Anda di halaman 1dari 37

Dispepsia

Erwin Budi Cahyono


Bagian Ilmu Penyakit Dalam
FK UNISSULA
Dispepsia merupakan rasa tidak nyaman yang berasal dari
daerah abdomen bagian atas. Rasa tidak nyaman tersebut
dapat berupa salah satu atau beberapa gejala berikut yaitu:
nyeri epigastrium, rasa terbakar di epigastrium, rasa penuh
setelah makan, cepat kenyang, rasa kembung pada
saluran cerna atas, mual, muntah, dan sendawa.
Dispepsia fungsional memiliki ciri yaitu keluhan tersebut di
atas harus berlangsung setidaknya selama tiga bulan
terakhir dengan awitan gejala enam bulan sebelum
diagnosis ditegakkan.
Dispepsia fungsional merupakan kelainan yang paling
sering ditemukan, mencakup 75-80% pasien dengan
dispepsia, artinya tidak ditemukan kelainan fisik,
laboratorium dasar, USG abdomen dan endoskopi
oesophago-gastroduodenoscopy.
Epidemiologi dispepsia
 Prevalensi dispepsia di pelayanan kesehatan
mencakup 30% dari pelayanan dokter umum
dan 50% dari gastroenterologist.
 Hasil penelitian di Cina, Hongkong, Indonesia,
Korea, Malaysia, Singapura, Taiwan, Thailand
dan Vietnam : 43-79,5% pasien dengan dispepsia
adalah dispepsia fungsional.
 Penelitian multicenter di Indonesia antara
Januari 2003 sampai dng April 2004:
Pemeriksaan endoskopi pada 550 pasien
dispepsia didapatkan 44,7% gastritis dan
duodenitis; 6,5% ulkus gaster; dan normal pada
8,2% kasus.
 Di Indonesia, data prevalensi infeksi Hp pada
pasien ulkus peptik bervariasi dari 90-100% dan
untuk dispepsia fungsional antara 20-40%.
Dispepsia
Keluhan yang sering pada sindroma dispepsia adalah
berpusat pada saluran cerna bagian atas (SCBA)
dan bersifat kronik (periodik/menetap ) :
• Nyeri perut ( abdominal discomfort )
• Rasa pedih di ulu hati
• Mual, kadang sampai muntah
• Nafsu makan berkurang
• Rasa cepat kenyang
• Perut kembung
• Rasa panas di dada dan perut
• Regurgitasi
• Banyak mengeluarkan gas masam dari perut
 Motilitas Lambung yang Normal
 Fungsi motorik lambung meliputi penampungan,
pencernaan mekanik untuk menghaluskan partikel
makanan, dan secara terkendali mengosongkan isi
lambung dan menyalurkannya ke duodenum.
Dengan perkataan lain, fungsi ini tergantung pada
motilitas lambung secara keseluruhan atau integrasi
dari fungsi setiap bagian lambung mulai dari bagian
proximal sampai distal serta koordinasi motilitas
antrum dan duodenum.
 Secara fisiologik, lambung dapat dibagi 2 yaitu bagian
proximal dan bagian distal. Bagian proximal terdiri
atas fundus dan sebagian korpus, sedangkan korpus
distal dan antrum termasuk bagian distal, dengan
pola motilitas yang berbeda.
 Sesuai dengan fungsinya, bagian proximal akan
berelaksasi pada saat menelan makanan yang
disebut sebagai relaksasi reseptif, sedangkan bagian
distal mulai dari bagian pertengahan lambung akan
berkontraksi, mencampur, mengaduk, menghaluskan
menjadi partikel yang lebih kecil dari 1-2 mm, dan
menyalurkan makanan ke duodenum.
 Pengendalian motilitas melibatkan unsur otot polos
dinding lambung, sistem saraf enterik,
neurotransmitter, saraf otonom, dan saraf simpatik.
Stimulasi vagus akan meningkatkan kontraksi
sedangkan aktifitas saraf simpatik akan mengurangi
kontrtaksi.
