Anda di halaman 1dari 69

SMF/BAGIAN SARAF REFERAT

FAKULTAS KEDOKTERAN 28 Maret 2019


UNIVERSITAS NUSA CENDANA

Oleh :
Yolanda Yasinta Ina Tuto, S.Ked
1508010035

Pembimbing :
dr. Candida Isabel L. Sam, Sp. S
Infeksi susunan sistem saraf adalah invasi dan multiplikasi
mikro-organisme di dalam susunan saraf

 Infeksi Bakteri
 Infeksi Viral
 Infeksi Parasit
 Infeksi Fungal
3. Infeksi Parasit
1. Infeksi Bakteri
- toxoplasmosis
- meningitis 2. Infeksi Virus
otak 4. Infeksi Fungi
bacterial akut, - Rabies
- malaria - Meningitis
- meningitis - ensefalitis virus
cerebral Kriptokokus
tuberkulosa - meningitis virus
- neurosistiserko
- abses serebri
sis
 Infeksi meningitis (infeksi pada meningen) yang terjadi dalam waktu
kurang dari 3 hari dan disebabkan oleh bakteri.
 Penyebab paling sering: Neisseria meningitides (meningokokus),
Streptococcus pneumonia (pneumokokus), dan Haemophylus
influenza.
 Meningitis bakterial akut merupakan keadaan darurat neurologi
Anamnesis Pemeriksaan Fisik Penunjang
- Demam, nyeri kepala, dan - Meningeal sign (+): kaku - Darah Lengkap
fotophobia, penurunan kuduk, kernig, brudzinsky - Cairan Serebrospinal
kesadaran, kejang, dan - Papil edema - CT-Scan
hemiparesis. - Hemiparesis atau defisit - Kultur darah
- stadium lanjut: nyeri kepala neurologis yang lain
berat, muntah, kejang, dan Pemeriksaan Lumbal Pungsi:
papiledema. 1. Jumlah sel meningkat,
- Diawali ISPA (demam dan dapat mencapai puluhan
keluhan pernapasan), ribu, dominan PMN
kemudian diikuti gejala- 2. Kadar glukosa CSS rendah,
gejala sistem saraf pusat <30% dari kadar GDS
seperti nyeri kepala dan (<40mg/dl)
kaku kuduk yang nyata. 3. Peningkatan protein
(>200mg/dl)
Parameter css Tipe Meningitis

bakteri Partially treated viral


Jumlah leukosit Bisa ribuan > 60% PMN Tinggi predominansi 50-500 sel/ ul
MN Predominan MN

Glukosa < 40 mg/dl atau < 40 mg/dl atau > 40 mg/dL


< 30% Dari GDS < 30% Dari GDS

Protein > 200 mg/dL > 200 mg/dL < 100 mg/dL
Hasil positif pada 80% 60% Tidak ada
Pewarnaan gram

Hasil positif pada >90% 65% Tidak ada


Kultur bakteri
 Terapi empirik sesuai dengan usia
 Sesuaikan antibiotik segera setelah ada hasil kultur
 Dexametason injeksi 0.15 mg/kg BB setiap 6 jam selama 2-4 hari sebelum atau saat pemberian
antibiotik
 Pemberian antipiretika (paracetamol, metamizole) sesuai dengan kebutuhan penderita
 Sedative bila pasien gelisah dengan clobazam 2x10 mg
 Bila TIK meningkat: manitol 20%, dosis awal 1-1,5 g/kg selama 20 menit, dilanjutkan dosis 0,25-0,5
g/kg setiap 4-6 jam
Pasien Bakteri penyebab yang sering Antibiotik
Neonatus Streptokokus grup B, Listeria Ampisilin + cefotaxime
monocytogenes, E. coli
2 bulan – 18 tahun N. meningitidis, S. pneumonia, H. Seftriakson 100mg/kg/hari IV atau IM max 2g sehari
influenza (anak) atau 2g IV atau IM max 4g sehari (dewasa) +
Sefotaksim 200mg/kgBB/hari IV (anak) atau 2
gram/hari max 12g sehari + dapat ditambah
vancomisin 60mg/kgBB/hari (anak) atau 1g/12 jam IV
(dewasa)
18 – 50 tahun S. pneumoniae, N. meningitidis Seftriakson 100mg/kg/hari IV atau IM max 2g sehari
(anak) atau 2g IV atau IM max 4g sehari (dewasa) +
dapat ditambah vancomisin 60mg/kgBB/hari (anak)
atau 1g/12 jam IV (dewasa)
>50 tahun S. pneumonia, L. monocytogenes, Vancomisin 60mg/kgBB/hari (anak) atau 1g IV/12 jam
bakteri gram negatif (dewasa) + ampicillin 200-400mg/kgBB/hari IV (anak)
atau 2g/4 jam (dewasa) max 12g/hari + Seftriakson
100mg/kg/hari IV atau IM max 2g sehari (anak) atau
2g IV atau IM max 4g sehari (dewasa)
Komplikasi Prognosis

