Anda di halaman 1dari 112

ANTIPSIKOTI

K
Rita Astriani Noviati
Gambaran kualitatif dan semikuantitatif sifat ikatan
reseptor

• Lingkaran biru 
obat
• Kotak berwarna 
binding property yg
berbeda, afinitas
ikatannya
diindikasikan
dengan ukuran dan
jumlah tanda
tambah
• Gambaran
semikuantitatif 
seberapa kuat obat
mengikat reseptor
tertentu
Antipsikotik konvensional
Generic name Trade name Comment
Chlorpromazine Thorazine Low potency
Cyamemazine Tercian Atypical at low doses; popular in France; not available in the US
Flupenthixol Depixol Depot; not available in the US
Fluphenazine Prolixin High potency; depot
Haloperidol Haldol High potency; depot
Loxapine Loxitane Atypical at low doses
Mesoridazine Serentil Low potency; QTc issues; second line
Perphenazine Trilafon High potency
Pimozide Orap High potency; Tourette's syndrome; QTc issues; second line

Pipothiazine Piportil Depot; not available in the US


Sulpiride Dolmatil May have some atypical properties; not available in the US
Thioridazine Mellaril Low potency; QTc issues; second line
Thiothixene Navane High potency
Trifluoperazine Stelazine High potency
Zuclopenthixol Clopixol Depot; not available in the US
Antagonis Reseptor D2

• Antipsikotik
konvensional, juga
disebut antipsikotik
generasi pertama atau
antipsikotik tipikal
• Properti farmakologi
utama D2
antagonisme, yang
bertanggung jawab
tidak hanya untuk
keberhasilan
antipsikotik, tetapi juga
bagi banyak efek
sampingnya
Jalur dopamin mesolimbik dan antagonis
reseptor D2

• Skizofrenia tidak
diobati  jalur
dopamin
mesolimbic
hiperaktif  gejala
positif seperti
delusi dan
halusinasi.
• Pemberian
antagonis D2,
(antipsikotik
konvensional)
memblok dopamin
dari reseptor D2,
 hiperaktivitas
berkurang 
mengurangi gejala
positif
Hipotesis ambang batas efek-efek obat
antipsikotik konvensional

• Semua antipsikotik
berikatan dengan
reseptor dopamin 2,
derajat ikatan
menentukan efek
terapi dan / atau efek
samping
• Kebanyakan
antipsikotik
konvensional, derajat
ikatan reseptor D2 di
jalur mesolimbic
mendekati 80%,
• Okupansi reseptor D2
>80%di dorsal striatum
 EPS dan
hiperprolaktinemia.
Jalur dopamin mesokortikal dan reseptor antagonis D2
• Skizofrenia tidak diobati
 jalur dopamin
mesocortical ke DLPFC
dan korteks VMPFC
hipoaktif
• Hipoaktivitas
berhubungan dengan
gejala kognitif (di DLPFC),
gejala negatif (di DLPFC
dan VMPFC), dan gejala
afektif skizofrenia (dalam
VMPFC).
• Pemberian antagonis D2
lebih lanjut bisa
mengurangi aktivitas di
jalur ini dan dengan
demikian tidak hanya tidak
memperbaiki gejala
bahkan berpotensi
memperburuk
Jalur dopamin nigrostriatal dan reseptor antagonis D2

• Jalur dopamin
nigrostriatal secara
teoritis tidak
terpengaruh pada
skizofrenia tidak
diobati
• Blokade reseptor
D2, seperti dengan
antipsikotik
konvensional,
mencegah dopamin
terikat di sana 
gejala
ekstrapiramidal
(EPS).
Tardive dyskinesia
• Blokade jangka
panjang reseptor D2
dopamin di jalur
nigrostriatal 
upregulasi dari
reseptor-reseptor 
motor yang
hiperkinetik (tardive
dyskinesia) ditandai
gerakan wajah dan
lidah (misalnya
protrusi lidah, wajah
meringis, mengunyah)
sebagai gerakan
ekstremitas cepat
dan kaku ekstremitas.
Jalur dopamin tuberoinfundibular dan reseptor
antagonis D2
• Jalur ini "normal" pada
skizofrenia tidak
diobati
• D2 antagonis
mengurangi aktivitas
di jalur ini dengan
mencegah dopamin
dari mengikat reseptor
D2  kadar prolaktin
meningkat, yang
berhubungan dengan
efek samping seperti
galaktorea (sekresi
payudara) dan
amenore (periode
menstruasi yang tidak
teratur). .
Antipsikotik Konvensional
• Antipsikotik konvensional
memiliki sifat farmakologis
selain dopamin D2
antagonisme.
• Profil reseptor berbeda untuk
setiap agen, berkontribusi
terhadap profil efek samping
yang berbeda.
• Beberapa karakteristik
penting adalah kemampuan
untuk memblokir reseptor
muscarinic kolinergik,
reseptor H1 histamin, dan /
atau reseptor α1-adrenergik.
Efek samping blokade reseptor kolinergik muskarinik

