Anda di halaman 1dari 52

dr.

PASID HARLISA SpKK

Fakultas Kedokteran
Universitas Islam Sultan Agung
Semarang
Kontrak perkuliahan

1. Hadir tepat waktu (dispensasi waktu


10 menit)
2. Memakai pakaian sopan (tidak boleh
memakai berbahan jeans)
3. Tidak menggunakan HP selama
pembelajaran
B. Tujuan Pembelajaran
Tujuan Instruksional Umum
◦ Mahasiswa mampu melakukan pemeriksaan fisik umum
dan pemeriksaan khusus pada penderita Morbus
Hansen
Capaian Pembelajaran
◦ Mengetahui dasar patogenesis MH tipe Tuberkuloid dan
Lepromatosa
◦ Mengetahui bentuk klinis MH
◦ Melakukan diagnosis MH berdasarkan tanda kardinal
◦ Mengetahui patogenesis kecacatan kusta
◦ Melakukan anamnesis pada penderita Morbus Hansen
◦ Melakukan pemeriksaan fisik secara umum pada
penderita Morbus Hansen
◦ Melakukan pemeriksaan khusus pada penderita
Morbus Hansen
KUSTA / MORBUS HANSEN
Adalah infeksi kronik oleh Mycobacterium leprae yang
menyerang: Saraf perifer  Saluran nafas atas
Kulit  Sist. Retikuloendotelial
Mukosa  Mata, otot, tulang, testis
mulut
Pada Individu yang
terinfeksi
>>> asimptomatik

Tergantung
respon imun << gejala / kecacatan

4
PATOGENESIS

M. leprae

Sist imun seluler  ( tipe LL)


Makrofag tak mampu
Kulit yang lecet/ hancurkan M. leprae 
Mukosa nasal multiplikasi bebas  merusak
jaringan

Sel makrofag/sel Sist imun seluler  (tipe BB)


Schwann
Makrofag mampu hancurkan
(obligat intraseluler)
M.leprae  berubah jadi sel
epitheloid  sel datia Langhans 
kerusakan saraf/jaringan yang
progresif
5
M. Leprae (G.A Hansen)

Basil Gram +, tahan asam dan alkohol.


Obligat intraseluler pada jaringan bersuhu dingin
(cuping telinga, mukosa hidung
Masa tunas : 2-5 tahun
Penularan : kontak lansung & melalui saluran
nafas.

6
DIAGNOSIS

Didasarkan adanya tanda kardinal, yaitu :


Bercak kulit yang mati rasa
Bercak hipopigmentasi/eritematosa yang mati
rasa thd rasa raba, suhu dan nyeri.
Penebalan saraf tepi dg/tanpa gangguan fungsi
sensoris, motoris dan otonom.
Ditemukan kuman tahan asam pada hapusan
kulit cuping telinga/lesi aktif.

7
KLASIFIKASI

A. Klasifikasi Madrid (1953) B. Klasifikasi Ridley-Jopling


– Indeterminate (I) (1962) - kepentingan risert
– Tuberkuloid (T) – Tuberkuloid (TT)
– Borderline (B) – Borderline tuberkuloid
– Lepromatosa (L) – Mid-borderline (BB)
– Borderline lepromatous (BL)
– Lepromatosa (LL)

C. Klasifikasi WHO/modifikasi WHO (1981/1988)-


kepentingan program
– Pausibasilar (PB)
–  tipe I, TT, BT dengan BTA -
– Multibasilar (MB)
–  tipe LL, BL, BB, BT dengan BTA +
8
TUJUAN KLASIFIKASI

Menentukan rejimen terapi, prognosis, gambaran


klinis
Menentukan perencanaan operasional (pasien
menular  target terapi)
Identifikasi pasien dengan kemungkinan cacat

9
TABEL GAMBARAN KLINIS, BAKTERIOLOGIK DAN IMUNOLOGIK KUSTA MULTIBASILER (MB)

SIFAT LEPRAMATOSA (LL) BORDERLINE MID BORDERLINE


LEPROMATOUS (BL) (BB)
LESI
 Bentuk Makula Makula Plakat
Infiltrat difus Plakat Dome-shape (kubah)
papul Papul Punched-out
Nodus
 Jumlah Tak terhitung praktis tidak Sukar dihitung, masih ada Dapat dihitung
ada kulit sehat kulit sehat Kulit sehat jelas ada
 Distribusi Simetris Hampir simetris Asimetris
 Permukaan Halus berkilat Halus berkitat Agak kasar, agak berkilat
 Batas Tak jelas Agak jelas Agak jelas
 Anestesia Tak ada sampai tak jelas Tak jelas Lebih jelas

