Seseorang yang belum mengetahui secara jelas dan nyata sesuai faktanya, hal
itu merupakan suatu permasalahan dalam meyakini apa yang sedang atau
telah diperbuat. Seseorang akan sulit menentukan suatu pedoman atau dalil
yang menjadikan dasar hukum karena disebabkan oleh keragu-raguan orang
yang mengerjakan suatu hal yang mestinya diperbolehkan atau tidak.
Prasangka seseorang tidak akan berguna bila tidak sesuai dengan faktanya,
kecuali Alloh SWT yang Maha Mengetahui apa yang manusia kerjakan. Manusia
memerlukan suatu kaidah yang dapat meyakinkan manusia itu sendiri dalam
aktivitas kehidupan sehari-hari.
Latar Belakang Masalah
Kaidah tersebut bisa saja menjadi hukum baik yang sudah ada sebelumnya dan
tetap menjadi hukum hingga sampai sekarang contohnya melakukan kewajiban
shalat, zakat dan lain-lain. Adapun kaidah yang lain bila terdapat perbedaan maka
sesuatu yang telah pasti dan yakin maka keyakinan ini tidak akan gugur kecuali
dengan ada keyakinan yang lain yang menyerupai, adapun hal-hal yang merupakan
keragu-raguan tidak dapat menggugurkan keyakinan tersebut.
Keragu-raguan dan bukti yang cukup menjadikan persoalan dalam kehidupan sehari-
hari manusia, sehingga terjadi banyak ikhtilaf atau perbedaan diantara para ulama
untuk memutuskan hukum pada aktivitas manusia dalam menjalankan kaidah hukum
islam.
Latar Belakang Masalah
Pada dasarnya merdeka itu berlaku selama belum diketahui oleh orang lain.
Namun seseorang mengaku-ngaku merdeka/bukan hamba sahaya (pada
zamannya) tidak bisa dijadikan dasar hukum bila dia tidak memiliki bukti bahwa
dia adalah orang yang merdeka. Bukti hukum adalah alasan yang kuat dalam
menetapkan dasar hukum.
Rumusan Masalah
ُْالبَ ِّينَة
menurut etimologi (bahasa) memiliki makna mengungkap
sesuatu dan menjelaskannya sedangkan menurut terminologi (istilah)
dikhususkan untuk sebuah kesaksian, para Ulama menamai dengan
kata tersebut karena kata tersebut menjelaskan sebuah kebenaran
yang tersembunyi.
Maksud dalam kaidah ini adalah petunjuk yang jelas baik secara
syara’, akal, panca indera, makna inilah yang mencangkup makna
fiqh yang terdahulu dan fiqh sesudahnya yang terkenal dan lebih
dulu.
Makna Secara Garis Besar Kaidah Ini :
Makna kaidah ini adalah siapapun yang ada pada suatu kondisi di masa
lalu, lalu ia menyatakan berlangsungnya kondisi tersebut selama ia belum
mendapatkan dalil yang jelas pada ikhtilafnya/perbedaannya.
Kaidah ini telah dinash oleh Imam Syafi’i ketika menjelaskan hubungan warisan
harta orang yang murtad dan wasiatnya dimana Imam Syafi’i berpendapat jika
ahli waris orang yang murtad itu termasuk orang muslim berkata ayahnya telah
masuk islam sebelum wafat, maka mereka harus memiliki bukti, jika mereka
membawa buktinya maka serahkan seluruh harta ayahnya pada ahli warisnya
namun jika mereka tidak dapat menunjukkan buktinya maka ayahnya murtad
hingga dapat diketahui taubatnya. Dan jika bukti tersebut didapat dari orang
yang menjadi ahli warisnya maka ditolak bukti tersebut.
Pokok Bahasan Keempat :
Kaidah ini banyak diterapkan antara lain sebagai berikut :
1.Jika segerombolan orang sedang dalam perjalan atau menetap (tidak
bepergian) lalu mereka mengenal seseorang yang bukan beragama
islam lalu orang itu masuk islam dan shalat kemudian mereka shalat di
belakangnya di masjid atau di ruangan terbuka maka tidak sah shalat
mereka bersama orang tersebut kecuali mereka menanyakannya
terlebih dulu, maka orang itu berkata, saya sudah masuk islam sebelum
shalat atau ada orang yang memberitahu mereka bahwa dia seorang
muslim sebelum melaksanakan shalat.
2.Jika ada seseorang memiliki budak yang hilang entah kemana dan ia
tidak tahu apakah budaknya hidup atau mati pada waktu zakat fitrah.
Maka wajib baginya menunaikan zakat fitrah untuk budaknya. Imam
Syafi’i berpendapat orang itu tidak boleh berhenti untuk mengeluarkan
zakat budaknya yang hilang walaupun ia terputus kabar tentang
budaknya sampai ia tahu kematiannya sebelum hilal bulan syawal.
KAIDAH YANG KETIGA
Tidak terhalangi hak-hak dengan dugaan-dugaan itu dan tidak
dimiliki hak itu dengan dugaan pula