 Komplikasi segera: edema otak, Prognosis tergantung pada kecepatan


hidrosefalus, vaskulitis, thrombosis sinus mendiagnosa dan memberikan terapi,
otak, abses/efusi subdural, gangguan dengan pemberian antibiotic yang tepat
pendengaran penyakit ini pada umumnya dapat diatasi
 Komplikasi jangka panjang: gangguan walaupun seringkali kematian disebabkan
pertumbuhan dan perkembangan pada oleh hebatnya respon imunologi pasien.
pasien anak, epilepsi
 Radang selaput otak, terjadi sbg komplikasi tuberculosis primer,
umumnya disebabkan oleh Mycobacterium tuberculosis jenis
Hominis
Anamnesis Pemeriksaan Fisik Penunjang
- Stadium I (awal): gejala - Meningeal sign (+): kaku - Lab rutin: tidak khas, bisa
prodromal non spesifik kuduk, kernig, brudzinsky ditemui leukosit meningkat,
yaitu apatis, iritabilitas, - Papil edema normal, atau rendah
- CSS: tekanan meningkat, warna
nyeri kepala ringan, - Hemiparesis atau defisit
jernih atau xanthokrom, protein
malaise, demam, anoreksia, neurologis yang lain meningkat 150-200mg/dl,
muntah, nyeri abdomen penurunan glukosa, jumlah sel
- Stadium II (intermediate): meningkat biasanya tidak
perubahan mental, tanda melebihi 300cel/mm3 dan
iritasi meningen, dominan PMN.
kelumpuhan saraf kranial - Mikrobiologi : ditemukan
- Stadium III (lanjut): Mycobacterium tuberculosis
pada kultur cairan
penurunan kesadaran,
serebrospinal
kejang, gerakan involunter, - Foto rontgen thoraks :
hemiparese tuberculosis aktif pada paru
- CT Scan dan MRI : ditemukan
penebalan meningen di daerah
basal, infark, hidrosefalus, lesi
granulomatosa.
Nama Obat Dosis Efek Samping
Isoniazid (INH) 10-20mg/kgBB/hari (anak) Neuropati, gejala psikis
400mg/hari (dewasa)
Rifampicin 10-20mg/kgBB/hari (anak) Neuritis optika, muntah, kelainan
600mg/hari single dose (dewasa) darah perifer, gangguan hepar, flu-
like symptoms

Etambutol 25mg/kgBB/hari-150mg/hari Neuritis optika

Para-amino salicilyc acid 200mg/kgBB/hari dibagi 3 dosis, maksimal 12g/hari Gangguan nafsu makan
(PAS)
Streptomisin 30-50mg/kgBB/hari diberikan 2 kali seminggu selama 2-3 Ototoksik
bulan sampai CSS normal intra muskuler

Prednison 2-3mg/kgBB/hari terbagi dalam 3 dosis selama 2-4 minggu


kemudian diteruskan dengan dosis 1mg/kgBB/hari selama 1-2
minggu

Deksametason 10mg intravena setiap 4-6 jam, diturunkan secara bertahap


sampai 4mg intavena setiap 6 jam.
Komplikasi Prognosis

 hemiparesis spastik, ataksia, parese Prognosis ditentukan oleh stadiumnya,


nervus kranialis yang permanen, kejang, makin lanjut maka prognosa makin jelek.
atrofi nervus optikus, penurunan visus, dan
kebutaan.
 Infeksi intra serebral fokal yang dimulai sebagai serebritis yang lokalisatorik
dan berkembang menjadi kumpulan pus yang dikelilingi oleh kapsul.
 Etiologinya bermacam-macam, meliputi:
 Bakteri (yang sering) : Staphylococcus aureus, Streptococcus anaerob, Streptococcus β
hemolitikus, Streptococcus α hemoliticus, E. coli, Bacteroides
 Jamur : N. asteroids, Candida, Aspergillus, Actinomycetes
 Parasit : E. histolitika, cystisercosis, schistosomiasis
Mekanisme kuman masuk ke dalam otak melalui beberapa cara:
 Perluasan langsung dari kontak focus infeksi: berasal dari sinus,
gigi, telinga tengah, atau mastoid.
 Hematogen: berasal dari focus infeksi jauh seperti endocarditis
bacterial, infeksi primer paru dan pleura.
 Setelah trauma kepala atau tindakan bedah saraf yang mengenai
dura dan leptomening
 Kriptogenik: tidak ditemukan jelas sumber infeksinya
Anamnesis Penunjang