 Regulasi Saluran Cerna
 Saluran cerna diatur lewat persarafan lokal yang
disebut sistem saraf enterik. Sistem saraf enterik
bekerja secara integral mengatur fungsi mukosa dan
motorik usus. Sistem saraf enterik ini terdiri dari 2
pleksus yaitu:
1. Pleksus mienterikus, terletak di antara lapisan
muskularis longitudinal (eksternal) dan sirkular
(internal)
2. Pleksus submukosa, terletak di antara lapisan otot
sirkular dan mukosa.
 Sistem saraf enterik selain menerima input dari sistem
saraf pusat dan otonom, dapat pula berfungsi secara
independen. Serabut saraf pleksus mienterikus
terutama mengarah ke otot polos saluran cerna, dan
hanya sedikit akson yang ke submukosa. Adapun
serabut saraf pleksus submukosa terutama mengarah
ke mukosa, submukosa, dan pleksus mienterikus.
 Pada sistem saraf enterik ditemukan banyak macam
neurotransmitter berupa peptida maupun non-peptida.
Salah satu neurotransmitter non-peptida adalah
serotonin.
 Serotonin (5-hydroxytryptamine = 5HT) disintesa dari
tryptophan. Sebanyak 95% serotonin tubuh terletak di
saluran cerna. Dan sebagian besar serotonin plasma
berasal dari saluran cerna.
Serotonin berperanan penting dalam berbagai proses
yang berlangsung di saluran cerna, seperti motilitas,
skresi, dan absorbsi.
 Neurotransmitter di saluran cerna yang lain adalah
acectylcholine dan SP (substance P) yang
menimbulkan efek kontraksi. Neurotransmitter
vasoactive intestinal peptide (VIP) dan pituitary
adenylate cyclase activating peptide (PACAP), dan
nitric oxyde synthase (NOS) dapat menimbulkan efek
relaksasi.
Patofisiologi dispepsia fungsional
 Dispepsia fungsional dapat disebabkan oleh :
a. Gangguan motilitas gastroduodenal
b. Infeksi Hp
c. Asam lambung
d. Hipersensitivitas viseral
e. Faktor psikologis
f. Genetik
g. Gaya hidup
h. Lingkungan
i. Diet
j. Riwayat infeksi gastrointestinal sebelumnya
A. Dispepsia fungsional dapat ditemukan berbagai
gangguan motilitas terdiri dari penurunan kapasitas
lambung dalam menerima makanan (impaired gastric
accommodation), inkoordinasi antroduodenal, dan
perlambatan pengosongan lambung.
 Gangguan motilitas lambung dapat terjadi akibat
kelainan primer lambung atau sekunder akibat penyakit
lain di luar lambung.
1. Kelainan primer lambung
 Kelainan fungsional : Dispepsia fungsional
 Kelainan organik : Gastric outlet obstruction
2. Kelainan sekunder
 Kelainan serebral
 Gangguan metabolik, diabetes melitus
 Gangguan fungsi ginjal, keseimbangan elektrolit
 Status hormonal, graviditas
 Iskemia, hipoksia
B. Peranan Hipersensitivitas Viseral
Hipersensitivitas viseral yang berpengaruh terutama peningkatan
sensitivitas saraf sensorik perifer dan sentral terhadap rangsangan
reseptor kimiawi dan reseptor mekanik intraluminal lambung bagian
proksimal.
C. Peranan faktor psikososial
Beberapa penelitian menunjukkan depresi dan ansietas berperan pada
terjadinya dispepsia fungsional.
D. Peranan asam lambung
Hal ini didasari pada efektivitas terapi anti-sekretorik asam yang
dilaporkan masih kurang atau belum efektif.
Patofisiologi Dispepsia Fungsional
1. Inflamasi
• Sensitifitas terhadap asam lambung
• Gastritis H. pylori
• Reflux empedu