• Obat antipsikotik
konvensional
dengan bagian M1
antikolinergik /
antimuskarinik
dimasukkan ke
reseptor asetilkolin,
menyebabkan efek
samping sembelit,
penglihatan kabur,
mulut kering, dan
mengantuk.
Hubungan timbal balik dopamin dan asetilkolin

• Dopamin dan
asetilkolin memiliki
hubungan timbal
balik di jalur dopamin
nigrostriatal
• Neuron dopamin di
sini membuat
koneksi postsynaptic
dengan dendrit dari
neuron kolinergik.
Biasanya, dopamin
menekan aktivitas
asetilkolin
(acetylcholine tidak
dibebaskan dari
akson kolinergik di
sebelah kanan).
Dopamin, asetilkolin, dan antagonis D2
• Dopamin biasanya
menekan aktivitas
asetilkolin  hambatan
dopamine dihilangkan
 peningkatan aktivitas
asetilkolin
• Reseptor dopamin D2
pada dendrit kolinergik
diblok (kiri)  asetilkolin
terlalu aktif, dengan
meningkatkan
pelepasan asetilkolin
dari akson kolinergik
(kanan)
• Mekanisme
farmakologis EPS:
defisiensi relatif
dopamin dan kelebihan
relatif asetilkolin
Antagonis D2 dan agen antikolinergik
• Salah satu
kompensasi untuk
overaktivitas
adalah memblok
reseptor asetilkolin
dengan agen
antikolinergik
(reseptor M1
diblokir oleh agen
antikolinergik di
paling kanan)
• Dengan demikian,
antikolinergik
mengatasi
kelebihan aktivitas
asetilkolin  berarti
bahwa gejala EPS
berkurang.
Antagonis serotonin-dopamin

• “Keatipikalan”
antipsikotik atipikal
telah sering
dikaitkan dengan
kopling antagonis
D2 dengan
antagonis serotonin
5HT2A
Pembentukan serotonin
• Serotonin diproduksi dari
enzim setelah triptofan
diangkut ke neuron
serotonin
• Triptofan diubah oleh enzim
hidroksilase triptofan (TRY-
OH) menjadi 5-
hydroxytryptophan (5HTP),
yang kemudian diubah
menjadi 5HT oleh enzim
aromatik dekarboksilase
asam amino (AAADC).
Serotonin kemudian
diangkat ke vesikel sinaptik
melalui vesikular
monoamine transporter
(VMAT2), di mana ia tetap
sampai dilepas oleh impuls
saraf.
Penghentian kerja serotonin
Reseptor 5HT2A kortikal menurunkan pelepasan
dopamin

• Serotonin dilepaskan
pada cortex, terikat
neuron pyramidal
glutamatergic 
aktivasi neuron
• Aktivasi 
pelepasan glutamate
pada brainstem 
stimulasi pelepasan
GABA  GABA
terikat neuron
dopaminergic dgn
proyeksi dari
substansia nigra ke
striatum,
menghambat
pelepasan dopamin
Bloking reseptor 5HT2A kortikal meningkatkan
pelepasan dopamin

