Anda di halaman 1dari 18

THANATOLOGI

Oleh :
Analia Refsi Yusnita
Annisa Aprilia
Meylita Zahra Rezilia Elindra

Perseptor :
Dr. M. Faizal Zulkarnaen Sp.KF., MH. Kes
DEFINISI

Thanatos Logos Thanatologi

Bagian dari ilmu kedokteran forensik yang mempelajari hal-hal yang berhubungan dengan
kematian dan perubahan yang terjadi setelah seseorang mati serta faktor-faktor yang
mempengaruhinya
3
Definisi Mati

Mati klinis/ mati somatis adalah keadaan dimana 3 sistem (SSP, kardiovaskuler dan
pernafasan) mengalami inaktivasi secara irreversibel

Mati serebral :Hanya kedua hemisfer serebrum yang tidak aktif;

Mati otak : seluruh otak sudah tidak aktif

Mati seluler : kematian sel-sel organ setelah kematian klinis/ mati somatis (Mati seluler : tergantung
jaringan (otak 5 menit, otot 4 jam, kornea 6 jam dari mati somatis)

Mati suri : 3 sistem tidak terdeteksi aktifitasnya dengan alat sederhana

mati suri/ apparent death/suspended animation dapat terjadi pada beberapa


keadaan misal: korban keracunan barbiturat, tenggelam, kesetrum
Definisi menurut PB IDI

Mati

• Adalah suatu proses yang berangsur-


angsur. Kardiovaskuler Respirasi Otak
• dalam penentuan kematian yang selalu dilihat adalah
• Tiap sel dalam tubuh mempunyai daya aktifitas 3 sistem organ (jantung, paru, otak terutama
tahan yang berbeda terhadap tidak batang otak).
adanya oksigen sehingga mempunyai
saat kematian yang berbeda, • Kerusakan permanen batang otak merupakan tanda
bahwa secara keseluruhan manusia tersebut
• Berguna pada transplantasi organ dinyatakan tidak dapat hidup lagi
TANDA KEMATIAN

Henti Nafas Otot-otot Tubuh Melemah

Henti Jantung

Henti Aktifitas Otak

Dengan pemeriksaan EEG


mendatar 5 menit

Kulit Pucat
TANDA KEMATIAN

Fase awal
• Perubahan pada mata
• Muka pucat
Fase lanjutan
• Otot atoni dan relaksasi • Algor mortis
• Rigor Mortis
• Livor
• Dekomposisi
Algor mortis (penurunan suhu)

• Terjadi setelah kematian dan berlanjut sampai suhu mayat


sama dengan suhu lingkungan
• Kurva penurunan suhu berbentuk sigmoid, pada jam-jam
pertama dan jika suhu telah mendekati suhu lingkungan
maka penurunan suhu akan berjalan lambat .
• Pengukuran suhu mayat : termometer raksa dimasukkan ke
dalam rektal sedalam 10 cm selama 3 menit
• Secara kasar dapat dikatakan rata-rata penurunan suhu pada
jam pertama adalah 2 derajat C dan 1 derajat C setelah
mencapai keseimbangan dengan suhu lingkungan
Rigor mortis (kaku mayat)

P
Reaksi ATP ADP
bila ADP >>>

OTOT MENJADI KAKU


Pemendekan serabut otot akibat
habisnya ATP

Waktu terjadinya ± 6 jam


Post mortem
Cadaveric Heat Cold Cutis
Spasme Stiffening Stiffening Anserina
Kaku mayat yang
kekakuan pada Kekakuan akibat terjadi pada otot
sekelompok otot suhu tinggi misal Kekakuan akibat erektor pili, yaitu
dan kadang pada pada kasus suhu rendah otot pada akar
seluruh otot kebakaran rambut

segera setelah
Sikap menyerupai
terjadi kematian Gambaran seperti
sikap seorang Jenazah disimpan
somatis dan tanpa kulit angsa /kulit
petinju (pugilistic didalam freezer
melalui relaksasi berbintil-bintil
attitude)
primer

Kekakuan terjadi Dapat terjadi pada


akibat adanya kasus korban
Contoh : pada Perabaan dingin
koagulasi protein tenggelam (faktor
korban bunuh diri dan krepitasi
sebagai akibat suhu suhu lingk yang
yang tinggi rendah)

Merupakan tanda Pada korban mati


intravital terbakar
Livor mortis (lebam mayat)

• Jika merah bata: intox CO-


karboxihemoglobin
• Jika merah terang: (sianida)- Muncul 30 menit, menetap 6-8-12 jam , mulai menghilang
oksihemoglobin tinggi dalam vena, atau
pada korban tenggelam setelah 24 jam. Warnanya merah ungu
• Jika coklat kebiruan: intox kalium
klorat, kinin, anilin nitrobenzen karena
metHb dan sianosis