- Sistemik: demam subfebril - Laboratorium: leukositosis PMN,


- Serebral umum (sering dikaitkan peningkatan LED, kultur darah, pungsi
dengan peningkatan TIK): nyeri kepala lumbal tidak dianjurkan.
kronik progresif, mual, muntah, - Imaging: CT Scan dengan atau tanpa
penurunan kesadaran, papil edema kontras akan didapatkan lesi hipodens
- Serebral fokal: kejang, perubahan batas irregular pada fase serebritis dan
status mental, deficit neurologis fokal akan didapatkan “ring
(motoric, sensorik, nervus kranial) enhancement”setelah terbentuk kapsul
- Ditemukan focus seperti otitis media, tebal; MRI lebih sensitive, terutama pada
sinusitis, endocarditis, pneumonia, fase awal.
selulitis - Penunjang lain: abnormalitas EEG di
lokasi lesi berupa gelombang lambat
kontinu
Bedah Drainase Medikamentosa tanpa operatif
Indikasi:
Indikasi:
 Lesi dengan diameter >2,5 cm
 Abses tunggal, ukuran <2cm
 Terdapat efek masa yang signifikan  Abses multiple atau yang lokasinya
 Lesi dekat dengan ventrikel sulit dijangkau
 Kondisi neurologi memburuk  Keadaan kritis, pada stadium akhir

 Setelah terapi 2 minggu abses


membesar atau setelah 4 minggu
ukuran abses tak mengecil
Pemilihan antibiotika empiric sebagai pengobatan first line abses serebri didasarkan atas sumber infeksi:
 Perluasan langsung dari sinus, gigi, telinga tengah: Penicillin G + metronidazole + sefalosporin
generasi III
 hematogen atau trauma penetrasi kepala: Nafcillin + metronidazole + sefalosporin generasi III

 Pos operasi: Vancomisin + seftasidim atau sefisim

 Tidak ditemukan factor predisposisi: metronidazole + vancomisin + sefalosporin generasi III

Nama Obat Dewasa Anak

Ceftriaxone 1-2 x 2g iv (max 4g) 2 x 100mg/kgbb/hari

Cefepime 2-3 x 2 g 3 x 50mg/kgbb

Meropenem 3 x 1-2 g 3 x 40mg/kgbb

Cefotaxime 3-4 x 2g 3 x 200mg/kgbb/hari

Metronidazole 4 x 500mg 30 mg/kgbb/hari

Penisilin G 4 x 6 juta unit 4 x 500-900 unit

Vancomisin 2 x 1g 4 x 60mg/kgbb/hari
Komplikasi Prognosis

 Herniasi akibat kenaikan TIK  Prognosis baik ditentukan oleh: usia


 Abses rupture ke dalam ventrikel atau muda, tidak dijumpai defek banding atau
lapisan subarachnoid penurunan kesadaran pada awal penyakit,
 Sekuele neurologis jangka lama seperti tak dijumpai penyakit komorbid
hemiparesis, kejang  Prognosis buruk bila dijumpai: tanda
herniasi pada awal penyakit, perluasan
 Abses berulang
lesi pada pemeriksaan radiologi, tindakan
bedah terlambat.
 Infeksi akut sistem saraf pusat yang disebabkan oleh virus rabies yang termasuk genus
Lyssa-virus, family Rhabdoviridae
 Menginfeksi manusia melalui gigitan hewan yang terinfeksi (anjing, monyet, kucing, serigala,
kelelawar).
Diagnosa ditegakkan dengan adanya riwayat gigitan HPR dengan manifestasi neurologi
yang khas
 Stadium prodromal : demam, malaise, mual, nyeri di tenggorokan selama beberapa hari.

