Form. P Publik B1.'19

Anda mungkin juga menyukai

Anda di halaman 1dari 40

Buku1

Formulasi Kebijakan Publik

DRS. MARTOYO,MA

Prodi Administrasi Negara


Program Magister Ilmu Sosial
Univ. Tanjungpura
PONTIANAK
Sebab Kemunculan Perumusan
Kebijakan Publik ?

 Adanya masalah publik, yakni masalah yang


muncul di masyarakat yang dianggap sebagai
masalah bersama. Contohnya, kerusakan
lingkungan, polusi, kemacetan lalu lintas, dsb.
 Masalah publik seringkali tidak muncul secara
‘alamiah’, tapi merupakan dampak dari adanya
kebijakan pemerintah. Contoh; kebijakan
pembangunan jalan-jalan lebar, harga BBM rendah,
kurang perhatian pada sarana transportasi umum,
justru menjadi penyebab kemacetan dan polusi
tinggi di kota besar.
Pengertian Kebijakan Publik ?

 Charles O. Jones (1984), istilah kebijakan ( policy)


menunjuk pada pengertian keputusan (decision),
program, tujuan yang ingin dicapai oleh pemerintah.
Contoh; kebijakan pemerintah di bidang perpajakan,
perdagangan luar negeri, pendidikan, ketenagakerjaan,
pertanian, pembangunan ekonomi, dsb.
 James Anderson (1979), menunjuk pada perilaku aktor,
seperti pejabat atau lembaga pemerintah, dalam
menangani bidang kegiatan tertentu. Ini merupakan
pengertian ‘awam’ yang biasanya dipergunakan untuk
pembicaraan di masyarakat umum.
 David Easton, kebijakan publik hasil dari adanya alokasi
nilai-nilai otoritatif dimana pemerintah yang memiliki
kewenangan dalam membagi sumber daya kepada
masyarakat.
 Robert Eyestone (1971), kebijakan publik didefinisikan
sebagai hubungan suatu unit pemerintah dengan
lingkungannya.
 Thomas R. Dye (1975), kebijakan publik adalah apapun
yang dipilih oleh pemerintah untuk dilakukan maupun
tidak dilakukan. Namun, ini belum bisa memberikan
gambaran antara apa yang sudah diputuskan
pemerintah dan apa yang sebenarnya dilakukan oleh
pemerintah.

Jadi, kebijakan publik merupakan arah tindakan yang


mempunyai tujuan yang telah ditetapkan oleh aktor
(pemerintah, non pemerintah), dalam rangka mengatasi
suatu masalah bersama (common problems). Kebijakan
publik memusatkan perhatian pada apa yang
sebenarnya dilakukan oleh pemerintah.
 Kebijakan publik memiliki beberapa pengertain
spesifik, yakni :
1) Bersifat sistematis, kebijakan berorientasi pada tujuan
dan tidak terjadi begitu saja, melainkan melalui proses
pengkajian dan perencanaan oleh aktor kebijakan.
2) Bersifat terarah, kebijakan publik merupakan arah
atau pola tindakan yang dilakukan pemerintah yang
mencakup keputusan dan cara implementasinya.
3) Berorientasi tindakan nyata, kebijakan publik adalah
apa yang sebenarnya dilakukan pemerintah, bukan
apa yang diinginkan oleh pemerintah.
4) Memiliki unsur paksaan, kebijakan yang diambil
pemerintah dapat bersifat otoritatif dan memaksa,
karena sah secara hukum. Contohnya, kebijakan
perpajakan.
Sifat Perumusan Kebijakan Publik

