Muhammadiyah berdiri bukan sebagai entitas sendiri, tetapi dipengaruhi faktor kondisi umat Islam, baik skala global maupun lokal Proses berdirinya Muhammadiyah merupakan hasil dialog antara pemahaman keagamaan Kyai Ahmad Dahlan dengan realitas masyarakat Islam saat itu Proses pemahaman Islam Kyai Ahmad Dahlan dipengaruhi oleh para pemikir dan penggerak pembaharu Islam yang berada di Timur Tengah ketika beliau belajar di sana Islam pada masa ini tidak mengalami persoalan terkait perkembangan dan penyelesaian masalah yang terjadi, terutama persoalan aqidah dan ibadah Pada masa ini Rasulullah SAW adalah sumber rujukan utama setelah al-Qur’an, beliau langsung yang memberikan putusan dan bimbingan kepada umat Setelah Rasul wafat, para sahabat – terutama khulafaur rasyidin (Abu Bakar, Umar, Usman, Ali) – menjadi sumber informasi dan rujukan keislaman yang kuat dan shahih (valid) Sekitar Abad VII hingga X Islam berkembang dengan pesat, tidak hanya aspek wilayah kekuasaan, tetapi juga perkembangan ilmu pengetahuan dan peradaban lainnya Pada masa ini lahir 4 Imam Madzhab yang terkenal (Abu Hanifah, Imam Malik, Imam Syafi’i, Imam Ahmad bin Hambal) dan tokoh-tokoh ilmuwan lainnya, seperti Avicenna, dan lain-lain Perkembangan Islam pada masa ini dimulai dengan lahirnya Dinasti Umaiyah (661 – 750 M), Daulah Abbasiyah ( 750 - 1295) dan Daulah lainnya hingga akhirnya umat Islam mengalami kemunduran Kemunduran umat Islam ini setidaknya dipengaruhi faktor berikut: Krisis sosial politik --- adanya konflik keluarga kerajaan, perebutan kekuasaan dan terjadinya perang salib Krisis bidang keagamaan -- perilaku pemimpin yang jauh dari ajaran Islam, pintu ijtihad tertutup dan hanya berpedoman pada imam madzhab Krisis bidang pendidikan dan ilmu pengetahuan---- banyaknya aset ilmu pengetahuan yang rusak dan terbakar, masyarakat lebih konsens pada peperangan Pada saat umat Islam mengalami kemunduran dibelahan Eropa dan Timur Tengah, Islam sduah berkembang ke berbagai wilayah dunia, termasuk Indonesia Indonesia, atau dikenal juga dengan sebutan Hindia Belanda, berada pada posisi geografis yang strategis yang terletak persis di tengah perjumpaan Samudra Hindia dan Wilayah tropis Pasifik, wilayah yang memiliki pantai yang panjang dan juga hutan tropis, dan menjadi persinggahan para pedagang dunia, termasuk di dalam para pedagang muslim Menurut Ibnu Batuttah, Islam datang ke Indonesia sekitar abad XIII-XIV dan mengalami perkembangan hingga abad XVI. Namun beberapa informasi menyebutkan bahwa Islam datang di Indonesia jauh sebelumnya Islam datang di Indonesia secara damai melalui para saudagar/pedagang yang berasal dari Gujarat India yang berlabuh di pesisir Indonesia Islam datang di Indonesia bukan menghadapi masyarakat yang tidak memiliki keyakinan, tetapi masyarakat Indonesia telah memiliki keyakinan animisme, dinamisme, dan bahkan Hindu Budha Proses penyebaran Islam sendiri di Indonesia dilakukan melalui berbagai kegiatan; perdagangan dan politik, perlawanan terhadap kaum Portugis, perkawinan campur, dan akulturasi ajaran Islam dengan budaya saat itu Islam yang masuk ke Indonesia bisa dikatakan bukan Islam “murni” yang disebarkan oleh orang arab timur tengah, tetapi oleh orang-orang Gujarat India yang melakukan perdagangan Hal ini yang menjadi faktor mengapa Islam begitu mudah diterima oleh masyarakat, karena Islam yang datang telah terakulturasi dengan budaya India – yang notabene Hindu – dan ini lebih mudah masyarakat yang sebelumnya sudah kenal agama Hindu Kondisi ini satu sisi memberikan dampak positif bagi perkembangan umat Islam, namun sisi lain menjadikan ajaran Islam mengalami proses akulturasi budaya sehingga mengaburkan ajaran Islam itu sendiri Geertz memberikan klasifikasi umat Islam; abangan (masyarakat muslim yang kental dengan budaya Jawa, priyayi (masyarakat muslim yang berasala dari golongan ningrat), dan santri (masyarakat muslim taat, biasanya masyarakat muslim pesisir dan atau muslim terdidik) Kondisi pengamalan ajaran Islam yang sudah tercampur dengan budaya lokal, sehingga mengaburkan ajaran Islam itu sendiri, memunculkan semangat untuk melakukan pembaharuan pengamalan ajaran Islam oleh beberapa orang yang telah kembali belajar dari Timur Tengah Proses pembaharuan Islam di Indonesia ini dimulai beberapa muslim terdidik di Sumatera yang kembali setelah menetap dan belajar Islam di Mekkah Sekitar tahun 1803, Haji Miskin, Haji Sumanik, dan Haji Piobang kembali dari Makkah setelah menunaikan Ibadah haji dan bermukim di sana, pulang ke Minangkabau dengan membawa paham Islam yang diilhami oleh gerakan Wahabi, sebuah gerakan yang membawa misi untuk menegakkan ajaran Islam yang murni yang bersumber kepada al-Qur’an dan