Anda di halaman 1dari 154

dr.Inawati, M.

Kes
Lab.Patologi Anatomi FK UWKS
PENDAHULUAN
 Radang adalah reaksi dari jaringan hidup terhadap semua
bentuk jejas, berupa reaksi pembuluh darah,
neurogenik, humoral dan reaksi selular pada daerah
jejas
 Bersamaan dengan proses keradangan ini, timbul proses
penyembuhan atau pemulihan pada tempat jejas
 Jaringan yang rusak akibat radang diganti oleh
jaringan vital (hidup). Jaringan pengganti dapat
berupa jaringan parenkim dari alat tubuh yang
rusak, tetapi lebih sering diganti oleh sel fibroblas,
yang kemudian membentuk jaringan parut.
TUJUAN PROSES RADANG-
PEMULIHAN

 adalah untuk menetralisir jejas dan menggantikan


jaringan yang rusak dengan jaringan hidup. Usaha
ini secara morfologik biasanya dapat tercapai, tetapi
tidak selalu disertai dengan pulihnya fungsi
 Ada kalanya proses radang-pemulihan dapat
merugikan, misalnya hipersensitivitas yang timbul
sebagai akibat sengatan lebah dapat mengakibatkan
penderitanya meninggal, atau perikarditis dapat
sembuh dengan pembentukan jaringan parut
dalam kantung perikard yang mengganggu fungsi
jantung.
RADANG AKUT
 Radang Akut
 merupakan respon dini dari jaringan terhadap jejas.
Pada dasarnya radang adalah reaksi pertahanan
tubuh. Antibodi dan sel leukosit merupakan alat
pertahanan tubuh yang terpenting dan terdapat
dalam peredaran darah, akan diangkut ke tempat
jejas. Ini mungkin karena perubahan-perubahan
pembuluh darah.
3 PERUBAHAN POKOK PEMBULUH
DARAH
 1. Perubahan penampang pembuluh darah yang
mengakibatkan aliran darah bertambah banyak.
 2. Meningkatnya permeabilitas dinding
pembuluh darah, sehingga terjadi eksudasi protein
plasma.
 3. Berkumpulnya dan keluarnya sel-sel leukosit
dari pembuluh darah ke dalam jaringan
(emigrasi).
 Perubahan pembuluh darah tersebut dapat terjadi
oleh karena adanya zat-zat yang disebut mediator.
 Sumber jejas (etiologi) dapat bermacam-macam,
tetapi mediator-mediator yang berperan itu sama,
sehingga reaksi radang akut bentuknya serupa, hanya
tergantung beratnya jejas dan kemampuan tubuh
untuk bereaksi, wujud radang akut dapat berbeda
dalam berat dan luasnya.
 Radang akut dapat memberi gejala-gejala lokal saja
atau dapat disertai dengan gejala-gejala yang lebih
luas dengan tanda-tanda sistemik.
GEJALA KLINIK RADANG AKUT
 Radang akut dapat menimbulkan gejala-gejala lokal
maupun sistemik.
Gejala-gejala lokal ditandai oleh tanda-tanda
kardinal : (makroskopik)
 - rubor (merah)
 - calor (panas)
 - tumor (pembengkakan)
 - dolor (rasa nyeri)
 - functio laesa (gangguan fungsi)
 Warna merah (rubor) dan panas (kalor) setempat
disebabkan oleh karena pada daerah jejas aliran
darah bertambah. Akibat eksudasi dalam jaringan
ditemukan pembengkakan (tumor). Eksudasi
menyebabkan tekanan pada ujung-ujung serat
saraf dan berakibat rasa nyeri. (dolor)
.

 Selain itu mediator kimia, yaitu prostaglandin dan


bradikinin juga menyebabkan rasa nyeri (dolor.)
Untuk menerangkan gangguan fungsi agak sulit.