 Tuntutan kebijakan (policy demands), adalah


tuntutan yang dibuat oleh aktor-aktor pemerintah,
swasta, masyarakat sipil, ditujukan pada pejabat
publik (pemerintah) berupa desakan agar
pemerintah mengambil tindakan atas suatu
masalah. Biasanya tuntutan ini diajukan (agregasi)
oleh berbagai kelompok dalam masyarakat untuk
mendesak agar pemerintah ‘berbuat sesuatu’ untuk
menyelesaikan suatu masalah.
 Keputusan kebijakan (policy demands), adalah
keputusan yang diambil oleh pemerintah yang
melegitimasi tindakan pemerintah untuk menyelesaikan
masalah, seperti pembuatan UU, Surat Keputusan,
Perda, dsb.
 Hasil kebijakan (policy out put), adalah menunjuk pada
hasil-hasil atau manifestasi nyata yang dihasilkan dari
adanya kebijakan.
 Dampak Kebijakan (policy outcome), adalah berbagai
akibat positif maupun negatif yang muncul di
masyarakat karena adanya suatu kebijakan. Dampak ini
baik yang diharapkan maupun yang tidak diharapkan.
Alasan Mempelajari Perumusan
Kebijakan Publik
 Alasan ilmiah; mempelajari FKP untuk
memperoleh pengetahuan tentang proses dan
konsekuensi kebijakan bagi masyarakat.
a) KP sebagai variabel terikat (dependent variabel);
fokus pada faktor-faktor lingkungan (politik,
sosial, ekonomi, dsb) bisa mempengaruhi
substansi kebijakan.
b) KP sebagai variabel bebas (independen variabel);
fokus pada bagaimana suatu dampak kebijakan
terhadap lingkungan (politik, sosial, ekonomi,
budaya, dsb).
 Alasan profesional; mempelajari KP sebagai bagian dari
upaya menerapkan konsep ilmiah (teori) untuk
menyelesaikan masalah-masalah sosial praktis.
Pengetahuan yang dimiliki untuk membantu memberikan
saran pada pemerintah (otoritas) pembuat kebijakan
agar dapat menyelesaikan masalah yang ada.
 Alasan politik; mempelajari KP untuk memastikan
apakah pemerintah telah mengambil langkah kebijakan
yang dianggap ‘tepat’ dan ‘pantas’. Mempelajari KP
dilakukan untuk memperbaiki kualitas kebijakan dengan
cara-cara tertentu. Contoh; LSM melakukan advokasi
kebijakan pada sekelompok warga masyarakat yang
tertindas akibat penggusuran paksa oleh pemerintah.
Domain Perumusan Kebijakan
Publik
 Domain (wilayah studi) tradisional; dilihat dari
ruang lingkup aktivitas yang dijalankan oleh
lembaga-lembaga formal (pemerintah), yakni
masalah pertahanan, hubungan luar negeri, hukum
& ketertiban sosial, pendidikan, kesehatan,
perdagangan, transportasi, dsb.
 Domain lingkaran kebijakan (policy cycle); meliputi
penyusunan agenda, formulasi kebijakan, adopsi
kebijakan, implementasi dan evaluasi kebijakan.
 Domain kajian kebijakan (analisis kebijakan);
kelompok non-partisan, kelompok perumus
kebijakan, kelompok ilmuwan.
 Kelompok Non-partisan adalah mereka yang tidak
terlibat dalam perumusan maupun implementasi
kebijakan. Kelompok ini melihat analisis kebijakan
sebagai alat untuk menseleksi kebijakan-kebijakan yang
dianggap baik dan bermanfaat bagi masyarakat.
