Anda di halaman 1dari 34

-‫الر ِح ِيم‬

َّ ‫من‬
ِ ‫الر ْح‬
َّ ‫هللا‬
ِ ‫س ِم‬
ْ ‫ِب‬
Undang-undang Produk Halal
Implementasi di Bidang Kefarmasian

DISUSUN
OLEH : KELOMPOK 6
KELOMPOK 6
Elvina Farica Azalia (1808020304)
Maria Putri Maharani (1808020340)
Mohamad Hidayat Pakaya (1808020271)
Rizka Pratama (1808020280)
Erando Steven S (1808020332)
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 33 TAHUN 2014
TENTANG

JAMINAN PRODUK HALAL


Pasal 1
Dalam Undang-Undang ini yang dimaksud dengan:

1. Produk adalah barang dan/atau jasa yang terkait dengan makanan, minuman,
obat, kosmetik, produk kimiawi, produk biologi, produk rekayasa genetik,
serta barang gunaan yang dipakai, digunakan, atau dimanfaatkan oleh
masyarakat.

2. Produk Halal adalah Produk yang telah dinyatakan halal sesuai dengan syariat
Islam.

3. Proses Produk Halal yang selanjutnya disingkat PPH adalah rangkaian kegiatan
untuk menjamin kehalalan Produk mencakup penyediaan bahan, pengolahan,
penyimpanan, pengemasan, pendistribusian, penjualan, dan penyajian
Produk
Pasal 1

4. Bahan adalah unsur yang digunakan untuk membuat atau menghasilkan


Produk.

5. Jaminan Produk Halal yang selanjutnya disingkat JPH adalah kepastian


hukum terhadap kehalalan suatu Produk yang dibuktikan dengan
Sertifikat Halal.

6. Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal yang selanjutnya disingkat


BPJPH adalah badan yang dibentuk oleh Pemerintah untuk
menyelenggarakan JPH.
Pasal 1

8. Lembaga Pemeriksa Halal yang selanjutnya disingkat LPH adalah


lembaga yang melakukan kegiatan pemeriksaan dan/atau pengujian
terhadap kehalalan Produk.

9. Auditor Halal adalah orang yang memiliki kemampuan melakukan


pemeriksaan kehalalan Produk.

10. Sertifikat Halal adalah pengakuan kehalalan suatu Produk yang


dikeluarkan oleh BPJPH berdasarkan fatwa halal tertulis yang
dikeluarkan oleh MUI.
TUJUAN PENYELENGGARAAN JPH Pasal 3

1. Memberikan kenyamanan, keamanan, keselamatan, dan kepastian


ketersediaan Produk Halal bagi masyarakat dalam mengonsumsi dan
menggunakan Produk; dan

2. Meningkatkan nilai tambah bagi Pelaku Usaha untuk memproduksi dan


menjual Produk Halal.
Pasal 4

Produk yang Masuk, Beredar, dan


diPerdagangkan di wilayah Indonesia
wajib bersertifikat halal.
BADAN PENYELENGGARA JAMINAN PRRODUK HALAL

Pasal 6
Dalam menyelenggarakan JPH, BPJPH berwenang ;
a. Merumuskan dan menetapkan kebijakan JPH
b. Menetapkan norma, standar, prosedur, dan kriteria JPH
c. Menerbitkan dan mencabut sertifikat halal dan label halal pada
produk
d. Melakukan registrasi sertifikat halal pada produk luar negeri
e. Melakukan sosialisasi, edukasi, dan publikasi produk halal
f. Melakukan akreditasi thd LPH
g. Melakukan registrasi auditor halal
BADAN PENYELENGGARA JAMINAN PRRODUK HALAL

h. Melakukan pengawasan thd JPH


i. Melakukan pembinaan auditor halal
j. Melakukan kerja sama dengan lembaga dalam dan luar
negeri dibidang penyelenggaraan JPH
BADAN PENYELENGGARA JAMINAN PRRODUK HALAL

Dalam melaksanakan wewenang, BPJPH bekerja sama


dengan :
a. Kementrian dan/atau lembaga terkait Pasal 7
b. LPH dan
c. MUI
BADAN PENYELENGGARA JAMINAN PRRODUK HALAL

Kerja sama BPJPH denga MUI dilakukan dalam bentuk :


a. Sertifikasi auditor halal
b. Penetapan kehalalan produk
c. Akreditasi LPH

Pasal 10
PENGAJUAN PERMOHONAN

Pasal 29
1. Permohonan Sertifikat Halal diajukan oleh Pelaku Usaha
secara tertulis kepada BPJPH.

