pikiran melalui bahasa secara khas yang memperlihatkan jiwa atau kepribadian penulis. (Goris Keraf) Dalam bahasa jurnalistik gaya bahasa tidak dipakai dalam menulis berita langsung (straight news). Gaya bahasa dalam jurnalistik hanya dipakai pada penulisan tajuk rencana, artikel, kolom, laporan khas (feature), laporan mendalam (depth reporting). Gaya bahasa sering kali digunakan oleh wartawan majalah atau tabloid.
Wartawan surat kabar hanya
menggunakan pada jenis tulisan tajuk rencana, artikel, kolom, feature, depth reporting.
Dalam memakai gaya bahasa wartawan
harus tetap obyektif. 1. Perumpamaan Membandingkan dua hal berbeda sehingga dianggap memiliki unsur-unsur persamaan di antara keduanya. Sifat- sifat atau ciri-ciri pokok yang melekat pada obyek perbandingan, seolah ditonjolkan sehingga tampak lebih mencolok. Contoh: 1. Penjahat itu licin seperti belut. 2. Hubungan keduanya seperti kucing dengan anjing. 3. Megawati dan SBY itu bagai air dengan minyak. 4. Dia gembira seperti mendapat durian runtuh. 5. Hubungan kedua artis itu bagai kumbang dan madu. 6. Obama tersenyum laksana jenderal menang perang. 7. Kakak beradik itu ibarat bumi dengan langit. 2. Metafora.
Pemakaian kata-kata bukan arti yang
sebenarnya, melainkan sebagai lukisan yang berdasarkan persamaan atau perbandingan. Dalam metafora kata bagai, bak, ibarat, seperti, laksana tidak dimunculkan.
Para wartawan dianjurkan sesekali
menggunakan metafora secara fungsional dan variatif. Contoh:
1. Tommy memang anak emas Soeharto.
2. Isu mundur Menteri Keuangan sudah jadi buah bibir. 3. Pihak kepolisian seperti cuci tangan. 4. Artis itu memang dikenal mata keranjang. 5. Dia tak sadar telah dijadikan kelinci percobaan. 6. Habibie memang dikenal gudang ilmu. 7. Buku adalah jendela dunia. 8. Mobilnya raib ditelan bumi. 9. Kegagalan itu membuatnya patah arang. 10. Dia dikenal suami yang ringan tangan. 3. Personifikasi Gaya bahasa perbandingan yang mengandalkan benda-benda mati, termasuk gagasan atau konsep yang abstrak, berperilaku seperti manusia yang bisa menggerakkan tubuhya. Contoh:
1. Pantai yang indah dengan nyiur
melambai. 2. Mentari menyengat tajam di siang bolong. 3. Laut tenang, ombak berkejar-kejaran. 4. Gunung Merapi terbatuk-batuk sejak pekan lalu. 5. Dingin malam memeluk tubuh pria itu.
6. Kawasan Malioboro menjadi saksi mata
lahirnya generasi seniman baru.
7. Jakarta memang kejam, tak sedikit
perantau yang gagal hidup di kota itu. 4. Depersonifikasi Merupakan kebalikan dari personifikasi. Depersonifikasi mengandaikan manusia atau segala hal yang hidup, bernyawa sebagai benda-benda mati. Gaya bahasa ini dalam bahasa jurnalistik digunakan terutama untuk menunjukkan situasi, posisi, atau kondisi seseorang, sekelompok orang sifatnya pasif. Contoh:
1. Dari tadi kakek tua itu mematung.
2. Wajah gadis itu membeku. 5. Antitesis Gaya bahasa yang mengadakan perbandingan antara dua antonim yaitu kata-kata yang mengandung ciri-ciri semantik yang bertentangan. Gaya bahasa ini sering digunakan dalam bahasa jurnalistik sastra. Contoh: 1. Kecantikannyalah yang membawa dirinya ke lembah nista. 2. Dia bersukacita kalau aku dipenjara. 3. Dia jaksa yang dipenjara karena kasus suap. 4. Karena tinja pria setengah baya itu bisa naik haji tiga kali. 5. Tumpukan sampah dan benda rongsokan inilah yang melahirkan santri-santri berakhlak mulia. 6. Antisipasi Gaya bahasa dengan pernyataan mendahului tentang sesuatu yang masih akan dikerjakan atau yang akan terjadi. Pemakaian gaya bahasa ini banyak ditemukan dalam jurnalistik olah raga dan jurnalistik kriminal. Contoh: 1. Tiga hari sebelumnya, gadis malang itu masih sempat singgah ke salon di dekat rumahnya. 2. Masih dua tahun lagi Piala Dunia digelar, tapi Afrika Selatan sudah bersolek habis-habisan. 3. Hatinya berbunga-bunga, minggu depan ia akan disunting pengusaha kaya-raya dari negeri jiran Malaysia. 7. Hiperbola Gaya bahasa yang mengandung pernyataan yang melebih-elbihkan jumlahnya, ukurannya, atau sifatnya, dengan maksud memberi penekanan pada suatu pernyataan atau situasi untuk memperhebat, meningkatkan kesan dan pengaruhnya. Contoh: 1. Sedikitnya 120 rumah rata dengan tanah disapu badai. 2. Jakarta nyaris tenggelam dilanda banjir. 3. Suara sirene memecah kesunyian malam. 4. Kini Bandung tak pernah tidur. 8. Ironi Gaya bahasa yang menyatakan makna yang bertentangan dengan maksud berolok-olok. Dalam bahasa jurnalistik digunakan untuk mengkritik, mengkoreksi situasi yang tidak sesuai dengan harapan. Contoh: 1. Jakarta kota modern tapi selalu banjir. 2. Bandung kota kembang yang penuh sampah. 3. Meski pernah terlibat penculikan aktivis HAM, ia tetap mencalonkan diri menjadi presiden. 4. Indonesia yang damai ternyata sarang teroris. 9. Oksimoron Gaya bahasa yang mengandung pertentangan dengan mempergunakan kata-kata yang berlawanan dalam frasa yang sama. Dalam perspektif jurnalistik oksimoron bisa digunakan untuk mengingatkan tentang berbabagai pilihan yang dapat ditempuh masyarakat. Contoh: 1. Terjun payung adalah olah raga berisiko kematian, tetapi eksekutif muda itu sangat menyukainya. 2. Perang bisa menciptakan perdamaian tetapi juga bisa menimbulkan kehancuran. 9. Inuendo Gaya bahasa yang berupa sindiran dengan mengecilkan kenyataan yang sebenarnya. Inuendo mengandung unsur eufemisme. Media massa menggunakan inuendo sebagai sarana kritik. Pihak yang dikritik umumnya menerima atau merasa tidak dipermalukan di depan umum. Contoh: 1. Pidatonya disambut dingin karena tidak menyinggung kenaikkan gaji. 2. Tiga tahun pemerintahan Fauzi Bowo, belum menghasilkan perubahan berarti. 3. Kekurangan anggota DPR hanya satu, ketidakpedulian terhadap penderitaan rakyat. 10. Paradoks Gaya bahasa yang mengandung pertentangan yang nyata dengan fakta-fakta yang ada. Paradoks termasuk gaya bahasa yang sering digunakan jurnalis untuk menunjukkan dengan tegas, betapa tokoh atau narasumber yang dikisahkan, benar-benar sedang menghadapi keadaan atau tekanan tertentu, baik secara psikologis atau sosiologis. Contoh: 1. Dia menderita dalam keluarga yang bahagia. 2. Mantan pejabat itu merasa bahagia setelah masuk penjara. 3. Panen melimpah namun petani menangis. 4. Penipu yang pintar sekaligus bodoh. 11. Sinekdoke Gaya bahasa yang mengatakan sebagian untuk pengganti keseluruhan. Karya jurnalistik selalu menggunakan gaya bahasa sinekdoke, terutama jurnalistik olah raga dan jurnalistik luar negeri. Contoh: 1. Melawan Medan, Bandung belum pernah menang. 2. Jakarta marah atas keputusan Kuala Lumpur menangkap 3 petugas DKP. 3. Para pengunjuk rasa adu mulut dengan polisi. 4. Indonesia berjaya dalam Asian Beach Games di Bali. 12. Eponim Gaya bahasa yang mengandung nama seseorang yang begitu sering dihubungkan dengan sifat tertentu. Nama tersebut digunakan untuk menunjukkan sifat tertentu. Eponim digunakan sebagai variasi agar tidak monoton. Contoh: 1.Dewi Fortuna – untuk keberuntungan.
