Anda di halaman 1dari 68

PEMERIKSAAN FISIK PADA

SISTEM PERSYARAFAN

Oleh :

Yudi Sutriadi
Pemeriksaan Fisik Persyarafan
Pemeriksaan persarafan terdiri dari dua tahapan
penting yaitu :

A. Pengkajian yang berupa


wawancara

B. Pemeriksaan fisik meliputi :

1) Pemeriksaan status mental


2) pemeriksaan saraf cranial,
3) pemeriksaan motorik
4) pemeriksaan sensorik
5) pemeriksaan reflex
II. Tujuan Pemeriksaan Fisik Persyarafan

Bertujuan untuk mengevaluasi keadaan


fisik klien secara umum dan juga menilai
apakah ada indikasi penyakit lainnya
selain kelainan neurologis.
Dalam melakukan pemeriksaan fisik diperhatikan :

Cuci tangan sebelum dan sesudah tindakan,


sesuaikan urutan pemeriksaan dengan
keadaan umum klien, mulailah pemeriksaan
fisik sejak awal kontak dengan klien dan
gunakan general precaution, metode yang
digunakan cepalo kaudal atau proksimal ke
distal.

Harus pula diperhatikan keamanan klien dan privacy


klien.
III. Persiapan Alat Pemeriksaan Fisik Persyarafan
a. Refleks hammer
b. Garputala
c. Kapas dan lidi
d. Penlight atau senter kecil
e. Opthalmoskop
f. Jarum steril
g. Tongue spatel
h. 2 tabung berisi air hangat dan air dingin
i. Objek yang dapat disentuh seperti peniti atau uang
receh
j. Bahan-bahan beraroma tajam seperti kopi, vanilla
atau parfum
k. Bahan-bahan yang berasa asin, manis atau asam
seperti garam, gula, atau cuka
l. Baju periksa
m. Sarung tangan
IV. Prosedur Pemeriksaan Fisik Persyarafan
Atur posisi klien, mintalah klien untuk duduk disisi
tempat tidur. Amati cara berpakaian klien, postur
tubuh klien, ekspresi wajah dan kemampuan
bicara, intonasi, keras lembut, pemilihan kata
dan kemudahan berespon terhadap pertanyaan.
Nilai kesadaran dengan menggunakan patokan
Glasgow Coma Scale (GCS). Tanyakan waktu, tanggal,
tempat dan alasan berkunjung, kaji kemampuan klien
dalam berhitung dan mulailah dengan perhitungan
yang sederhana. Kaji kemampuan klien untuk berfikir
abstrak.
Pemeriksaan Saraf Kranial
a. Fungsi saraf kranial I (N Olvaktorius)
Pastikan rongga hidung tidak tersumbat oleh apapun
dan cukup bersih. Lakukan pemeriksaan dengan
menutup sebelah lubang hidung klien dan dekatkan
bau-bauan seperti kopi dengan mata tertutup klien
diminta menebak bau tersebut. Lakukan untuk
lubang hidung yang satunya.
b. Fungsi saraf kranial II (N. Optikus)
Catat kelainan pada mata seperti katarak dan infeksi
sebelum pemeriksaan. Periksa ketajaman
dengan membaca, perhatikan jarak baca atau
menggunakan snellenchart untuk jarak jauh.
Snellen chart: The
fractions next to the
letters describe a
person's visual acuity.
For example 6/24 means
that the patient was
stood 6 metres away and
could read print that a
person with normal
vision could read 24
metres away. Normal
vision is described as
being 6/6.
 Periksa lapang pandang: Klien berhadapan dengan
pemeriksa 60-100 cm, minta untuk menutup sebelah
mata dan pemeriksa juga menutup sebelah mata
dengan mata yang berlawanan dengan mata klien.
Gunakan benda yang berasal dari arah luar klien dan
klien diminta ,mengucapkan ya bila pertama melihat
benda tersebut. Ulangi pemeriksaan yang sama
dengan mata yang sebelahnya. Ukur berapa derajat
kemampuan klien saat pertama kali melihat objek.
c. Fungsi saraf kranial III, IV, VI (N. Okulomotoris,
Troklear dan Abdusen)
 Pada mata diobservasi apakah ada odema palpebra,
hiperemi konjungtiva, dan ptosis kelopak mata
 Pada pupil diperiksa reaksi terhadap cahaya, ukuran
pupil, dan adanya perdarahan pupil
 Pada gerakan bola mata diperiksa enam lapang
pandang (enam posisi cardinal) yaitu lateral, lateral
ke atas, medial atas, medial bawah lateral bawah.