2. Permohonan Sertifikat Halal harus dilengkapi dengan


dokumen:
a. data Pelaku Usaha;
b. nama dan jenis Produk;
c. daftar Produk dan Bahan yang digunakan; dan
d. proses pengolahan Produk.
LABEL HALAL

Pasal 37
BPJPH menetapkan bentuk Label Halal yang berlaku nasional.

Pasal 38
Pelaku Usaha yang telah memperoleh Sertifikat Halal wajib
mencantumkan Label Halal pada:
a. kemasan Produk;
b. bagian tertentu dari Produk; dan/atau
c. tempat tertentu pada Produk.
tirto.id - Obat-obatan mengandung DNA babi kembali menjadi sorotan setelah Badan Pengawasan
Obat dan Makanan (BPOM) menyatakan suplemen makanan merek Viostin DS dan Enzyplex positif
mengandung babi. BPOM telah meminta agar kedua jenis merek tersebut ditarik dari peredaran dan
dihentikan produksinya. Viostin DS yang dimaksud BPOM adalah produksi PT Pharos Indonesia
dengan nomor izin edar SD051523771. Sementara untuk Enzyplex diproduksi oleh Medifarma
Laboratories dengan nomor DBL7214704016A1. Izin kedua produk ini sejak 2016 itu akhirnya dicabut.

Baca selengkapnya di Tirto.id dengan judul "Viostin DS & Enzyplex: Mengapa Kasus Obat Mengandung Babi
Berulang?", https://tirto.id/viostin-ds-enzyplex-mengapa-kasus-obat-mengandung-babi-berulang-cD9v.

Follow kami di Instagram: tirtoid | Twitter: tirto.id


Dalam kasus ini, PT Pharos Indonesia, produsen suplemen makanan merek Viostin DS pun
membenarkan ada kandungan kontaminan pada produknya itu. Kontaminan adalah zat yang
muncul bukan pada tempatnya dan dapat membahayakan kesehatan. “Kami menemukan bahwa
salah satu bahan baku pembuatan Viostin DS, Chondroitin Sulfat, yang kami datangkan dari
pemasok luar negeri dan digunakan untuk produksi bets tertentu, belakangan diketahui
mengandung kontaminan,” kata Ida Nurtika, Direktur Komunikasi Korporat PT Pharos Indonesia
dalam keterangan resmi yang diterima Tirto, Rabu malam. Pihak Pharos pun berjanji untuk menarik
seluruh produknya di pasaran.
Selain menarik produk, produsen Viostin DS ini juga berjanji untuk
mengganti bahan baku penyebab munculnya DNA babi. “Kami telah
menyiapkan alternatif pemasok bahan baku dari negara lain yang telah
bersertifikat halal di negara asalnya, dan telah lulus uji Polymerase Chain
Reaction (PCR)” tulis pihak Pharos dalam rilisnya.

Baca selengkapnya di Tirto.id dengan judul "Viostin DS & Enzyplex: Mengapa Kasus Obat Mengandung Babi
Berulang?", https://tirto.id/viostin-ds-enzyplex-mengapa-kasus-obat-mengandung-babi-berulang-cD9v.

Follow kami di Instagram: tirtoid | Twitter: tirto.id


Dijelaskan juga dalam kasus temuan DNA babi dalam Viostin DS dan Enzyplex terindikasi
adanya ketidakkonsistenan informasi data pre-market dengan hasil pengawasan post market.
Pada awal pendaftaran izin edar produk, kedua produk tersebut mengaku menggunakan
bahan baku bersumber sapi.

"Di awal sertifikasi awal LPPOM MUI diidentifikasikan negatif. Tapi saat BPOM melakukan
pengawasan post-market ternyata kita temukan tidak sesuai. Sempat ada penarikan sampai
akhirnya kami mencabut izin edar Viostin DS dan Enzyplex," kata Penny.

Penny kembali menegaskan dalam rangka melindungi masyarakat Indonesia, jika masih ada
yang menemukan produk Viostin DS dan Enzyplex dari peredaran agar segera melaporkan
kepada BPOM

Sumber : https://health.detik.com/berita-detikhealth/d-3850286/buntut-temuan-dna-babi-
bpom-cabut-izin-edar-viostin-ds-dan-enzyplex
UU/Pasal Terkait Kasus
REKOMENDASI :
1. Untuk menghindari terjadinya kasus berulang tentang produk yang
mengandung unsur yang tidak halal, maka sebaiknya UU JPH ini diefektifkan
secepat mungkin
Karena salah satu faktor beredarnya produk yang tidak halal adalah karena UU
JPH yang belum diimplementasikan. Oleh karena itu diperlukan usaha dari
pihak pemerintah untuk segera mengaktifkan BPJPH agar lebih mempermudah
para produsen-produsen produk dalam melakukan sertifikasi halal

