Anda di halaman 1dari 5

Gerakan dan

Organisasi Islam
Modern di
Indonesia
JAKARTA, KOMPAS.com — Sebagian orang
masih bertanya, mengapa dan bagaimana
penentuan jatuhnya Ramadhan dan Idul Fitri
diwarnai silang pendapat? Tahun ini,
Muhammadiyah lebih dahulu melaksanakan
ibadah puasa, yakni pada 9 Juli 2013. Pemerintah
dan Nahdlatul Ulama (NU) baru menyusul satu
hari setelahnya.
Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) Pusat Ma'ruf Amin
menjelaskan, perbedaan penetapan jatuhnya Ramadhan dan Idul
Fitri tersebut disebabkan perbedaan metode yang digunakan
masing-masing kelompok. Muhammadiyah, misalnya,
menggunakan metode wujudul hilal atau yang lebih dikenal
dengan istilah hisab. Pendekatan tersebut menetapkan jatuhnya
awal Ramadhan dan Idul Fitri dengan menghitung posisi Bumi
terhadap Matahari dan Bulan secara matematis dan astronomis.
Sementara NU menggunakan metode rukyatul hilal atau lebih
dikenal dengan istilah rukyat. Rukyat merupakan suatu metode
yang hanya mengamati visibilitas hilal tanpa
memperhitungkannya secara matematis dan astronomis.
Ada tiga alternatif metode menetapkan awal suatu bulan
qamariyah, yaitu hisab, ru'yah, dan istikmal.
Hisab adalah menghitung berdasarkan teori dan rumus-rumus
tertentu yang sudah dibakukan sedemikian rupa sehingga diyakini bahwa
awal bulan atas dasar penghitungan teoritik itu sama dengan kenyataan
alam.
Ru'yah maksudnya melihat hilal (bulan tanggal pertama). Artinya
penetapan awal bulan didasarkan pada ada atau tidaknya hilal yang biasa
dilihat mata (baik langsung maupun dengan alat bantu).
Sedangkan istikmal adalah menggenapkan jumlah hari suatu
bulan sampai tiga puluh hari sebelum memulai bulan baru.
Perbedaan (khilaf) tentang awal Ramadan dan Syawal berpangkal pada
ketidaksamaan hasil yang diperoleh melalui metode-metode tersebut,
khususnya ru'yah dan hisab.
Kebanyakan ulama salaf (jumhur as-salaf) berpendapat bahwa penetapan
(itsbat) awal Ramadan dan Syawal hanya boleh dengan cara ru'yah. Jika
ru'yah tidak bisa dilaksanakan, karena terhalang mendung misalnya, maka
digunakanlah istikmal (Bughyah Al-Mustarsyidin: 108). Jadi, dalam konteks
ini istikmal bukanlah metode tersendiri tetapi metode lanjutan ketika ru'yah
tidak efektif. Metode dan prosedur ini mengikuti langsung hadist Shahih
riwayat Bukhari dan Muslim sebagai berikut:

"Berpuasalah karena melihat hilal, dan berbukalah (tidak berpuasa


lagi) karena melihatnya. Apabila kalian tidak melihatnya karena
mendung, sempurnakanlah hitungan bulan Sya'ban sampai tiga puluh
hari." (H.R. Bukhari dan Muslim).

Hisab adalah metode pendamping, sekedar untuk memperkirakan (secara


teoritik) apakah ru'yah dapat dilakukan atau tidak. Adapun hasil akhirnya
tetap didasarkan pada hasil ru'yah langsung.
Maka, terkait perselisihan kaum muslimin dalam masalah penentuan awal dan
akhir Ramadhan, solusinya adalah kembali kepada dalil-dalil syar’i sesuai apa yang
dipahami oleh para sahabat Nabi dan disepakati oleh para ulama Islam yang
memerintahkan untuk menggunakan ru’yatul hilal dalam penentuan awal dan akhir
ramadhan. Jadi, bukan kembali kepada keyakinan masing-masing, bukan kembali pada
pendapat ormas, pendapat partai atau pendapat tokoh agama. Setiap mukmin
hendaknya tasliim, menerima dengan lapang dada dalil-dalil yang telah ditetapkan
syariat dalam masalah ini serta menerima dengan lapang dada ijma-nya para ulama
Islam.
Sebagian orang mengajak kaum muslimin untuk tidak mengindahkan
perselisihan yang ada dan lebih mengedepankan persatuan secara fisik. Dengan kata
lain, mereka menginginkan apapun keyakinan dan penyimpangan yang ada di tengah
kaum muslimin, entah benar atau salah, tidak perlu di gugat dan tidak perlu
dipermasalahkan demi terciptanya persatuan secara fisik. Tentu bukan demikian
persatuan yang diajarkan oleh Islam. Tentu saja persatuan secara fisik itu perlu dan
penting. Namun persatuan yang Islami adalah persatuan yang di dalamnya ada sikap
saling menasehati, karena Islam adalah agama nasehat dan mengajarkan untuk
mengingkari kemungkaran.

Anda mungkin juga menyukai