Jelajahi eBook
Kategori
Jelajahi Buku audio
Kategori
Jelajahi Majalah
Kategori
Jelajahi Dokumen
Kategori
Eksoftalmus
Os. Zygomaticum
Sinus maxillaris
Os. Ethmoidale
Os. Lacrimale
Abhijit A et all . 2012. Imaging of skull base: Pictorial essay. Department of Radiology, Seven Hills Hospital, Mumbai, India. Vol : 22 . Page : 305-316
Tulang-tulang orbita terdiri dari:
Bagian atas : os frontalis, os sphenoidalis
Bagian medial : os maksilaris, os lakrimalis, os
sphenoidalis, os ethmoidalis, lamina papyracea
hubungan ke os sphenoidalis. Dinding ini paling tipis.
Bagian bawah : os maksilaris, os zigomatikum,os
palatinum.
Bagian lateral : os zigomatikum, os sphenoidalis,
os frontalis. Dinding ini paling tebal.
Netter, Frank H. ATLAS OF HUMAN ANATOMY 25th Edition. Jakarta: EGC, 2014
Di ruang orbita terdapat 3 lubang yang dilalui oleh pembuluh darah, serat saraf,
yang masuk ke dalam mata, yang terdiri dari:
• Foramen optikum yang dilalui oleh N. Optikus, A. Oftalmika.
• Fisura orbita superior yang dialalui oleh v. Oftalmika, N. III, IV, VI untuk otot-otot
dan N.V (saraf sensibel).
• Fisura orbita inferior yang dialalui oleh nervus, vena, dan arteri infra orbita.
Kan’ski. 2016. Clinical Opthalmology A Systematic Approach. Elsivier. Ed: 8 th. Page : 78
Etiologi
Penyebabnya bisa bermacam-macam, diantaranya:
1. Kavum orbita terlalu dangkal.
2. Edema, radang, tumor, perdarahan di dalam orbita.
3. Pembesaran dari bola mata.
4. Dilatasi dari ruangan di sinus-sinus di sekitar mata dengan berbagai
sebab, radang, tumor, dan sebagainya.
5. Trombosis dari sinus kavernosus.
6. Paralisis mm. Rekti.
7. Eksoftalmus goiter.
8. Pulsating eksoftalmus.
9. Intermiten eksoftalmus.
Epidemiologi
Teja nithin et all. An etiological analysis of proptosis. Department of Ophthalmology, Mamata Medical College, Khammam, Telang
2015 Oct;Vol.3.Pp:2584-2588
Diagnosis
Pemeriksaan pada eksoftalmus yang harus dilakukan adalah:
1. Riwayat penyakit.
2. Pemeriksaan mata secara sistematis dan teliti, dapat dilakukan
dengan penyinaran oblik, slit lamp, funduskopi, tonometri,
eksoftalmometer, dimana normal penonjolan mata sekitar 12-20 mm.
Selain itu dapat pula dilakukan tes lapangan pandang dan pemeriksaan
visus
Pengukuran Proptosis, untuk mengetahui derajat proptosisdengan
membandingkan ukuran kedua mata.Normalnya nilai penonjolan tidak
melebihi 20 mm atau bedakedua mata tidak lebih dari 3 mm.
Pengukuran dilakukandengan eksoftalmometer Hertel
Pemeriksaan penunjang yaitu pemeriksaan laboratorium, USG, CT-Scan,
arteriografi, dan venografi dapat membantu dalam menegakkan diagnosis.
Pemeriksaan laboratorium dapat berupa uji antibodi (anti-tiroglobulin,
anti-mikrosomal, dan anti-tirotropin reseptor) dan kadar hormon-hormon
tiroid (T3, T4 dan TSH).
Pemeriksaan Ultrasound merupakan suatu penilaian terhadap jaringan
lunak dengan menggunakan getaran suara.
CT-Scan dan MRI dibutuhkan jika dicurigai keikutsertaan nervus optic. CT-Scan
sangat bagus untuk menilai otot ekstraokular, lemak intraconal, dan apeks
orbital. Sedangkan untuk MRI lebih baik dalam menilai kompresi nervus optik
dibandingkan CT-Scan.
Arteriografi bisa dilakukan dengan penyuntikan kontras melalui a. Karotis
dapat dilihat bentuk dan jalannya arteri oftalmika. Venografi untuk melihat
bentuk dan kaliber vena oftalmika superior.
TIROID OFTALMOPATI
• Dinding bagian medial orbita sangat tipis dan dapat dilalui oleh pembuluh darah dan
saraf. Dengan adanya keadaan tersebut dapat memudahkan terjadinya penyebaran
mikroorganisme penyebab infeksi khususnya antara rongga ethmoid dan ruang
subperiorbital pada bagian medial orbita. Lokasi yang paling tersering terkena abses
subperiorbital adalah sepanjang dinding medial orbita, karena pada medial orbita bagian
ini termasuk jaringan penyambung jarang sehinga memudahkan penyebaran material-
material abses tersebut ke arah lateral, superior dan inferior didalam ruang
subperiorbital.