 Kelompok perumus kebijakan adalah mereka yang
melihat analisis kebijakan sebagai cara/alat untuk
menambah kemampuan para perumus (analis) dalam
menyusun kebijakan yang lebih baik di masa
mendatang.
 Kelompok ilmuwan kebijakan adalah mereka yang
menganggap kebijakan publik sebagai obyek studi untuk
dikembangkan sebagai cabang ilmu pengetahuan (policy
science), walaupun mereka juga menyediakan saran-
saran bagi perumus kebijakan.
Tahap-tahap Perumusan
Kebijakan
 Penyusunan agenda masalah; para pejabat publik
yang telah dipilih dan diangkat menempatkan
masalah ke dalam agenda publik. Masalah-masalah
yang ada di masyarakat ‘berkompetisi’ untuk dapat
masuk ke dalam agenda kebijakan.
 Penyusunan Agenda kebijakan; masalah yang telah
masuk ke agenda kebijakan kemudian dibahas oleh
pembuat kebijakan. Masalah kemudian didefinisikan
dan dicari solusinya atas dasar pilihan (alternatif-
alternatif) yang ada. Masing-masing alternatif
saling ‘bersaing’ untuk dapat dipilih sebagai
kebijakan. Setiap aktor akan ‘bermain’ untuk
mengusulkan alternatif pemecahan masalah
terbaik.
 Adopsi/penetapan kebijakan; dari sekian banyak
alternatif kebijakan yang ditawarkan oleh perumus
kebijakan, ditentukan (dipilih) salah satu alternatif
terbaik (cost=rendah; benefit=tinggi bagi masyarakat).
Alternatif yang dipilih mendapatkan dukungan mayoritas
legislatif.
 Implementasi kebijakan; kebijakan yang telah
diputuskan dilaksanakan oleh unit-unit administrasi
(birokrasi) pemerintah dengan dukungan sumberdaya
finansial dan manusia.
 Evaluasi kebijakan; kebijakan yang telah dijalankan akan
dinilai untuk melihat sejauh mana kebijakan yang dibuat
telah mampu memecahkan masalah. Ditentukan kriteria-
kriteria yang menjadi dasar untuk menilai apakah
kebijakan publik telah meraih dampak yang diinginkan.
Model Perumusan Kebijakan
Publik
 Model merupakan alat yang dipakai untuk
memudahkan kita memahami suatu
fenomena/realitas.
 Model dipergunakan untuk membantu memahami
realitas kebijakan publik yang kompleks, dengan
kata lain untuk menyederhanakan realitas yang
kompleks.
 Model tidak boleh terlalu sederhana, karena akan
membuat pengertian yang salah. Sebaliknya, model
tidak boleh terlalu kompleks karena akan
membingungkan.
 Model harus sebangun (kongruen) dengan realitas
Model elitis
 Model yang dipergunakan untuk menjelaskan kebijakan
publik di negara-negara otoriter.
 Kebijakan publik merupakan nilai atau pilihan dari elit
yang sedang memerintah. Bukan rakyat yang
menentukan kebijakan publik, melainkan elit penguasa
yang dilaksanakan oleh pejabat-pejabat pemerintah.
 Masyrakat terbagi ke dalam suatu kelopok kecil yang
mempunyai kekuasaan, dan massa yang tidak
mempunyai kekuasaan. Para elit yang berkuasa (the
rulling class), biasanya berasal dari lapisan ekonominya
tinggi.
 Kebijakan publik bukan merupakan refleksi tuntutan
rakyat, melainkan cermin dari aspirasi elit penguasan.
Model pluralis