2. Kelainan motilitas lambung


• Terlambatnya pengosongan lambung/ hipomotilitas lambung
• Gangguan relaksasi fundus/ distensi antrum
• Disritmia gaster

3. Hipersensitivitas visceral
• Meningkatnya respon terhadap rangsang psikokimia spt
distensi, kontraksi, asam, empedu.

4. Faktor psikososial
Gejala yang berhubungan dengan depresi, kecemasan, dan
kelainan psikosomatis.
 Dalam praktek, manifestasi gangguan motilitas
dapat disebabkan oleh gangguan akomodasi
bagian proximal lambung, pengosongan
lambung yang terlambat, atau dapat juga akibat
pengosongan lambung yang terlalu cepat.
 Simptomatologi gangguan motilitas lambung
dengan demikian dapat dikelompokkan sebagai
berikut:
1. Gangguan akomodasi bagian proksimal lambung
 Rasa cepat penuh
 Nyeri segera sesudah makan
 Tidak nafsu makan
 Berat badan menurun
2. Sindroma dispepsia
 Mual, muntah
 Kembung
 Banyak gas, sendawa
 Nyeri ulu hati
3. Pengosongan lambung yang terlalu cepat
 Nyeri perut
 Diare
 Lemas, berdebar
 Gejala seperti hipoglikemia
 Berat badan menurun
 Sistematisasi
 Sistematisasi dispepsia
Tergantung pada gejala yang dominan dispepsia
fungsional dibagi menjadi dispepsia tipe ulcus, tipe
dismotilitas, dan tipe campuran atau non-spesifik.
Dalam praktek sehari-hari dikenal istilah
uninvestigated dispepsia, yaitu kelompok dispepsia
yang belum dilakukan investigasi baik laboratorium
maupun pemeriksaan endoscopy.
 Sebelumnya ada kelompok penderita yang disebut
dispepsia tipe refluks, dengan ciri-ciri nyeri ulu hati
dan atau nyeri di bawah tulang dada, nyeri waktu
menelan dan regurgitasi. Dispepsia tipe ini sekarang
dimasukkan sebagai penyakit refluks gastro-
esofageal (GERD)
 Ciri-ciri dispepsia tipe ulcus
 Tipe ini gejalanya mirip dengan gejala tukak peptik
namun pada pemeriksaan endoscopy tidak
didapatkan adanya tukak atau ulcus. Ciri-cirinya nyeri
yang terlokalisir pada epigastrium, hilang dengan
makanan atau antacid, mempunyai sifat remisi dan
relaps.
 Ciri-ciri dispepsia tipe dismotilitas
 Keluhan-keluhannya timbul akibat kelainan motilitas
saluran cerna yang dulu sering disebut gastric
dysrythmia. Ciri-cirinya adalah perut kembung
(bloating), nausea, cepat kenyang, nyeri abdomen
bersifat difus atau tidak dapat ditentukan
lokalisasinya.
Penyebab dispepsia dan nyeri abdomen atas
Saluran Cerna luminal Penyakit pankreas
Penyakit ulkus peptikum Pankreatitis kronik, Neoplasma pankreas
Reflux gastroesofageal Kondisi sistemik

Neoplasma gaster DM, Thyroid, Hiperparatiroidisme,CKD,


Gastroparesis Kehamilan, Kelainan vaskuler kolagen,
Penyakit infiltrasi gaster (amiloidosis, IHD, Keganasan intraabdomen
menetrier ) Penyebab miscellaneous dari nyeri

Sindroma malabsorbsi, Intoleransi laktosa abdominal intermiten


Parasit ( giardia lamblia ), AIDS Porfiria intermiten akut
Iskemia intestinal kronik Demam mediterania familial
Kelainan GI fungsional Defisiensi C1-esterase
Dispepsia non ulkus, Aerofagia Radikulopati diabetika
Irritabel bowel syndrome Nerve entrapment syndrome
Penyakit Traktus Biliaris
Kompresi saraf vertebral
Kolelitiasis, Kolesistitis akut, Hernia internal atau intussusception
Koledokolitiasis Intermittent small bowel obstruction
Neoplasma hepatobilier, disfungsi spinter Obat-obatan