BTA
 Lesi kulit Banyak (ada globus) Banyak Agak banyak
 Sekret hidung Banyak (ada globus) Biasanya negatif Negatif

Tes lepromin Negatif Negatif Biasanya negatif


10
TABEL GAMBARAN KLINIS, BAKTERIOLOGIK DAN IMUNOLOGIK KUSTA PAUSIBASILER (PB)

SIFAT TUBERKULOID (TT) BORDERLINE INDETERMINATE (I)


TUBERKULOID (BT)
LESI
 Bentuk Makula saja Makula dibatasi infiltrat Hanya makula
Makula dibatasi infiltrat Infiltras saja
 Jumlah Satu, Beberapa atau satu dengan Satu atau beberapa
dapat beberapa satelit
 Distribusi asimetris Masih asimetris variasi
 Permukaan Kering bersisik Halus berkitat Halus agak berkilat
 Batas Jelas Agak jelas Dapat jelas atau dapat
tidak jelas
 Anestesia jelas Tak jelas Tidak ada sampai tidak
jelas

BTA
 Lesi kulit negatif Negatif atau hanya positif 1 Biasanya negatif

Tes lepromin Positif kuat Positif lemah Dapat positif lemah atau
negatif

11
KUSTA TIPE INDETERMINATE

Klinis : makula hipopigmentasi + skuama


Lokasi : ekstensor ekstremitas, wajah, bokong
Merupakan 20-80% tanda pertama penderita MH
 sebagian besar sembuh spontan
Histo PA : kuman/infiltrat sekitar saraf perifer

12
A. Skenario
• Seorang wanita 43 tahun datang ke
poliklinik umum dengan keluhan timbul
bercak yang mati rasa di punggung tangan
kiri. Penderita merasa lengan kiri bawah
mengecil dan adanya kelemahan pada
tangan kiri jika mengangkat beban yang
agak berat sejak + enam bulan terakhir,
juga didapati atropi otot hipotenar dan claw
hand.
GAMBARAN KLINIS

Tipe tuberkuloid (TT)


Tipe lepromatosa
C. Prosedur Ketrampilan Anamnesis
 Keluhan utama : bercak (makula) atau plakat
pucat/kemerahan mati rasa, total/sebagian
terhadap rasa raba, rasa suhu, dan rasa nyeri
pada bagian saraf yang terkena disertai atau
tanpa gangguan fungsi saraf yang terkena
a. Gangguan fungsi sensoris : mati rasa/kebas
b. Gangguan fungsi motoris : lemas atau lumpuh
c. Gangguan fungsi otonom: kulit bersisik, bengkak,
pertumbuhan rambut yang terganggu.
 Riwayat kontak dengan pasien / berasal dari
daerah endemik MH
 Latar belakang keluarga, misalnya keadaan
sosial ekonomi.
D. Prosedur Ketrampilan Pemeriksaan Fisik Umum

Inspeksi
1. Predileksi lesi kulit : biasanya pada bagian tubuh
yang relatif lebih dingin, misalnya pada muka,
mukosa hidung, telinga, anggota tubuh, dan
bagian tubuh yang terbuka. organ tubuh lain
a. Mata : iritis, iridosiklitis, gangguan visus sampai
kebutaan.
b. Hidung : epistaksis, hidung pelana (sadle nose).
c. Tulang dan sendi : absorbsi, mutilasi, artritis.
d. Lidah : ulkus, nodus.
e. Larings : suara parau.
f. Testis : ginekomastia, epididimitis akut, orkitis, atrofi.
g. Kelenjar limfe : limfadenitis
h. Rambut : alopesia, madarosis.
Facies Leonina
(Madarosis)