 Stadium sensoris: nyeri, panas disertai kesemutan pada tempat bekas luka , gejala cemas,
reaksi yang berlebihan terhadap rangsang sensoris.
 Stadium eksitasi: tonus otot dan aktivitas simpatis meninggi, hiperhidrosis, hipersalivasi,
hiperlakrimasi, dan pupil dilatasi. KHAS: muncul macam-macam fobia seperti hidrofobia.
Kontraksi otot faring dan otot pernapasan dapat ditimbulkan oleh rangsangan sensoris
misalnya dengan meniupkan udara ke muka penderita. Pada stadium ini dapat terjadi apneu,
sianosis, konvulsan, dan takikardia. Gejala eksitasi terus berlangsung sampai pasien
meninggal.
 Stadium paralisis: sebagian besar penderita rabies meninggal dalam stadium sebelumnya,
namun kadang ditemukan pasien yang tidak menunjukkan gejala eksitasi melainkan paresis
otot yang terjadi secara progresif karena gangguan pada medulla spinalis.
 Isolasi pasien: menghindari rangsangan yg menimbulkan spasme otot, untuk mencegah penularan.
 Fase awal: Cuci luka gigitan dengan air sabun (detergen) 10-15 menit kemudian dibilas dengan air bersih,
diberikan desinfektan seperti alkohol 40-70%. Jika terkena selaput lendir seperti mata, hidung atau mulut,
maka cucilah kawasan tersebut dengan air lebih lama; pencegahan dilakukan dengan pembersihan luka
dan vaksinasi. Luka tidak boleh dijahit, kecuali jahitan situasi. Golden period cuci luka 12 jam, namun tetap
dilakukan meski terlambat.
 Fase lanjut: penanganan hanya berupa tindakan suportif dalam penanganan gagal jantung dan gagal nafas.
 Terapi setelah terpapar virus rabies: memberikan VAR saja atau dengan SAR. VAR diberikan bila ada gigitan
dengan luka yang tidak berbahaya (jilatan, ekskoriasi, lecet) disekitar tangan atau kaki. VAR dan SAR
diberikan bila luka berbahaya, terdapat jilatan atau luka pada mukosa, luka pada bagian tubuh diatas bahu
(muka, kepala, leher), luka pada daerah lengan, tungkai, genitalia, luka dalam atau luka yang banyak.
 Pemberian VAR dikenal sebagai post-exposure prophylaxis. VAR 0,5ml IM di otot deltoid atau anterolateral
paha pada hari 0, 7, 21. Khusus hari 1 kunjungan (hari ke-0) diberikan 2 dosis @0,5ml di deltoid kanan
dan kiri. Pada orang yang sudah mendapat vaksin rabies 5 tahun terakhir, bila digigit binatang tersangka
rabies, vaksin cukup diberikan 2 dosis pada hari 0 dan 3, namun bila gigitan berat vaksin diberikan
lengkap.
 Pemberian SAR. Bila serum heterolog (berasal dari serum kuda) dosis 40 IU/kgBB disuntikkan infiltrasi pada
luka sebanyak-banyaknya, sisanya disuntikkan secara IM. Skin test perlu dilakukan terlebih dahulu. Bila
serum homolog (berasal dari serum manusia) dengan dosis 20 IU/ kgBB, dengan cara yang sama.
Komplikasi Prognosis

 Gagal Jantung  Prognosis pada umumnya dapat buruk


 Gagal Napas
karena kematian dapat mencapai
100% apabila virus rabies mencapai
system saraf pusat.
 Prognosis selalu fatal karena sekali
gejala rabies terlihat, hampir selalu
kematian terjadi dalam 2-3 hari
sesudahnya sebagai akibat gagal
napas atau henti jantung.
 Jika dilakukan perawatan awal setelah
digigit hewan pengidap rabies, seperti
pencucian luka dan pemberian
VAR/SAR maka angka survival dapat
mencapai 100%.
 Inflamasi akut pada jaringan otak yang disebabkan karena virus.
 Proses peradangan ini jarang terbatas pada otak saja, tetapi hampir selalu mengenai
selaput otak (meningoensefalitis).
 Virus penyebab: virus herpes simpleks (HSV), arbovirus, dan enterovirus
Terdapat dua mekanisme:
 Virus menginvasi tubuh secara perlahan. Tidak ada gejala khas yang timbul.
Virus dibawa melalui aliran darah menuju sel saraf otak, selanjutnya akan
berkumpul dan menggandakan diri. Virus yang memasuki otak dalam hal ini
biasanya menyebar secara luas ke dalam otak, disebut ensefalitis difusa.
 Virus yang menginfeksi jaringan lain dahulu lalu menginvasi sel otak,
biasanya menyebabkan infeksi fokal. Infeksi fokal tersebut akan
mengakibatkan kerusakan berat hanya pada area kecil di otak.
 Gejala fase akut: demam, nyeri kepala, dan perubahan tingkat kesadaran.
Tanda lainnya yaitu fotofobia, bingung, dan kadang disertai kejang.
Beberapa virus dapat berefek pada beberapa area spesifik otak, termasuk
gangguan berbicara, pergerakan, dan perubahan tingkah laku
 Kriteria Diagnosis: Memenuhi kriteria anamnesis (demam, nyeri kepala,
perubahan kesadaran, travelling dari daerah endemis, malaise, flu like
syndrome, fotofobia, kadang disertai kejang) dan pemeriksaan fisik serta
didukung oleh hasil neuroimaging dan lumbal pungsi.
Obat antiviral untuk penyebab spesifik:
Organisme Antimikroba dan dosisnya

