Anda di halaman 1dari 22

VISION

SENSOR
KELOMPOK 1 :

M. Faisal Akbar
Revi Eka Putri S
Rio Ardi Ferdian
Fa’iq Irhab Bachtiar
Alun Paranggi Wicaksono
VISION SENSOR
 Sensor penglihatan menggunakan gambar yang
ditangkap oleh kamera untuk menentukan
keberadaan, orientasi, dan keakuratan bagian.
Sensor-sensor ini berbeda dari "sistem" inspeksi
gambar dalam hal kamera, cahaya, dan
pengontrol terkandung dalam satu unit, yang
membuat konstruksi dan pengoperasian unit
menjadi sederhana. Ada perbedaan antara
sensor ini dan sensor tujuan umum lainnya.
Misalnya, inspeksi multi-titik dapat dilakukan
dengan satu sensor. Selain itu, berkat bidang
pandang yang luas, deteksi dimungkinkan
bahkan ketika posisi target tidak konsisten.
Camera sebagai sensor penglihatan.
 Sebuah sensor penglihatan adalah
produk kamera yang mudah digunakan
yang digunakan sebagai solusi untuk
tugas pemrosesan gambar dan
memeriksa, menempatkan dan mengukur
bagian-bagian dan juga membaca
kode. Sensor penglihatan disesuaikan
menggunakan parameter.
 Vision Sensor adalah sensor yang memiliki
kemampuan untuk mendeteksi barang
dengan menggunakan teknologi
perekaman gambar
SENSOR KAMERA
 Sensorkamera adalah sensor penangkap
gambar yang dikenal juga sebagai CCD
(Charged Coupled Device) dan CMOS
(Complementary Metal Oxide
Semiconductor) dan yang terbaru BSI-
CMOS (Back Side Illumination CMOS)
yang terdiri dari jutaan piksel (MP-mega
pixel) lebih. Pada tahun 2013, hampir
semua kamera telah menggunakan BSI-
CMOS yang lebih irit daya , tetapi dapat
menghasilkan gambar yang lebih baik.
 Salah satu aspek yang dilihat saat menilai
kualitas kamera digital adalah sensornya. Kita
tahu sensor pada kamera digital adalah
rangkaian peka cahaya, tempat gambar
dibentuk dan dirubah menjadi sinyal data.
Tidak semua kamera digital punya ukuran
sensor yang sama. Sesuai bentuknya, kamera
digital yang kecil umumnya pakai sensor
yang juga kecil, sedangkan kamera mirrorless
dan DSLR memakai sensor yang lebih besar.
Sensor dengan luas penampang sama
dengan ukuran film 35mm disebut sensor full
frame. Sekeping sensor pada dasarnya
merupakan sekumpulan piksel yang peka
cahaya, saat ini umumnya sekeping sensor
punya 10 juta piksel bahkan lebih. Makin
banyak piksel, makin detil foto yang bisa
direkam.
 Sensor ini berbentuk chip yang terletak tepat
di belakang lensa. Semakin banyak pixel
yang ditangkap, semakin memungkinkan
pencetakan gambar besar dengan detail
gambar yang cukup (dibatasi kapasitas
kertas cetak foto yang biasanya 300dpi (dot
per inch), sedangkan menggunakan printer
dapat dihasilkan dpi yang lebih tinggi). Untuk
menghasilkan foto seukuran postcard
dengan 300dpi cukup menggunakan kamera
3MP. Kualitas foto sama sekali tidak
ditentukan oleh besarnya MP, tetapi oleh
kualitas sensor, prosesor kamera dan yang
terakhir baru lensa, berbeda dengan kamera
film di mana kualitas lensa lebih menentukan.
