Anda di halaman 1dari 24

DIFTERI

Oleh : kelompok 5
LATAR BELAKANG
■ Pada tahun 2017 di Indonesia terdapat kasus seseorang meninggal yang
disebabkan oleh penyakit difetri. Dimana penyakit difetri ini lebih banyak
menyerang anak-anak usia 1-10 tahun. Difteri merupakan salah satu penyakit yang
sangat menular (contagious disease). Penyakit ini disebabkan oleh infeksi
bakteri Corynebacterium diphtheriae, yaitu kuman yang menginfeksi saluran
pernafasan, terutama bagian tonsil, nasofaring (bagian antara hidung dan faring/
tenggorokan) dan laring. Penularan difteri dapat melalui kontak hubungan dekat,
melalui udara yang tercemar oleh carier atau penderita yang akan sembuh, juga
melalui batuk dan bersin penderita,adakalanya bakteri ini juga menyerang selaput
lendir atau kulit serta kadang-kadang konjungtiva atau vagina.
■ Penderita difteri umumnya anak-anak, usia di bawah 15 tahun. Dilaporkan 10 %
kasus difteri dapat berakibat fatal, yaitu sampai menimbulkan kematian. Selama
permulaan pertama dari abad ke-20, difteri merupakan penyebab umum dari
kematian bayi dan anak – anak muda. Penyakit ini juga dijumpai pada daerah padat
penduduk dengan tingkat sanitasi rendah. Oleh karena itu, menjaga kebersihan
sangatlah penting, karena berperan dalam menunjang kesehatan kita.
DEFINISI