Minta klien mengikuti arah telunjuk pemeriksa
dengan bolamatanya
d. Fungsi saraf kranial V (N. Trigeminus)
 Fungsi sensorik diperiksa dengan menyentuh kulit
wajah daerah maxilla, mandibula dan frontal dengan
menggunakan kapas. Minta klien mengucapkan ya
bila merasakan sentuhan, lakukan kanan dan kiri.
 Dengan menggunakan sensori nyeri menggunakan
ujung jarum atau peniti di ketiga area wajah tadi dan
minta membedakan benda tajam dan tumpul.
 Dengan menggunakan suhu panas dan dingin juga
dapat dilakukan diketiga area wajah tersebut. Minta
klien menyebutkan area mana yang merasakan
sentuhan. Jangan lupa mata klien ditutup sebelum
pemeriksaan.
 Dengan rasa getar dapat pula dilakukan dengan
menggunakan garputala yang digetarkan dan
disentuhkan ke ketiga daerah wajah tadi dan minta
klien mengatakan getaran tersebut terasa atau tidak
 Pemerikasaan corneal dapat dilakukan dengan
meminta klien melihat lurus ke depan, dekatkan
gulungan kapas kecil dari samping kearah mata dan
lihat refleks menutup mata.
 Pemeriksaan motorik dengan mengatupkan rahang
dan merapatkan gigi periksa otot masester dan
temporalis kiri dan kanan periksa kekuatan
ototnya, minta klien melakukan gerakan mengunyah
dan lihat kesimetrisan gerakan mandibula.
e. Fungsi saraf kranial VII (N. Fasialis)
 Fungsi sensorik dengan mencelupkan lidi kapas
ke air garam dan sentuhkan ke ujung lidah, minta
klien mengidentifikasi rasa ulangi untuk gula dan
asam
 Fungsi motorik dengan meminta klien tersenyum,
bersiul, mengangkat kedua alis berbarengan,
menggembungkan pipi. Lihat kesimetrisan kanan dan
kiri. Periksa kekuatan otot bagian atas dan bawah,
minta klien memejamkan mata kuat-kuat dan coba
untuk membukanya, minta pula klien utnuk
menggembungkan pipi dan tekan dengan kedua jari.
f. Fungsi saraf kranial VIII (N. Vestibulokoklear)
 cabang vestibulo dengan menggunakan test
pendengaran menggunakan weber test dan rhinne test
 Cabang choclear dengan romberg test dengan cara
meminta klien berdiri tegak, kedua kaki rapat, kedua
lengan disisi tubuh, lalu observasi adanya ayunan
tubuh, minta klien menutup mata tanpa mengubah
posisi, lihat apakah klien dapat mempertahankan
posisi
1. Test Rinne
Tujuan melakukan tes Rinne adalah untuk
membandingkan antara hantaran tulang dengan
hantaran udara pada satu telinga pasien.
Ada 2 macam tes rinne , yaitu :
a. Garputal 512 Hz kita bunyikan secara lunak lalu
menempatkan tangkainya tegak lurus pada planum
mastoid pasien (belakang meatus akustikus
eksternus). Setelah pasien tidak mendengar bunyinya,
segera garpu tala kita pindahkan didepan meatus
akustikus eksternus pasien. Tes Rinne positif jika
pasien masih dapat mendengarnya. Sebaliknya tes
rinne negatif jika pasien tidak dapat mendengarnya
b. Garpu tala 512 Hz kita bunyikan secara lunak lalu
menempatkan tangkainya secara tegak lurus pada
planum mastoid pasien. Segera pindahkan
garputala didepan meatus akustikus eksternus. Kita
menanyakan kepada pasien apakah bunyi garputala
didepan meatus akustikus eksternus lebih keras dari
pada dibelakang meatus skustikus eksternus (planum
mastoid). Tes rinne positif jika pasien mendengar
didepan maetus akustikus eksternus lebih keras.
Sebaliknya tes rinne negatif jika pasien mendengar
didepan meatus akustikus eksternus lebih lemah atau
lebih keras dibelakang.
Ada 3 interpretasi dari hasil tes rinne :
1) Normal : tes rinne positif
2) Tuli konduksi: tes rine negatif (getaran dapat
didengar melalui tulang lebih lama)
3) Tuli persepsi, terdapat 3 kemungkinan :
a) Bila pada posisi II penderita masih mendengar
bunyi getaran garpu tala.
b) Jika posisi II penderita ragu-ragu mendengar
