Anda di halaman 1dari 49

Gaya Bahasa

Gaya Bahasa: Cara mempergunakan


bahasa secara imajinatif. (John Wariner)

Gaya Bahasa: Cara mengungkapkan


pikiran melalui bahasa secara khas yang
memperlihatkan jiwa atau kepribadian
penulis. (Goris Keraf)
Dalam bahasa jurnalistik gaya bahasa
tidak dipakai dalam menulis berita
langsung (straight news). Gaya bahasa
dalam jurnalistik hanya dipakai pada
penulisan tajuk rencana, artikel, kolom,
laporan khas (feature), laporan mendalam
(depth reporting).
Gaya bahasa sering kali digunakan oleh
wartawan majalah atau tabloid.

Wartawan surat kabar hanya


menggunakan pada jenis tulisan tajuk
rencana, artikel, kolom, feature, depth
reporting.

Dalam memakai gaya bahasa wartawan


harus tetap obyektif.
1. Perumpamaan
Membandingkan dua hal berbeda
sehingga dianggap memiliki unsur-unsur
persamaan di antara keduanya. Sifat-
sifat atau ciri-ciri pokok yang melekat
pada obyek perbandingan, seolah
ditonjolkan sehingga tampak lebih
mencolok.
Contoh:
1. Penjahat itu licin seperti belut.
2. Hubungan keduanya seperti kucing
dengan anjing.
3. Megawati dan SBY itu bagai air dengan
minyak.
4. Dia gembira seperti mendapat durian
runtuh.
5. Hubungan kedua artis itu bagai kumbang
dan madu.
6. Obama tersenyum laksana jenderal
menang perang.
7. Kakak beradik itu ibarat bumi dengan
langit.
2. Metafora.

Pemakaian kata-kata bukan arti yang


sebenarnya, melainkan sebagai lukisan
yang berdasarkan persamaan atau
perbandingan.
Dalam metafora kata bagai, bak, ibarat,
seperti, laksana tidak dimunculkan.

Para wartawan dianjurkan sesekali


menggunakan metafora secara fungsional
dan variatif.
Contoh:

1. Tommy memang anak emas Soeharto.


2. Isu mundur Menteri Keuangan sudah jadi
buah bibir.
3. Pihak kepolisian seperti cuci tangan.
4. Artis itu memang dikenal mata
keranjang.
5. Dia tak sadar telah dijadikan kelinci
percobaan.
6. Habibie memang dikenal gudang ilmu.
7. Buku adalah jendela dunia.
8. Mobilnya raib ditelan bumi.
9. Kegagalan itu membuatnya patah arang.
10. Dia dikenal suami yang ringan tangan.
3. Personifikasi
Gaya bahasa perbandingan yang
mengandalkan benda-benda mati,
termasuk gagasan atau konsep yang
abstrak, berperilaku seperti manusia yang
bisa menggerakkan tubuhya.
Contoh:

1. Pantai yang indah dengan nyiur


melambai.
2. Mentari menyengat tajam di siang
bolong.
3. Laut tenang, ombak berkejar-kejaran.
4. Gunung Merapi terbatuk-batuk sejak
pekan lalu.
5. Dingin malam memeluk tubuh pria itu.

6. Kawasan Malioboro menjadi saksi mata


lahirnya generasi seniman baru.

7. Jakarta memang kejam, tak sedikit


perantau yang gagal hidup di kota itu.
4. Depersonifikasi
Merupakan kebalikan dari personifikasi.
Depersonifikasi mengandaikan manusia
atau segala hal yang hidup, bernyawa
sebagai benda-benda mati. Gaya bahasa
ini dalam bahasa jurnalistik digunakan
terutama untuk menunjukkan situasi,
posisi, atau kondisi seseorang,
sekelompok orang sifatnya pasif.
Contoh:

1. Dari tadi kakek tua itu mematung.


2. Wajah gadis itu membeku.
5. Antitesis
Gaya bahasa yang mengadakan
perbandingan antara dua antonim yaitu
kata-kata yang mengandung ciri-ciri
semantik yang bertentangan.
Gaya bahasa ini sering digunakan dalam
bahasa jurnalistik sastra.
Contoh:
1. Kecantikannyalah yang membawa dirinya ke
lembah nista.
2. Dia bersukacita kalau aku dipenjara.
3. Dia jaksa yang dipenjara karena kasus suap.
4. Karena tinja pria setengah baya itu bisa naik
haji tiga kali.
5. Tumpukan sampah dan benda rongsokan inilah
yang melahirkan santri-santri berakhlak mulia.
6. Antisipasi
Gaya bahasa dengan pernyataan
mendahului tentang sesuatu yang masih
akan dikerjakan atau yang akan terjadi.
Pemakaian gaya bahasa ini banyak
ditemukan dalam jurnalistik olah raga dan
jurnalistik kriminal.
Contoh:
1. Tiga hari sebelumnya, gadis malang itu masih
sempat singgah ke salon di dekat rumahnya.
2. Masih dua tahun lagi Piala Dunia digelar, tapi
Afrika Selatan sudah bersolek habis-habisan.
3. Hatinya berbunga-bunga, minggu depan ia akan
disunting pengusaha kaya-raya dari negeri jiran
Malaysia.
7. Hiperbola
Gaya bahasa yang mengandung
pernyataan yang melebih-elbihkan
jumlahnya, ukurannya, atau sifatnya,
dengan maksud memberi penekanan
pada suatu pernyataan atau situasi untuk
memperhebat, meningkatkan kesan dan
pengaruhnya.
Contoh:
1. Sedikitnya 120 rumah rata dengan tanah
disapu badai.
2. Jakarta nyaris tenggelam dilanda banjir.
3. Suara sirene memecah kesunyian
malam.
4. Kini Bandung tak pernah tidur.
8. Ironi
Gaya bahasa yang menyatakan makna
yang bertentangan dengan maksud
berolok-olok.
Dalam bahasa jurnalistik digunakan untuk
mengkritik, mengkoreksi situasi yang tidak
sesuai dengan harapan.
Contoh:
1. Jakarta kota modern tapi selalu banjir.
2. Bandung kota kembang yang penuh
sampah.
3. Meski pernah terlibat penculikan aktivis
HAM, ia tetap mencalonkan diri menjadi
presiden.
4. Indonesia yang damai ternyata sarang
teroris.
9. Oksimoron
Gaya bahasa yang mengandung
pertentangan dengan mempergunakan
kata-kata yang berlawanan dalam frasa
yang sama.
Dalam perspektif jurnalistik oksimoron bisa
digunakan untuk mengingatkan tentang
berbabagai pilihan yang dapat ditempuh
masyarakat.
Contoh:
1. Terjun payung adalah olah raga berisiko
kematian, tetapi eksekutif muda itu
sangat menyukainya.
2. Perang bisa menciptakan perdamaian
tetapi juga bisa menimbulkan
kehancuran.
9. Inuendo
Gaya bahasa yang berupa sindiran
dengan mengecilkan kenyataan yang
sebenarnya. Inuendo mengandung unsur
eufemisme.
Media massa menggunakan inuendo
sebagai sarana kritik. Pihak yang dikritik
umumnya menerima atau merasa tidak
dipermalukan di depan umum.
Contoh:
1. Pidatonya disambut dingin karena tidak
menyinggung kenaikkan gaji.
2. Tiga tahun pemerintahan Fauzi Bowo,
belum menghasilkan perubahan berarti.
3. Kekurangan anggota DPR hanya satu,
ketidakpedulian terhadap penderitaan
rakyat.
10. Paradoks
Gaya bahasa yang mengandung pertentangan
yang nyata dengan fakta-fakta yang ada.
Paradoks termasuk gaya bahasa yang sering
digunakan jurnalis untuk menunjukkan dengan
tegas, betapa tokoh atau narasumber yang
dikisahkan, benar-benar sedang menghadapi
keadaan atau tekanan tertentu, baik secara
psikologis atau sosiologis.
Contoh:
1. Dia menderita dalam keluarga yang
bahagia.
2. Mantan pejabat itu merasa bahagia
setelah masuk penjara.
3. Panen melimpah namun petani menangis.
4. Penipu yang pintar sekaligus bodoh.
11. Sinekdoke
Gaya bahasa yang mengatakan sebagian
untuk pengganti keseluruhan.
Karya jurnalistik selalu menggunakan
gaya bahasa sinekdoke, terutama
jurnalistik olah raga dan jurnalistik luar
negeri.
Contoh:
1. Melawan Medan, Bandung belum pernah
menang.
2. Jakarta marah atas keputusan Kuala
Lumpur menangkap 3 petugas DKP.
3. Para pengunjuk rasa adu mulut dengan
polisi.
4. Indonesia berjaya dalam Asian Beach
Games di Bali.
12. Eponim
Gaya bahasa yang mengandung nama
seseorang yang begitu sering
dihubungkan dengan sifat tertentu. Nama
tersebut digunakan untuk menunjukkan
sifat tertentu.
Eponim digunakan sebagai variasi agar
tidak monoton.
Contoh:
1.Dewi Fortuna – untuk keberuntungan.

