Anda di halaman 1dari 30

Dokter Pembimbing:

dr. Eryasni Husni, Sp.PD


 Perkembangan Sistem Reproduksi[1]
 Perkembangan genitalia terjadi pada masa
gestasi 6 – 14 minggu. Sampai dengan masa
gestasi 6 minggu, primordial gonad bersifat
indiferen atau bipotensial. Hingga usia 6 minggu
masa gestasi, embrio juga memiliki sepasang
duktus Mulleri, duktus Wolfi dan bakal genitalia
eksternal maupun internal yang indiferen. Sekresi
hormon androgen mulai terjadi pada masa
gestasi 7-8 minggu setelah testis terbentuk.
Puncak sekresi testosteron terjadi antara masa
gestasi 14-16 minggu. Hormon androgen
selanjutnya akan menyempurnakan poses
diferensiasi genitalia eksterna dan interna.
 Fase Determinasi
 Fase ini merupakan langkah awal perkembangan
sistem reproduksi. Setiap gangguan pada fase ini
berpotensi menyebabkan gangguan
perkembangan seksual. Sebagaimana kita kenal,
laki-laki mempunyai kromosom 46, XY
sedangkan wanita 46,XX. Kromosom XY atau XX
ditentukan saat fertillisasi. Kromosom Y
menduduki peran sentral dalam perkembangan
sistem reproduksi. Dari suatu penelitian dapat
disimpulkan bahwa testislah yang berperan
dalam diferensiasi genitalia interna maupun
eksterna.
 Fase Diferensiasi
 Fase ini bergantung kepada faktor hormonal.
Hormon androgen yang disekresi testis pada
awalnya diatur oleh human chorionic
gonadotropin (hCG) yang berasal dari
plasenta. Pada minggu 15 masa gestasi,
pengaturan sekresi testosteron ini mulai
diambil alih oleh jaras hipotalamus-hipofisis
janin dengan gonadotropinnya.
 Genitalia Interna
 Proses diferensiasi genitalia interna terjadi sejak minggu ke 6
masa gestasi. Pada 46,XY proses ini terjadi karena adanya testis
yang menghasilkan hormon Mullerian Inhibiting Substances (MIS)
atau Mullerian Inhibiting Factor (MIF) dan testosteron. Pada janin
pria, diferensiasi genitalia interna berlangsung dengan
terbentuknya sel Sertoli. Hormon MIS yang dihasilkan oleh sel
Sertoli akan merangsang sisi ipsilateral duktus Wolffi
membentuk genitalia interna yaitu vas deferens, vesikula
seminalis, dan epididimis. Tidak lama setelah sel Sertoli
berfungsi, sel Leydig pada janin lelaki akan menghasilkan
testosteron untuk menyempurnakan perkembangan duktus
Wolffi sisi ipsilateral gonad dan menekan perkembangan duktus
Mulleri. Apabila tidak ada testis maka duktus Wolffi akan regresi
dan duktus Mulleri akan berkembang menjadi genitalia interna
wanita yaitu tuba fallopi, uterus dan 1/3 proksimal vagina.
 Genitalia Eksterna
 Sebelum terjadi diferensiasi genitalia eksterna
maka baik janin laki-laki maupun perempuan
memiliki struktur embrional genitalia
eksterna bipotensial yaitu sinus urogenitalis,
genital tubercle, genital fold, dan genital
swelling. Ada tidaknya dehidrotestosteron
(DHT) mempengaruhi berkembangnya
struktur embrional tersebut.
 Androgen adalah hormon steroid yang
merangsang atau mengontrol perkembangan
dan pemeliharaan karakteristik laki-laki
vertebra dengan mengikat reseptor androgen
yang juga merupakan pendukung aktivitas
organ genitalia pria dan pertumbuhan
karakteristik seks sekunder laki-laki.
 Androgen bekerjasama dengan reseptor androgen untuk
mengahsilkan efek androgenik. Langkah-langkah yang
menggambarkan secara ringkas terbentuknya efek
androgenik tersebut adalah sebagai berikut.
 1. Androgen memasuki sel
 2. Androgen berikatan denganr reseptor androgen
 3. Hormon androgen-reseptor aktif terfosforilasi
 4. Hormon androgen-reseptorr bermigrasi ke inti sel
 5. Androgen berikatan dengan DNA dan terjadi respon
 6. Terjadi transkripsi gen
 Dengan cara tersebut, androgen terikat dengan reseptor
androgen untuk mengatur ekspresi dari gen target dan
menghasilkan efek androgenik.
 Fungsi Hormon Androgen
Androgen berfungsi sebagai hormon parakrin
yang dibutuhkan sel sertoli untuk
mendukung produksi sperma. Peran lainnya
adalah maskulinisasi pada janin laki-laki yang
sedang berkembang. Di bawah pengaruh
androgen, duktus Wolffi berkembang menjadi
epididimis, vas deferens, dan vesikula
seminalis
 Latar Belakang
 Sindrom feminisasi testikular adalah salah
satu bentuk pseudohemafroditisme.
