radah bilhuja) menolak perkataan/pendapat ketika ditolak
dengan hujjah (argumentasi).
 Kata ‫ اليقين‬dalam bahasa Arab terdiri dari 3 huruf poko yaitu huruf ya, qaf dan nun
yang menunjukkan makna mengetahui dan hilangnya suatu keraguan. Diambil
dari sebuah kalimat yang berbunyi ( ( ‫( يقن الشيء ييقن يقنا إذا وضح وتحقق‬yaqin alshai' yayqin
yaqna 'iidha wadhaha watahaqaq)( dia meyakini sesuatu yang ia yakini dengan
sepenuh hati ketika jelas dan nyata.
 Namun makna ‫ اليقين‬dalam etimologi (ilmu asal kata) sebagaimana
pendapat Imam Al-Jurjani adalah meyakini sesuatu bahwa yang diyakininya
itu begitu, serta keyakinannya itu tidak mungkin tidak begitu kecuali begitu
sesuai dengan faktanya yang tidak mungkin hilang.

 Makna Secara Garis Besar Pada Qaidah Ini


Maksud dari qaidah ini adalah bahwa sesuatu yang diyakini ada ketetapannya
tidak akan muncul kecuali dengan adanya dalil yang pasti.

 Pokok Bahasan Kedua : Dalil Dalil Qaidah Ini:


Dari Al- Qur’an surah Yunus ayat 36 : “Dan kebanyakan mereka tidak
mengikuti kecuali hanya persangkaan saja. Sesungguhnya persangkaan itu
tidak sedikitpun berguna untuk mencapai kebenaran. Sesungguhnya Allah
Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.”
Dari ayat tersebut Allah SWT memberitahukan kepada kita bahwa sangkaan
tidak seperti yakin, tidak ada kedudukannya dan tidak cukup sangkaan itu
dalam sesuatu yang membutuhkan suatu keyakinan.
 Pokok Bahasan Ketiga : Pandangan Pendapat Ulama Madzhab Tentang Qaidah Ini.
Maka qaidah ‫ال ادفع اليقين إال بيقين‬berarti memberikan pengertian bahwa sesuatu yang telah
pasti dengan yakin maka keyakinan ini tidak akan gugur/hilang kecuali dengan ada
sesuatu keyakinan lain yang menyerupai, adapun hal-hal lainnya yang merupakan
keraguan maka tidak dapat menggurkan keyakinan tersebut.
Imam Syafi’I memperbanyak argumen makna kaidah ini pada beberapa tema yang
berbeda dari kitab Al-Um antara lain hujjah/dalil beliau adalah jika seseorang ragu
apakah ia telah merasakan keluarnya mani atau tidak maka ia tidak wajib melakukan
mandi junub sehingga ia harus meyakini betul keluarnya air mani (dari kemaluannya)
sedangkan untuk tetap menjaga kehati-hatian adalah ia tetap melakukan mandi junub.
Imam Suyuthi mengemukakan pendapat pada qaidah dengan lafadz kaidahnya ia
berkata (barang berkeyakinan mengerjakan sesuatu dan dia ragu dalam sedikit atau
banyaknya maka ia menanggung yang sedikit karena ia yakin. Kecuali ada
jaminan/perlindungan asal muasalnya maka jaminan tersebut tidak dapat
membebaskannyakecuali dengan yakin. Imam suyuti berpendapat bahwa
pengecualian ini berlaku pada kaidah ketiga yang disebutkan Imam Syafi’I yaitu sesuatu
yang telah tetap dengan keyakinan tidak dapat menghilangkan hukum kecuali dengan
yakin.
 Pokok Bahasan Keempat : Representasi Pada Kaidah Ini
a) Jika seorang imam shalat jumat merasa ragu begitu juga dengan
makmumnya apakah sudah masuk waktu ashar atau tidak? Maka shalatnya
imam dan makmum mencukupi (kesahan shalat jumat) karena mereka yakin
masuk pada waktu shalat jumat. Sebab meragukan dalam waktu shalat jumat
tidak dapat memenuhi kesahan shalat jumatmereka seperti orangyang yakin
dengan wudhu tetapi ragu dalam batalnya wudhu.
b) Jika seseorang melihat air lebih dari 5 qurbah atau 2 qullah lalu ia meyakini
bahwa rasa kencing pada air tersebut dan ia menemukan perubahan rasa
atau warnanya atau baunya saja maka air itu najis. Namun jika ia menduga
bahwa perubahan air tersebut bukan dari kencing maka ia berkeyakinan
dengan najis yang bercampur dengan air tersebut. Dan ia menemukan
perubahan yang tetap pada air tersebut sedangkan perubahan air
disebabkan oleh kencing dan lain-laninya tentu berbeda.
KAIDAH KEDUA
(Barang siapa yang mengetahui tentang sesuatu maka dialah bidangnya
sehingga datang penjelasan yang menentangnya/bantahannya)