• Reseptor 5HT2A
glutamatergic
diblokir 
pelepasan
serotonin di
korteks 
pelepasan GABA
tidak dirangsang
 tidak
menghambat
release dopamine
dari substansia
nigra ke striatum
Reseptor 5HT1A kortikal meningkatkan pelepasan
dopamin
• Serotonin yang
dilepaskan berikatan
dengan reseptor
5HT1A  inhibisi
neuron glutamatergic
• Jika glutamate tidak
dilepas dari neuron
pyramidal glutamate
ke batang otak 
pelepasan GABA tidak
diragsang  tidak
dapat menghambat
pelepasan dopamine
dari substansia nigra
ke striatum
• Stimulasi reseptor
5HT1A kortikol analog
fungsional dg
blockade reseptor
5HT2A
Stimulasi Reseptor 5HT2A di substansia nigra dan
striatum menurunkan pelepasan dopamin
• Dalam striatum: sinaps langsung
dgn neuron dopaminergik, tidak
langsung dgn neuron GABAergik
• Neuron GABAergik: serotonin
terikat reseptor 5HT2A,
mengganggu inhibisi pelepasan
GABA  menurunkan
dopamine. Jika serotonin terikat
pada reseptor 5HT2A secara
langsung pada neuron dopamine
 penurunan pelepasan
dopamine
• Serotonin yg dilepaskan di raphe
nucleus terikat ke reseptor
5HT2A pada interneuron
GABAergik  pelepasan GABA
ke neuron dopaminergic pada
substansia nigra  inhibisi
pelepasan dopamine ke striatum
Bloking reseptor 5HT2A di substansia nigra dan
striatum meningkatkan pelepasan dopamin
• Reseptor 5HT2A pada
interneuron GABAergik
di striatum diblok 
serotonin tidak dapat
menstimulasi reseptor
utk melepas GABA 
GABA tidak dapat
menginhibisi pelepasan
dopamine 
meningkatkan dopamine
striatal
• Dlm brainstem: blokade
reseptor 5HT2A pada
interneuron GABAergik
mencegah pelepasan
GABA ke neuron
dopaminergic di
substansia nigra 
dopamine dilepas ke
striatum
Reseptor 5HT2A raphe menstimulasi peningkatan
pelepasan dopamin
• Serotonin yg terikat
reseptor 5HT1A dalam
raphe nucleus menginhibisi
pelepasan serotonin
• Dlm striatum: penurunan
pelepasan serotonin 
reseptor 5HT2A pada
GABAergic dan neuron
dopaminergik tidak
dirangsang  pelepasan
dopamin tidak dihambat
• Brainstem: mengurangi
pelepasan serotonin 
reseptor 5HT2A pada
GABAergic interneuron
tidak dirangsang  GABA
tidak dilepaskan 
dopamin dapat dilepaskan
ke striatum.
Interaksi serotonin (5HT) dan dopamin (DA) pada
terminal axon

• Normal: 5HT
menginhibisi pelepasan
DA
• DA dilepaskan karena
tidak ada 5HT yang
menghentikan itu. Tidak
ada 5HT pada reseptor
5HT2A di neuron DA
nigrostriatum
• Pelepasan DA dihambat
oleh 5HT di jalur
dopamin nigrostriatal.
Ketika 5HT menempati
reseptor 5HT2A pada
neuron DA
menghambat
pelepasan DA,  tidak
ada DA di sinaps
Serotonin 2A antagonis pada jalur nigrostriatal

• Reseptor dopamin postsynaptic 2 ( D2 ) diblokir oleh antagonis serotonin - dopamin (


SDA ) di jalur dopamin nigrostriatal
• Kedua reseptor D2 dan 5HT2A diblokir . Aksi antagonis 5HT2A sebenarnya
membalikkan aksi antagonis D2. Ini terjadi karena dopamin dilepaskan ketika
serotonin tidak bisa lagi menghambat pelepasannya  disinhibisi
• Memblokir reseptor 5HT2A  disinhibisi neuron dopamine  , dopamine dikeluarkan
 dopamine dapat bersaing dengan SDA untuk reseptor D2 dan membalikkan inhibisi
di sama  SDA menyebabkan gejala ekstrapiramidal/tardive dyskinesia yang kecil
atau tidak ada.
Dopamin menghambat prolaktin

• Dopamin
menginhibisi
pelepasan
prolactin dari sel
laktotroph di
kelenjar hipofisis
ketika ia terikat
dengan reseptor
D2
Serotonin menstimulasi prolaktin