Sensor CMOS vs sensor CCD
 Perbedaan utama desain CMOS dan CCD adalah
pada sirkuit digitalnya. Setiap piksel pada sensor
CMOS sudah memakai sistem chip yang langsung
mengkonversi tegangan menjadi data, sementara
piksel-piksel pada sensor CCD hanya berupa
photodioda yang mengeluarkan sinyal analog
(sehingga perlu rangkaian terpisah untuk merubah
dari analog ke digital/ADC). Anda mungkin
penasaran mengapa banyak produsen yang kini
beralih ke sensor CMOS, padahal secara hasil foto
sensor CCD juga sudah memenuhi standar. Alasan
utamanya menurut saya adalah soal kepraktisan,
dimana sekeping sensor CMOS sudah mampu
memberi keluaran data digital siap olah sehingga
meniadakan biaya untuk membuat rangkaian ADC
Selain itu sensor CMOS juga
punya kemampuan untuk diajak
bekerja cepat yaitu sanggup
mengambil banyak foto dalam
waktu satu detik. Ini tentu
menguntungkan bagi produsen
yang ingin menjual fitur high
speed burst. Faktor lain yang
juga perlu dicatat adalah sensor
CMOS lebih hemat energi
sehingga pemakaian baterai
lebih awet. Maka itu tak heran
kini semakin banyak kamera
digital (DSLR maupun kamera
saku) yang akhirnya beralih ke
sensor CMOS. Adapun soal
kemampuan sensor CMOS
dalam ISO tinggi pada dasarnya
tak berbeda dengan sensor CCD
dimana noise yang ditimbulkan
juga linier dengan kenaikan ISO.
Kalau ada klaim sensor CMOS
lebih aman dari noise maka itu
hanya kecerdikan produsen
dalam mengatur noise reduction.
Sensor CMOS dan CCD
Bayer CFA
 Sesuai nama penemunya yaitu Bryce Bayer,
seorang ilmuwan dari Kodak pertama kali
memperkenalkan teknik ini di tahun 1970. Sensor dengan
desain Bayer Color Filter Array (CFA) termasuk sensor paling
banyak dipakai di kamera digital hingga saat ini.
Keuntungan desain sensor Bayer adalah desain mosaik
filter warna yang simpel cukup satu lapis, namun sudah
mencakup tiga elemen warna dasar yaitu RGB (lihat
ilustrasi di atas). Kerugiannya adalah setiap satu piksel
pada dasarnya hanya ‘melihat’ satu warna, maka untuk
bisa menampilkan warna yang sebenarnya perlu dilakukan
teknik color sampling dengan perhitungan rumit berupa
interpolasi (demosaicing).
Perhatikan ilustrasi mosaik
piksel di samping, ternyata filter
warna hijau punya jumlah
yang lebih banyak dibanding
warna merah dan biru. Hal ini
dibuat mengikuti sifat mata
manusia yang lebih peka
terhadap warna hijau.
 Kekurangan sensor Bayer yang paling
disayangkan adalah hasil foto yang
didapat dengan cara interpolasi tidak
bisa menampilkan warna sebaik aslinya.
Selain itu kerap terjadi moire pada saat
sensor menangkap pola garis yang rapat
seperti motif di kemeja atau pada
bangunan. Cara termudah mengurangi
moire adalah dengan memasang filter
low pass yang bersifat anti aliasing, yang
membuat ketajaman foto sedikit
menurun.
Sensor X Trans
 Sensor dengan nama X Trans
dikembangkan secara ekslusif oleh
Fujifilm, dan digunakan pada beberapa
kamera kelas atas Fuji seperti X-E2 dan X-
T1. Desain filter warna di sensor X Trans
merupakan pengembangan dari desain
Bayer yang punya kesamaan bahwa
setiap piksel hanya bisa melihat satu
warna.
Bedanya, Fuji menata ulang
susunan filter warna RGBnya.
Bila pada desain Bayer kita
menemui dua piksel hijau, satu
merah dan satu biru pada grid
2×2, maka di sensor X Trans kita
akan menemui pola grid 6×6
yang berulang. Nama X trans
sepertinya diambil dari susunan
piksel hijau dalam grid 6×6
yang membentuk huruf X
seperti contoh di samping.