 Pokok Bahasan Pertama, Makna Kaidah

ُ‫ْالبَ ِّينَة‬
menurut etimologi (bahasa) memiliki makna mengungkap
sesuatu dan menjelaskannya sedangkan menurut terminologi (istilah)
dikhususkan untuk sebuah kesaksian, para Ulama menamai dengan
kata tersebut karena kata tersebut menjelaskan sebuah kebenaran
yang tersembunyi.
Maksud dalam kaidah ini adalah petunjuk yang jelas baik secara
syara’, akal, panca indera, makna inilah yang mencangkup makna
fiqh yang terdahulu dan fiqh sesudahnya yang terkenal dan lebih
dulu.
 Makna Secara Garis Besar Kaidah Ini :
Makna kaidah ini adalah siapapun yang ada pada suatu kondisi di masa
lalu, lalu ia menyatakan berlangsungnya kondisi tersebut selama ia belum
mendapatkan dalil yang jelas pada ikhtilafnya/perbedaannya.

 Pokok Bahasan Kedua : Dalil-Dalil Kaidah Ini


ُِّ ‫ال ُِّب ْاليَ ِّقي‬
Kaidah ini berdalil dengan dalil kaidah sebelumnya yaitu (‫ْن‬ ُ َ ‫ َالُ أَ ْدفَعُ ْال َي ِّقيْنَُ ِّإ‬:
Aku (Imam Syafi’i) menolak suatu keyakinan kecuali dengan keyakinan)
karena keduanya cocok serta saling memberikan penjelasan hukum
dengan mengistishhabkan suatu hukum yang telah ada/tetap di masa lalu
baik yang masih ada atau yang sudah tiada selama belum ditemukan dalil
yakin yang menunjukkan suatu perselisihan pendapatnya.
 Sedang duagaan merupakan hujjah/dalil yang mengikuti syara’.
Tentunya kita menyebutnya harus ada dugaan ketetapannya pada 4
hal :

1. Bahwa ijma/kesepakatan ulama batal/gugur pada kasus seseorang jika


ia ragu adanya thaharah/bersuci pada permulaannya.
2. Para cendikiawan dan para tokoh adat pada saat mereka
menyatakan adanya sesuatu atau tidaknya memiliki hukum-hukum
khusus. Maka mereka memperkenankan putusan hakim dan hukuknya
pada masa depan ada tidaknya hal tersebut.
3. Dugaan suatu ketetapan lebih didominasi dari dugaan perubahan
(Dzhanut Taghayyur).
4. Jika suatu harta berada pada harta yang tersisa dengan sendirinya
 Pokok Bahasan Ketiga : Representasi Kaidah Ini

Kaidah ini telah dinash oleh Imam Syafi’i ketika menjelaskan hubungan warisan
harta orang yang murtad dan wasiatnya dimana Imam Syafi’i berpendapat jika
ahli waris orang yang murtad itu termasuk orang muslim berkata ayahnya telah
masuk islam sebelum wafat, maka mereka harus memiliki bukti, jika mereka
membawa buktinya maka serahkan seluruh harta ayahnya pada ahli warisnya
namun jika mereka tidak dapat menunjukkan buktinya maka ayahnya murtad
hingga dapat diketahui taubatnya. Dan jika bukti tersebut didapat dari orang
yang menjadi ahli warisnya maka ditolak bukti tersebut.
 Pokok Bahasan Keempat :
Kaidah ini banyak diterapkan antara lain sebagai berikut :
1.Jika segerombolan orang sedang dalam perjalan atau menetap (tidak
bepergian) lalu mereka mengenal seseorang yang bukan beragama
islam lalu orang itu masuk islam dan shalat kemudian mereka shalat di
belakangnya di masjid atau di ruangan terbuka maka tidak sah shalat
mereka bersama orang tersebut kecuali mereka menanyakannya
terlebih dulu, maka orang itu berkata, saya sudah masuk islam sebelum
shalat atau ada orang yang memberitahu mereka bahwa dia seorang
muslim sebelum melaksanakan shalat.