■ Difteri merupakan penyakit yang sangat menular. Penyakit ini disebabkan oleh
kuman Corynebacterium diptheriae. Difteri menimbulkan gejala dan tanda berupa
demam yang tidak begitu tinggi, 38C, munculnya pseudomembran / selaput di
tenggorokan yang berwarna putih keabu-abuan yang mudah berdarah jika
dilepaskan, sakit waktu menelan, kadang2 disertai pembesaran kelenjar getah
bening leher dan pembengakan jaringan lunak leher yang disebut bullneck.
Adakalanya disertai sesak napas dan / suara mengorok. Difteri dapat menyerang
orang yang tidak mempunyai kekebalan terutama anak-anak. (Depkes RI)
ETIOLOGI
■ Difteri disebabkan oleh bakteri Corynebacterium diphtheriae, suatu bakteri basil
gram positif berbentuk polimorf, tidak bergerak, tidak membentuk spora dan
sensitif terhadap panas, kering, dan sinar matahari. Terdapat dua tipe bakteri
Corynebacterium diphtheriae, yaitu bentuk toxigenic dan non-toxigenic. Bentuk
toxigenic terdiri atas 4 strain, yaitu gravis, mitis, intermedius, dan minimus. Strain
gravis merupakan penyebab kematian terbanyak. Sedangkan non-toxigenic sering
dijumpai pada daerah nasofaring, telinga dan kotoran mata.
■ Sumber utama penularan penyakit ini adalah manusia. Penularan terjadi melalui
udara pernafasan saat kontak langsung dengan si penderita atau pembawa
(carrier) kuman. Seorang penderita difteri dapat menularkan penyakit sejak hari
pertama sakit sampai 4 minggu atau sampai tidak ditemukan lagi bakteri pada lesi
yang ada. Seorang pembawa (carrier) kuman dapat menularkan penyakit sampai 6
bulan. (Suharjo, dkk. 2010)
PATOFISIOLOGI
TANDA DAN GEJALA
1. Peradangan pada selaput hidung dan tenggorokan
2. Demam tinggi
4. Nyeri telan
5. Sulit bernapas
6. Pusing
7. Tampak selaput berwarna putih keabu-abuan di dinding belakang tenggorokan.
8. Bengkak pada leher
9. Sakit tenggorokan
10. Detak jantung meningkat
11. Kelenjar getah bening membesar
12. Gagal jantung
13. Membran kelabu yang menutup tonsil
14. Kelumpuhan otot
GEJALA KLINIS
■ Panas lebih dari 38 °C
■ Ada psedomembrane bisa di pharynx, larynx atau tonsil
■ Sakit waktu menelan
■ Leher membengkak seperti leher sapi (bullneck), disebabkan
karena pembengkakan kelenjar leher.
JENIS DIFTERI
Diphtheria Hidung
Pada permulaan mirip common cold, yaitu pilek ringan tanpa atau disertai gejala sistemik ringan. Sekret
hidung berangsur menjadi serosanguinous dan kemudian mukopurulen mengadakan lecet pada nares dan
bibir atas. Pada pemeriksaan tampak membran putih pada daerah septum nasi.
Diphtheria Tonsil-Faring
Gejala anoroksia, malaise, demam ringan, nyeri menelan. dalam 1-2 hari timbul membran yang melekat,
berwarna putih-kelabu dapat menutup tonsil dan dinding faring, meluas ke uvula dan palatum molle atau ke
distal ke laring dan trachea.
Diphtheria Laring
Pada diphtheria laring primer gejala toksik kurang nyata, tetapi lebih berupa gejala obstruksi saluran nafas
atas.
Diphtheria Kulit, Konjungtiva, Telinga
Diphtheria kulit berupa tukak di kulit, tepi jelas dan terdapat membran pada dasarnya. Kelainan cenderung
menahun. Diphtheria pada mata dengan lesi pada konjungtiva berupa kemerahan, edema dan membran
pada konjungtiva palpebra. Pada telinga berupa otitis eksterna dengan sekret purulen dan berbau
PEMERIKSAAN PENUNJANG
Jenis spesimen pemeriksaan
■ Usap Tenggorok (Throat swab)
■ Usap Hidung (Nasal swab)
■ Usap Luka (Wound swab) dan Usap Mata (Eyes swab) jika
diduga merupakan sumber penularan
Spesimen Usap Tenggorok
Tujuan: Mendapatkan spesimen usap tenggorok yang memenuhi persyaratan untuk pemeriksaan
bakteri Corynebacterium diphtheriae.
■ Prosedur pengambilan:
■ Siapkan media Amies & swab steril, tuliskan identitas penderita yang akan diambil spesimen
(nama, umur, jenis kelamin, tanggal dan jam pengambilan).
■ Posisi petugas pengambil berada disamping kanan penderita.
■ Penderita dipersilahkan duduk dengan sandaran dan tengadahkan kepala penderita.
■ Jika penderita di tempat tidur maka penderita diminta terlentang
■ Penderita diminta membuka mulut dan mengatakan “AAA”
■ Buka swab dari pembungkusnya, dengan spatula tekan pangkal lidah, kemudian usapkan swab
pada daerah faring dan tonsil kanan kiri. Apabila terdapat membran putih keabuan usap disekitar
daerah tersebut dengan menekan agak kuat (bisa sampai berdarah).
■ Buka tutup media Amies masukkan segera swab (swab harus terendam media) tutup rapat.
■ Masukan media Amies dalam spesimen carrier dan kirim segera ke Laboratorium Pemeriksa
disertai form list kasus difteri individu dan Form Laboratorium.
Spesimen Usap Hidung
Tujuan: Mendapatkan spesimen usap hidung yang memenuhi persyaratan untuk
pemeriksaan bakteri Corynebacterium diphtheriae.
■ Prosedur pengambilan:
■ Siapkan media Amies & swab steril, tuliskan identitas penderita yang akan diambil
spesimen (Nama, Umur, Jenis Kelamin, Tanggal dan Jam Pengambilan).
■ Posisi petugas pengambil berada disamping kanan penderita.
■ Penderita dipersilahkan duduk dengan sandaran dan tengadahkan kepala penderita.
■ Jika penderita di tempat tidur maka penderita diminta terlentang.
■ Buka swab dari pembungkusnya, masukkan swab pada lubang hidung sejajar palatum,
biarkan beberapa detik sambil diputar pelan dan ditekan (dilakukan untuk hidung kanan
dan kiri).
■ Buka tutup media Amies masukkan segera swab (swab harus terendam media) tutup
rapat.
■ Masukan media Amies dalam spesimen carrier dan kirim segera ke laboratorim
Laboratorium Pemeriksa disertai Form Laboratorium.