2.Hercules – untuk kekuatan.

3.Srikandi – untuk pahlawan perempuan.

4.Dewi Sri - untuk kesuburan tanah.


 Eponim hanya diizinkan untuk karya-karya
jurnalistik yang sifatnya invidual, seperti
laporan perjalanan, artikel, kolom, dan
laporan khas (feature). Eponim tidak boleh
digunakan pada karya jurnalistik seperti
straight news (berita langsung) dan
comprehensive news (berita menyeluruh).
12. Epitet
Gaya bahasa yang mengandung acuan
yang menyatakan suatu sifat atau ciri
khas dari seseorang atau sesuatu hal.
Contoh:
1. Raja rimba – untuk singa
2. Puteri malam - untuk bulan
3. Lonceng pagi - ayam jantan
Epitet sering digunakan jurnalistik olah
raga. Kenapa? Karena jurnalistik olah raga
sarat dengan unsur konflik, ada yang
menang ada yang kalah. Berbagai istilah,
julukan, atau ungkapan khas olah raga
diciptakan dan dimasyarakatkan.
Contoh:

1. Persib dijuluki maung Bandung.


2. PSMS Medan dijuluki ayam kinantan.
3. Persebaya dijuluki bajul ijo.
Kekayaan Bahasa
Idiom
Kekayaan ungkapan dalam bahasa yang
tidak dapat dipersamakan dengan bahasa
lain. Idiom di suatu tempat dapat berbeda
dengan tempat lain.
Makna yang terkandung dalam idiom
terjadi begitu saja karena pengaruh
lingkungan masyarakat bahasanya.
Dalam pers Indonesia penggunaan idiom
atau ungkapan sering dilakukan
berhubung dengan berbagai peristiwa.
Idiom berguna untuk mengungkapkan
sesuatu dengan cara yang berbeda dan
lebih hidup.
Contoh:
1. Dia termasuk keturunan berdarah biru.
2. Mereka adalah kaki tangan John Key.
3. Indonesia mati angin menghadapi Jerman.
4. Lingkungan menyebabkan dia terjerumus
ke dalam dunia hitam.
5. Satu demi satu usahanya gulung tikar.
Kata Gabung Tetap
Termasuk pula sebagai idiom, karena
berpasangan tanpa bisa dihilangkan salah
satu katanya.
Dalam bahasa Inggris juga terdapat kata
gabung tetap. She stood in front of me.
Kata of menempel dan tidak dapat
dihilangkan.
Contoh:
Terdiri dari/atas hormat kepada
Sesuai dengan disebabkan oleh
Dibanding dengan diperuntukkan bagi
Bergantung pada lepas dari
Bangga atas/akan
Benci akan
Berkait dengan
Contoh:
1. Kebijakannya sesuai dengan peraturan yang
berlaku.
2. Keberhasilan reformasi bergantung pada
kejujuran pelaksana negara.
3. Surat keputusan itu terdiri dari lima pasal.
4. Sekolah ini diperuntukkan bagi anak-anak
miskin.
5. Banjir disebabkan oleh kerusakan lingkungan.
Peribahasa
Sama halnya dengan idiom, hanya
terkadang makna yang dikandung
peribahasa dapat dilacak melalui simbol
yang diwujudkan dalam kata-kata.
Contoh:
1. Bagai air di daun talas: orang yang
mudah berubah pendirian.
2. Menghilangkan jejak bagi harimau: orang
yang pandai menyembunyikan
kejahatannya.
3. Bagai ayam kena kepala: tidak dapat
berbuat apa-apa karena malu tepat
mengenai diri sendiri.
Fungsi peribahasa dalam tulisan sama
dengan idiom, yaitu memperkuat dan
menghidupkan tulisan.
Ada dua cara penulisan dalam di media
massa kita; secara komplet dan hanya
memetik sebagian dari peribahasa
tersebut.
Contoh:
1. Meski nilai asetnya masih jauh panggang
dari api, toh pemerintah sudah puas.
2. Dalam pemilu rakyat hendaknya
waspada, jangan beli kucing dalam
karung.
3. Upaya yang dilakukan pemerintah di
Porong seperti menggantang asap.
Dalam menggunakan peribahasa, jurnalis
dapat pula memodifikasi untuk
menimbulkan efek lebih kuat dari kalimat
tersebut. Contoh:
1. Tak ada plastik bambu pun jadi.
2. Sedia payung sebelum bencana terjadi.
3. Ibarat nila setitik rusak citra seluruh
anggota dewan.
Terima Kasih

Anda mungkin juga menyukai