 Banyak dipergunakan untuk melihat proses


pengambilan kebijakan publik di negara-negara
demokratis.
 Kekuasaan ada di tangan individu-individu warga
negara. Mereka berpartisipasi melalui mekanisme
politik tertentu (pemilu) dalam pengambilan
keptuusan.
 Tidak ada ‘kelompok tunggal’ yang mendominasi
pembuatan keputusan, melainkan terdapat banyak
pusat kekuasaan di masyarakat.
 Kebijakan publik merupakan bentuk kompromi dari
adanya kompetisi antar aktor-aktor atau kelompok-
Pendekatan kelompok
 Dikembangkan untuk tujuan mempelajari dan
memahami perilaku aktor-aktor dalam mengambil
kebijakan.
 Pembuatan kebijakan merupakan hasil dari perjuangan
kelompok-kelompok yang ada di masyarakat. Kelompok
adalah sekumpulan individu-individu yang diikat oleh
kepentingan yang sama. Mereka membela dan
memperjuangkan kepentingan melalui proses politik
dengan mempengaruhi proses pembuatan kebijakan.
 Kebijakan publik merupakan ‘equilibrium’ melalui
bergaining dan kompromi antar kepentingan kelompok.
Kekuatan suatu kelompok dipengaruhi oleh kekayaan,
akses media, kepemimpinan, jumlah pendukung, dsb.
 Kelemahannya; meremehkan peran pejabat pemerintah
akibat terlalu memperhatikan dinamika kelompok.
Pendekatan proses fungsional
 Intelegensia : bagaimana informasi tentang masalah
kebijakan dikumpulkan dan diproses ?
 Rekomendasi : bagaimana alternatif-alternatif untuk
memecahkan masalah kebijakan dirumuskan ?
 Preskripsi : bagaimana kebijakan tersebut dipergunakan
dan oleh siapa ?
 Permohonan (invocation) : siapa yang menentukan
perilaku tertentu bertentangan atau sesuai dengan
tujuan kebijakan yang berlaku ?
 Aplikasi : bagaimana kebijakan diberlakukan ?
 Penilaian : bagaimana kebijakan dinilai keberhasilan atau
kegagalannya.
 Terminasi : bagaimana kebijakan akan diteruskan,
dimodifikasi atau dihentikan ?
Pendekatan kelembagaan
 Pusat kegiatan politik dan pengambilan kebijakan ada di
lembaga-lembaga formal pemerintah, seperti presiden,
departemen, kementrian, dsb.
 Lembaga-lembaga pemerintah dianggap memberikan
legitimasi, kekuatan hukum, ‘paksaan’ (universalitas)
kepada semua warga masyarakat, serta menuntut
loyalitas untuk ditaati oleh masyarakat.
 Mengkaji pada struktur organisasi, prosedur dan fungsi-
fungsi dari lembaga-lembaga pemerintah dalam
membuat kebijakan publik.
 Mengkaji aturan-aturan yang dikeluarkan oleh lembaga-
lembaga pemerintah, seperti kepres, keputusan menteri,
surat keputusan, sebagai dasar perubahan kebijakan.
Pendekatan partisipasi warga
 Warga negara perlu ikut berperan dalam pengambilan
kebijakan untuk memperoleh pengetahuan dan
mengembangkan rasa tanggung jawab sosial terhadap
keputusan yang diambil.
 Peran serta masyarakat secara aktif dalam kegiatan
politik (pembuatan kebijakan publik), akan dapat
meningkatkan responsivitas pemerintah dalam
mengambil keputusan penting yang sesuai dengan
harapan masyarakat.
 Peran partai politik sebagai ‘jembatan’ penghubung
antara masyarakat dengan pemerintah. Oleh sebab itu,
parpol berupaya menarik simpati masyarakat untuk
memberikan dukungan bagi program-program politik
(platform) parpol yang akan ditawarkan pada saat
pemilu mendatang.
Stratifikasi dan keluaran
kebijakan
 Kebijakan puncak : (Ketetapan MPR, GBHN, Propenas,
dekrit)
 Kebijakan umum : (UU, Perpu, Per.Pem, Kepres, Inpres)
 Kebijakan khusus : Per.Menteri, Kep.Men, SE Menteri)
 Kebijakan teknis : Peraturan Dirjen, Kep. Dirjen,
Instruksi Dirjen)
 Kebijakan kewilayahan provinsi : (Perda, keputusan
gubernur, instruksi gubernur)
 Kebijakan kewilayahan kabupaten/kota : (Perda,
keputusan bupati/walikota, instruksi bupati/walikota)
 Tatalaksana operasional : (buku pedoman/petunjuk
teknis, manual).
Jenis-jenis kebijakan publik

 Kebijakan distributif : untuk mendorong aktivitas


masyarakat/swasta yang dapat menguntungkan
bagi masyarakat luas. Misalnya; subsidi, transfer
dana, insentif pajak, kredit lunak, izin waralaba,
Lisensi.
 Kebijakan regulatory competitive : suatu pemberian
barang atau jasa kepada satu atau sejumlah
penyedia layanan yang dipilih secara kompetitif.
Penyediaan barang atau jasa layanan publik
contihnya pemberian izin siaran stasiun TV, siaran
radio swasta. Izin trayek angkutan bus, izin
perusahaan penerbangan swasta, dsb.
 Kebijakan protective regulatory : kebijakan untuk
melindungi masyarakat umum dengan cara menetapkan
persyaratan/kondisi untuk kegiatan swasta tertentu.
Misalnya peraturan UMR, uji kendaraan bermotor,
persyaratan tanam kembali HPH, penetapan tarif
angkuta umum, dsb.
 Kebijakan redistributif : kebijakan yang bertujuan
mengendalikan (readjust) alokasi kekayaan, hak milik, di
antara kelas sosial dan kelompok sosial yang ada di
masyarakat. Misalnya, pajak penghasilan progresif,
pajak barang mewah, PPN, prioritas kredit pada UKM,
IDT, PKPS-BBM, pemberian beasiswa Gakin, Askes, dsb.
Studi kebijakan – Policy actors