oddi NSAID, Theophylin, Digitalis, Potasium,


Besi, Niacin, Quinidin, Antibiotik, Alkohol
 Diagnosis
 Anamnesis yang cermat perlu dilakukan untuk
mengetahui adanya gangguan fungsi lambung serta
mencari kemungkinan adanya penyakit dasar baik
akut maupun kronik yang dapat mempengaruhi
motilitas saluran cerna. Kemungkinan adanya obat
yang dapat mempengaruhi motilitas saluran cerna,
menghambat pengosongan lambung, perlu dicermati.
 Ada beberapa pemeriksaan diagnostik yang mungkin
dilakukan untuk mengetahui gangguan motilitas
lambung. Sebagian masih merupakan alat diagnostik
untuk riset, seperti pemeriksaan manometrik,
pemeriksaan elektrogastrografi (EGG).
 Dalam praktek cara diagnostik yang dapat digunakan
antara lain adalah endoscopy, radiologi (USG, barium
meal, CT scan), tes Helicobacter pylori.
• Anamnesis dan Pemeriksaan fisik pada semua pasien
dgn sindroma dispepsia sangat penting dan dapat
digunakan untuk mengidentifikasi resiko tinggi terjadi
kelainan organik serius, dikelompokkan dalam “alarm
simptom” yaitu
1. Disfagia
2. BB menurun
3. Adanya perdarahan saluran cerna ( hematemesis,
melena, hematochezia, anemia def Fe, perdarahan
feces tersamar )
4. Tanda obstruksi saluran cerna atas ( rasa cepat
penuh, muntah hebat )
• Pasien dengan alarm simptom mutlak dilakukan
endoskopi.
Univestigated Dispepsia

Clinical evaluation
Determine reason for presentation
History and physical examination
Alarm features : weight loss, anemia, GI blood loss, dysphagia, vomiting

•Consider the following


Gastroesofageal reflux disease
Dietary factors
Medication induce
Iritabel bowel syndrome
Cardiac disesase
Pancreaticobiliary disease
Systemic disorders

If patient has any of the following


If patient has
Age >=50 th
Endoscopy Age<50 th
Evidence of organic disease ( alarm features )
Fear of cancer or organic disease No “alarm features”
Organic disease Normal

Treat as indicated Non ulcer dyspepsia


If patient has
Age<50 th
No “alarm features”