Rasa nyeri merupakan salah satu faktor, umpama
radang pada tangan menyebabkan tangan tersebut
tidak dapat digerakkan karena sakit. Faktor yang lain
adalah hiperemi
 Gejala yang pertama-tama hilang pada penyembuhan
adalah warna merah.(rubor) Kemudian
temperatur(kalor) setempat menurun dan baru
disusul hilangnya rasa nyeri(dolor). Selanjutnya
diikuti oleh berkurangnya pembengkakan (tumor)
dan gangguan fungsi.(functio laesa)
GEJALA SISTEMIK
 Suhu badan yang meningkat merupakan salah satu
gejala dari radang akut. Pada bakteriemi terdapat
panas tinggi diselingi dengan turunnya suhu tubuh
secara mendadak dan penderita menggigil. Pada
kejadian ini bakteri melepas pirogen (exogenik)
dalam bentuk endotoksin
 . Juga pirogen endogenik dan prostaglandin
menyebabkan suhu tubuh yang meningkat. Pirogen
endogenik adalah suatu protein yang dilepas oleh sel
neutrofil dan monosit waktu proses fagositosis. Akibat
aksi pirogen endogenik ini, ambang pengatur panas di
hipotalamus menjadi lebih tinggi.
 Pada umumnya terdapat leukositosis (meningkatnya
jumlah leukosit dalam aliran darah) pada radang akut.
Jumlah leukosit dapat mencapai 20.000 - 40.000/mm3
darah. Kadang-kadang bahkan sampai 50.000/mm3
atau lebih.
 . Kenaikan yang sangat tinggi disebut reaksi
leukomoid, karena mirip dengan jumlah leukosit
pada leukemia. Leukositosis terutama terdiri dari sel-
sel neutrofil.
 Tidak semua radang akut memberi leukositosis yang
neutrofilik. Pada mononukleosis infeksiosa,
pertusis, parotitis epidemika terdapat
limfositosis. Asma bronkial, “hay fever”, infeksi
parasit memberikan eosinofilia. Infeksi karena
virus, rikets dan protozoa dan juga “typhoid
fever” memberi leukopeni. Infeksi pada penderita
yang keadaan umumnya telah jelek juga memberi
leukopeni, begitu juga kanker stadium akhir.
 Sistem retikulo-endotel dapat juga ikut dalam
reaksi radang. Dapat ditemukan limfadenopati lokal
atau umum, dapat disertai splenomegali dan
hepatomegali. Selanjutnya gejala-gejala tersebut
diatas masih disertai dengan sakit kepala, lemah
badan, tidak suka makan dan sebagainya.
PATOFISIOLOGI RADANG
 Perubahan pembuluh darah berupa :
1. perubahan aliran darah
2. meningkatnya permeabilitas
PERUBAHAN ALIRAN DARAH
Jejas menyebabkan dilatasi arterioler di tempat yang
terkena jejas. Sfingter prekapiler terbuka sehingga
kapiler yang inaktif ikut melebar, bgitu juga “venule
postcapillaria” melebar dan berisi darah, akibatnya
ialah hiperemi, yaitu
(1)bertambahnya darah pada suatu tempat disertai
dengan
(2) lambatnya aliran darah,
(3)naiknya tekanan intravaskuler dan
(4)perubahan susunan letak sel-sel darah terhadap
dinding pembuluh darah.
Appendicitis acute
Vasodilatasi-PMN, sembab
Appendicitis acute (gross)
 Selain itu hiperemi berakibat cairan plasma keluar
memasuki jaringan, karena dinding pembuluh
darah bertambah permeabel, viskositas darah
meningkat, dengan akibat sel-sel darah merah
menggumpal dan tahanan bertambah besar.
Semuanya ini menyebabkan aliran darah setempat
bertambah lambat
 Aliran keluar yang berkurang disertai aliran masuk
yang lebih besar, akan meningkatkan tekanan dalam
kapiler dan venula dengan akibat terbentuknya
eksudat, kecepatan aliran darah menurun, gumpalan
sel darah merah terletak sentral dan leukosit terutama
neutrofil terletak di tepi (“margination)
Bila jejas berat, dapat terbentuk trombus sebagai
akibat rusaknya endotel. Leukosit yang letaknya di
tepi kemudian meninggalkan pembuluh darah
memasuki jaringan (emigrasi).