 Lingkungan kebijakan sangat menentukan interaksi


antara studi kebijakan dengan aktor (para
pengambil) kebijakan. Sebab, seringkali studi
kebijakan yang dilakukan banyak melibatkan
kepentingan dari berbagai pihak ( vested interest).
 Kondisi ini yang menyebabkan banyak penelitian
(studi) tentang suatu kebijakan hasilnya hanya
‘masuk laci’ atau ‘masuk keranjang sampah’. Dalam
arti, tidak dipergunakan atau tidak ditindak lanjuti
oleh pengambil kebijakan.
 Policy intelectual, kalangan teoritisi dan ideolog yang
memiliki kepedulian sosial tinggi. Kelompok ini berada di
perguruan tinggi, dan seringkali melakukan kajian atau
kritikan atas dasar perspektif teoritis tertentu terhadap
kebijakan pemerintah.
 Policy researcher, kalangan yang aktif melakukan
penelitian empiris tentang suatu kebijakan pemerintah.
Kelompok ini memiliki profesionalitas tinggi dan intensif
melakukan riset kebijakan. Kelompok ini banyak berada
di pusat-pusat studi, dan biasanya mengembangkan
pendekatan lintas-disiplin.
 Policy makers, kelompok yang memiliki otoritas atau
jabatan untuk membuat garis besar kebijakan.
 Policy bureaucrats, kelompok staf yang profesional di
bidangnya, bekerja berdasar kontrak untuk menjabarkan
garis kebijakan umum yang telah dibuat.
Karakteristik kebijakan publik
 Bersifat ‘binding’, artinya mengikat baik kepada pembuat
kebijakan maupun bagi masyarakat luas.
 Make by those in authority, kebijakan publik dibuat oleh
mereka yang mempunyai kewenangan politik dan
hukum.
 Positive and negative, suatu kebijakan pasti akan
membawa manfaat bagi sekelompok orang, sekaligus
membawa dampak merugikan bagi kelompok lainnya.
 Based on law, kebijakan publik dibuat atas dasar hukum
tertentu yang berlaku secara sah.
 Rational action, kebijakan publik merupakan rangkain
tindakan terarah dan terintegrasi antar berbagai fase
dari proses kebijakan yang diperlukan.
Agenda publik – agenda
pemerintah
 Krisis, terjadinya situasi krisis akan mempermudah
dan mempercepat suatu masalah menjadi agenda
publik dan agenda pemerintah.
 Lingkungan, dipengaruhi karakteristik lingkungan di
luar (outside) maupun di dalam (inside)
pemerintah. Lingkungan luar; suatu kebijakan
publik dipengaruhi oleh situasi politik, geo-politik,
ekonomi secara global maupun regional.
Lingkungan dalam; suatu kebijakan dipengaruhi
karakteristik rejim yang sedang memerintah,
apakah demokratis atau otoritarian.
 Kebutuhan spesifik, kebijakan publik dapat dibuat
sebagai respon atas kebutuhan yang bersifat khusus,
seperti kebijakan lingkungan hidup, penanggulangan
kemiskinan, anti-korupsi, dsb.
 Persepsi aktor kebijakan, seringkali suatu kebijakan
publik dibuat karena adanya persepsi, nilai-nilai dan
kepentingan tertentu yang melekat dalam diri aktor
pengambil kebijakan.
Agenda kebijakan
 Agenda kebijakan adalah ‘pertarungan wacana’ yang
terjadi di dalam lembaga pemerintah. Tidak semua
masalah/isu masuk ke dalam agenda, harus ada
‘kompetisi’ sehingga hanya beberapa masalah/isu
tertentu yang masuk ke dalam agenda kebijakan.
 Isu/masalah yang masuk ke dalam agenda :
Melampau proporsi suatu krisis (tidak dapat dibiarkan
terlalu lama).
Bersifat ‘partikularitas’ (mendramatisir isu lebih besar,
misal; pemanasan global, penipisan lapisan ozon)
Mendapat liputan/perhatian besar media massa
Menjadi trend dan perhatian publik secara luas.
Jenis agenda kebijakan:
 Agenda sistemik, yakni semua isu yang menurut
stakeholders kebijakan pantas mendapat perhatian
publik, dan berada dalam yurisdiksi wewenang
pemerintah yang sah.
 Agenda lembaga atau pemerintah, yakni masalah-
masalah yang mendapatkan perhatian secara sungguh-
sungguh dari pejabat pemerintah. Pada agena ini
terdapat :
1) Pokok agenda lama; tercantum secara teratur
(anggaran, kenaikan gaji, dsb)
2) Pokok agenda baru; timbul karena adanya kejadian
tertentu, seperti pemogokan, krisis politik, dsb.
Proses Perumusan Kebijakan
(formulasi)
 Untuk memahami proses perumusan kebijakan,
perlu mengenali siapa aktor-aktor yang terlibat,
sifat dan kepentingan para aktor dan
kekuasaan/pengaruh yang dimilikinya.
 Proses ini berhubungan dengan aspek : [1]
perubahan strategi dan tujuan organisasi; [2]
bersifat jangka panjang; [3] proses intelektual untuk
memilih alternatif; [4] proses sosial yang dinamis,
yakni agar organisasi dapat selalu beradaptasi
dengan dinamika lingkungan.
Model Sistem
Melihat pembuatan kebijakan sebagai hasil interaksi
antara pembuat kebijakan dengan lingkungannya
sebagai suatu proses yang dinamis.