atau tidak (tes rinne: +/-)
c) Pseudo negatif: terjadi pada penderita telinga
kanan tuli persepsi pada posisi I yang
mendengar justru telinga kiri yang normal
sehingga mula-mula timbul.
2. Test Weber
Tujuan kita melakukan tes weber adalah untuk
membandingkan hantaran tulang antara kedua telinga
pasien. Cara kita melakukan tes weber yaitu:
membunyikan garputala 512 Hz lalu tangkainya kita
letakkan tegak lurus pada garis horizontal. Menurut
pasien, telinga mana yang mendengar atau mendengar
lebih keras. Jika telinga pasien mendengar atau
mendengar lebih keras 1 telinga maka terjadi
lateralisasi ke sisi telinga tersebut. Jika kedua pasien
sama-sama tidak mendengar atau sam-sama
mendengaar maka berarti tidak ada lateralisasi.
Interpretasi:
a. Bila pendengar mendengar lebih keras pada sisi di sebelah
kanan disebut lateralisai ke kanan, disebut normal bila
antara sisi kanan dan kiri sama kerasnya.
b. Pada lateralisai ke kanan terdapat kemungkinannya:
1) Tuli konduksi sebelah kanan, missal adanya otitis
media disebelah kanan.
2) Tuli konduksi pada kedua telinga, tetapi gangguannya
pada telinga kanan lebih hebat.
3) Tuli persepsi sebelah kiri sebab hantaran ke sebelah kiri
terganggu, maka di dengar sebelah kanan.
4) Tuli persepsi pada kedua teling, tetapi sebelah kiri lebih
hebat dari pada sebelah kanan.
5) Tuli persepsi telinga dan tuli konduksi sebelah kana
jarang
ditemukan.
g. Fungsi saraf kranial IX dan X
(N. Glosofaringeus dan Vagus)
 Minta klien mengucapkan aa lihat gerakan ovula dan
palatum, normal bila uvula terletak di tengan dan
palatum sedikit terangkat.
 Periksa gag refleks dengan menyentuh bagian dinding
belakang faring menggunakan aplikator dan observasi
gerakan faring.
 Periksa aktifitas motorik faring dengan meminta klien
menelan air sedikit, observasi gerakan menelan dan
kesulitan menelan. Periksa getaran pita suara saat klien
berbicara.
h. Fungsi saraf kranial XI(N. Asesoris)
 Periksa fungsi trapezius dengan meminta klien
menggerakkan kedua bahu secara bersamaan dan
observasi kesimetrisan gerakan.
 Periksa fungsi otot sternocleidomastoideus dengan
meminta klien menoleh ke kanan dan ke kiri, minta klien
mendekatkan telinga ke bahu kanan dan kiri bergantian
tanpa mengangkat bahu lalu observasi rentang pergerakan
sendi
 Periksa kekuatan otot trapezius dengan menahan kedua
bahu klien dengan kedua telapak tangan dan minta klien
mendorong telapak tangan pemeriksa sekuat-kuatnya ke
atas, perhatikan kekuatan daya dorong.
 Periksa kekuatan otot sternocleidomastoideus dengan
meminta klien untuk menoleh kesatu sisi melawan
tahanan telapak tangan pemeriksa, perhatikan kekuatan
daya dorong
i. Fungsi saraf kranial XII (N. Hipoglosus)
 Periksa pergerakan lidah, menggerakkan lidah kekiri
dan ke kanan, observasi kesimetrisan gerakan lidah
 Periksa kekuatan lidah dengan meminta klien
mendorong salah satu pipi dengan ujung lidah,
dorong bagian luar pipi dengan ujung lidah, dorong
kedua pipi dengan kedua jari, observasi kekuatan
lidah, ulangi pemeriksaan sisi yang lain
Fungsi Motorik
 Kaji cara berjalan dan keseimbangan dengan
mengobservasi cara berjalan, kemudahan berjalan,
dan koordinasi gerakan tangan dan kaki. Minta klien
berjalan dengan menyentuhkan ibujari pada tumit
kaki yang lain (heel to toe), minta klien jalan jinjit dan
minta klien berjalan dengan bertumpu pada tumit.
 Lakukan romberg test
 Lakukan pemeriksaan jari hidung dengan mata
terbuka dan tertutup, evaluasi perbedaan yang terjadi.
 Tes pronasi dan supinasi dengan meminta klien
duduk dan meletakan telapak tangan di paha, minta
untuk melakukan pronasi dan supinasi bergantian