2. Dan kepada lembaga-lembaga pengawasan dan pemeriksaan/audit hendaklah


senantiasa meningkatkan proses pelayanannya atau TUPOKSI dari masing-
masing lembaga tersebut. Sehingga tidak mudah terkecoh dengan ulah dari
oknum-oknum dari pihak produsen yang tidak bertanggung jawab.
PERTANYAAN
DAN KOREKSI
DIERSILAHKAN
HASIL DISKUSI
Pertanyaan :
1. Bagaimana peran apoteker dalam menyikapi UU JPH yang
akan diaktifkan pada oktober 2019 mendatang ?

2. Pada proses yg dilakukan BPOM, berapa jangka waktu


dalam pemeriksaan post market suatu produk ?

3. Mengapa masih ada peredaran produk yang tidak halal


seperti vaksin Measles Rubella ?
Jawaban :
1. Apoteker BPOM
- peranannya dalam pengawasan produk berlabel halal
- memastikan pemenuhan aspek thoyyib melalui kegiatan evaluasi thd keamanan,
manfaat dan mutu produk sblm beredar dan pengawasan selama produk
diperedaran

Industri Farmasi
- Menyiapkan suatu sistem manajemen halal untuk menjamin kesinambungan
proses produksi halal scr konsisten
- Menerapkan konsep halal by design --> mrupakan suatu pendekatan utk
mmproduksi obat yg halal sesuai dgn syariat islam

Peneliti/akademisi/:
- Senantiasa melakukan research utk formulasi dari bahan2 yg halal-Menyediakan
buku indeks bahan aktif dan eksipien halal
2. Pada dasarnya dalam memenuhi suatu produk obat dan makanan yang
memenuhi standar, di selenggarakan proses yang komperhensif, mencakup
pengawasan pree – market dan post – market.

Pree market, singkatnya proses pemeriksaan yang dilakukan oleh badan POM,
dari suatu produk obat dan makanan untuk memperoleh ijin, kelayakan
sebelum produk tersebut di edarkan ke konsumen.

Post market, proses pengawasan yang dilakukan badan POM, setelah produk
obat dan makanan tersebut dinyatakan memenuhi persyaratan pree market,
memiliki ijin, dan telah di edarkan kepada konsumen (Post market control).
Hal ini dimaksudkan untuk melihat mutu konsisten produk, keamanan
konsumen, informasi yang benar dari hasil pemeriksaan sampling produk
dengan pengujian free market dan labeling yang ada.
Next…

Indikator pemeriksaan post market tersebut, dilakukan secara


berkala dan terjawal seperti dilakukan setiap 1 bulan, 3 bulan,
atau secara mendadak / incidental apabila terdapat temuan yang
dicurigai, pemeriksaan dilakukan oleh tiap deputi masing – masing
bidang, dari mulai standarisasi, registrasi, pengawasan produksi,
pengawasan distribusi, direktorat keamana, mutu, dan kualitas
ekspor impor, dari masing – masing UPT BPOM kabupaten/kota,
selanjutnya dilakuakan peninjauan dan tindkaan oleh BPOM Pusat.
3. Pertanyaan diklasifikasikan menjadi 2 yaitu
- Mengapa masih terdapat peredaran produk tidak halal ?
a. Produk yang menggunakan bahan yang berasal dari babi lebih unggul
secara teknologi
b. Sedikitnya peneliti melakukan eksperimen manfaat selain babi, hal ini
karena mayoritas negara yang memiliki banyak project penelitian adalah
negara-negara non muslim. Dimana berdasarkan data Kementrian
Kesehatan bahwa 95% bahan baku obat itu merupakan hasil impor.
c. Karena UU JPH belum diimplementasikan secara efektif
- Terkait vaksin MR ?
Pada tahun agustus 2018 MUI telah mengeluarkan fatwanya dalam Fatwa
MUI Nomor 33 tahun 2018 bahwa :
NEXT….

Dalam ketentuan umum poin 3 MUI mengatakan bahwa :


Penggunaan vaksin MR produk dari Serum Institute of India (SII), pada saat ini
dibolehkan (mubah) karena :
a. Ada kondisi keterpaksaan (dharurat syar’iyyah)
b. Belum ditemukan vaksin MR yang halal dan suci
c. Ada keterangan dari ahli yang kompoten dan dipercaya tentang bahaya
yang ditimbulkan akibat tidak diimunisasi dan belum adanya vaksin yang
halal.

Anda mungkin juga menyukai