• Serotonin (5HT)
merangsang
pelepasan
prolaktin dari sel-
sel hipofisis
lactotroph di
kelenjar hipofisis
ketika mengikat
reseptor 5HT2A
• Serotonin dan
dopamin memiliki
tindakan
pengaturan timbal
balik pada
pelepasan
prolaktin
Antipsikotik konvensional dan prolaktin

• Obat antipsikotik
konvensional
merupakan D2
antagonis dan
dengan demikian
melawan peran
inhibisi dopamin
pada sekresi
prolaktin dari
hipofisis
lactotroph  obat
ini meningkatkan
kadar prolaktin
Antipsikotik atipikal dan prolatin
• Gambar ini
menunjukkan
bagaimana antagonis
5HT2A membalikkan
kemampuan antagonis
D2 untuk meningkatkan
sekresi prolaktin.
• Dopamin dan serotonin
memiliki peran regulasi
timbal balik dalam
pengendalian sekresi
prolaktin, salah satu
membatalkan yang lain.
• Merangsang reseptor
5HT2A membalikkan
efek stimulasi reseptor
D2, sebaliknya, blokade
reseptor 5HT2A
membalikkan efek
memblokir reseptor D2
Hipotesis ambang efek obat antipsikotik atipikal
• Kebanyakan antipsikotik atipikal,
okupansi reseptor D2 > 80% di
jalur mesolimbic diperlukan untuk
efek terapi, okupansi D2 > 80% di
dorsal striatum dikaitkan dengan
EPS, okupansi D2 > 80 % di
hipofisis dikaitkan dengan
hiperprolaktinemia
• Antipsikotik konvensional (murni
D2 antagonis ) diasumsikan bahwa
jumlah reseptor D2 yg sama
diblokir di semua area otak.
Namun, 5HT2A dan 5HT1A
antipsikotik atipikal dapat
menurunkan jumlah D2 antagonis
di striatum dorsal dan hipofisis
tetapi lebih besar di daerah limbik
dari nucleus accumbens, mungkin
80% ketika di nigrositratal dan
hipofisis okupansinya 60%
Ikatan 5HT2A dengan antipsikotik atipikal