PERUBAHAN PERMEABILITAS
PEMBULUH DARAH-EKSUDASI
 Meningkatnya permeabilitas pembuluh darah yang
disertai keluarnya protein plasma dan sel darah putih
memasuki jaringan disebut eksudasi. Ini merupakan
tanda yang utama untuk reaksi radang akut.
 Eksudat adalah cairan radang ektravaskuler dan
mengandung banyak protein (lebih dari 2-4
gram/100 ml), berat jenisnya lebih dari 1.020 dan
terdapat banyak sel-sel radang di dalamnya.
Transudat mengandung sedikit protein (kurang dari
2 gram/100 ml) dan berat jenisnya kurang dari 1.012
 terbentuknya eksudat sebagai akibat gabungan
antara perubahan struktur pembuluh darah dan
meningkatnya tekanan hidrostatik intravaskuler.
 Sel Darah Putih
 Sel darah putih dapat memfagositir bahan asing
termasuk bakteri dan debris dari sel-sel nekrotik.
Enzym lisosom ikut berperan dalam respon
pertahanan. Pada reaksi radang akut sel limfosit tidak
banyak berperan. Limfosit terdapat dalam radang
kronik dan proses imunologik.
 Marginasi dan “pavementing”
 Pada tempat radang akan terjadi pembendungan
dengan akibat sel-sel eritrosit bergumpal, terletak di
tengah dan sel-sel darah putih terdesak ke tepi
(marginasi), melekat dan melapisi sel endotel
pembuluh darah (“pavementing”). Kalsium
berperan pada proses “pavementing” ini, dan steroid
menghambatnya.
 Emigrasi
 Keluarnya sel darah putih dari pembuluh darah
disebut emigrasi. Proses ini memerlukan energi.
Sedangkan keluarnya sel darah merah dari pembuluh
darah (diapedesis) adalah proses pasif oleh karena
tekanan hidrostatik, neutrofil bergerak secara
ameboid melalui “interendothelial cell junction
 Pertama-tama yang terdapat dalam ruang perivaskuler
adalah neutrofil yang diikuti oleh monosit. Begitu
sampai di luar pembuluh darah, monosit disebut
histiosit atau makrofag. Perkecualian dari urutan di
atas adalah pada radang oleh karena basil tuberkel
atau tifoid. Pada kedua penyakit ini pada mulanya
sudah terdapat sel-sel mononuklear. Demikian juga
infeksi virus dan reaksi imunologik akan memberi
sel-sel mononnuklear terutama limfosit.
 Pada radang akut umumnya yang menyolok adalah sel
neutrofil. Hal ini disebabkan karena neutrofil
sangat mobil, banyak dalam aliran darah dan juga
reaksi sistemik akan merangsang sumsum tulang
untuk membentuk leukosit lebih banyak
terutama neutrofil. Kemudian setelah 2-3 hari,
makrofag lebih banyak, makrofag ini lebih resisten
terhadap pH asam dan “life-span” lebih lama,
beberapa bulan sampai tahunan, sedangkan
neutrofil hanya 4 hari.
 Kemotaksis (leukotaksis)
 Kemotaksis ialah bergeraknya sel leukosit oleh
faktor kemotaksis (“chemical attractors) ke
tempat jejas. Semua sel darah putih dipengaruhi oleh
faktor ini, hanya derajatnya yang dapat bervariasi.
Yang paling reaktif adalah neutrofil dan monosit,
sedangkan limfosit paling rendah.
 Faktor kemotaksis dapat endogen berasal dari protein
plasma atau eksogen sebagai produk bakteri.
 Endogen :
 - sebagai komponen-komponen dari komplemen-
 -sebagai komponen dari sistem kinin (kalikrein dan
aktivator plasminogen)
- fibrinopeptida yang dilepaskan dari fibrinogen oleh
kerja trombin
 Eksogen : produk bakteri, misalnya stafilokokus
aureus, echerecia coli, dapat berupa toksinnya atau
produk metabolismenya.