a-sunnah Walaupun terjadi pertentangan antara kelompok masyarakat yang tetap berpegang pada kebiasaan lama dengan kelompok masyarakat pembaharu, namun gelombang gerakan pembaharuan umat Islam terus berkembang hingga abad XX dengan munculnya berbagai organisasi Islam, baik dalam politik maupun ekonomi dan sosial keagamaan, seperti, SI (Syarekat Islam, Jami’ah Khair, Al-Irsyad, dan lain-lain, termasuk Muhammadiyah) Perkembangan gerakan Pembaharuan Islam di Indonesia tidak bisa dilepaskan dari muncul gerakan pembaharuan Islam di timur tengah Sebelumnya telah disampaikan bahwa proses penyebaran ide pembaharuan Islam Indonesia dibawa oleh masyarakat muslim terdidik yang melaksanakan Ibadah Haji dan belajar di Makkah Sekitar abad XI – XIII Umat Islam mengalami proses kemunduran setelah runtuhnya dinasti Fatimiyah di Tunisia, setelah ini umat Muslim terlibat perang salib yang begitu lama dan mengalami berbagai macam krisis, tidak hanya dalam aspek politik, ekonomi, sosial, budaya, tetapi juga persoalan ruh beragama Sekitar abad XIII munculnya gerakan pembaharuan Islam yang dimotori oleh Ibnu Taimiyah yang mengusung gerakan tajdidul fil Islam dengan memurnikan ajaran Islam dari berbagai keyakinan, sikap dan perbuatan yang akan merusak sendi – sendi Islam Gerakan ini ingin mengembalikan pemahaman keagamaan umat Islam kepada pemahaman dan pengamalan Rasulullah, para sahabat, tabi’in dan tabi’ut tabi’in Ciri gerakan ini adalah: a. Membuka ruang ijtihad untuk masalah muamalah duniawiyah b. Tidak terikat mutlak dengan pendapat ulama terdahulu c. Memerangi orang yang menyimpang dari aqidah kaum salaf, seperti kemusyrikan, tahayul, bid’ah, khurafat, dan lain-lain d. Kembali kepada al-Qur’an dan as-Sunnah sebagai sumber ajaran Islam Pada abad XVII muncul pembaharu baru di Makkah, yaitu Muhammad bin Abd Wahab (1703 – 1787) yang membawa gerakan Muwahidin yang bertujuan untuk mensucikan dan meng-Esa-kan Allah yang semurni- murninya, yang mudah dan gampang dipahami dan diamalkan seperti masa Rasulullah SAW Gerakan dilakukan secara ketat, tegas, lugas, keras, dan tidak mengenal kompromi, terutama terkait ajaran tauhid yang harus jauh dari unsur-unsur syirik, bid’ah, khurafat, tahayul, dan lainnya Gerakan Muwahidin – selanjutnya dikenal juga dengan gerakan Wahabiyah – disebut juga sebagai mata rantai kedua dalam gerakan pembaharuan Islam, karena gerakannya ini mewujudkan secara konkret gerakan pembaharuan yang telah digagas oleh Ibnu Taimiyah pada abad XIV Muhammad Ibn Abd Wahab memahami kembali kepada Al-Qur’an dan as-Sunnah adalah menghayati dan mengamalkan secara nyata dan sungguh-sungguh terhadap semua perintah-Nya dan kembali menggali semangat dan jiwa sunnah Rasul guna dijadikan pedoman operasional terhadap sikap dan kegiatan hidup seorang muslim Pada Abad XIX, muncul tiga pemikir Islam yang mempelopori gerakan salafiyah; yaitu Sayyid Jamaluddin al-Afghani, Syekh Muhammad Abduh, dan Rasyid Ridla Gerakan ini muncul di Mesir, dan berupaya untuk meneruskan dan melestarikan gerakan yang telah dilontarkan oleh Ibnu Taimiyah, yaitu kembali kepada al- Qur’an dan as-Sunnah secara murni dan tanggungjawab, membersihkan berbagai macam penyakit yang dapat mengaburkan Islam, seperti taqlid, bid’ah, syirik, dan khurafat dalam segala bentuk manifestasinya, serta mendorong semangat untuk berijtihad Ketiga pemikir sepakat untuk menegakkan ajaran Islam yang murni di Mesir dan seluruh alam, namun dalam perkembangannya ketiganya memiliki perbedaan pandangan dalam menentukan langkang perjuangan Al-Afghani cenderung berpendapat bahwa umat harus berjuang dan berjihad merebut kekuasaan politik yang dikuasai oleh penjajah Eropa, karena menurutnya kemunduran umat Islam karena kekuasaan politik yang kotor Sedangkan Abduh dan Rasyid Ridla berpendapat bahwa selain politik juga harus dilakukan dengan memperbaharui dan mengembangkan kegiatan pendidikan sebagai tempat untuk mendidik dan berlatih calon mujtahid, mujaddid, dan mujahid Islam yang tangguh dan militan untuk memperjuangkan Islam Abduh berpendapat bahwa politik cenderung menghalalkan segala cara untuk meraih tujuannya sehingga mengabaikan etika agama. Melalui pendidikan Abduh berkeyakinan akan lebih mempermudah penyebaran ide pembaharuan Islam Ide pembaharuan Jamaluddin Al-Afghani, Muhammad Abduh, dan Rasyid Ridla ini tersebar ke berbagai negara, termasuk Indonesia Bahkan gerakan pendidikan yang dikembangkan oleh Muhammad Abduh dan Rasyid Ridla melalui berbagai media, termasuk Majalah Al-Manar, telah memberikan pencerahan ide pembaharuan bagi anak muslim Indonesia yang sedang belajar di Timur Tengah dan kemudia membawanya ke Indonesia, dan salah satunya adalah K.H. Ahmad Dahlan, pendiri Muhammadiyah