Herpes simpleks

- Sensitive terhadap Asiklovir 10mg/kg setiap 8 jam


asiklovir selama 3 minggu

- Resisten terhadap Foscarnet 60mg/kg setiap 8 jam Terapi tambahan (simptomatik):


asiklovir selama 3 minggu  Antikejang jika pasien kejang
 Sedative dapat diberikan untuk
Varisella zoster Asiklovir 10mg/kg setiap 8 jam
iritabilitas dan jika gelisah
selama minimum 2 minggu
 Antinyeri untuk demam dan
Epstein Barr Asiklovir 10mg/kg setiap 8 jam nyeri kepala
Prognosis

 Ensefalitis dapat mengakibatkan kematian ataupun


kerusakan otak permanen. Jika dibiarkan tidak terobati,
70% pasien mengalami kematian.
 Sebagian pasien yang mendapatkan terapi antiviral
dapat bertahan hidup, dan sebagiannya mengalami
kerusakan otak permanen.
 Pengobatan awal memberikan perbaikan yang lebih
baik
 Inflamasi pada meningen yang disebabkan karena virus, tidak mengimplikasikan terlibatnya
parenkim otak dan medulla spinalis.
 Virus-virus penyebab: enterovirus (paling sering), arbovirus, herpes (HSV-1, HSV-2, VZV,
EBV, CMZ), adenovirus, morbili virus
 Virus bereplikasi pada system organ awal (respiratory atau gastrointestinal
mucosa) dan mencapai akses ke pembuluh darah.
 Viremia primer memperkenalkan virus ke organ retikuloendotelial (hati,
spleen dan nodus lymph) jika replikasinya timbul disamping pertahanan
imunologis, viremia sekunder dapat timbul, bertanggung jawab dalam
infeksi system saraf pusat.
 Virus dapat melewati BBB secara langsung pada level endotel kapiler atau
melalui defek natural (area posttrauma dan tempat lain yang kurang BBB).
 Gejala awal: demam, sakit kepala, nausea, muntah, kaku leher, atau kelelahan
dalam 18-36 jam sebelumnya.
 Nyeri kepala hampir selalu ada dan intensitas berat.
 Riwayat demam dengan derajat rendah pada tahap prodromal dan kenaikan
temperature yang lebih tinggi pada saat terdapat tanda neurologis.
 Beberapa virus bermanifestasi sebagai prodromal viral nonspesifik, seperti mialgia,
gejala seperti flu, dan demam derajat rendah yang timbul selama gejala neurologis
sekitar 48 jam.
 Riwayat infeksi: faringitis pada infeksi enteroviral, manifestasi kulit seperti erupsi
zoster pada VZV, ruam maculopapular dari campak dan enterovirus, erupsi vesicular
oleh herpes simpleks, dan herpangina pada infeksi coxsackie virus. Infeksi Epstein
Bar virus didukung oleh faringitis, limfadenopati, sementara kebanyakan infeksi
enteroviral dikaitkan dengan gastroenteritis dan ruam.
 Suportif: istirahat, hidrasi, antipiretik, antiemetic, dan medikasi nyeri atau anti inflamasi
dapat diberikan jika diperlukan.
 Karena sulit menemukan penyebab ensefalitis dan pentingnya penanganan yang cepat,
maka panduan klinis merekomendasikan pemberian obat antiviral asiklovir intravena
secapatnya tanpa menunggu penentuan penyebab penyakit, dengan dosis yang
diberikan adalah 30mg/kgbb tiap 8 jam selama 10-14 hari.
Prognosis