 Faktor kemotaksis ini dapat hanya berpengaruh pada
leukosit polimorphonuklear saja, atau hanya pada sel
mononuklear atau ada juga yang bekerja pada kedua-
duanya. Bahan kemotaksis yang terpenting untuk
neutrofil adalah produk bakteri dan komponen-
komponen sistem komplemen.
 Faktor kemotaksis untuk monosit atau makrofag
ialah :
- fragmen dari C3 dan C5
- faktor-faktor bakterial
- fraksi dari neutrofil
- fraksi limfokin yang terbentuk sebagai akibat pengaruh
antigen terhadap limfosit yang sensitif
 Faktor kemotaksis eosinofil dari anafilaksin (ECF-A)
dibuat dari “mast cells”, terdapat pada reaksi
hipersensitivitas tipe I dan bekerja untuk “menarik”
eosinofil. Kemotaksis merupakan salah satu
mekanisme pertahanan tubuh in vivo. Beberapa
keadaan kongenital maupun “acquired” yang
disebabkan gangguan kemotaksis, berakibat
meningkatnya predisposisi untuk infeksi
 FAGOSITOSIS
 Dikenal 3 tahapannya :
1. melekatnya partikel di permukaan fagosit
2. engulfment atau pencaplokan
3. killing and degradation partikel atau kuman
PHAGOCYTOSIS:mechanism
Activation NADPH-
oxidase generates H2O2,
which converts to HOCl
in presence of Cl- and
myeloperoxidase; H2O2-
MPO-halide system is
bactericidal in which
leukocyte ?
 Attachment and Recognition
 Permukaan neutrofl dan makrofag mempunyai
reseptor-reseptor untuk “Fc portion” dari Ig G dan C3.
mikro-organisme dilapisi oleh IgG, antibodi akan
melekat pada permukaan fagosit melalui reseptor
tersebut. Demikian juga bila C3 melapisi mikro-
organisme akan melekat pada fagosit melalui reseptor
C3 yang terdapat pada permukaan fagosit ini pula.
Keadaan ini disebut tahap “recognition”. Kuman yang
diliputi oleh IgG atau C3 disebut “opsonized bacteri”.
 Engulfment
 Setelah bakteri “opsonized” melekat pada permukaan
fagosit, maka sitoplasma fagosit meliputi bakteri
tersebut sehingga terbentuk kantung/vesikel
(fagosom). Granula sitoplasmik neotrofil bergabung
dan melepaskan granula ke dalam vesikel tersebut
(degranulasi) dan terjadilah lisis bakteri
 Killing and Degradation
 Setelah proses “engulfment”, bakteri akan dihancurkan
oleh fagosit, tetapi pada kuman yang sangat virulen
neutrofilnya sendiri yang musnah/mati. Sebaliknya,
kuman tuberkulosa dan lepra dapat hidup dalam
fagosit dan akan menyebar ke dalam kelenjar
getah bening.
 Mediator Radang Akut
 Suatu bahan disebut mediator kimia, bila memenuhi
kriteria
1. Dapat mengakibatkan beberapa atau semua
tanda-tanda radang
2. Diproduksi pada waktu proses keradangan
3. Dapat dihambat oleh bahan anti-inflamasi
Dikenal 4 golongan mediator kimia :
 1. Amina-amina vasoaktif : histamin, serotonin
 2. Protease-protease plasma dan polipeptida :
kinin, komplemen, sistem koagulasi-fibrinolitik
 3. Prostaglandin dan senyawa-senyawa yang
sejenis
 4. Produk-produk leukosit (neutrofil dan
limfosit)
 Amina vasoaktif
Histamin
 Banyak dalam mast cell, dalam jaringan ikat dekat
pembuluh-pembuluh darah, juga dalam darah : sel
basofil, trombosit. Dalam mast cell sebagai
“preformed histamin” bentuk granula.