Hidung Pelana
(sadle nose)
2. Kerusakan beberapa saraf tepi seperti
tangan lunglai (drop wrist), jari kiting
(clow toes) dan tangan cakar (claw
hand). Kaki semper (drop foot) dan jari
kiting (claw toes).
3. Tanda sisa penyakit kusta :
a. Kulit: atrofi, keriput, non-repigmentasi, dan
bulu hilang (madarosis – hilangnya bulu alis
mata)
b. Saraf: mati rasa persisten, paralisis,
kontraktur, dan atrofi otot.
Palpasi
1.Kelainan kulit: ada tidak nodus,
infiltrat, jaringan parut, ulkus,
khususnya pada tangan dan kaki
2.Kelainan saraf :
Palpasi pada : N. Aurikularis magnus,
N. ulnaris, dan N. peroneus.
Intepretasi pemeriksaan saraf tepi :
◦ bandingkan saraf bagian kiri dan
kanan
◦ membesar atau tidak
◦ pembesaran regular (smooth) atau
irregular, bergumpal
◦ perabaan keras atau kenyal
◦ nyeri atau tidak (perhatikan raut
wajah pasien kesakitan / tidak
pada waktu saraf diraba)

22
Prosedur Pemeriksaan Pembesaran Saraf tepi

Prosedur Pemeriksaan Pembesaran Saraf tepi


a. N. Aurikularis magnus
b. N. Ulnaris
c. N. Peroneus lateralis
N. Aurikularis magnus
N. Ulnaris
N. Peroneus lateralis
Prosedur Ketrampilan Pemeriksaan
Khusus MH
A.Tes sensoris

Rasa Nyeri Rasa Raba Rasa Suhu


B. Tes otonom
C. Tes motoris
REAKSI KUSTA
PENGERTIAN
Istilah Reaksi menggambarkan keadaan berbagai
gejala dan tanda radang akut pada lesi kusta,
akibat perjalanan penyakit atau komplikasi
penyakit kusta. Meliputi hal-hal sebagai berikut :
• Komplikasi akibat reaksi
• Komplikasi akibat imunitas yang menurun.
• Komplikasi akibat kerusakan saraf.
• Komplikasi disebabkan resisten terhadap obat anti kusta.

32
PENYEBAB
Penyebab pasti masih belum diketahui
kemungkinan akibat episode hipersensitivitas
akut terhadap antigen basil yang menimbulkan
gangguan keseimbangan imunitas

Pencetus :
 Setelah pengobatan anti kusta intensif
 Infeksi rekuren
 Pembedahan
 Stres fisik
 Imunisasi
 Kehamilan
33
PEMBAGIAN REAKSI

• reaksi lepra tipe 1 disebabkan oleh


hipersensitivitas selular

• reaksi lepra tipe 2 disebabkan oleh


hipersensitivitas humoral

34
Reaksi Tipe 1
• Merupakan delayed hypersensitivity reaction
seperti halnya reaksi hipersensitivitas tipe IV
menurut Coombs dan Gall dengan antigen yang
berasal dari basil yang telah mati

• lebih sering terjadi pada bentuk BB yang akan


berubah menjadi bentuk BT dan akhirnya ke
bentuk TTs atau berubah menjadi bentuk BL dan
akhirnya ke bentuk LLs.

35
Manifestasi dari reaksi kusta tipe 1:

36
. Reaksi Tipe 2
• Dikenal dengan nama eritema nodosum
leprosum (ENL).
• Reaksi hipersensitivitas tipe III menurut
Coomb dan Gell dengan antigen berasal
dari produk kuman yang telah mati dan
bereaksi dengan antibodi membentuk
kompleks Ag-Ab.
• Kedudukannya dalam spektrum tetap

37
Manifestasi reaksi lepra tipe 2 dapat sebagai berikut:

38
PENANGANAN REAKSI KUSTA

Pada prinsipnya pengobatan reaksi kusta


terutama ditujukan untuk:
o Mengatasi neuritis mencegah tidak menjadi
paralisis / kontraktur.
o Pencegahan terjadinya kebutaan bila mengenai
mata.
o Membunuh kuman penyebab
o Mengatasi rasa nyeri

39
PENGOBATAN

• Prinsip pengobatan reaksi kusta:


 Pemberian obat anti reaksi.
 Istirahat atau imobilisasi.
 Analgetik, sedatif untuk mengatasi rasa nyeri.
 Obat anti kusta diteruskan.

40
Reaksi ringan

• Nonmedikamentosa
Istirahat, imobilisasi, berobat jalan.

• Medikamentosa
Aspirin:
Dosis 600-1200 mg / 4 jam, 4 sampai 6 kali sehari.
Klorokuin:
Dosis: 3 kali 150 mg/hari.

Reaksi berat
Segera rujuk ke Rumah Sakit untuk perawatan
41
42
CACAT KUSTA
Kecacatan akibat kerusakan saraf tepi dapat dibagi menjadi
tiga tahap, yaitu :
Tahap I
Terjadi kelainan pada saraf berupa penebalan saraf, nyeri, tanpa
gangguan fungsi gerak, terjadi gangguan sensorik.