2.Hercules – untuk kekuatan.
3.Srikandi – untuk pahlawan perempuan.
4.Dewi Sri - untuk kesuburan tanah.
Eponim hanya diizinkan untuk karya-karya jurnalistik yang sifatnya invidual, seperti laporan perjalanan, artikel, kolom, dan laporan khas (feature). Eponim tidak boleh digunakan pada karya jurnalistik seperti straight news (berita langsung) dan comprehensive news (berita menyeluruh). 12. Epitet Gaya bahasa yang mengandung acuan yang menyatakan suatu sifat atau ciri khas dari seseorang atau sesuatu hal. Contoh: 1. Raja rimba – untuk singa 2. Puteri malam - untuk bulan 3. Lonceng pagi - ayam jantan Epitet sering digunakan jurnalistik olah raga. Kenapa? Karena jurnalistik olah raga sarat dengan unsur konflik, ada yang menang ada yang kalah. Berbagai istilah, julukan, atau ungkapan khas olah raga diciptakan dan dimasyarakatkan. Contoh:
1. Persib dijuluki maung Bandung.
2. PSMS Medan dijuluki ayam kinantan. 3. Persebaya dijuluki bajul ijo. Kekayaan Bahasa Idiom Kekayaan ungkapan dalam bahasa yang tidak dapat dipersamakan dengan bahasa lain. Idiom di suatu tempat dapat berbeda dengan tempat lain. Makna yang terkandung dalam idiom terjadi begitu saja karena pengaruh lingkungan masyarakat bahasanya. Dalam pers Indonesia penggunaan idiom atau ungkapan sering dilakukan berhubung dengan berbagai peristiwa. Idiom berguna untuk mengungkapkan sesuatu dengan cara yang berbeda dan lebih hidup. Contoh: 1. Dia termasuk keturunan berdarah biru. 2. Mereka adalah kaki tangan John Key. 3. Indonesia mati angin menghadapi Jerman. 4. Lingkungan menyebabkan dia terjerumus ke dalam dunia hitam. 5. Satu demi satu usahanya gulung tikar. Kata Gabung Tetap Termasuk pula sebagai idiom, karena berpasangan tanpa bisa dihilangkan salah satu katanya. Dalam bahasa Inggris juga terdapat kata gabung tetap. She stood in front of me. Kata of menempel dan tidak dapat dihilangkan. Contoh: Terdiri dari/atas hormat kepada Sesuai dengan disebabkan oleh Dibanding dengan diperuntukkan bagi Bergantung pada lepas dari Bangga atas/akan Benci akan Berkait dengan Contoh: 1. Kebijakannya sesuai dengan peraturan yang berlaku. 2. Keberhasilan reformasi bergantung pada kejujuran pelaksana negara. 3. Surat keputusan itu terdiri dari lima pasal. 4. Sekolah ini diperuntukkan bagi anak-anak miskin. 5. Banjir disebabkan oleh kerusakan lingkungan. Peribahasa Sama halnya dengan idiom, hanya terkadang makna yang dikandung peribahasa dapat dilacak melalui simbol yang diwujudkan dalam kata-kata. Contoh: 1. Bagai air di daun talas: orang yang mudah berubah pendirian. 2. Menghilangkan jejak bagi harimau: orang yang pandai menyembunyikan kejahatannya. 3. Bagai ayam kena kepala: tidak dapat berbuat apa-apa karena malu tepat mengenai diri sendiri. Fungsi peribahasa dalam tulisan sama dengan idiom, yaitu memperkuat dan menghidupkan tulisan. Ada dua cara penulisan dalam di media massa kita; secara komplet dan hanya memetik sebagian dari peribahasa tersebut. Contoh: 1. Meski nilai asetnya masih jauh panggang dari api, toh pemerintah sudah puas. 2. Dalam pemilu rakyat hendaknya waspada, jangan beli kucing dalam karung. 3. Upaya yang dilakukan pemerintah di Porong seperti menggantang asap. Dalam menggunakan peribahasa, jurnalis dapat pula memodifikasi untuk menimbulkan efek lebih kuat dari kalimat tersebut. Contoh: 1. Tak ada plastik bambu pun jadi. 2. Sedia payung sebelum bencana terjadi. 3. Ibarat nila setitik rusak citra seluruh anggota dewan. Terima Kasih