Usap Luka (Wound Swab)
Tujuan: Mendapatkan spesimen usap luka yang memenuhi persyaratan untuk
pemeriksaan bakteri C.diphtheriae.
■ Prosedur pengambilan:
■ Siapkan media Amies & swab steril, tuliskan identitas pasien yang akan diambil
spesimen (Nama, Umur, Jenis Kelamin, Tanggal dan Jam Pengambilan).
■ Sebelum dilakukan swab luka, luka jangan dibersihkan terlebih dahulu untuk
mendapatkan jumlah spesimen yang cukup dan organisme yang maksimal
■ Lakukan swab luka pada daerah yang dicurigai, putar swab searah jarum jam sekali
saja, Lalu tarik kapas swab dengan hati-hati, masukkan ke dalam media transport
amies)
PENGOBATAN
Pengobatan umum
■ Pasien diisolasi sampai masa akut terlampaui dan biakan hapusan tenggorok
negative 2 kali berturut-turut. Pada umumnya pasien tetap diisolasi selama 2-3
minggu. Istirahat tirah baring selama kurang lebih 2-3 minggu, pemberian cairan
serta diet yang adekuat, makanan lunak yang mudah dicerna, cukup mengandung
protein dan kalori. Penderita diawasi ketat atas kemungkinan terjadinya komplikasi
antara lain dengan pemeriksaan EKG pada hari 0, 3, 7 dan setiap minggu selama 5
minggu. Khusus pada difteri laring di jaga agar nafas tetap bebas serta dijaga
kelembaban udara dengan menggunakan nebulizer.
Pengobatan khusus
1. Antitoksin : Anti Diphtheria Serum (ADS)
■ Antitoksin harus diberikan segera setelah dibuat diagnosis difteria. Dengan
pemberian antitoksin pada hari pertama, angka kematian pada penderita kurang
dari 1%. Namun dengan penundaan lebih dari hari ke-6, angka kematian ini biasa
meningkat sampai 30%.
2. Antibiotik
■ Antibiotik diberikan bukan sebagai pengganti antitoksin melainkan untuk membunuh bakteri dan
menghentikan produksi toksin dan juga mencegah penularan organisme pada kontak. C.
diphtheriae biasanya rentan terhadap berbagai agen invitro, termasuk penisilin, eritromisin,
klindamisin, rifampisin dan tetrasiklin. Sering ada resistensi terhadap eritromisin pada populasi
yang padat jika obat telah digunakan secara luas. Yang dianjurkan hanya penisilin atau eritromisin;
eritromisin sedikit lebih unggul daripada penisilin untuk pemberantasan pengidap nasofaring.
■ Dosis :
■ Penisilin prokain 25.000-50.000 U/kgBB/hari i.m. , tiap 2 jam selama 14 hari atau bila hasil
biakan 3 hari berturut-turut (-).
■ Eritromisin 40-50 mg/kgBB/hari, maks 2 g/hari, p.o. , tiap 6 jam selama 14 hari.
■ Penisilin G kristal aqua 100.000-150.000 U/kgBB/hari, i.m. atau i.v. , dibagi dalam 4 dosis..