 Penderita dengan penurunan kesadaran memiliki resiko


tinggi mendapatkan sekuele atau risiko kematian.
 Adanya kejang dalam suatu episode meningitis
merupakan faktor resiko adanya sekuele neurologis
atau mortalitas
 Infeksi yang disebabkan oleh Toxoplasma gondii dan mengenai jaringan
otak.
 Toxoplasma gondii masuk ke tubuh manusia melalui makanan yang terkontaminasi
tinja kucing yang terinfeksi atau melalui ookis yang mengontaminasi makanan
 Di usus, dinding kista dirusak oleh enzim pencernaan dan melepaskan sporozoit
yang akan membentuk tachyzoit dan bradyzoit.
 Dari dalam usus, parasite akan menyebar ke berbagai organ, terutama ke jaringan
limfe, otot skelet, miokardium, retina, sistem saraf pusat.
 Menginfeksi sel dan bereplikasi, mengakibatkan kematian sel, serta terjadinya
nekrosis fokal yang dikelilingi dengan inflamasi di sekitarnya.
 Kerusakan pada system saraf pusat yang disebabkan Toxoplasma gondii
memberikan gambaran yang khas: lesi yang banyak/multiple dengan nekrosis luas
dan nodul mikroglia. Area nekrotik ini dapat mengalami kalsifikasi dan memberikan
gambaran radiologis yang nyata, tetapi tidak khas untuk infeksi Toxoplasma gondii.
 Diagnosis didasarkan pada gejala klinis, pemeriksaan antibody IgG terhadap
Toxoplasma gondii , dan pemeriksaan radiologi yang menunjang
 Gejala klinis: gangguan status mental, demam terus-menerus atau hilang timbul,
sakit kepala, deficit neurologis fokal, gelisah, sampai terjadi penurunan kesadaran,
kadang didapatkan kejang, gangguan penglihatan, tanda iritasi selaput otak.
Terjadinya deficit neurologis fokal adalah akibat adanya lesi massa intracranial,
seperti hemiparese, afasia, parese nervus kranialis, kejang fokal, deficit sensoris.
 Diagnosis dapat pula didasarkan adanya respon klinis pengobatan terhadap
toxoplasma.
 Pemeriksaan radiologis yang dianjurkan adalah CT-Scan dengan kontras atau MRI.
Pada pemeriksaan CT-Scan, didapatkan gambaran isodens atau hipodens area di
beberapa tempat dengan predileksi pada basal ganglia disertai edema yang
memberikan efek massa.
 Terapi diberikan minimal 6 bulan: fase akut selama 4-6 bulan minggu dan fase
perawatan. Pemberian terapi kortikosteroid sebagai terapi tambahan untuk mengatasi
edema, sebaiknya hanya diberikan untuk jangka pendek, agar tidak mengurangi
imunitas pasien.
 Fase akut: pyrimethamine dosis awal 200mg per oral, dilanjutkan dengan dosis 75-
100mg/hari + sulfadiazine 1-1,5g tiap 6 jam atau 100mg/kg/hari (dosis maksimun
8g/hari) + asam folat 10-20mg/hari. Pada penderita yang mempunyai alergi terhadap
sulfa maka digantikan dengan clindamysin 600-1200mg tiap 6 jam.
 Fase perawatan: pyrimethamine 25-50mg/hari + sulfadiazine 4x500-1000mg + asam
folat. Apabila ada alergi terhadap sulfa maka diganti clindamysin 1200mg diberikan 3
kali per hari.
Komplikasi Prognosis

 Kejang  Pada umumnya ensefalitis


 deficit neurologis fokal toksoplasma dapat diterapi dengan
 penurunan kesadaran baik, sehingga prognosisnya baik.
 Angka kematian berkisar 1-25%
pada penderita yang mendapatkan
penanganan dengan baik
Ensefalopati akut yang menurut WHO memenuhi 3 kriteria:
 koma yang tidak dapat dibangunkan atau koma yang menetap >30 menit
setelah serangan kejang,
 adanya P.falsifarum yang dapat ditunjukkan,

 penyebab lain dari ensefalopati telah disingkirkan


 Eritrosit yang mengandung parasite (EP) muda (bentuk cincin) bersikulasi
dalam darah perifer, sedangkan EP matang menghilang dalam sirkulasi dan
terlokalisasi dalam pembuluh darah organ disebut sekuester.
 Eritrosit matang dapat melengket pada sel endotel vascular membentuk
sitoadherens.
 Kira-kira sepuluh atau lebih eritrosit yang tidak terinfeksi menyelubungi 1 EP
matang membentuk roset.
 Adanya sitoadherens, roset, sekuester dalam organ otak dan menurunnya
deformabilitas EP menyebabkan obstruksi mikrosirkulasi akibatnya hipoksia
jaringan
Kriteria diagnosis malaria cerebral:
 Penderita berasal dari daerah endemis atau berada di daerah endemis

 Demam atau riwayat demam yang tinggi

 Adanya manifestasi serebral berupa penurunan kesadaran dengan atau tanpa


gejala neurologis lain, sedangkan kemungkinan penyebab lain telah
disingkirkan
 Ditemukan parasit malaria dalam sediaan darah tepi