• Disamping itu penyebaran dari bagian otot-otot ekstraokular dan septum intermuskular
terjadi diantara otot rektus yang satu dan yang lain serta berinsersi pada bagian posterior
annulus zinii. Pada bagian posterior fascia diantara otot-otot rektus yang tipis dan tidak
sempurna ini dapat memudahkan penyebaran infeksi di bagian intra dan ekstra piramid
pada ruang orbita. Penyebaran infeksi juga dapat terjadi melalui vena orbitalis yang
memperdarahi sepertiga bagian medial wajah terutama sinus paranasal.
• Pada kasus selultis orbita dengan penyebabnya jamur terutama mucor dan aspergillus sp
bisa terdapat dua keadaan mucomycosis dan aspergillosis.
Pemeriksaan fisik dan riwayat penyakit
Penelusuran riwayat penyakit dan pemeriksaan fisik merupakan salah satu elemen penting dalam
mendiagnosa selulitis orbital. Pasien biasanya mengeluhkan demam, malaise, riwayat sinusitis dan
infeksi saluran nafas bagian atas. Perlu untuk ditanyakan riwayat trauma, operasi yang pernah
dilakukan atau ada tidaknya infeksi sistemik yang sedang atau mungkin pernah dialami.
Selain gejala-gejala diatas juga terdapat gejala-gejala tambahan yaitu :
1. Kemosis konjungtiva
2. Penurunan penglihatan
3. Peningkatan tekanan intraokular
4. Nyeri pada saat mengerakan mata
5. Sakit kepala
6. Edema palpebra
7. Rhinorhea
pemeriksaan fisik dapat ditemukan :
Pemeriksaan radiologi
• CT-Scan dengan kontras dengan dua cara pengambilan :
• Axial : untuk mengetahui ada tidaknya pembentukan abses otak pada bagian
peridural dan parenkim.
• Koronal : untuk mengetahui ada tidaknya abses subperiorbital, namun pda potongan
ini sangat sulit dilakukan pada anak-anak yang tidak kooperatif dan yang sedang
mengalami onset akut penyakit ini. Hal ini diakibatkan karena membutuhkan
hiperfleksi atau hiperekstensi dari leher.
• MRI : untuk mengetahui ada tidaknya abses orbital dan kemungkinan terjadinya
penyakit sinus kavernosa.
• Jika terdapat gejala-gejala menigeal pungsi lumbar sangat penting untuk dilakukan.
Terapi medikamentosa
Antibiotik :
• Vancomycin
• Clindamycin
• Ceftazidime
• Nafcilin
• Chloromycetin
Dekongestan nasal
• Phenylephrine nasal
Anti fungal
• Amphotericin B
• Drug of choice dalam pengobatan selulitis orbital karena jamur. Diberikan secara
intravena dan sangat baik diberikan sebelum konfirmasi hasil laboratorium pada kasus
infeksi berat.
Tindakan operatif
• Terjadi penurunan penglihatan.
• Defek aferen pupil terjadi
• Proptosis tetap terjadi meskipun telah diberikan antibiotik.
• Ukuran dari abses pada sinus tidak berkurang pada CT scan dalam
jangka waktu 48-72 jam pasca pemberian terapi antibiotik.
• Dapat dilakukan crainiotomy jika terdapat abses pada otak.
Komplikasi
Komplikasi selulitis orbital dapat terjadi di bagian orbita itu sendiri
atau menyebar ke bagian intracranial. Abses subperiorbital dapat terjadi
(7-9%). Kehilangan penglihatan permanen dapat terjadi akibat kerusakan
kornea atau neurotropik keratitis, rusaknya jaringan intraokular,
glaukoma sekunder, neuritis optik, dan oklusi arteri centralis retina.
Kebutaan juga bisa terjadi secara sekunder akibat peningkatan tekanan
intraorbital atau infeksi secara langsung pada nervus optikus melalui
sinus sfenoid dan nervus okulomotor sehingga dapat mengakibatkan
kelemahan otot-otot ekstraokular. Komplikasi intrakranial meliputi
meningitis (2%), trombosis sinus kavernosus (1%), abses intrakranial,
subdural dan epidural
Retino blastoma
• Retinoblastoma merupakan tumor ganas yang berkembang dari sel-
sel retinoblast.
Kaufman PL, Paysse EA. Overview of retinoblastoma. In: UpToDate, Post TW (Ed),UpToDate, Waltham, MA, 2014.
Epidemiologi
• It is a cancer of the very young; two-thirds are diagnosed before 2 years of age,
and 95% before 5 years.
• The average age-adjusted incidence rate of retinoblastoma in the United States
and
Europe is 2-5 / 10*6approximately 1 in 14,000 – 18,000 live births.
• It appears to be higher (6-10/10*6 children) in Africa, India, and among children
of Native American descent in the North
American continent.
• These geographical variations are due to ethnic or socioeconomic factors is not
well known
• The fact that even in industrialized countries an increased
incidence of retinoblastoma is associated with poverty and low levels of maternal
education.
Kaufman PL, Paysse EA. Overview of retinoblastoma. In: UpToDate, Post TW (Ed),UpToDate, Waltham, MA, 2014.