• Setiap kotak berwarna merupakan properti


ikatan yang berbeda, ukuran dan posisi
kotak mencerminkan potensi pengikatan.
• ( A) " pine " (clozapine, olanzapine,
quetiapine, asenapine) lebih poten
berikatan dengan reseptor 5HT2A
daripada pada reseptor D2
• ( B )" dones " (risperidone, paliperidone ,
ziprasidone, iloperidone, lurasidone) juga
lebih poten berikatan dengan reseptor
5HT2A daripada reseptor D2 , atau
menunjukkan potensi yang sama pada
kedua reseptor . ( C ) Aripiprazole dan
cariprazine keduanya mengikat lebih
potently dengan reseptor D2 daripada
reseptor 5HT2A , sementara brexpiprazole
memiliki potensi yang sama pada kedua
reseptor
Autoreseptor 5HT2A
Ikatan 5HT1A dengan antipsikotik atipikal
Autoreseptor 5HT1B/D
Ikatan 5HT1B/D dengan antipsikotik atipikal
Ikatan 5HT2C dengan antipsikotik atipikal
Ikatan 5HT6 dan 5HT7 dengan antipsikotik atipikal
D2 parsial agonis
Spektrum neurotransmisi dopamin
Output reseptor dopamin
Spektrum agonis dan konformasi
reseptor
Spektrum parsial agonis dopamin
Sifat ikatan antipsikotik atipikal
Ikatan alpha-2 dengan antipsikotik
atipikal
Neurotransmiter pada cortical arousal
Ikatan antihistamin/antikolinergik
antipsikotik atipikal
Ikatan alpha-1 dengan antipsikotik
atipikal
Monitoring jalur metabolik
Resistensi insulin, peningkatan trigliserida, dan antipsikotik:
disebabkan oleh reseptor yang belum diketahui?
Alat ukur monitoring metabolisme psikofarmakologi
Resistensi insulin
Farmakologi clozapine dan karakteristik ikatan dengan
reseptor
Farmakologi olanzapine dan karakteristik ikatan
dengan reseptor
Farmakologi quetiapine dan karakteristik ikatan
dengan reseptor
Estimasi okupansi reseptor D2 di striatum pada dosis
quetiapine yang berbeda
Profil ikatan quetiapine pada berbagai macam
dosis
Profil ikatan quetiapine pada berbagai macam
dosis dan formulasi
Farmakologi asenapine dan karakteristik ikatan
dengan reseptor
Serotonin menghambat pelepasan norepinephrine
dan dopamin
Antagonis 5HT2C menghambat pelepasan
norepinephrin dan dopamin
Farmakologi zotepine dan karakteristik ikatan
dengan reseptor
Farmakologi risperidone dan karakteristik ikatan
dengan reseptor
Farmakologi paliperidone dan karakteristik ikatan
dengan reseptor
Farmakologi ziprasidone dan karakteristik ikatan
dengan reseptor
Farmakologi iloperidone dan karakteristik ikatan
dengan reseptor
Stimulasi reseptor α1 kortikal menurunkan
pelepasan dopamin
Blokade reseptor α1 kortikal meningkatkan
pelepasan dopamin
Farmakologi lurasidone dan karakteristik ikatan
dengan reseptor
Fungsi reseptor 5HT7 di raphe nucleus
Stimulasi reseptor 5HT7 di raphe nucleus
mengurangi pelepasan serotonin
Blokade reseptor 5HT7 di raphe nucleus
meningkatkan pelepasan serotonin
Fungsi reseptor 5HT7 di kortex prefrontal
Stimulasi reseptor 5HT7 di kortex prefrontal mengurangi
pelepasan glutamat dari neuron piramidal
Blokade reseptor 5HT7 di kortex prefrontal meningkatkan
pelepasan glutamat dari neuron piramidal
Farmakologi aripiprazole dan karakteristik ikatan
dengan reseptor
Farmakologi brexpiprazol dan karakteristik ikatan
dengan reseptor
Farmakologi cariprazine dan karakteristik ikatan
dengan reseptor
Farmakologi sulpride dan karakteristik ikatan
dengan reseptor
Farmakologi amisulpride dan karakteristik ikatan
dengan reseptor
Farmakologi sertindole dan karakteristik ikatan
dengan reseptor
Farmakologi perospirone dan karakteristik ikatan
dengan reseptor
Switch antipsikotik
Switching dari satu antipsikotik ke antipsikotik yang lain
Terjebak dalam cross-titration
Switching dari pine atau done ke
lainnya
Switching dari pine ke done
Menghentikan pemakaian clozapine
Switching dari done ke pine

Pertukaran dari done ke pine. Ketika


pertukaran dari done ke pine,
tolerabilitas terbaik jika pine dapat di
up titrasi selama 2 minggu.
Pertukaran dari aripriprazol adalah
kasus special, karena memiliki
property farmakologik yg berbeda,
dan karena dia memiliki potensi yg
lebih tinggi untuk reseptor D2
dibandingkan obat lain. Artinya
adalah tatalaksana dengan obat ini
menyebabkan withdrawl esensial
segera dari reseptor D2. Prinsip ini
dapat diaplikasikan ke “pip dan rip”
(brexypriprazole dan cariprazin),
dimana keduanya memimilki
karekteristik binding yang serupa dan
potensi D2, dan agonesi D2 parsial.
Switching dari pine ke aripiprazole
Aripriprazole memiliki
afinitas lebih tinggi pda
reseptor D2 dibandingkan
kebanyakan pine.
Pendekatan yang prudent
adalah memulai
aripiprazole pada dosis
medium dbandingkan
dosis rendah, sementara
down titrasi pine lambat
lebih dari 2 minggu
Switching dari done ke aripiprazole