3. Kortikosteroid
■ Belum terdapat persamaan pendapat mengenai kegunaan obat ini pada difteria. Dianjurkan
korikosteroid diberikan kepada kasus difteria yang disertai dengan gejala obstruksi saluran nafas
bagian atas (dapat disertai atau tidak bullneck) dan bila terdapat penyulit miokarditis. Pemberian
kortikosteroid untuk mencegah miokarditis ternyata tidak terbukti.
■ Dosis : Prednison 1,0-1,5 mg/kgBB/hari, p.o. tiap 6-8 jam pada kasus berat selama 14 hari.
PENCEGAHAN
a. Isolasi Penderita
■ Penderita difteria harus di isolasi dan baru dapat dipulangkan setelah pemeriksaan
sediaan langsung menunjukkan tidak terdapat lagi Corynebacterium diphtheriae.
b. Imunisasi
■ Pencegahan dilakukan dengan memberikan imunisasi DPT (difteria, pertusis, dan
tetanus) pada bayi, dan vaksin DT (difteria, tetanus) pada anak-anak usia sekolah
dasar.
c. Pencarian dan kemudian mengobati karier difteria
■ Dilakukan dengan uji Schick, yaitu bila hasil uji negatif (mungkin penderita karier
pernah mendapat imunisasi), maka harus diiakukan hapusan tenggorok. Jika
ternyata ditemukan Corynebacterium diphtheriae, penderita harus diobati dan bila
perlu dilakukan tonsilektomi.
Next. Pencegahan......
1. BLF (Back Log Fighting)
■ BLF (Penyulaman) adalah upaya aktif melengkapi imunisasi dasar pada anak yang
berumur 1 – 3 tahun. Sasaran prioritas adalah desa/kelurahan yang selama 2
tahun berturut turut tidak mencapai desa UCI (Universal Child Immunization). BLF
tergolong dalam imunisasi tambahan diamana definisinya adalah kegiatan
imunisasi yang dilakukan atas dasar ditemukannya masalah dari hasil pemantauan
atau evaluasi. Kegiatan ini sifatnya tidak rutin, membutuhkan biaya khusus dan
kegiatannya dilaksanakan pada suatu periode tertentu.
2. ORI (Outbreak Response Imunization)
■ ORI adalah Imunisasi yang dilakukan dalam penanganan KLB. Dilaksanakan pada
daerah yang terdapat kasus penyakit PD3I, dalam hal ini adalah Difteri. Sasarannya
adalah anak usia 12 bulan s/d 15 tahun, melakukan ORI terbatas di wilayah sekitar
KLB, sesaat setalah KLB terjadi.
KOMPLIKASI
■ a. Masalah pernapasan. Sel-sel yang mati akibat toksin yang diproduksi bakteri difteri akan
membentuk membran abu-abu yang dapat menghambat pernapasan. Partikel-partikel membran
juga dapat luruh dan masuk ke paru-paru. Hal ini berpotensi memicu inflamasi pada paru-paru
sehingga fungsinya akan menurun secara drastis dan menyebabkan gagal napas.
■ b. Kerusakan jantung. Selain paru-paru, toksin difteri berpotensi masuk ke jantung dan
menyebabkan inflamasi otot jantung atau miokarditis. Komplikasi ini dapat menyebabkan
masalah, seperti detak jantung yang tidak teratur, gagal jantung dan kematian mendadak.
■ c. Kerusakan saraf. Toksin dapat menyebabkan penderita mengalami masalah sulit menelan,
masalah saluran kemih, paralisis atau kelumpuhan pada diafragma, serta pembengkakan saraf
tangan dan kaki. Masalah saluran kemih dapat menjadi indikasi awal dari kelumpuhan saraf yang
akan memengaruhi diagfragma. Paralisis ini akan membuat pasien tidak bisa bernapas sehingga
membutuhkan alat bantu pernapasan atau respirator. Paralisis diagfragma dapat terjadi secara
tiba-tiba pada awal muncul gejala atau berminggu-minggu setelah infeksi sembuh. Karena itu,
penderita difteri anak-anak yang mengalami komplikasi apa pun umumnya dianjurkan untuk tetap
di rumah sakit hingga 1,5 bulan.
■ d. Difteri hipertoksik. Komplikasi ini adalah bentuk difteria yang sangat parah. Selain gejala
yang sama dengan difteri biasa, difteri hipertoksik akan memicu pendarahan yang parah dan gagal
ginjal. Sebagian besar komplikasi ini disebabkan oleh bakteri Corynebacterium diphtheriae.
PROSES KEPERAWATAN
PENGKAJIAN
■ Biodata
■ Umur:Biasanya terjadi pada anak-anak umur 2-10 tahun dan jarang ditemukan pada
bayi berumur dibawah 6 bulan dari pada orang dewasa diatas 15 tahun
■ Suku bangsa:Dapat terjadi diseluruh dunia terutama di negara-negara miskin
■ Tempat tinggal : Biasanya terjadi pada penduduk di tempat-tempat pemukiman yang
rapat-rapat, higine dan sanitasi jelek dan fasilitas kesehatan yang kurang
■ Keluhan Utama
■ Klien marasakan demam yang tidak terlalau tinggi, lesu, pucat, sakit kepala, anoreksia,
lemah
■ Riwayat Kesehatan Sekarang
■ Klien mengalami demam yang tidak terlalu tinggi, lesu, pucat, sakit kepala, anoreksia
■ Riwayat Kesehatan Dahulu
■ Klien mengalami peradangan kronis pada tonsil, sinus, faring, laring, dan saluran nafas
atas dan mengalami pilek dengan sekret bercampur darah
■ Riwayat Penyakit Keluarga
■ Adanya keluarga yang mengalami difteri
■ Pola Fungsi Kesehatan
– Pola nutrisi dan metabolism
■ Jumlah asupan nutrisi kurang disebabkan oleh anoraksia
– Pola aktivitas
■ Klien mengalami gangguan aktivitas karena malaise dan demam
– Pola istirahat dan tidur
■ Klien mengalami sesak nafas sehingga mengganggu istirahat dan tidur
– Pola eliminasi
■ Klien mengalami penurunan jumlah urin dan feses karena jumlah asupan nutrisi
kurang disebabkan oleh anoreksia
■ Pemeriksaan fisik
■ Pada diptheria tonsil – faring
– Malaise
– Suhu tubuh < 38,9 º c
– Pseudomembran ( putih kelabu ) melekat dan menutup tonsil dan
– dinding faring
– Bulneck
■ Diptheriae laring
– Stridor
– Suara parau
– Batuk kering
– Pada obstruksi laring yang berat terdpt retraksi suprasternal, sub costal dan
supraclavicular
■ Diptheriae hidung
– Ringan
– Sekret hidung serosanguinus  mukopurulen
– Lecet pada nares dan bibir atas
– Membran putih pada septum nasi
INTERVENSI