Kelaianan ini terjadi pada 1 di antara 20.000
– 64.000 laki – laki yang dilahirkan. Individu
yang terkena berkaryotip 46me. Kelaianan ini
terjadi pada 1 di antara 20.000 – 64.000 laki
– laki yang dilahirkan. Individu yang terkena
berkaryotip 46, dengan genitalia eksterna
perempuan. Akibatnya sebagian besar kasus
luput dari deteksi selama periode neonatus
 Tujuan
 Secara umum laporan ini disusun guna
memenuhi nilai assignment blok 5.3 dan
guna menambah wawasan baik bagi diri
pribadi penulis ataupun bagi pembaca.
 Sedangkan tujuan khususnya adalah untuk
mengetahui gambaran penyakit sindroma
feminisasi testikuler dan menentukan terapi
yang tepat
Definisi
Sindroma feminisasi testikularis, yang disebut juga
Androgen Insensitivity Syndrome (AIS) merupakan
suatu kondisi yang menyebabkan ketidakmampuan
dari sel untuk merespon androgen, baik secara
lengkap ataupun parsial. Ketidakpekaan sel terhadap
hormon androgenik dapat mengganggu atau
mencegah maskulinisasi alat kelamin laki-laki pada
janin yang sedang berkembang, serta perkembangan
karakteristik seksual sekunder pada masa pubertas.
Dengan demikian, ketidakpekaan androgen secara
klinis hanya terjadi pada laki-laki secara genetik. [1]
Insidensi penyakit ini antara 1:20000 hingga
1:64000.[3]
Etiologi
Sindroma Feminisasi Testikuler disebabkan oleh berbagai
cacat genetik pada kromosom X yang membuat tubuh
tidak mampu merespon hormon yang bertanggung jawab
untuk munculnya organ laki-laki. Mutasi yang terjadi pada
gen reseptor androgen yang terdiri dari 8exon, berlokasi
pada kromosom X dekat sentromer Xq13 dan Xp 11.[2,3,7]
Kekurangan dan gangguan fungsi reseptor
menyebabkangejala klinik yang dapat di bedakan atas 4
tipe:
 Sindrom Feminisasi komplit
 Sindrom Feminisasi inkomplit
 Sindrom Reifenstein
 Sindrom infertilitas laki-laki
Kerusakan pada Kromosom Xq13 dan Xp 11
 Epidemiologi
 Sindroma feminisasi testikular yang dilaporkan pertama
kali oleh Steglehner pada tahun 1817, Kemudian dilanjut
oleh Golddberg dan Maxwell pada tahun 1948, merupakan
suatu hipogonadisme dengan amenorea primer
 Data terbaik yang tersedia menunjukkan kejadian sindrom
ini sekitar 1 kasus per 20.400 laki-laki lahir hidup.
Statistik ini didasarkan pada analisis dari registri pasien
asal Denmark yang mencakup hanya kasus dirawat di
rumah sakit, dengan demikian, kejadian sebenarnya dari
sindrom insensitivitas androgen mungkin lebih tinggi.
Lengkapi sindrom insensitivitas androgen muncul lebih
umum daripada sindrom insensitivitas androgen parsial,
meskipun angka yang tepat tidak tersedia.
 Di Indonesia sendiri, kasus ini sangat jarang ditemukan
 Patofisiologi
 Resistensi androgen pada embriogenesis mencegah
maskulinisasi dari genitalia eksterna dan diferensiasi
duktus Wolffi. Sekresi hormon anti-Mullerian oleh
sel-sel Seroli janin menyebabkan regresi duktus
Mulleri. Jadi, pasien yang terserang akan lahir dengan
genitalia eksterna wanita dan dengan suatu kantung
vagina yang buntu. Pada pubertas, resistensi
androgen berakibat peningkatan sekresi LH yang
diikuti peningkatan kadar testosteron dan estradiol.
Resistensi androgen yang dibarengi peningkatan
sekresi estradiol menyebabkan perkembangan ciri-
ciri seksual sekunder wanita pubertas.
 Gen reseptor androgen telah diketahui lokasinya pada
kromosom X di antara Xq11 dan Xq13. Gen ini terdiri dari
depalan eksos, A-H. Testis penderita dewasa yang terkena
menghasilkan kadar testosteron dan DHT laki-laki
normal. Tidak adanya perubahan pada genitalia interna
disebabkan hormon AMH tetap disekresi oleh testis
sehingga duktus Wolffi tetap berkembang dan duktus
Mulleri mengalami reegresi. Kegagalan diferensiasi laki-
laki normal selama kehidupan janin menggambarkan
respons yang kurang sempurna terhadap androgen pada
saat itu, tetapi tidak adanya duktus Mullerian
menunjukkan produksi MIS normal. Tidak adanya
pengaruh androgenik disebabkan oleh tahanan yang kuat
terhadap kerja testosteron endogen atau eksogen pada
tingkat seluler.[3][5
Duktus
Mulleri Regre
si
Sel AM
sertoli H  Vas
SRY (+) Duktus Deferen
Testis Wolffi  Vesika
P XY 5α-reduktase Seminalis
 Epididimis