. Histamin akan dilepas dengan mast cell-degranulation
oleh beberapa stimuli.
 - jejas fisik trauma, panas
 - reaksi imunologik : pengikatan antibodi IgE pada
mast cell
 - fragmen dari komplemen disebut “anaphylatoxins”
 - protein-protein lisosomal asal neitrofil
 Kerja histamin : dilatasi arterioli dan meningkatkan
permeabilitas venula-venula, mengakibatkan naiknya
permeabilitas pada “immediate phase” dan menjadi
inaktif oleh histaminase.
 Serotonin
 Tidak memegang peran pada manusia sebagai
mediator, kecuali pada “rhodents”. Faktor kemotaksis
untuk sel eosinofil didapati juga dalam mast cell (ECF-
A) yang bersama histamin menyebabkan timbunan
eosinofil pada reaksi hipersensitivitas.
 Protease plasma
 Dalam kelompok ini terdapat 3 sistem yang
berhubungan satu sama lain, yaitu :
 1. Sistem kinin aktivasi sistem ini akan melepas
bradikinin yang menyebabkan dilatasi arterioli.
Meningkatnya permeabilitas venula-venula, kontraksi
otot polos ektravaskuler. Tidak kemotaktik untuk
leukosit.
 . Merupakan mediator utama untuk “increased
vascular permeability” yang bekerja pada tahap dini
peningkatan permeabilitas vaskuler, inaktivasi oleh
kininase yang terdapat dalam plasma dan jaringan.
Terdapat dalam plasma sebagai “precursor” kininogen,
yang dipecah oleh enzim proteolitik kalikrein
(“precursor”-nya : prekalikrein). Yang mengaktifkan
prekalikrein menjadi kalikrein adalah faktor XII dari
sistem pembekuan.
 (2)Sistem komplemen suatu seri protein plasma
penting untuk keradangan dan imunitas. Inaktif
dalam plasma sebagai C1 sampai dengan C9.
 (3)Sistem pembekuan : suatu protein plasma yaitu
fibrinogen diaktifkan oleh faktor Hagemen (XII)
menjadi fibrin. Pada proses ini terbentuk
fibrinopeptida yang meningkatkan permeabilitas
pembuluh darah dan mempunyai sifat kemotaktik
untuk neutrofil.
 Plasminogen menjadi plasmin oleh aktivator
plasminogen berasal sel endotel, plasmin
menyebabkan lisis fibrin yang beku, mengaktifkan
faktor Hagemen dalam sistem kinin, membagi C3
menjadi fragmen-fragmen, dan memberi produk
“fibrin-split” yang meningkatkan permeabilitas
vaskuler.
 Prostaglandin dan senyawa-senyawa yang sejenis
 Prostaglandin terdapat pada jaringan mamalia, tidak
disimpan dalam jaringan, tetapi disintesa de novo dari
asam arakidonik. Asam arakidonik dibentuk dari
fosfolipid membran sel yang mengalami jejas oleh
enzim fosfolipase lisosomal dalam neutrofil.
 Prostaglandin adalah mediator untuk reaksi radang.
Aspirin dan indometasin yang mempunyai efek anti-
inflamasi kuat, memblokir sintesa prostaglandin.
Prostaglandin menyebabkan vasodilatasi arterioli,
kemotaksis untuk polimorf leukosit terutama
eosinofil, menyebabkan timbul rasa nyeri dan
meningkatnya suhu tubuh.
 Produk leukosit
 Isi lisosom dalam neutrofil aktif sebagai mediator
pada radang akut, protease-protease netral membelah
C3 dan C5 untuk membentuk anafilaktosin protein
kationik meningkatkan permeabilitas pembuluh
darah dan kemotaktik untuk makrofag.