2.Jika ada seseorang memiliki budak yang hilang entah kemana dan ia
tidak tahu apakah budaknya hidup atau mati pada waktu zakat fitrah.
Maka wajib baginya menunaikan zakat fitrah untuk budaknya. Imam
Syafi’i berpendapat orang itu tidak boleh berhenti untuk mengeluarkan
zakat budaknya yang hilang walaupun ia terputus kabar tentang
budaknya sampai ia tahu kematiannya sebelum hilal bulan syawal.
KAIDAH YANG KETIGA
Tidak terhalangi hak-hak dengan dugaan-dugaan itu dan tidak
dimiliki hak itu dengan dugaan pula

 Analisa yg pertama mengenai arti kaidah


 a.makna kosakata dari kaidah itu
 Lafadz hukuk itu jama dari hakun menurut bahasa hakol amro,
yahuku, hakon dengan arti hak kepemilikan apabila telah sah dan
tetap. yang di maksud dengan kaidah secara umum bahwa hak itu
pengkhususan yang di tetapkan oleh syariat baik kekuasaan atau
pembebanan hak (kewajiban) pribadi.
 Dan penjelasan definisi itu secara nyata adalah sebagai berikut
maksud pengkhususan dari definisi diatas adalah hak itu kaitannya
bisa mencakup kekuasaan kemanusiaan untuk terjaganya hak itu
seperti kekuasaan wali terhadap perwaliannya dan wakil terhadap
yang diwakilinya.
 Alasan mengenai hak terhadap kepemilikan sesuatu akan wajib
ditentukan untuk mausia tertentu pula dan memiliki gambaran
untuk membedakan tentang kepemilikannya.akan keluar dari
pengkhususan bagi kepemilikan itu bagi sesuatu hal yang
dibolehkan secara umum seperti berburu, mengumpulkan kayu
bakar dipadang pasir, hal itu menunjukan tidak ada gambaran
yang nyata untuk hak kepemilikan yang dimaksud.

 Maksud kalimat (yuqorrirubihisar'u) adalah sebagai isyarat


penetapan syariat kepemilikan dengan khusus baik berupa
kekuasaan atau kewajiban yang ada karena pandangan syariat itu
sebagai gambaran yang esensial untuk menentukan bahwa hukum
syara menentukan hak secara nyata.
 Maksud kalimat ( sulthon au taklifan) adalah sebagai isyarat bahwa
hak itu kadang mencakup kekuasaan dan terkadang mencakup
juga kewajiban (taklif) yang mengikat.

 Dan sulthon itu terbagi menjadi dua yaitu:


 1. Sulthon yang berkaitan dengan perorangan seperti hak kewalian
terhadap diri diri manusia
 2. Sulthon yang berkaitan dengan kekuasaan kerajaan untuk
seluruh manusia

 Adapun hukum taklifi (kewajiban yang mengikat) adakalanya


yang berkaitan dengan janji atas manusia dan ada kalanya janji
yang berkaitan dengan hukum kemanusiaan seperti kaitan dengan
pekerjaan harta dan hutang piutang
 B. Makna secara global tentang kaidah itu adalah kaidah itu
berkaitan dengan aturan hukum hukum hak berdasarkan fikih islam.
kaidah itu mentengahkan bahwa hukuk itu ada yang berkaitan
dengan harta dan adapula yang goermali (selain harta), ketika
ditetapkan hak secara syar'i maka tidak bisa dihalangi atau
terhalangi dengan menghilangkan dugaan dan tidak
memungkinkan dihinggapi oleh dugaan-dugaan dan tidak akan
tegak hak itu kecuali dengan keyakinan.
D.Kaidah Keempat
‫إنُأصلُالناسُالحريةُحتىُيعلمُأنهمُغيرُأحرار‬
(iina 'asl alnaas alhuriyat hataa yailam 'anahum ghyr 'ahrar)
Sesungguhnya pada dasarnya manusia adalah merdeka sehingga
ia diketahui bahwa mereka tidak merdeka (hamba sahaya)
 Pokok Bahasan Keempat
 Kaidah ini memberikan arti bahwa sifat asli manusia adalah merdeka.
Adapun hamba sahaya itu baru ada. Maka seseorang tidak dapat
nyatakan sebagai salah satu hamba sahaya kecuali ada bukti. Dari
segi ketetapan bukti atau pengakuan.