Manifestasi klinis
• Bilateral herediter 25% Mutasi gen RB 1
• Unilateral Non-herediter 75%
• Tanda khas pada retinoblastoma adalah keluhan mata putih pada anaknya,
menyala saat terkena cahaya lampus serta strabismus Cat eye
• The most common presenting sign of retinoblastoma is
leukocoria, and some patients may also present with strabismus.
• As the disease advances,
patients present with buphthalmos, orbital, and metastatic disease.
Kaufman PL, Paysse EA. Overview of retinoblastoma. In: UpToDate, Post TW (Ed),UpToDate, Waltham, MA, 2014.
Stadium Retinoblastoma
1. Leukokoria Visus 0 Hidup masih bisa di selamatkan
Enukleasi Kemoterapi
2. Glaukomatosus Tumor sudah berkembang hingga memenuhi
bola mata Enukleasi Kemoterapi
3. Ekstraokuler proptosis (+), segmen anterior mata rusak
Prognosis kurang baik
4. Metastasis kelenjar limfe preaurikuler atau sub mandibular
Tulang kepala, tulang-tulang distal, otak, dll.
Isidro, M. A., and H. Roy. 2012.
Retinoblastoma.
Diambil dari :http://emedicine.medscape.com/article/1222849-
overview. Diakses tanggal 10 Agustus 2017
Mehta M et all. 2014. Retinoblastoma Singapore Med J 2012; 53(2) : 128
Mehta M et all. 2014. Retinoblastoma Singapore Med J 2012; 53(2) : 128
Mehta M et all. 2014. Retinoblastoma Singapore Med J 2012; 53(2) : 128
Terapi
• Enukleasi
• Kemoterapi
TENOSITIS
Penyumbatan ini biasanya disebabkan oleh penyebaran infeksi bakteri dari sinus atau di
sekitar hidung. Infeksi menyebar dari sinus atau kulit di sekitar hidung ke otak secara
langsung maupun melalui vena.
• Penonjolan bola mata
• sakit kepala hebat
• koma
• kejang
• kelainan sistem saraf lainnya
• demam tinggi
Terapi
• Segera diberikan antibiotik dosis tinggi secara intravena (melalui
pembuluh darah). Jika dalam waktu 24 jam keadaan penderita tidak
membaik, dilakukan pembedahan untuk mengeringkan sinus
(drainase).
KESIMPULAN
• Eksoftalmus (proptosis, protrusio bulbi) merupakan keadan dimana bola mata
menonjol keluar. Penonjolan bola mata adalah tanda utama penyakit orbita.
Penyebabnya bisa bermacam-macam misalnya infeksi, tumor, gangguan vaskuler,
dan gangguan system endokrin. Semua penyebab di atas mengakibatkan timbul
bendungan di palpebra dan konjungtiva, gerak mata terganggu, diplopia, rasa
sakit bila bengkak hebat, lagoftalmus karena mata tidak bisa menutup sempurna
sehingga menyebabkan epifora. Tarikan pada N. II menyebabkan gangguan visus.
• Eksoftalmus diterapi berdasarkan penyakit yang mendasarinya. Diperlukan
anamnesis dan pemeriksaan yang tepat untuk dapat menentukan penyebab dari
eksoftalmus. Dengan diketahuinya penyakit yang mendasari terjadinya
eksoftalmus maka dapat dilakukan terapi yang tepat. Terapi yang dimaksud bisa
dengan obat-obatan misalnya untuk infeksi dan gangguan endokrin. Dan bisa juga
dilakukan tindakan bedah misalnya untuk gangguan vaskuler dan tumor.
Daftar Pustaka
1. Burnside, John W et al. 2011. Diagnosis Fisik. Jakarta;EGC
2. Bartley et al. The incidence of graves ophtalmopathy in Olmsted County,
minessota. Am J. opthalmol. Oct.2013;120 (4):511-7
3. Vaughan dan Asbury.2015. Oftalmologi Umum Vaughan dan Asbury, Jakarta
EGC
4. Lumbantobing, S.M. 2012. Neurologi Klinik Pemeriksaan Fisik dan Mental
5. Yanoof & Duker. 2008. Ophthalmology, 3rd Ed. USA: Mosby – Elsevier.
6. Dorland , W.A. Newman,2002,Kamus Kedokteran Dorland, Jakarta ; EGC.
7. Henderson JW. Orbital tumor 3rd .New York: Raven Press; 1994\
8. Tellez M, cooper et al. Graves opthalmopathy in relation to cigarrate smoking
and ethnic origin. Clin endocrinol (oxf). Mar 1992;36(3):291-4
9. Hranilovic-Jasna Talan et al. Orbital Tumors and Pseudotumors. Acta Clin
Croat, Vol.43. No2.2004 di unduh 12/18/2014
10. Karcioglu , Zeynel A.2004. Orbital Tumors Diagnosis and
Treatment.USA;Springer
11. Katzung, Betram G,1997, Farmakologi Dasar dan Klinik. Didalam H, Azwar
Agoes (ed), basic and ClinicalPharmacology, Jakarta:EGC.