 Tidak ditemukan kelainan cairan serebrospinal yang berarti


Pemberian obat anti-malaria:
 Kina

 Kinidin

 Klorokuin

 Artemisin

 Transfusi Ganti
Sangat efektif untuk semua jenis plasmodium sebagai schizontocidal dan
gametocydal.
 Dosis loading: 20mg/kgbb kina HCl dalam 100-200cc cairan dextrose 5% atau
NaCl 0,9% selama 4 jam, dilanjutkan dengan dosis 10mg/kgbb dilarutkan dalam
200cc dekstrose 5% diberikan dalam 4 jam, selanjutnya diberikan dalam dosis yang
sama tiap 8 jam. Apabila pasien sudah sadar dan dapat minum obat, boleh diberikan
per oral dengan dosis 3 kali sehari 10mg/kgbb (3x400-600mg) selama 7 hari dihitung
dari hari pertama pemberian parenteral.
 Dapat digunakan dosis tetap 500mg kina HCl dilarutkan dalam dextrose 5% dan
diberikan selama 6-8 jam berkesinambungan tergantung pada kebutuhan cairan
tubuh.
 Kina dapat diberikan secara intramuskuler bila melalui infus tidak memungkinkan.
Dosis loading 20mg/kgbb diberikan intramuskuler terbagi pada 2 tempat suntikan,
kemudian diikuti dengan dosis 10mg/kgbb tiap 8 jam sampai penderita dapat minum
per oral.
Kinidin Klorokuin

 Bila kina tidak tersedia maka kinidin  Diberikan bila masih sensitive, pada
kasus demam kecing hitam, pada
cukup aman dan efektif sebagai kasus hipersensitif terhadap kina.
anti-malaria.  Dosis loading: klorokuin basah
50mg/kgbb dilarutkan dalam 500ml
 Dosis loading:15mg/kgbb dilarutkan NaCl 0,9% selama 8 jam, dilanjutkan
dalam 250ml cairan isotonic dengan dosis 5mg/kgbb per infus
diberikan dalam 4 jam, dilanjutkan selama 8 jam dan diulang sebanyak 3
kali.
7,5mg/kgbb dalam 4 jam, tiap 8  Dapat diberikan secara intramuscular
jam, kemudian dilanjutkan per oral atau subkutan dengan cara:
setelah penderita sadar. 3,5mg/kgbb dengan interval setiap 6
jam atau 2,5mg/kgbb dengan interval
tiap 4 jam
Merupakan pilihan pertama untuk pengobatan malaria berat dan dapat diberikan
pada kasus resisten klorokuin maupun kuinin.
 Artesunat: 2,4mg/kgbb intravena pada hari pertama dibagi dalam 2 dosis,
dilanjutkan 1,2mg/kgbb dibagi dalam 2 dosis pada hari ke-2 sampai 5.
 Artemeter: 3,2mg/kgbb intramuskuler sebagai dosis awal, dibagi dua dosis,
diikuti 1,6mg/kgbb/24 jam selama 4 hari
 Artemisin: dosis tunggal 10mg/kgbb, dapat menurunkan parasitemia dalam 24
jam.
Indikasi:
 Parasitemia >30% tanpa komplikasi berat

 Parasitemia >10% disertai komplikasi berat: malaria serebral, gagal ginjal


akut, edema paru, ikterik, dan anemia berat.
 Parasitemia >10% dengan gagal pengobatan setelah 12-24 jam pemberian
kemoterapi anti malaria yang optimal
Prognosis

 Prognosis malaria serebral tergantung pada kecepatan


dan ketepatan diagnosis dan penanganan yang tepat.
 Diagnosis dini dan penanganan tepat, prognosis sangat
baik.
 Pada koma dalam, tanda-tanda herniasi, kejang berulang,
hipoglikemi berulang, hiperparasitemia resiko kematian
tinggi.
 Prognosis juga tergantung dari jumlah dan berat
kegagalan fungsi organ. Semakin sedikit organ vital yang
terganggu dan mengalami kegagalan fungsi, semakin baik
prognosisnya
Infeksi pada SSP, disebabkan oleh bentuk larva dari parasite cacing pita T.
solium
 Manusia terinfeksi karena tidak sengaja menelan makanan yang tekontaminasi telur
cacing T. solium.
 Telur cacing yang tertelan akan pecah menjadi onkosfer di dalam usus, akan
menembus dinding usus lalu masuk ke dalam pembuluh darah portal atau saluran
limfe di daerah usus, dan pada akhirnya mencapai sirkulasi sistemik.
 Onkosfer melalui sirkulasi sistemik kemudian dapat mencapai system saraf pusat
dengan bantuan kait yang dimiliki dapat melewati endothelium kapiler atau epitel
pleksus koroideus, kemudian menginfeksi system saraf pusat
Berdasarkan letak kista di otak, terdapat 6 sindrom klinis yang tampak:
 NSS asimptomatik