A tern
Gonad
Sel ledig Testosteron

Genitalia
T Bipotensial
DHT Eksterna

O XX
 Penis

F Duktus
Wolfii
Regresi 

Scrotum
Uretra

I Duktus  Uterus
Prostat

Mulleri  Tuba
S fallopi
 Vagina
Ovarium
I SRY (-) proksimal

O Genitalia  Klitoris
Eksterna  Labia
L  Vagina
O distal
 Uretra
G
I
 Gejala Klinis[3,5,9,10]
 Memiliki genitalia eksterna perempuan ,baik yang
berbentuk normal maupun abnormal
 Memiliki genitalia interna yang tidak lengkap
 Lubang vagina tampak dangkal,pembesaran
klitoris
 Terjadi perkembangan sex sekunder kearah
wanita
 Ammenorhea
 Ditemukannya testis di daerah inguinal,labia
maupun abdomen
 Rambut pubis dan aksila tumbuh dengan tipis,
bahkan hamper tidak ada
 Diagnosis
1. Anamnesis dan Pemeriksaan Klinis
 Anamnesis dilakukan untuk meperoleh informasi tentang kelainan yang dicurgai
penderita. Anak prapubertas dengan kelainan ini sering terdeteksi ketika massa
inguinal terbukti berupa testis atau bila testis secara tidak terduga ditemukan
selama herniorrhafi pada fenotip wanita. Pada bayi, peningkatan kadar
gonadotropin akan menunjukkan diagnosis. Pada orang dewasa, amenorrhea
merupakan gejala yang biasa ada.[5]
2. Pemeriksaan Hormonal, dan Histologi
 Kecurigaan adanya CAIS secara klinis adalah tidak adanya organ Mulleri, kadar
serum testosteron normal untuk usia pada perempuan pada kariotipe 46,XY. Rasio
testosteron terhadap androstenedion yang normal setelah uji hCG meningkatkan
probabilitas CAIS. Biopsi testis yang memperlihatkan jaringan normal sudah cukup
memadai untuk menegakkan diagnosis CAIS.[3]
3. Pemeriksaan Molekular
 Hampir 86% dari penderita CAIS yang sudah tegak diagnosis klinisnya
memperlihatkan mutasi pada reseptor androgen. Pada penderita PAIS hanya 28%
yang menunjukkan hal tersebut.[3]
4. Adanya riwayat keluarga
 Kelainannya mengikuti pewarisan resesif terkait kromosom X.[5]
Pemeriksaan Penunjang[7,9]
 Pemeriksaan kadar testosteron
 Pemeriksaan kadar FSH
 Pemeriksaan USG ( Ultrasonografi)
 Pemeriksaan kariotipe
 Pemeriksaan molekuler
Penatalaksanaan[4,6,8,9,10]
1. Penggantian Hormon estrogen dan Terapi
Androgen
 Biasanya di berikan pada masa puberitas saat
pertumbuhan, sehingga dengan terapi ini
dapat meningkatkan produksi hormon
androgennya.
2. Metode untuk memperbaiki rusak protein
reseptor androgen yang dihasilkan dari
mutasi gen AR saat ini tidak tersedia
 Kapasitas virilisasi dapat dinilai dengan
mengukur respon terhadap androgen eksogen
percobaan, beberapa studi telah mengukur
pertumbuhan lingga dalam menanggapi
testosteron eksogen atau dihidrotestosteron,
sementara yang lain telah mengukur perubahan
dalam hormon seks yang mengikat globulin
(SHBG) dalam menanggapi stanozolol androgen
buatan untuk menilai sensitivitas androgen.
Beberapa ahli telah memperingatkan bahwa hal
itu masih harus membuktikan bahwa respon
yang baik terhadap androgen eksogen pada
neonatus adalah prediktor yang baik respon
androgen pada masa pubertas.
3. operasi (gonadectomy)
4. konseling
Komplikasi[6]
 Jika tidak segera dioperasi, maka testis yang
tersembunyi memiliki resiko besar untuk
mengalami keganasan seperti kanker testis,
kemandulan, dan masalah psikososial yang
kompleks.
