Anda di halaman 1dari 19

GUILLAIN BARRE SYNDROME

LAPORAN KASUS

 STATUS PASIEN  Identitas


 MRS : Jumat, 07 Juli 2017  Nama : Tn. H
 Waktu Pemeriksaan : Selasa, 11 Juli 2017  Usia : 57 tahun
 Perawatan : Gardenia 3C  Jenis Kelamin : Laki-laki
 Alamat : BPS blok F5/28
 Pekerjaan : Tidak Bekerja
 Agama : Islam
 Suku : Makassar
Hasil Anamnesa

 Keluhan Utama  Riwayat Penyakit Sekarang


Kedua kaki tidak bisa Pasien datang ke UGD RSUD. Kota Makassar pada tanggal 7 Juli 2017
digerakkan. dengan keluhan kedua kakinya tidak bisa digerakkan. Keluhan ini
dirasakan sejak 13 hari yang sebelum masuk rumah sakit. Keluhan ini
timbul secara perlahan – lahan, awalnya kedua kaki terasa lemah
kemudian kedua kaki langsung tidak bisa digerakkan. Pasien juga
mengeluhkan nyeri dan kram-kram di daerah tulang belakangnya
menjalar kebawah yang memberat 2 hari terakhir. Pasien merasakan
tidak bisa buang air kecil yang dirasakan sejak 1 hari yang lalu.
 Riwayat Penyakit Dahulu  Riwayat Penyakit Keluarga
1. Pasien belum pernah memiliki 1. Tidak ada keluarga yang memiliki keluhan yang serupa
keluhan yang serupa sebelumnya.
2. Tidak ada keluarga yang memiliki riwayat tekanan darah tinggi
2. Tidak ada riwayat jatuh
3. Tidak ada keluarga yang memiliki riwayat sakit jantung
3. Tidak ada riwayat tekanan darah
4. Tidak ada keluarga yang memiliki riwayat DM.
tinggi
5. Tidak ada keluarga yang memiliki riwayat TB paru
4. Tidak ada riwayat sakit jantung
5. Tidak ada riwayat sakit kencing
manis
Hasil Pemeriksaan Fisik
 TIDAK DILAKUKAN

PEMERIKSAAN PENUNJANG
 TIDAK DILAKUKAN

PEMERIKSAAN RADIOLOGI
 TIDAK DILAKUKAN

DIAGNOSA
 GUILLAIN BARRE SYNDROME
penatalaksanaan

 Terapi Farmakologi  Terapi Suportif


 Kortikosteroid  Penurunan expiratory forced vital capacities < 15 cc/kgBB ideal atau
tekanan inspirasi negative dibawah 60 cmH2O mengindikasikan bahwa
 Plasmaparesis
pasien memerlukan intubasi dan ventilator mekanik sebelum terjadi
 Imunoglobulin Intravena hipoksemia. Setelah duaminggu penggunaan intubasi, perlu dipertimbangan
dilakukannya trakeostomi. Pasien dengan bed-ridden perlu diberikan
profilaksis DVT berupa kaos kaki kompres atau antikoagulan berupa heparin
atau enoxaprin subkutan.Apabila terjadi kelompuhan otot wajah dan otot
menelan, maka perlu dipasang selang NGT untuk dapat memenuhi
kebutuhan nutrisi dan cairan penderita. Fisioterapi aktif juga diperlukan
menjelang masa penyembuhan untuk mengembalikan lagi fungsi alat gerak
penderita, menjaga fleksibilitas otot, berjalan dan melatih keseimbangan
penderita. Fisioterapi pasif dilakukan setelah terjadi masa penyembuhan
untuk memulihkan kekuatan otot penderita
Sindroma Guillain-Barre (GBS) :
Patofisiologi dan Diagnosis
GBS merupakan suatu kelompok heterogen dari proses yang diperantarai oleh imunitas, suatu
kelainan yang jarang terjadi; dimana sistem imunitas tubuh menyerang sarafnya sendiri. Kelainan ini
ditandai oleh adanya disfungsi motorik, sensorik, dan otonom. Dari bentuk klasiknya, GBS merupakan
suatu polineuopati demielinasi dengan karakteristik kelemahan otot asendens yang simetris dan
progresif, paralisis, dan hiporefleksi, dengan atau tanpa gejala sensorik ataupun otonom. Namun,
terdapat varian GBS yang melibatkan saraf kranial ataupun murni motorik. Pada kasus berat, kelemahan
otot dapat menyebabkan kegagalan nafas sehingga mengancam jiwa.
Penyebab pasti penyakit ini belum diketahui, namun umumnya dicetuskan oleh infeksi saluran
pernafasan atau pencernaan. Semua kelompok usia dapat terkena penyakit ini, namun paling sering
terjadi pada dewasa muda dan usia lanjut. Pada tipe yang paling berat, sindroma Guillain-Barre menjadi
suatu kondisi kedaruratan medis yang membutuhkan perawatan segera. Sekitar 30% penderita
membutuhkan penggunaan alat bantu nafas sementara
GBS merupakan suatu kelompok heterogen dari proses yang diperantarai oleh imunitas, suatu
kelainan yang jarang terjadi; dimana sistem imunitas tubuh menyerang sarafnya sendiri. Kelainan ini
ditandai oleh adanya disfungsi motorik, sensorik, dan otonom. Dari bentuk klasiknya, GBS merupakan
suatu polineuopati demielinasi dengan karakteristik kelemahan otot asendens yang simetris dan
progresif, paralisis, dan hiporefleksi, dengan atau tanpa gejala sensorik ataupun otonom. Namun,
terdapat varian GBS yang melibatkan saraf kranial ataupun murni motorik. Pada kasus berat, kelemahan
otot dapat menyebabkan kegagalan nafas sehingga mengancam jiwa.
PENYEBAB