dengan cepat. Observasi kecepatan, irama, dan
kehalusan gerakan.
 Melakukan pemeriksaan heel to shin test dengan
meminta klien tidur pada posisi supine, minta klien
menggesekkan tumit telapak kaki kiri sepanjang
tulang tibia tungkai kanan dari bawah lutut sampai ke
pergelangan kaki. Ulangi pada kaki kanan. Observasi
kemudahan klien menggerakkan tumit pada garis
lurus
Romberg's Test
 A positive Romberg’s test indicates a problem in the
cerebellum.
POINTERS:
To perform Romberg’s Test:
 Instruct the client to stand erect with the feet together,
arms at the sides and without support, first with the
eyes open and then with the eyes closed.
 Note the client’s ability to maintain balance while the
eyes are open and while the eyes are closed.
 A positive test results when the client can stand with
eyes open but loses her balance with eyes closed.
Fungsi Sensorik
Pemeriksaan ini bertujuan untuk mengevaluasi respon
klien terhadap beberapa stimulus. Pemeriksaan harus
selalu menanyakan kepada klien jenis stimulus.
Pemeriksaan dilakukan dengan memberikan stimulus
secara acak pada bagian tubuh klien dan dapat berupa
sentuhan ringan seperti kapas, tumpul dan tajam,
suhu, getaran, identifikasi objek tanpa melihat
objek (stereognosis test), merasakan tulisan di
tangan (graphesthesia test), kemampuan
membedakan dua titik, kemampuan mengidentifikasi
bagian tubuh yang diberi sentuhan dengan menutup
mata (topognosis test)
Fungsi Refleks
a. Biseps: Klien diminta duduk dengan rilex dan
meletakkan kedua lengan diatas paha, dukung lengan
bawah klien dengan tangan non dominan, letakkan
ibujari lengan non dominan diatas tendon bisep,
pukulkan refleks hammer pada ibu jari, observasi
kontraksi otot biseps (fleksi siku)
b. Triseps: Minta klien duduk, dukung siku dengan tangan
non dominan, pukulkan refleks hammer pada prosesus
olekranon, observasi kontraksi otot triseps (ekstensi
siku).
c. Brachioradialis: Minta klien duduk dan meletakkan
kedua tangan di atas paha dengan posisi pronasi,
pukulkan hammer diatas tendon (2-3 inchi dari
pergelangan tangan), observasi fleksi dan supinasi
telapak tangan.
d. Fleksi, palpasi lokasi patella (interior dari patella),
pukulkan reflek hammer, perhatikan ekstensi otot
quadriceps.Patelar : Minta klien duduk dengan lulut
digantung
e. Tendo achiles : Pegang telapak kaki klien dengan
tangan non dominant, pukul tendon achiles dengan
mengguanakan bagian lebar refleks hammer, obsvasi
plantar leksi telapak kaki.
f. Plantar: Minta klien tidur terlentang dengan kedua
tungkai sedikit eksternal rotasi, stimulasi telapak kaki
klien dengan ujung tajam refleks hammer mulai dari
tumit kearah bagain sisi luar telapak kaki, observasi
gerakan telapak kaki (normal jika gerakan plantar fleksi
dan jari-jari kaki fleksi).
g. Abdomen: minta klien tidur terlentang, sentuhkan
ujung aplikator ke kulit di bagian abdomen mulai
dari arah lateral ke umbilical, observasi kontraksi
otot abdomen, lakukan prosedur tersebut pada ke
empat area abdomen.
Indikasi Pemeriksaan GCS dan Refleks
Tingkat kesadaran adalah ukuran dari kesadaran dan
respon seseorang terhadap rangsangan dari lingkungan,
tingkat kesadaran dibedakan menjadi :
 Compos Mentis (conscious), yaitu kesadaran normal,
sadar sepenuhnya, dapat menjawab semua pertanyaan
tentang keadaan sekelilingnya..
 Apatis, yaitu keadaan kesadaran yang segan untuk
berhubungan dengan sekitarnya, sikapnya acuh tak
acuh.
 Delirium, yaitu gelisah, disorientasi (orang, tempat,
waktu), memberontak, berteriak-teriak, berhalusinasi,
kadang berhayal.
 Somnolen (Obtundasi, Letargi), yaitu kesadaran
menurun, respon psikomotor yang lambat, mudah