 Dapat terjadi hernia inguinalis
 Tumor maligna, seminoma, yang biasanya
berkembang pada umur 50 tahun
 Hernia inguinalis
 Kanker prostat dan payudara
Prognosis[2]
 Kondisi psikologis yang sangat ditantang
pada kelainan ini karena kemungkinan
penderita akan mengalami kelainan fungsi
seksual dan infertilitas. Akan tetapi dengan
pengobatan medis dan psikologis, wanita
denngan CAIS dapat luas dengan fungsi
seksualnya. Pada penderita PAIS terdapat
kemungkinan kelainan perilaku seperti
homoseksualitas.
Kesimpulan
 Sindrom Feminisasi Testikuler adalah suatu kondisi yang mempengaruhi
perkembangan seksual sebelum kelahiran dan selama pubertas. Orang
dengan kondisi ini secara genetik laki-laki, dengan satu kromosom X
dan satu kromosom Y dalam setiap sel. Karena tubuh mereka tidak
mampu untuk merespon tertentu hormon seks pria (androgen), mereka
mungkin memiliki sebagian besar karakteristik seks perempuan atau
tanda-tanda perkembangan seksual baik pria dan wanita.
 Sindroma Feminisasi Testikuler disebabkan oleh berbagai cacat genetik
pada kromosom X yang membuat tubuh tidak mampu merespon
hormon yang bertanggung jawab untuk munculnya organ laki-laki.
Mutasi yang terjadi pada gen reseptor androgen yang terdiri dari 8exon,
berlokasi pada kromosom X dekat sentromer Xq13 dan Xp 11.
 Penegakan diagnosis dari penyakit ini biasanya dengan anamnesis dan
juga beberapa pemeriksaan fisik seperti gejala-gejal yang
khas.Penelitian dari beberapa jurnal menyebutkan beberapa cara atau
menajement dari sindrom feminisasi testikuler ini yaitu terapi androgen,
memperbaiki reseptor androgen, dan operasi serta terapi dari
psikologis.
1. Guyton, Arthur C. dan John E. Hall. 2008. Fungsi Reproduksi dan Hormonal Pria (dan Funsi
Kelenjar Pineal) dalam Buku Ajar Fisiologi Kedokteran, Edisi 11. Jakarta: EGC
2. Johan HD. Ginekologi Grenhill. 10th Ed. Editor Petrus A. Penerbit Buku Kedokteran EGC.
Jakarta.
3. Tridjaja, Bambang dan Ananis S. Marzuki. 2010. Disorders of Sex Development dalam Buku
Ajar Endokrinologi Anak, Edisi 1. Jakarta: Badan Penerbit IDAI
4. Batubara, J. 2010. Buku Ajar Endokrinologi Anak.Jakarta: Ikatan Dokter Anak Indonesia
5. DiGeorge, Angelo M. 2006. Pseudohermafrodisme Laki-Laki dalam Nelson Ilmu Kesehatan
Anak, Edisi 15 Vol. 3. Jakarta: EGC
6. Harry J. Hirsch dkk. 2009. Primary Testicular Dysfunction Is a Major Contributor to
Abnormal Pubertal Development in Males with Prader-Willi Syndrome.di unduh dari
jcem.endojournals.org pada tanggal 24 November 2015.
7. Bertrand Isidor dkk. 2009. Familial Frameshift SRY Mutation Inherited from a Mosaic Father
with Testicular Dysgenesis Syndrom. di unduh dari jcem.endojournals.org pada tanggal 24
November 2015.
8. Arlt, Wiebke. 2006. Androgen therapy in women.di unduh dari European Journal of
Endocrinology pada tanggal 24 November 2015.
9. Simanainen, Ulla.2009. Androgen sensitivity of prostate epithelium is enhanced by
postnatal androgen receptor inactivation. di unduh dari ajpendo.physiology.org pada
tanggal 24 November 2015.
10. Gordon M, Catherine. 2010. Funcitional Hypotalamic amnorrhea. diunduh dari NEJM.org
pada tanggal 24 November 2015.

Anda mungkin juga menyukai