Penyebab pasti penyakit ini belum


diketahui, namun umumnya
dicetuskan oleh infeksi saluran
pernafasan atau pencernaan. Semua
kelompok usia dapat terkena penyakit
ini, namun paling sering terjadi pada
dewasa muda dan usia lanjut. Pada
tipe yang paling berat, sindroma
Guillain-Barre menjadi suatu kondisi
kedaruratan medis yang membutuhkan
perawatan segera. Sekitar 30%
penderita membutuhkan penggunaan
alat bantu nafas sementara
Patagonesis dan Patofosiologi

Tidak ada yang mengetahui dengan pasti bagaimana GBS terjadi dan
dapat menyerang sejumlah orang. Yang diketahui ilmuwan sampai saat
ini adalah bahwa sistem imun menyerang tubuhnya sendiri, dan
menyebabkan suatu penyakit yang disebut sebagai penyakit autoimun.
Umumnya sel-sel imunitas ini menyerang benda asing dan organisme
pengganggu; namun pada GBS, sistem imun mulai menghancurkan
selubung myelin yang mengelilingi akson saraf perifer, atau bahkan
akson itu sendiri. Terdapat sejumlah teori mengenai bagaimana
sistem imun ini tiba-tiba menyerang saraf, namun teori yang dikenal
adalah suatu teori yang menyebutkan bahwa organisme (misalnya
infeksi virus ataupun bakteri) telah mengubah keadaan alamiah sel-sel
sistem saraf, sehingga sistem imun mengenalinya sebagai sel-sel asing.
Organisme tersebut kemudian menyebabkan sel-sel imun, seperti
halnya limfosit dan makrofag, untuk menyerang myelin. Limfosit T
yang tersensitisasi bersama dengan limfosit B akan memproduksi
antibodi melawan komponen-komponen selubung myelin dan
menyebabkan destruksi dari myelin.
Akson adalah suatu perpanjangan sel-sel saraf, berbentuk panjang dan tipis; berfungsi sebagai pembawa sinyal
saraf. Beberapa akson dikelilingi oleh suatu selubung yang dikenal sebagai myelin, yang mirip dengan kabel
listrik yang terbungkus plastik. Selubung myelin bersifat insulator dan melindungi sel-sel saraf. Selubung ini akan
meningkatkan baik kecepatan maupun jarak sinyal saraf yang ditransmisikan. Sebagai contoh, sinyal dari otak ke
otot dapat ditransmisikan pada kecepatan lebih dari 50 km/jam.
Myelin tidak membungkus akson secara utuh, namun terdapat suatu jarak diantaranya, yang dikenal sebagai
Nodus Ranvier; dimana daerah ini merupakan daerah yang rentan diserang. Transmisi sinyal saraf juga akan
diperlambat pada daerah ini, sehingga semakin banyak terdapat nodus ini, transmisi sinyal akan semakin lambat.
Pada GBS, terbentuk antibodi atau immunoglobulin (Ig) sebagai reaksi terhadap adanya antigen atau partikel
asing dalam tubuh, seperti bakteri ataupun virus. Antibodi yang bersirkulasi dalam darah ini akan mencapai
myelin serta merusaknya, dengan bantuan sel-sel leukosit, sehingga terjadi inflamasi pada saraf. Sel-sel
inflamasi ini akan mengeluarkan sekret kimiawi yang akan mempengaruhi sel Schwan, yang seharusnya
membentuk materi lemak penghasil myelin. Dengan merusaknya, produksi myelin akan berkurang, sementara
pada waktu bersamaan, myelin yang ada telah dirusak oleh antibodi tubuh. Seiring dengan serangan yang
berlanjut, jaringan saraf perifer akan hancur secara bertahap. Saraf motorik, sensorik, dan otonom akan