Tahap II
Kerusakan saraf berupa paralisis tidak lengkap pada otot kelopak
mata, jari tangan, dan kaki. Dapat terjadi pemulihan kekuatan otot.

Tahap III
Terjadi penghancuran saraf. Kelumpuhan akan menetap. Dapat terjadi
infeksi progresif dengan kerusakan tulang dan kehilangan
penglihatan.
43
PATOGENESIS KECACATAN

44
JENIS CACAT KUSTA

Kelompok cacat primer


kelompok cacat/ kerusakan yang terjadi akibat
respons jaringan terhadap M.leprae.
Misalnya :
Cacat pada fungsi saraf sensorik seperti claw hand,
wrist drop, foot drop, claw toes.
Infiltrasi kuman langsung pada kulit dan jaringan
penyangga misalnya fasies leonina, alopesia atau
madarosis, kulit kering.
Infiltrasi kuman kusta pada tendo, ligamen, sendi,
tulang rawan, tulang, testis, dan bola mata.
45
Kelompok cacat sekunder

Cacat sekunder ini terjadi akibat cacat primer,


terutama akibat adanya kerusakan saraf
(sensorik, motorik, otonom).
Anestesi → luka (trauma) → infeksi sekunder
Kelumpuhan motorik → kontraktur → gangguan
menggenggam / berjalan → terjadi Iuka
Kelumpuhan saraf otonom → kulit kering →
mudah retak-retak (fisura) → infeksi sekunder

46
DERAJAT CACAT KUSTA

• Tingkat 0 : tidak ada anestesi dan kelainan


anatomis.
• Tingkai 1 : ada anestesi, tanpa kelainan
anatomis.
• Tingkat 2 : ada anestesi disertai kelainan
anatomis

47
PENCEGAHAN CACAT PADA KUSTA

• Tujuan pencegahan cacat pada kusta

Mencegah timbulnya cacat (disability atau


deformitas) pada saat diagnosis kusta
ditegakkan dan diobati.
Mencegah agar cacat yang telah terjadi jangan
menjadi lebih berat.
Menjaga agar cacat tidak kambuh lagi

48
Upaya pencegahan cacat terdiri atas :
 Upaya pencegahan cacat primer
o Diagnosis dini
o Pengobatan secara teratur dan adekuat
o Penatalaksanaan neuritis sedini mungkin
o Penatalaksanaan reaksi sebaik mungkin
 Upaya pencegahan cacat sekunder
 Perawatan diri sendiri untuk mencegah luka
 Fisioterapi
 Bedah rekonstruksi
 Bedah septik
 Perawatan mata, tangan dan atau kaki yang
anestesi atau mengalami kelumpuhan otot. 49
TUGAS UNTUK PERTEMUAN SELANJUTNYA

• Buatlah kajian dengan kepustakaan berasal dari


jurnal tahun 2015 tentang epidemiologi Morbus
Hansen di Indonesia lima tahun terakhir (2010-2015)
• Buat dalam bentuk narasi minimal 2 halaman kertas
folio dalam tulisan tangan
• Dikumpulkan sebelum kuliah berikutnya minggu
depan (1 minggu)
KEPUSTAKAAN
• Klaus wolff, richard allen johnson , Fifth edition (2005) fitzpatrick ‘s
color atlas and synopsis of clinical dermtology, mcgraw-hill, p 123-27
• SP Siregar , edisi ke-2 cetakan 1 (2005) Atlas berwarna Saripati
Penyakit Kulit, SP kedokteran EGC, p 23-32
• M Irwin m, Freedberg ed, sixth edition (2003) Fitzpatrick ‘s
dermatology in general medicine editors. Volume 2, mcgraw –hill, p
1356-73
• Djuanda Adhi ed, edisi keempat (2005) Ilmu Penyakit Kulit Dan
Kelamin bagian ilmu penyakit kulit dan kelamin fakultas kedokteran
universitas indonesia, penerbit : fakultas kedikteran universitas
indnesia jakarta, p 78-93
• Burns Tony, Breathnach stephen ed. eighth edition (2012). Rook’s
textbook of dermatology Wiley-blackwell volume 1, p 2341-78
• Sjamsoe emmy S. Linuwih S, ed. edisi ke 2 (2003) Kusta : balai
penerbit FKUI, p 16-85
52

Anda mungkin juga menyukai