Setelah 4 jam

Kapiler & sel darah merah rusak

Pigmen2x masuk ke jaringan

Tidak hilang dng penekanan

12 jam mengalami koagulasi
( dibalik tidak timbul LM )
Lebam Mayat Memar

 Lokas di bagian
tubuh yang terendah  Lokasi di mana saja
( ≠ tertekan )  Reaksi radang (+)
 Reaksi radang (-)  Pembengkakan (+)
 Pembengkakan (-)  Bila ditekan warna
 Bila ditekan memucat menetap
(sebelum 4 jam)
Dekomposis (pembusukan)
• Mulai 2-8 jam post mortem
• Dipercepat jika ada luka terbuka dan infeksi
• Tanda awal perut kanan bawah kehijauan
• Aktivitas bakteri (Clostridium welchii)
• Autolisis
• Dipengaruhi suhu lingkungan, semak in panas
Pembusukan awal
semakin cepat, iklim tropis lebih mudah busuk

Pembusukan lanjut
Formula Trotter-Glesser

Os. Humerus yaitu TB = 2,68 dikali (humerus) + 83,19 +/- 4,25 cm

Os. Radius yaitu TB = 3,54 dikali (radius) + 82,00 +/- 4,60 cm

Os. Ulna yaitu TB = 3,48 dikali (ulna) + 77,45 +/- 4,66 cm


Formula Parikh
Os. Femur yaitu TB = 2,15 dikali (femur) + 72,57 +/- 3,80 cm Laki-Laki Perempuan

TB(cm) = humerus x 5.31 TB (cm) = humerus x 5.31


TB (cm) = Radius x 6.70
TB(cm) = radius x 6.78 TB (cm) = Ulna x 6.00
TB (cm) = Femur x 3.80
TB(cm) = Ulna x 6.00 TB (cm) = Tibia x4.46
TB (cm) = Fibula x 4.43
TB (cm) = Femur x 3.82

TB (cm) = Tibia x 4.49


TB (cm) = Fibula x 4.46
15
Kesimpulan

Upaya identifikasi pada tulang belulang bertujuan membuktikan bahwa kerangka tersebut
adalah kerangka manusia, ras, jenis kelamin, perkiraan umur, tinggi badan, ciri-ciri khusus,
deformitas dan bila memungkinkan dapat dilakukan rekontruksi wajah orang tersebut. Dicari
pula tanda kekerasan pada tulang. Perkiraan saat kematian dilakukan dengan memperhatikan
keadaan kekeringan tulang.

Identifikasi forensik merupakan upaya yang dilakukan dengan tujuan membantu penyidik untuk
menentukan identitas seseorang. Identifikasi personal sering merupakan masalah dalam kasus pidana
maupun perdata. Penentuan identitas personal dapat menggunakan metode identifikasi sidik jari, visual,
dokumen, pakaian dan perhiasan, medik,gigi, serologik dan secara eksklusi, identifikasi kerangka dan
potongan tubuh manusia.

Penentuan jenis kelamin, umur dan tinggi badan dapat dilihat berdasarkan tulang-
tulang panjang yang didapat.
DAFTAR PUSTAKA

• Budiyanto A., Widiatmaka W., Atmaja D.S., dkk. Identifikasi Forensik. Dalam Ilmu Kedokteran Forensik.
Bagian Kedokteran Forensik FK-UI. Jakarta. 1999: 197-202.

• Amir A. Identifikasi. Dalam: Rangkaian Ilmu Kedokteran Forensik. Edisi Kedua. Bagian Ilmu Kedokteran
Forensik FK-USU. Meda. 2005: 178-203.

• Hamdani N. Identifikasi Mayat. Dalam: Ilmu Kedokteran Kehakiman. Edisi Kedua. PT Gramedia Pustaka
Utama. Jakarta. 1992: 83-88.

• William D.J., Ansford A.J., Friday D.D., et all. Identification. In: Dcolour Guide Forensic Phatology. Churchill
Livingstone. 2002: 13-20.
• Nandy A. Identification of An Individual. In: Principles of Forensic Medicine. New Central Book, Agency (P) Ltd.
Calcutta. 1996: 47-109.

• Glinka J., Artaria M.D., Koesbardiati T. Metode Pengukuran Manusia. Airlangga University Press. Surabaya. 2008: 1-
66.

• Krogman W.M., Iscan M.Y. Osteometry. In: The Human Skeleton In Forensic Medicine. Charkes C. Thomas
Publisher. Illionis. 1986: 518-532.

• Ishaq M. DVI Overview: Recent Development in Indonesia. Dalam Disaster Victim Identification Workshop. Medan.
2007.

• Idries A.M. Identifikasi. Dalam Pedoman Ilmu Kedokteran Forensik. Edisi Pertama. Binarupa Aksara. 1992: 31-52.

• Wahid S.A. Identifikasi. Dalam: Patologi Forensik. Dewan Bahasa dan Pustaka Kementerian Pendidikan Malaysia.
Kuala Lumpur. 1993: 13-48, 56-78.

• Curran W.J., McGarry A.L. Petty C.S Identification Procedures in Death Ivestigation. In: Modern Legal Medicine,
Psychiatry, and Forensic Science. F.A. Davis Company. Philadelphia. 1980: 1206-1220.

• Parikh C.K. Medicolegal Autopsy. In: Mediculegal Postmortem In India. Medical Publications. Bombay. 1985: 1-17.

Anda mungkin juga menyukai