Fuji mengklaim beberapa keunggulan desain X Trans
seperti :
 tidak perlu filter low pass, karena desain pikselnya
sudah aman dari moire
 terhindar dari false colour, karena setiap baris
piksel punya semua elemen warna RGB
 tata letak filter warna yang agak acak memberi
kesan grain layaknya film
 Sepintas kita bisa setuju kalau desain X Trans lebih
baik daripada Bayer, namun ada beberapa hal
yang masih jadi kendala dari desain X Trans ini,
yaitu hampir tidak mungkin Fuji akan memberikan
lisensi X Trans ke produsen kamera lain (artinya
hanya pemilik kamera Fuji tipe tertentu yang bisa
menikmati sensor ini). Kendala lain adalah sulitnya
dukungan aplikasi editing untuk bisa membaca
file RAW dari sensor X Trans ini
Sensor Foveon X3
 Foveon sementara ini juga ekslusif
dikembangakan untuk kamera Sigma
tipe tertentu. Dibanding sensor lain yang
cuma punya satu lapis filter warna, sensor
Foveon punya tiga lapis filter warna yaitu
lapisan merah, hijau dan biru. Desain ini
persis sama dengan desain emulsi warna
pada roll film foto. Hasil foto dari sensor
Foveon memberikan warna yang akurat
dan cenderung vibrant, bahasa
gampangnya seindah warna aslinya. Hal
yang wajar karena setiap photo detector
di sensor Foveon memang menerima
informasi warna yang utuh dan tidak
diperlukan lagi proses ‘menebak’ warna
seperti sensor Bayer atau X-Trans.
 Yang jadi polemik dalam sensor Foveon
adalah jumlah piksel aktual. Misalnya ada
tiga lapis filter warna yang masing-masing
berjumlah 3,4 juta piksel, maka Foveon
menyebut sensornya adalah sensor 10,2 MP
karena didapat dari 3 lapis filter 3,4 MP. Ini
agak rancu karena saat foto yang dihasilkan
dari sensor Foveon kita lihat resolusi gambarn
efektifnya memang hanya 2268 x 1512 piksel
atau setara dengan 3,4 MP (originalnya) dan
yang terbaru 15 MP.
 Meski demikian, karena kualitas di pixel
levelnya sangat tinggi, maka saat diadu
dalam cetak dengan foto buatan sensor
Bayer, resolusinya seperti 2X yang tertera di
file foto. Misalnya 3.4 MP setara 6.8 MP dan 15
MP setara 30 MP. (tambahan oleh Enche Tjin)
 Kelebihan sensor Foveon adalah membuat
foto dengan ketajaman dan micro-kontras
yang sangat bagus sehingga detail foto lebih
jelas dan tajam. Hal ini disebabkan karena
tidak adanya filter AA (Anti-Alias) yang
biasanya terdapat di sensor tipe Bayer. Juga
tidak ada moire and chroma noise. Sehingga
hasil dari sensor Foveon ini lebih murni
daripada sensor lain.
 Kelemahan sensor ini yaitu diperlukan tenaga
prosesor yang sangat besar dan relatif lama
untuk memproses fotonya, selain itu juga
menguras tenaga baterai. Kamera jadi lebih
cepat panas.
Kamera yang mengunakan Foveon ini sampai
sekarang hanya Sigma, yaitu seri Sigma DP
(compact) dan Sigma SD1 (DSLR).
Cara sensor
‘menangkap’ warna
Sensor gambar pada dasarnya
merupakan perpaduan dari
chip peka cahaya (untuk
mendapat informasi terang
gelap) dan filter warna (untuk
merekam warna seakurat
mungkin). Di era fotografi film,
pada sebuah roll film terdapat
tiga lapis emulsi yang peka
terhadap warna merah (Red),
hijau (Green) dan biru (Blue). Di
era digital, sensor kamera
memiliki bermacam variasi
desain teknologi filter warna
tergantung produsennya dan
harga sensornya.
 Cara kerja filter warna cukup simpel, misal
seberkas cahaya polikromatik (multi warna)
melalui filter merah, maka warna apapun
selain warna merah tidak bisa lolos melewati
filter itu. Dengan begitu sensor hanya akan
menghasilkan warna merah saja. Untuk
mewujudkan jutaan kombinasi warna seperti
keadaan aslinya, cukup memakai tiga warna
filter yaitu RGB (sama seperti film) dan
pencampuran dari ketiga warna
komplementer itu bisa menghasilkan aneka
warna yang sangat banyak. Hal yang sama
kita bisa jumpai juga di layar LCD seperti
komputer atau ponsel yang tersusun dari
piksel RGB.
Cara kerja sensor warna
TERIMA KASIH

Anda mungkin juga menyukai