 Pokok bahasan kedua : Dalil-dalil kaidah ini :


 Diriwayatkan dari Ali Bin Abi Thalib RA bahwasannya beliau pernah
memutuskan dalam masalah anak pungut (laqith) bahwasanya dia
(anak pungut) adalah merdeka dan beliau membaca ayat Al-Qur’an
surat yusuf : 3
 “Dan mereka menjual Yusuf dengan harga yang murah, yaitu
beberapa dirham saja dan mereka merasa tidak tertarik padanya”.
 Pokok Bahasan Ketiga : Pandangan Ulama Madzhab tentang
qaidah ini.
Sebenarnya saya (penulis) tidak suka kaidah ini yang mana saya tidak
menemukan dalam kitab-kitab kaidah fiqh madzhab, kecuali
argumen yang telah berlaku pada pandangan-pandangan para Ahli
fiqh lain, antara lain :
1. Abu Ishaq As-Syirazi : ( Jika seseorang menemukan anak pungut
yang tidak diketahui identiasnya maka dia dinyatakan merdeka
karena pada dasarnya manusia adalah merdeka.
2. Imam Nawawi : (anak pungut terkadang ia memiliki harta yang
dengan hartanya tersebut ia berhak mendapatkannya atau
didapat dari orang lain.
3. Imam Mahalli berpendapat dalam Syarah kitab Alminhaj ( jika
anak pungut mengaku kehamba sahayaannya maka ia merdeka.
4. Imam Zakaria Al-Anshari berpendapat bahwa anak pungut itu
merdeka walaupun orang yang menemukannya atau orang lain
mengaku kehamba sahayaannya.
 Pokok Bahasan Ke Empat : Representasi kaidah ini :
 Dalam beberapa hal, sebagian contoh-contoh mengikuti kaidah
yang disebutkan Imam Syafi’I dalam kitab Al-Um dan Mukhtashar
Al-Muzni antara lain :
1. Imam Syafi’I berpendapat : Jika dua orang muslim (yang satu
hamba sahaya dan satu orang merdeka), kafir dzimmi yang
merdeka dan seorang hamba sahaya terlahir ditemukan sebagai
anak pungut maka tidak ada bedanya di antara salah satu
mereka, sebagaimana tidak ada bedanya antara mereka dalam
segala sesuatu yang mereka akui dari apapun yang mereka miliki.
2. Imam Syafi’I pernah berpendapat, jika seseorang bergantung
pada orang lain kemudian ia mengatakan kepada orang lain itu :
kamu itu budakku! Dan orang yang dituduh berkata : akan tetapi
saya ini orang yang merdeka.
3. Imam Syafi’I berkata sesuatu yang didapat dari anak zina baik
yang disembunyikan dalam peperangan islam atau sesuatu
tersebut dekat dari peperangan islam, maka hal tersebut
dinamakan luqathah atau harta temuan.
4. Imam Syafi’I berkata sesuatu yang didapat dari anak zina baik
yang disembunyikan dalam peperangan islam atau sesuatu
tersebut dekat dari peperangan islam, maka hal tersebut
dinamakan luqathah atau harta temuan.
5. Dari apa yang telah diqiyaskan pada cabang-cabang
permasalahan kaidah ini lebih dominan menjelaskan hukum-
hukum yang tidak diketahui seperti gila yang tidak diketahui
keadaanya, orang yang memiliki kelainan terkena gangguan fisik
atau meninggal dan tidak jelas kematian dan lain-lain.
BAB III
PENUTUP
 Simpulan
Berdasarkan uraian yang telah penulis sajikan dalam bab
pembahasan di atas, maka penulis dapat menarik kesimpulan
sebagai berikut :
 1.Keraguan tidak bisa menjadi suatu dasar hukum karena tidak
memiliki bukti yang cukup
 2.Para ulama tidak dapat membuat dasar hukum ijma dan istishab
bila tidak memiliki bukti yang cukup.
 3.Seseorang tidak terhalang oleh suatu keraguan bila memiliki bukti
yang cukup.
 4.Seorang hamba sahaya tidak bisa dkatakan seorang yang
merdeka bila tidak memiliki bukti yang cukup.
DAFTAR PUSTAKA

 Abdul Wahab bin Ahmad Kholil, “Qawaid wa Adh-Dhawabit Al-


Fiqhiyyah”, Darut Attadmiriysh, Riyadh, 2008 m.hal 74
 Abdul Wahab bin Ahmad kholil, 77-79
 Qawaid wa dhawabit fiqhiyyah fiikitaabil umm Imam Syafi’i
 Fii kitaabil umm Imam Syafi’i

Anda mungkin juga menyukai