Pertukaran dari done ke pine. Ketika


pertukaran dari done ke pine,
tolerabilitas terbaik jika pine dapat di
up titrasi selama 2 minggu.
Pertukaran dari aripriprazol adalah
kasus special, karena memiliki
property farmakologik yg berbeda,
dan karena dia memiliki potensi yg
lebih tinggi untuk reseptor D2
dibandingkan obat lain. Artinya
adalah tatalaksana dengan obat ini
menyebabkan withdrawl esensial
segera dari reseptor D2. Prinsip ini
dapat diaplikasikan ke “pip dan rip”
(brexypriprazole dan cariprazin),
dimana keduanya memimilki
karekteristik binding yang serupa dan
potensi D2, dan agonesi D2 parsial.
Switching dari aripiprazole ke pine
Ketika merubah dari aripiprazole ke
“pine” (clozapine, olanzapine,
quetiapine, asenapin),
direkomendasikan untuk
menghentikan aripiprazole
secepatnya dan memulai pine
ditengah, daripada dosis rendah.
Pine dapat dititrasi dengan periode
2 minggu.
Switching dari aripiprazole ke done
Ketika menukar dari aripiprazole ke
“done” (rsiperidon, peliperidon,
ziprasidone, iloperidone, lurasidone),
direkomendasikan untuk
menghentikan aripiprazole secepatnya
dan mulai “done” ditengah, daripada
dosis rendah. “done” dapat dititrasi
pada periode 1 minggu.
Target psikofarmakologi pada sirkuit yang
berhubungan dengan kekerasan

Perilaku mengancam dapat dihubungkan


dengan sirkuit yang relevan kepada SR,s
ehingga dapat menjadi target strategi
psikofarmakologik. Jalur mesolimbic dan
kortikal, yang bertanggung jawab pada
gejala negative dan positif, diperkirakan
terlibat pada tindakan agresi dan
mengancam. Bisa jadi agen yang
menargetkan lebih dari 60% penempatan
reseptor di jalur ini dapat mengurangi gejala.
Seperti korteks orbitofrontal dan amygdala
dapat berperan pada impuls agresi, yang
secara teori dapat dihilangkan dengan
pemberian agen denga penempatna 60%
pada reseptor D2. Gejala afektif yang
berkontribusi perilaku menggangu (violent)
mungkin dimediasi oleh korteks ventromedial
prefrontal dan dapat diobati dengan mood
stabilizer. Agresi instrumental dan violent
sociopathy dimediasi oleh korteks
dorsolateral prefrontal, dan dapat ditangani
dengan strategi perilaku, termasuk seklusi
dan inkarserasi.
Resistensi terapi atau kegagalan farmakokinetik

Pengobatan terhadap resisitensi atau


kegagalan famakokinetik. Secara umum,
penempatan reseptor D2 sebesar 80%
diperlukan pada jalur mesolimbic untuk
efek antipsikotik, sementara itu
penempatan D2 >80% di striatum
dorsalis dihubungkan dengan efek
ekstrapiramidal (EPS), jika di pituitary
berhubungan dengan hiperprolaktinemia.
Sementara itu, meskipun mayoritas
pasien dapat mencapai penempatan
reseptor D2 sebesar 80% pada jalur
mesolimbic dan 60% di striatum dengan
antipsikotik dosis standar, itu tdak dapat
diterapkan pada semua pasien. Makanan
dapat mempengaruhi absorpsi beberapa
antipsikotik . Kegagalan farmakokinetk
dapat disebabkan pada pasien yang tidak
berespon pada sequens momoterapi dan
juga tidak memiliki efek samping. Dapat
dipaskitakn dengan mengukur kadar
terapeutik obat.
Waktu sebagai obat. Bisa saja,
mempertahankan pengobatan
dengan obat yang sama pada
periode waktu tertentu, daripada
terlalu cepat dirubah, dapat
menyebabkan perbaikan gejala
Penatalaksanaan pada kasus resistensi dan kekerasan

