Anda di halaman 1dari 16

 Latar belakang dan urgensi diadakannya

pembaharuan hukum pidana dapat


ditinjau dari aspek sosio-politik, sosio-
filosofik, sosio-kultural atau dari berbagai
aspek kebijakan.
 Pembaharuan hukum pidana pada
hakekatnya mengandung makna, suatu
upaya untuk melakukan reorientasi dan
reformasi hukum pidana yang sesuai
dengan nilai-nilai sentral sosio-politik,
sosio-filosofik dan sosio-kultural.
 Pembaharuan hukum pidana (Penal
Reform) merupakan bagian dari
kebijakan/politik hukum pidana (Penal
Policy).
 Pembaharuan hukum pidana pada
hakikatnya harus ditempuh dengan
pendekatan yang berorientasi pada
kebijakan (policy-oriented approach) dan
sekaligus pendekatan yang berorientasi
pada nilai (value-oriented approach).
 Dilihat dari sudut pendekatan-kebijakan :
1. Sebagai bagian dari kebijakan sosial,
pembaharuan hukum pidana pada
hakikatnya merupakan bagian dari upaya
untuk mengatasi masalah-masalah
sosial;
2. Sebagai bagian dari kebijakan kriminal,
pembaharuan hukum pidana pada
hakikatnya merupakan bagian dari upaya
perlindungan masyarakat.
3. Sebagai bagian dari kebijakan
penegakan hukum, pembaharuan hukum
pidana pada hakikatnya merupakan
bagian dari upaya memperbaharui
substansi hukum dalam rangka lebih
mengefektifkan penegakan hukum.
 Dilihat dari sudut pendekatan-nilai :
 Pembaharuan hukum pidana pada
hakikatnya merupakan upaya melakukan
peninjauan dan penilaian kembali (re-
orientasi dan re-evaluasi) nilai-nilai sosio-
politik, sosio-filosofik dan sosio kultural
yang melandasi dan memberi isi terhadap
muatan normatif dan substantif hukum
pidana yang dicita-citakan.
 Dua masalah sentral dalam kebijakan
kriminal dengan menggunakan sarana
penal (hukum pidana) ialah masalah :

a) Perbuatan apa yang seharusnya dijadikan


tindak pidana;
b) Sanksi apa yang sebaiknya digunakan
atau dikenakan kepada pelanggar.
 Kedua masalah sentral tersebut adalah
dalam rangka “kriminalisasi” di mana
kriminalisasi adalah proses untuk
menjadikan suatu perbuatan yang semula
bukan tindak pidana menjadi tindak
pidana.
 Proses kriminalisasi sangat urgen dalam
politik hukum pidana terutama pada tahap
formulasinya.
 Proses kriminalisasi diakhiri dengan
terbentuknya peraturan perundang-
undangan di mana perbuatan tersebut
diancam dengan suatu sanksi berupa
pidana (tahap formulasi).
 Kemudian dengan terbentuknya peraturan
perundangan hukum pidana tersebut
maka aparat penegak hukum siap untuk
menerapkan peraturannya (tahap
aplikasi).
 Selanjutnya apabila dijatuhkan pidana,
maka akan dilaksanakan oleh kekuasaan
administrasi (tahap eksekusi).
 Untuk menentukan suatu perbuatan itu
sebagai tindak kriminal (kriminalisasi),
perlu memperhatikan kriteria umum
sebagai berikut :
1. Penggunaan hukum pidana harus
memperhatikan tujuan pembangunan
nasional, yaitu mewujudkan
masyarakat adil dan makmur yang
merata materiil dan spiritual
berdasarkan Pancasila.
2. Penggunaan hukum pidana harus pula
memperhitungkan prinsip biaya dan hasil
(cost benefit principle).
3. Perbuatan yang diusahakan untuk
dicegah atau ditanggulangi dengan
hukum pidana harus merupakan
“perbuatan yang tidak dikehendaki”,
yaitu perbuatan yang mendatangkan
kerugian materiil dan atau spiritual atas
warga masyarakat.
4. Penggunaan hukum pidana harus pula
memperhatikan kapasitas atau
kemampuan daya kerja dari badan-
badan penegak hukum, yaitu jangan
sampai ada kelampauan beban tugas.
SUATU
PERBUATAN

1. TUJUAN NASIONAL
2. BIAYA & HASIL TAHAP EKSEKUSI
3. MERUGIKAN
4. KEMAMPUAN &
KAPASITAS PENEGAK
TAHAP APLIKASI
HUKUM

1. PERBUATAN PIDANA TAHAP


2. SANKSI FORMULASI
 Sebelum tahap formulasi dilakukan selain
diperlukan kriminalisasi juga tidak kalah
pentingnya tentang individualisasi pidana
yakni :

1. Pertanggungjawaban (pidana) bersifat


pribadi/ perorangan (asas personal);
2. Pidana hanya diberikan kepada orang
yang bersalah (asas culpabilitas);
3. Pidana harus disesuaikan dengan
karakteristik dan kondisi si pelaku. Hal
ini berarti harus ada kelonggaran/
fleksibilitas bagi hakim dalam memilih
sanksi pidana.

Anda mungkin juga menyukai