Kebijakan dianggap sebagai tanggapan dari suatu sistem


politik terhadap tuntutan/aspirasi yang muncul dari
lingkungan (stakeholders). Kebijakan publik merupakan
hasil dari suatu sistem politik.
Sistem adalah seperangkat lembaga/kegiatan yang
berfungsi mengubah tuntutan/aspirasi menjadi
keputusan yang otoritatif.
Pendekatan Sistem

SISTEM
POLITIK
INPUT:
- Tuntutan (demands) OUTPUT:
- - Dukungan (supports) - Public hearing - Hasil kebijakan
- Pembahasan RUU - - Program/proyek
- Pengambilan suara

Feedback
Model Rasional-komprehensif
 Para pembuat kebijakan dihadapkan pada suatu
masalah tertentu. Masalah ini dapat dipisahkan dengan
masalah lain.
 Tujuan, nilai dan sasaran kebijakan disusun dan
ditetapkan sesuai dengan kepentingan yang akan
dicapai.
 Berbagai alternatif untuk mengatasi masalah dikaji.
 Konsekuensi ‘biaya-manfaat’ yang akan timbul dikaji
secara mendalam.
 Setiap alternatif dan konsekuensinya yang tersedia dapat
diperbandingkan.
 Setelah diperbandingkan, diambil keputusan yang
memberikan keuntungan besar pada kelompok sasaran.
Model Inkremental (penambahan)
 Mempertimbangkan beberapa alternatif yang dapat
dilakukan untuk mengatasi masalah, dan menilai
konsekuensinya (keuntungan – kerugian).
 Penyesuaian terhadap tujuan dan strategi dapat
dilakukan sebanyak mungkin bila dianggap dapat
memenuhi tujuan kebijakan.
 Para pengambil kebijakan dihadapkan pada kondisi
yang ‘tidak pasti’ berkaitan dengan konsekuensi
tindakan yang diambil.
 Para pengambil kebijakan memiliki kemampuan terbatas
(kurang waktu, kualitas SDM, anggaran, dsb) untuk
menganalisis semua alternatif kebijakan. Keputusan
yang diambil bersifat sangat terbatas, tapi dapat
dilakukan dan diterima.
Model Campuran (mixedscanning)