D:\asuhan keperawatan difteri.docx.enc


DAFTAR PUSTAKA

■ Brooks GF, Caroll KC, Butel JS, Morse, SA, Mietzner, TA. 2013. Jawetz, Melnick &Adelberg’s
Medical Microbiology International Edition, Twenty Sixth. ed. McGraw-Hill Companies, New
York.
■ Levinson, Warren. 2014. Review of Medical Microbiology and Immunology, Thirteenth Edition.
McGraw-Hill Companies, New York.
■ Hendro, Rudi Putranto,dkk. 2014. Corynebacterium diphtheriae, Diagnosis laboratorium
bakteriologi. Pustaka obor Indonesia : Jakarta.
■ Sunarno, dkk. 2015. Metode diagnostik Cepat Laboratorium untuk Identifikasi Penyebab
Difteri. Jakarta: Yayasan Pustaka Obor Indonesia
■ Suharjo, dkk. 2010. Vaksinasi, Cara Ampuh Cegah Penyakit Infeksi. Yogyakarta: Kanisius
■ Andareto, Obi. 2015. Penyakit Menular di Sekitar Anda: mengetahui macam-macam penyakit
yang dapat menular serta cara pencegahannya. Jakarta: Pustaka Ilmu Semesta
Terimakasih

ada pertanyaan??

Anda mungkin juga menyukai