diserang; transmisi sinyal melambat, terblok, atau terganggu; sehingga mempengaruhi tubuh penderita. Hal ini
akan menyebabkan kelemahan otot, kesemutan, kebas, serta kesulitan melakukan aktivitas sehari-hari,
termasuk berjalan.10 Untungnya, fase ini bersifat sementara, sehingga apabila sistem imun telah kembali
normal, serangan itu akan berhenti dan pasien akan kembali pulih.
Seluruh saraf pada tubuh manusia, dengan pengecualian pada otak dan medulla spinalis, merupakan bagian dari
sistem saraf perifer, yakni terdiri dari saraf kranialis dan saraf spinal. Saraf-saraf perifer mentransmisikan sinyal
dari otak dan medulla spinalis, menuju dan dari otot, organ, serta kulit. Tergantung fungsinya, saraf dapat
diklasifikasikan sebagai saraf perifer motorik, sensorik, dan otonom (involunter).
Pada GBS, terjadi malfungsi pada sistem imunitas sehingga muncul kerusakan
sementara pada saraf perifer, dan timbullah gangguan sensorik, kelemahan yang
bersifat progresif, ataupun paralisis akut. Karena itulah GBS dikenal sebagai neuropati
perifer.
GBS dapat dibedakan berbagai jenis tergantung dari kerusakan yang terjadi. Bila
selubung myelin yang menyelubungi akson rusak atau hancur , transmisi sinyal saraf
yang melaluinya akan terganggu atau melambat, sehingga timbul sensasi abnormal
ataupun kelemahan. Ini adalah tipe demyelinasi; dan prosesnya sendiri dinamai
demyelinasi primer.
Akson merupakan bagian dari sel saraf 1, yang terentang menuju sel saraf 2. Selubung
myelin berbentuk bungkus, yang melapisi sekitar akson dalam beberapa lapis.
Pada tipe aksonal, akson saraf itu sendiri akan rusak dalam proses demyelinasi
sekunder; hal ini terjadi pada pasien dengan fase inflamasi yang berat. Apabila akson
ini putus, sinyal saraf akan diblok, dan tidak dapat ditransmisikan lebih lanjut,
sehingga timbul kelemahan dan paralisis pada area tubuh yang dikontrol oleh saraf
tersebut. Tipe ini terjadi paling sering setelah gejala diare, dan memiliki prognosis
yang kurang baik, karena regenerasi akson membutuhkan waktu yang panjang
dibandingkan selubung myelin, yang sembuh lebih cepat.
Tipe campuran merusak baik akson dan myelin. Paralisis jangka panjang pada
penderita diduga akibat kerusakan permanen baik pada akson serta selubung saraf.
Saraf-saraf perifer dan saraf spinal merupakan lokasi utama demyelinasi, namun,
saraf-saraf kranialis dapat juga ikut terlibat.
Perjalanan penyakit GBS dapat dibagi
menjadi 3 fase:
 Fase progresif. Umumnya berlangsung 2-3 minggu, sejak timbulnya gejala awal sampai
gejala menetap, dikenal sebagai ‘titik nadir’. Pada fase ini akan timbul nyeri, kelemahan
progresif dan gangguan sensorik; derajat keparahan gejala bervariasi tergantung seberapa
berat serangan pada penderita. Kasus GBS yang ringan mencapai nadir klinis pada waktu
yang sama dengan GBS yang lebih berat. Terapi secepatnya akan mempersingkat transisi
menuju fase penyembuhan, dan mengurangi resiko kerusakan fisik yang permanen. Terapi
berfokus pada pengurangan nyeri serta gejala.