 NSS parenkimal: dapat menyebabkan deficit fokal neurologis yang luas termasuk
hemiplegi, monoplegi, quadriplegia, afasia, hemianopsia, deficit nervus kranialis, vertigo,
nistagmus, hipoestesia.
 NSS subaraknoid: disertai tanda peningkatan intra kranial seperti sakit kepala, papil
edema, muntah, kesadaran menurun, atrofi otak, deficit nervus kranialis.
 NSS intraventrikuler: sering terjadi sebagai sindrom hidrosefalus yang subakut dan
peningkatan tekanan intracranial.
 NSS spinal: sindrom brown-sequard dan cauda equine

 NSS okuler: proptosis, konjungtivitis kronis, ptosis, kelumpuhan otot-otot intraocular,


penglihatan kabur atau kebutaan mendadak.
Kriteria diagnosis dibagi menjadi 4 kriteria:
 Kriteria absolut: pemeriksaan histopatologi menunjukkan adanya parasite dari
biopsy otak, pada pemeriksaan CT-Scan atau MRI adanya skoleks pada lesi kistik
dan pada pemeriksaan funduskopi tampak adanya parasite pada subretina
 Kriteria major: neuroimaging sesuai dengan lesi NSS, imunoblot terhadap
sistiserkosis positif, resolusi lesi kistik intracranial setelah pemberian obat
albendazole atau praziquantel
 Kriteria minor: neuroimaging sesuai dengan lesi NSS, manifestasi klinis sesuai
NSS, ELISA terhadap antisistiserkus antibody positif atau adanya sistiserkosis diluar
SSP
 Kriteria epidemiologi: kontak dengan orang yang terinfeksi, berasal atau tinggal di
daerah endemic, riwayat sering berpergian ke daerah endemic.
 Penanganan terhadap penderita NSS dapat dilakukan melalui beberapa
pendekatan yaitu obat anti parasite, obat simptomatis, dan operasi.
 Obat antiparasit: albendazole (15mg/kg/hari selama 1 bulan) dan praziquantel
(50mg/kg/hari selama 2 minggu).
 Untuk mengatasi akibat inflamasi local karena kematian parasite, diberikan steroid
untuk mengontrol edema dan peningkatan tekanan intra kranial, yaitu
dexamethasone 4,5-12mg/hari atau prednisone 1mg/kg/hari.
 Terapi simptomatis: obat anti epilepsy first line (phenytoin atau karbamazepine) dan
analgesic.
 Operasi ditujukan untuk eksisi kista yang besar atau pemasangan shunting jika
terjadi hidrosefalus.
Infeksi meningitis yang disebabkan oleh kriptokokus.
Kriptokokus merupakan jamur komensal yang jarang menyebabkan penyakit
pada manusia, penyakit ini mulai menjadi masalah sejalan dengan epidemic
HIV.
 Gejala klinis meningitis kriptokokus seringkali tidak jelas.
 Biasanya dijumpai gejala prodromal selama 2-4 minggu. Gejala awal berupa demam
dan sakit kepala. Tanda peningkatan tekanan intracranial berupa sakit kepala berat
persisten seringkali merupakan gejala klinis yang menonjol. Tanda klasik meningitis
berupa kaku kuduk tidak selalu dijumpai.
 Neuroimaging tidak banyak membantu dalam diagnosis.
 Target terapi: sterilisasi cairan otak dari jamur dengan menggunakan
obat anti jamur dan menurunkan tekanan intracranial.
 Pengobatan meningitis kriptokokus dapat menggunakan:
Minggu 1-2  Ampoterisin B 0,7-1mg/kg/hari dalam infus dekstrosa selama 4-6 jam
(jangan dilarutkan dengan NaCl)
 Flukonazol 800mg per hari per oral

Minggu 3-10 Flukonazol 800mg per hari per oral

*Bila tidak dapat menggunakan ampoterisin-B, dapat digunakan flukonazol saja dengan dosis
800-2000mg per hari selama 12 minggu.
*Setelah fase akut, terapi harus dilanjutkan dengan terapi rumatan dengan flukonazol 200mg per
hari sampai jumlah sel CD4 > 200sel/UL

Anda mungkin juga menyukai