Adalah mungkin beberapa pasien


mengalami kegagalan terapi.
Kegagalan tersebut disebabkan efek
hilir dari pemblokadean D2
memerlukan waktu yang lebih lama
untuk bermanifestasi daripada tetapi
standara 6 minggu. Pada pasien2 ini,
waktu sendiri menjadi terapi
terapeutik.
Pendekatan lainnya pada kasus ini
adalah pasien memerlukan
penempatan d2 lebih dari 60%.
Pasien2 tersebut mempunyai gejala
psikotik dan/atau gejala impulsive
yang berhubungan dengan agresif
dan mengancam. Secara empiris,
pasien seperti ini dapat berespon
dengan obat dosis sangat tinggi yang
menempati lebih dari 60% reseptor
D2
Adalah mungkin beberapa
pasien mengalami kegagalan
psikodinamik. PAsien2
tersebut mungkin memerlukan
penempatan reseptor D2 lebih
dari 80%dalam alr mesolimbic
untuk mencapai efek
terapeutik. Kemungkinan
diperlukan obat untuk
penempatan reseptor 80-
100%.
Pasien yang gagal dengan
terapi multiple, dengan dosis
yg adekuat dan agresif dan
mengancam cenderung gagal
farmakodinamik dan
memerlukan 80-100%
penempatan reseptor limbik
d2. Mereka mungkin
memmerlukan dosis yang
lebih tinggi dari normal. Bukti
pemberian monoterapi dosis
tinggi bervariasi tergantung
antipsikotik yg digunakan.
Pasien yang gagal dengan
terapi multiple, dengan dosis
yg adekuat dan agresif dan
mengancam cenderung gagal
farmakodinamik dan
memerlukan 80-100%
penempatan reseptor limbik
d2. Hal ini dapat dicapai
dengan menambahkan
antipsikotik kedua dosis
standar.
Ps yang gagal dengan multiple obat,
meskipun dosis sdah adekuat, dan
masih agresif dan memerlukan 80-
100% striatal D2 penempatan
reseptor. Caranya adalah dengan
menambahkan antispsikotik kedua
dgn dosis standar, meskipun belum
ada bukti yang sahih.
Cara lain untuk menempati >60%
reseptor D2 dengan menggunakan
2 antipsikotik secara bersamaaan
dengan dosis standar, dikenal
dengan antipsikotik polifarmasi.
AMPA positive modulator
Modulasi positif pada reseptor postsinaptik AMPA
apat membantu meregulasi aliran ion dan
deoplarisasi neuronal dalam posinaptik neuron,
menyebabkan reaktivasi reseptor NMDA yang
baik.

mGIuR antagonis presinaptik/posinaptik


agonis
Kelas lain dari reseptor glutamate , dikenal
sebagai mGluRs), juga mengatur neurotransmisi
pada sinaps glutamate. Normalnya mGluRs
presinaptik berperan sebagai autoreseptor untuk
mencegah pelepasan glutamate. Sehingga,agen
yg bekerja pada tempat ini sebagaiagonis
presinaps mGluR2/3 berpotensial mencegah
pelepasan glutamate berlebh dari neuron
glutamate, seperti dipostulatkan terjadi sebagai
konsekuensi hilir hipoaktifitas NMDA, dan
kemudian meningkatkan gejala SR. Salah satu
agen ini adalah LY2140023 terbukti efektif pada
tatalaksana SR
Agonis presinaptik

mGluR2/3 berperan
sebagai autorseptor
untuk mencegah
pelepasan
glutamate. Akibatnya
jika reseptor ini
distimulasi dapat
memblok pelepasan
glutamate, sehingga
menurunkan aktifitas
pada reseptor
postsinaptik glutamat
Hipotesis abnormalitas sinyal glutamat pada
skizofrenia
Glutamat dilepaskan dari
pyramidal neuron
intrakortikal.
(1)Normalnya, reseptor
NMDA yang terikat disitu
dalam keadaan
hipofungsi, sehingga
mencegah efek glutamat
di reseptor tsb.(2)
Keadaan ini mencegah
GABA lepas dari
interneuron, sehingga
stimulasi reseptor α2
GABA pada akson pada
neuron glutamate lainnya
tidak terjadi. (3). Ketika
GABA tidak terikat di
reseptor α2 GABA pada
akonna, neuron pyramidal
tidak lagi terinhibisi dan
menyebabkan pelepasn
glutamate berlebihan ke
dalam korteks
Hipotesis mekanisme kerja agonis mGluR2/3 pada
skizofrenia

Reseptor mGIuR2/3 adalah


autoreseptor yang bekerja
untuk mencegah pelepasan
glutamate. Sehingga agonis
mGIuR2/3 dapat mengurangi
pelepasan glutamate berlebihan
(3), bahkan pada kondisi
kehadiran GABA inhibisi yang
dikuangi pda neuron glutamate
(2) disebabkan aktivasi reseptor
GABA pada interneuron
GABAergic.
Hipotesis mekanisme kerja selective glycine
reuptake inhibitors (SGRI) pada skizofrenia