 Fase plateau. Fase infeksi akan diikuti oleh fase plateau yang stabil, dimana tidak
didapati baik perburukan ataupun perbaikan gejala. Serangan telah berhenti, namun
derajat kelemahan tetap ada sampai dimulai fase penyembuhan. Terapi ditujukan
terutama dalam memperbaiki fungsi yang hilang atau mempertahankan fungsi yang masih
ada. Perlu dilakukan monitoring tekanan darah, irama jantung, pernafasan, nutrisi,
keseimbangan cairan, serta status generalis. Imunoterapi dapat dimulai di fase ini.
Penderita umumnya sangat lemah dan membutuhkan istirahat, perawatan khusus, serta
fisioterapi. Pada pasien biasanya didapati nyeri hebat akibat saraf yang meradang serta
kekakuan otot dan sendi; namun nyeri ini akan hilang begitu proses penyembuhan dimulai.
Lama fase ini tidak dapat diprediksikan; beberapa pasien langsung mencapai fase
penyembuhan setelah fase infeksi, sementara pasien lain mungkin bertahan di fase
plateau selama beberapa bulan, sebelum dimulainya fase penyembuhan.

 Fase penyembuhan Akhirnya, fase penyembuhan yang ditunggu terjadi, dengan


perbaikan dan penyembuhan spontan. Sistem imun berhenti memproduksi antibody yang
menghancurkan myelin, dan gejala berangsur-angsur menghilang, penyembuhan saraf
mulai terjadi. Terapi pada fase ini ditujukan terutama pada terapi fisik, untuk membentuk
otot pasien dan mendapatkan kekuatan dan pergerakan otot yang normal, serta
mengajarkan penderita untuk menggunakan otot-ototnya secara optimal. Kadang masih
didapati nyeri, yang berasal dari sel-sel saraf yang beregenerasi. Lama fase ini juga
bervariasi, dan dapat muncul relaps. Kebanyakan penderita mampu bekerja kembali dalam
3-6 bulan, namun pasien lainnya tetap menunjukkan gejala ringan samapi waktu yang lama
setelah penyembuhan. Derajat penyembuhan tergantung dari derajat kerusakan saraf yang
terjadi pada fase infeksi.
Diagnosis
 Kerusakan myelin pada GBS menyebabkan adanya gangguan fungsi saraf perifer, yakni motorik,
sensorik, dan otonom. Manifestasi klinis yang utama adalah kelemahan motorik yang bervariasi,
dimulai dari ataksia sampai paralisis motorik total yang melibatkan otot-otot pernafasan sehingga
menimbulkan kematian. Awalnya pasien menyadari adanya kelemahan pada tungkainya, seperti
halnya ‘kaki karet’, yakni kaki yang cenderung tertekuk (buckle), dengan atau tanpa disestesia
(kesemutan atau kebas).
 Umumnya keterlibatan otot distal dimulai terlebih dahulu (paralisis asendens Landry),1 meskipun
dapat pula dimulai dari lengan. Seiring perkembangan penyakit, dalam periode jam sampai hari,
terjadi kelemahan otot-otot leher, batang tubuh (trunk), interkostal, dan saraf kranialis.
 Pola simetris sering dijumpai, namun tidak absolut. Kelemahan otot bulbar menyebabkan disfagia
orofaringeal, yakni kesulitan menelan dengan disertai oleh drooling dan/atau terbukanya jalan
nafas, serta kesulitan bernafas.
 Kelemahan otot wajah juga sering terjadi pada GBS, baik unilateral ataupun bilateral; sedangkan
abnormalitas gerak mata jarang, kecuali pada varian Miller Fisher.
 Gangguan sensorik merupakan gejala yang cukup penting dan bervariasi pada GBS. Hilangnya
sensibilitas dalam atau proprioseptif (raba-tekan-getar) lebih berat daripada sensibilitas superfisial
(raba nyeri dan suhu).1 Sensasi nyeri merupakan gejala yang sering muncul pada GBS, yakni rasa
nyeri tusuk dalam (deep aching pain) pada otot-otot yang lemah, namun nyeri ini terbatas dan harus
segera diatasi dengan analgesik standar. dan arefleksia. Hilangnya sensasi nyeri dan suhu umumnya
ringan; bahkan Disfungsi kandung kencing dapat terjadi pada kasus berat, namun sifatnya transien;
bila gejalanya berat, harus dicurigai adanya penyakit medulla spinalis. Tidak dijumpai demam pada
GBS; jika ada, perlu dicurigai penyebab lainnya. Pada kasus berat, didapati hilangnya fungsi otonom,
dengan manifestasi fluktuasi tekanan darah, hipotensi ortostatik, dan aritmia jantung.
Pemeriksaan penunjang