Three options

Noninvasive test for H pylori Empirical treatment with PPI


Endoscopy
Treat if positive

If symptoms persist or
H pylory negative, If symptoms persist:
Empiric trial of PPI Recurrent or persistent Noninvasive test and
Or symptoms treat for H pylori
Endoscopy Or
Endoscopy
 Terapi
Pengobatan Non Medikamentosa
• Pendekatan pribadi
Penting mencari
- faktor-2 yang berperanan pada penyakit
- diagnosis dan pengobatan yang sesuai
• Merubah life style
Faktor yang perlu diperbaiki
- rokok, alkohol. Diit, cara makan
- stress psikososial
 Tatalaksana
Penanganan dispepsia dimulai dengan dimulainya
investigasi (pemeriksaan barium meal, endoscopy,
USG, tes helicobacter pilory) atau dimulai dengan
pengobatan yang bersifat empiris (contoh: antacid,
anti skresi asam, psikoterapi, dan lain-lain) untuk
mengurangi atau bahkan menghilangkan keluhan.
Pada kasus yang sudah diinvestigasi, penanganan
sesuai dengan penyakit dasarnya disertai
pertimbangan faktor patogenesis penyakit tersebut.
Sedangkan pada kasus yang belum diinvestigasi,
maka penanganan hanya berdasarkan simptom
saja.
 Terapi dispepsia fungsional tipe dismotilitas diberikan
obat-obat prokinetik. Pada dasarnya obat ini mempunyai
efek perifer pada sistem saraf enterik, meningkatkan
neurotransmitter acetylkolin, atau menghambat reseptor
dopamin perifer, sehingga fungsi motorik otot polos dan
motilitas saluran cerna membaik. Sebagian obat
mempunyai efek central, misalnya pada pusat muntah di
chemo trigger zone (CTZ), sehingga mempunyai efek
anti emetik.
 Metoklopropamid: mempunyai efek meningkatkan kadar
acetylkolin pleksus mesenterikus sistem saraf enterik,
dan menghambat reseptor dopamin perifer dan sentral.
Obat ini merangsang kontraksi lambung, memperbaiki
motilitas dan pengosongan lambung, serta mempunyai
efek anti emetik yang cukup kuat. Obat ini dapat
melewati sawar otak, secara sentral mempunyai efek
samping parkinsonisme (20%).
 Domperidon: obat ini tergolong antagonis reseptor
dopamin perifer, dan relatif tidak melewati sawar
otak sehingga efek samping sentral tidak terjadi.
Karena masih dapat mencapai pusat muntah, obat
ini mempunyai efek anti emetik yang cukup baik.
Pemberian awal obat ini akan mempercepat
pengosongan lambung.
 Cisaprid: obat ini merupakan agonis reseptor
hidroksitriptamin (HT), terutama bekerja pada
pleksus mesenterikus sistem saraf enterik, dengan
meningkatkan jumlah acetylkolin di ujung saraf
cholinergik post ganglioner. Obat ini dapat
mengurangi pengosongan lambung yang terlambat.
Efek samping obat ini berupa arythmia jantung.
 Eritromisin: obat ini mempunyai efek prokinetik karena
mempunyai ciri sebagai agonis motilin. Eritromisin akan
mengikat reseptor motilin yang terdapat di otot polos
antrum dan duodenum, dan selanjutnya akan
memperbaiki interdigestif, mengosongkan lambung dari
residu makanan yang tersisa.
 Akarbose: pemberian obat yang tergolong inhibitor
disakaridase dapat memperbaiki gejala bila diberikan
bersama sukrosa cair. Obat ini tidak mempengaruhi
pengosongan lambung tetapi menghambat pemecahan
sukrosa dan zat tepung dalam lumen usus, sehingga
osmolaritas dalam lumen tidak meningkat yang akan
mencegah pergeseran cairan plasma ke dalam lumen.
 Oktreotid: obat ini tergolong analog somatostatin
dapat diberikan untuk mengurangi diare akibat
sindroma dumping. Efeknya memperlambat transit,
menekan sekresi usus.
 Tegaserod: obat ini tergolong 5HT4 agonist yang
parsial. Pemberian tegaserod merangsang reseptor
5HT4, mengaktifkan reflek peristaltik. Tegaserod
merangsang pengeluaran neurotransmitter, seperti
CGRP (Calcitonin gene-related peptide), substance
P, VIP (vasoactive intestinal peptide). Efek pada
saluran cerna mempengaruhi kontraktilitas saluran
cerna atas maupun bawah, mempercepat
pengosongan lambung dan gastrointestinal transit.
TERAPI MEDIKAMENTOSA
1. Antasida
2. Sitoproteksi
Bismuth subsalisilat, sukralfat, prostaglandin.
3. Agen antisekresi asam
• Terapi empirik selama 4-8 minggu
• H2 antagonis ( ranitidin atau nizatidine 75-150 mg 2 kali
sehari, famotidine 10-20 mg 2 kali sehari, cimetidine 200-
800 mg 2 kali sehari.
• Proton Pump Inhibitor ( omeprazol dan rabeprazol 20 mg,
lanzoprazol 30 mg, esomeprazole dan pantoprazole 40
mg semuanya 1 kali sehari.
4. Terapi eradikasi H pylori
• PPI +
• Clarithromycin 500 mg, amoxicillin 1 gram atau
metronidazol 500mg diberikan 2 kali sehari selama 10
hari.
5. Agen Promotility
 Untuk mengurangi reflux gastroesofageal,
mempercepat pengosongan lambung
 Metoklopramide, domperidon, cisapride

6. Antidepresan
 Untuk memperbaiki status psikiatrik, pola tidur
dan mengurangi sensitifitas visceral
 Nortriptylin atau desipramine, mulai 10-25
mg/hari.
TERIMA KASIH
 Kepustakaan
1. Harrison. Principles of Internal Medicine. 15th ed.
Mc Graw Hill Medical Publishing Division. 2001.
2. Marcellus Simadibrata, Ari Fahrial Syam. Update in
Gastroenterology 2005. Pusat Informasi dan
Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam,
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.
3. Siti Setiati, Idrus Alwi, Marcellus Simadibrata
Kolopaking, Nina Kemala Sari, Khie Chen.
Current Diagnosis and Treatment in Internal
Medicine 2004. Pusat Informasi dan Penerbitan
Departemen Ilmu Penyakit Dalam, Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia.
4. Siti Setiati, Lucky Aziza Bawazier, Djumhana
Atmakusuma, Yoga Iwanoff Kasjmir, Ari Fahrial
Syam, Reno Gustaviani. Current Treatment in
Internal Medicine 2000. Pusat Informasi dan
Penerbitan Bagian Ilmu Penyakit Dalam, Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia.
5. Soeparman, Sarwono Waspadji. Buku Ajar Ilmu
Penyakit Dalam. 3rd ed. Balai Penerbit FKUI
Jakarta, 2001.

Anda mungkin juga menyukai