 Keputusan yang dibuat secara inkrementalis,


biasanya hanya merefleksikan kepentingan
kelompok-kelompok kuat/terorganisir, bersifat
jangka pendek, terbatas, dan mengabaikan
pembaharuan sosial yang mendasar (Amitai
Etzioni, 1967).
 Pendekatan ini merupakan ‘kompromi’ antara
model inkremental dan rasional-komprehensif.
 Pada dasarnya, kebijakan dapat berubah secara
radikal dan berbeda sama sekali. Ini merupakan
suatu kewajaran sesuai dengan situasi kebijakan
yang dapat berbeda-beda.
Tahap perumusan :

 Perumusan masalah, yakni mengenali dan


mendefinisikan suatu masalah publik secara tepat.
 Menyusun agenda kebijakan, yakni menseleksi
jenis masalah yang bernilai ‘altruistik’ untuk
menjadi agenda kebijakan prioritas pemerintah.
 Pemilihan alternatif, yakni menilai alternatif-
alternatif yang dapat untuk memecahkan masalah,
kemudian memilihnya.
 Penetapan kebijakan, yakni menetapkan alternatif
yang dipilih sehingga memiliki kekuatan hukum
yang mengikat (ratifikasi, mensahkan, di
undangkan, dsb).
Aktor-aktor kebijakan

 Lembaga/badan pemerintah (birokrasi). Aktor ini


tidak hanya sekedar pelaksan kebijakan, namun
seringkali membuat kebijakan yang mempunyai
implikasi luas.
 Eksekutif (Presiden, Gubernur, Bupati/Walikota).
Pihak eksekutif berperan besar dalam merumuskan
kebijakan atas dasar kepentingan politik tertentu,
membuat inisiatif pembuatan UU, membentuk
komisi-komisi penasehat presiden, dsb.
 Yudikatif (Mahkamah Agung, Mahkamah
Konstitusi, Kejaksaaan Agung). Lembaga ini
berperan dalam melakukan peninjauan/pengujian
kembali suatu produk kebijakan pemerintah, UU,
dsb.
 Legislatif (DPR, Senator/DPD, DPRD). Setiap UU yang
akan diberlakukan harus mendapatkan persetujuan
lembaga ini, baik melalui mekanisme dengar pendapat,
rapat komisi, dsb.
 Kelompok Kepentingan (interest atau pressure groups). Ini
merupakan kelompok-kelompok partikular seperti
pengusahan, guru, LSM, mahasiswa, petani, dsb yang
memiliki lobi kuat terhadap pejabat pemerintah/anggota
DPR.
 Partai Politik. Sebagai alat untuk meraih kekuasaan,
parpol berperan besar dalam mengagregasikan
kepentingan para konstituennya.
 Warga Individu. Anggota masyarakat dapat berperan
dalam perumusan kebijakan melalui jajak pendapat
(polling), pemilu, referendum, dsb.
Konteks Nilai Kebijakan
 Nilai politik, seperti kepentingan partai politik,
kelompok, dsb.
 Nilai organisasi, seperti tujuan dan kepentingan
lembaga jangka panjang, masalah insentif, dsb.
 Nilai ideologi, seperti tujuan negara jangka panjang,
karakter rejim (otoriter, demokratis, nasionalisme, dsb)
 Nilai pribadi, seperti kepentingan ekonomi, reputasu,
karir/jabatan, dsb.
 Budaya politik masyarakat, seperti nilai, kepercayaan,
perilaku, sikap, individualistik-komunalisme, modern-
tradisionalistik, pluralisme, sentimen etnik, agama, dsb.
 Kondisi sosial-ekonomi masyarakat, seperti masalah
ekonomi, kesenjangan sosial, kurs rupiah,
pengangguran, kriminalitas, dsb.

Anda mungkin juga menyukai