Mekanisme lainnya untuk


mengurangi neurotransmisi
glutamate yang berlebihan adalah
dengan memperkuat kerja glisin
pada reseptor NMDA yg
hipofungsi. Glisin diperlukan untuk
mengaktifkan reseptor NMDA.
Bila reupake glisin dicegah, maka
akan tersedia glisin di sinaps dan
terikat di reseptor NMDA, yg
secara teori akan memperkuat
fungsinya.
Hipofungsi reseptor NMDA dan gejala positif
skizofrenia

Jika reseptor NMDA pada


interneuron GABA kortikal
hipoaktif, maka jalur glutamate
di kortikal batang otak menuju
VTA akan overaktifasi,
menyebabkan pelepasan
berlebihan glutamate di VTA.
Kedaan ini menyebabkan
stimulasi berlebihan pada jalur
mesolimbic dopamine dan
menyebabkan pelepasan
dopamine berlebihan pada
nucleus accumbens.
Hipotesis mekanisme kerja agonis mGluR2/3 pada
skizofrenia

Reseptor metabotropic
glutamate 2/3 (mGIuR2/3)
adalah autoreseptor
presinaptik yang bekerja
untuk mencegah pelepasan
glutamate. Sehingga agonis
mGLuR2/3 dapat berfungsi
mengurangi pelepasan
glutamate yg berlebihan di
VTA. Akibatnya bisa
mencegah stimulasi
berlebihan jalur mesolimbic
dopamin
Hipotesis mekanisme kerja selective glycine
reuptake inhibitors (SGRI) pada skizofrenia

Mekanisme lainnya untuk


mengurangi neurotransmisi
glutamate yang berlebihan
adalah dengan memperkuat
kerja glisin pada reseptor
NMDA yang hipofungsi. Glisin
diperlukan untuk mengaktifasi
reseptor NMDA. Bila reuptake
glisin dicegah, maka lebih
banyak glisin tersedia.
Keadaan ini akan memperkuat
neurotransmisi GABAergic di
korteks. Jika pelepasan
glutamate dikurangi di area
ventral tegmental (VTA) akan
mencegah stimulasi berlebihan
pada jalur mesolimbic
dopamine.
Terapi skizofrenia terbaru menggunakan glutamat:
direct acting glycine site agonists

Untuk aktif, Reseptor NMDA


memerlukan kehadiran
glutamate dan koagonis pada
tempat glisin. Karena SR
disebabkan reseptor NMDA
yang hipoaktif, agonis pada
tempat koagonis glisin dapat
meningkatkan fungsi NMDA.
Agonis-agonis itu adalah,
glisin, D-serin, dan D-
cycloserin. Agonis2 ini terbukti
dapat mengurangi gejala
negatvistik dan kognitif.
Terapi skizofrenia terbaru menggunakan glutamat:
transporter glycine pada sel glia dihambat
Pada keadaan normal,
Transporter Glysin 1 (GlyT1)
menghentikan kerja glysin di
reseptor NMDA dalam sinaps
glutamate dengan
mengangkut glysin kembali
ke sel glial sebagai pompa
reuptake. Kemudian, inhibitor
pada GlyT1 akan
meningkatkan availabititas
glysin sinapsis, memperkuat
aktifitas reseptro NMDA.
Inhibisi GlyT1 dapat
meningkatkan gejala kognisi
dan negativistic SR dengan
cara meningkatkan
availabilitas glysin pada
reseptor NMDA yag sedang
dalam kondisi hiperfungsi
Terapi presimptomatik/prodromal pada skizofrenia
Terapi presimptomatik /
prodromal SR
Tabel berikut menunjukkan
perjalanan fase SR.Pada fase
awal (stage 1)Ps seringnya
(100%) ful fungsioning. Pada
fase 2 berawal saat remaja,
gejala dapat berupa perilaku
aneh dan subtle symptom
negative.. Fase akut ditandai
dengan cukup dramatis di usia
20 th (Stase 3) gejala berupa
symptom positif, remisi, dan
relaps, namun tidak pernah
kembali ke kondisi fungsi
normal. Fase ke 3 ini
merupakan fase chaos. Fase
akhir (stase 4) dimulai usia 40 th
atau lebih tua. Gejala utama
berupa negatifistik dan
gangguan kognisi. Fase ini ps
mulai resisten dgn pengobatan.
Pengobatan diberikan untuk
mengurangi gejala, pada fase
presimptomatik, prodromal, dan
mengurangi progresifitas.

Anda mungkin juga menyukai