tertidur, namun kesadaran dapat pulih bila dirangsang
(mudah dibangunkan) tetapi jatuh tertidur lagi,
mampu memberi jawaban verbal.
 Stupor (soporo koma), yaitu keadaan seperti tertidur
lelap, tetapi ada respon terhadap nyeri.
 Coma (comatose), yaitu tidak bisa dibangunkan, tidak
ada respon terhadap rangsangan apapun (tidak ada
respon kornea maupun reflek muntah, mungkin juga
tidak ada respon pupil terhadap cahaya).
 Perubahan tingkat kesadaran dapat diakibatkan dari
berbagai faktor, termasuk perubahan dalam
lingkungan kimia otak seperti keracunan, kekurangan
oksigen karena berkurangnya aliran darah ke otak, dan
tekanan berlebihan di dalam rongga tulang kepala.
 Adanya defisit tingkat kesadaran memberi kesan
adanya hemiparese serebral atau sistem aktivitas
reticular mengalami injuri. Penurunan tingkat
kesadaran berhubungan dengan peningkatan angka
morbiditas (kecacatan) dan mortalitas (kematian).
Tujuan Pemeriksaan GCS dan Refleks
 Pemeriksaan GCS dan Refleks ini bisa dijadikan salah
satu bagian dari vital sign.
 Penyebab Penurunan Kesadaran
Penurunan tingkat kesadaran mengindikasikan difisit
fungsi otak. Tingkat kesadaran dapat menurun ketika
otak mengalami kekurangan oksigen (hipoksia);
kekurangan aliran darah (seperti pada keadaan syok);
penyakit metabolic seperti diabetes mellitus (koma
ketoasidosis) ; pada keadaan hipo atau hipernatremia ;
dehidrasi; asidosis, alkalosis; pengaruh obat-obatan,
alkohol, keracunan: hipertermia, hipotermia;
peningkatan tekanan intrakranial (karena perdarahan,
stroke, tomor otak); infeksi (encephalitis); epilepsi.
Mengukur Tingkat Kesadaran
Salah satu cara untuk mengukur tingkat kesadaran dengan
hasil seobjektif mungkin adalah menggunakan GCS
(Glasgow Coma Scale). GCS dipakai untuk menentukan
derajat cidera kepala. Reflek membuka mata, respon
verbal, dan motorik diukur dan hasil pengukuran
dijumlahkan jika kurang dari 13, makan dikatakan
seseorang mengalami cidera kepala, yang menunjukan
adanya penurunan kesadaran. Metoda lain adalah
menggunakan sistem AVPU, dimana pasien diperiksa
apakah sadar baik (alert), berespon dengan kata-kata
(verbal), hanya berespon jika dirangsang nyeri (pain), atau
pasien tidak sadar sehingga tidak berespon baik verbal
maupun diberi rangsang nyeri (unresponsive).
Persiapan Alat Pemeriksaan GCS dan Refleks
Tahap Pra Interaksi
a. Melakukan verifikasi data sebelumnya bila ada
b. Mencuci tangan
c. Menempatkan alat di dekat pasien dengan benar
Tahap Orientasi
a. Memberikan salam sebagai pendekatan terapeutik
b. Menjelaskan tujuan dan prosedur tindakan pada
keluarga/pasien
c. Menanyakan kesiapan klien sebelum kegiatan
dilakukan
d. Tahap Kerja
e. Mengatur posisi pasien: supinasi
f. Menempatkan diri di sebelah kanan pasien, bila
mungkin
g. GCS (Glasgow Coma Scale)
h. Memeriksa reflex membuka mata dengan
benar
i. Memeriksa reflex verbal dengan benar
j. Memeriksa reflex motorik dengan benar
k. Menilai hasil pemeriksaan
Prosedur Pemeriksaan GCS dan Refleks
 GCS (Glasgow Coma Scale) yaitu skala yang digunakan
untuk menilai tingkat kesadaran pasien, (apakah
pasien dalam kondisi koma atau tidak) dengan
menilai respon pasien terhadap rangsangan yang
diberikan.
 Respon pasien yang perlu diperhatikan mencakup 3
hal yaitu reaksi membuka mata , bicara dan motorik.
Hasil pemeriksaan dinyatakan dalam derajat (score)
dengan rentang angka 1 – 6 tergantung responnya.
 Pengkajian tingkat kesadaran dengan menggunakan
GCS, area pengkajian meliputi : respon mata, respon
motorik dan respon verbal. Total pengkajian bernilai
15, kondisi koma apabila bernilai kurang dari 7
Thank U

Anda mungkin juga menyukai