 Cairan serebrospinal (CSS)


 Pemeriksaan kecepatan hantar saraf (KHS)
 elektromiografi (EMG)
 Pemeriksaan darah
 Dapat dijumpai respon hipersensitivitas antibodi tipe lambat, dengan
peningkatan immunoglobulin IgG, IgA, dan IgM
 Elektrokardiografi (EKG)
 Tes fungsi respirasi (pengukuran kapasitas vital paru)
 Pemeriksaan patologi anatomi
Kriteria Diagnostik untuk Sindroma
Guillain-Barre
 Temuan yang dibutuhkan untuk  Temuan klinis yang mendukung
diagnosis diagnosis :
1. Kelemahan progresif kedua anggota 1. Gejala atau tanda sensorik ringan
gerak atau lebih
2. Keterlibatan saraf kranialis (bifacial
2. Arefleksia palsies) atau saraf kranial lainnya
3. Penyembuhan dimulai 2-4 minggu
setelah progresivitas berhenti
4. Disfungsi otonom
5. Tidak adanya demam saat onset
6. Progresivitas dalam beberapa hari
hingga 4 minggu
7. Adanya tanda yang relatif simetris
 Temuan laboratorium yang mendukung diagnosis:

1. Peningkatan protein dalam CSS dengan jumlah sel <10 sel/μl


2. Temuan elektrofisiologis mengenai adanya demyelinasi: melambatnya atau
terbloknya hantaran saraf
Diagnosis Banding
GBS harus dibedakan dari kondisi medis lainnya dengan gejala kelemahan motorik
subakut lainnya, antara lain sebagai berikut:
1. Miastenia gravis akut
2. Thrombosis arteri basilaris
3. Paralisis periodic
4. Botulisme
5. Tick paralysis
6. Porfiria intermiten akut
7. Neuropati akibat logam berat
8. Cedera medulla spinalis
9. Poliomyelitis
10. Mielopati servikalis
DAFTAR PUSTAKA

 Victor Maurice, Ropper Allan H. Adams and Victor’s Principles of neurology. 7th edition. USA: the McGraw-Hill
Companies; 2001. p.1380-87.
 Arnason Barry GW. Inflammatory polyradiculoneuropathies. In: Dyck PJ, Thomas PK, Lambert EH. Peripheral
neuropathies. Vol. II. USA: W. B. Saunders Company; 1975. p.1111-48. Guillain-Barre Syndrome. [Update:
2009]. Available from: http://www.caringmedical.com/conditions/Guillain-Barre_Syndrome.htm.
 Guillain-Barré Syndrome. [update 2009]. Available from:
http://bodyandhealth.canada.com/condition_info_popup.asp
channel_id=0&disease_id=325&section_name=condition_info.
 Bradley WG, Daroff RB, Fenichel GM, Marsden CD. Editors. Neurology in clinical practice: the neurological
disorders. 2nd edition. USA: Butterworth-Heinemann; 1996. p.1911-16.
 Gilroy John. Basic neurology. 2nd edition. Singapore: McGraw-Hill Inc.; 1992. p.377-378.

 Guillain-Barré Syndrome. Available from: http://www.medicinenet.com/guillain-


barre_syndrome/article.htm
 Gutierrez Amparo, Sumner Austin J. Electromyography in neurorehabilitation. In: Selzer ME, Clarke
Stephanie, Cohen LG, Duncan PW, Gage FH. Textbook of neural repair and rehabilitation Vol. II: Medical
neurorehabilitation. UK: Cambridge University Press; 2006. p.49-55.

Anda mungkin juga menyukai