 Enzim-enzim lisosomal diatas dikeluarkan oleh sel
neutrofil dengan cara neutrofil mati, pembocoran
sewaktu membentuk fagosom dan “reserve
endocytosis”. Pada “reserve endocytosis” ini, usaha
memfagositer kompleks imun yang melekat pada
permukaan yang datar, menyebabkan dikeluarkannya
(exocytosis) enzim-enzim lisosomal. Limfosit yang
telah sensitif oleh antigen akan mengeluarkan
limfokin yang menyebabkan timbunan dan aktivasi
makrofag ditempat radang.
 Sel-sel Reaksi Radang
 Sel-sel radang yang didapatkan dalam reaksi radang
adalah : leukosit polimorfonuklear neutrofil, eosinofil
dan basofil-monosit-limfosit (terdapat dalam darah)
dan sel plasma.
 Neutrofil
 Pertama yang ditemukan dalam jaringan yang
meradang, terdapat 2 macam granula, azurofil dan
spesifik.
Granula azurofil mengandung beberapa bahan :
 1. (large granules)-hidrolase asam-bekerja pada pH
5.0-menghancurkan bahan organik menjadi gula-
asam-amino dan nukleotida-degradasi bakteri yang
mati
 2. protease netral seperti kolagenase, elastase dan
katepsin mengurai kolagen, elastin dan membran
basal.
 3. mieloperoksidase : enzim oksidatif merupakan 5%
berat kering sel dan bersifat bakterisidal.
 4. protein-protein kationik bersifat antibakteri dan
meningkatkan permeabilitas vaskuler, juga
kemotaktik untuk makrofag.
 5. lisozim (muramidase)-enzim hidrolitik, bersifrat
bakterisidal
 Granula spesifik mengandung lisozim dan laktoferin
yang bersifat bakterisidal, dan fosfatase alkali.
Neutrofil berasal dari sumsum tulang dari sel
“precursor” untuk perubahan ini, salah satu faktor
ialah CSF (“colony stimulating factor”) yang
merangsang “stem cell” membentuk mieloblas. CSF
dapat dibuat oleh makrofag, limfosit, sel endotel.
 “Half-life” neutrofil 7 jam, lalu memasuki jaringan di
rongga mulut, saluran pernafasan bagian atas, saluran
pencernaan dan kulit. Pada reaksi radang neutrofil
menjadi aktif melalui : “random cell movement”,
“directed cell movement” (kemotaksis), fagositosis dan
degranulasi, dilepaskannya bahan intrasel ke dalam
ruang ektraseluler, dan pembunuhan bakteri
(“bacterial killing”).
 Eosinofil
Fungsinya masih tidak jelas, mengandung granula kasar
dalam sitoplasmanya berwarna eosinofilik dan granula
mengandung peroksidase, berasal dari sel “precursor”
sumsum tulang, half-life 5 jam, kemudian memasuki
jaringan kulit, mukosa bronki, saluran pencernaan dan
vagina, sebagian besar dalam jaringan (300 sampai 500
berbanding 1 dalam darah).
 Aktivitas biologik hampir sama dengan neutrofil,
tetapi tidak seberapa motil, respon terhadap bahan
kemotaksis lebih rendah, dan sifat fagositiknya tidak
jelas. Eosinofil terdapat dalam reaksi hipersensitivitas
dikatakan bahwa dapat menghilangkan reaksi alergi
dengan menghancurkan mediator kimia, juga terdapat
pada infeksi parasit.
 Monosit dan Makrofag
 Berfungsi sebagai fagosit dan banyak ditemukan pada
radang menahun. Di dalamnya dapat ditemukan
debris sel, benda asing, sel darah merah,
neutrofil- selain itu juga penting pada reaksi
imunitas, termasuk sistem fagosit mononuklear
(MPS). Juga dikenal sebagai sisem retikulo-endotelial
(RES), sistem yang terdiri dari sel-sel dalam sumsum
tulang, sel-sel dalam darah dan dalam jaringan.
 . Dalam jaringan ikat disebut histiosit, dalam darah
disebut monosit, berasal dari “stem cell” dalam
sumsum tulang. Makrofag yang terdapat dalam reaksi
radang sebagian besar berasal dari monosit darah.
 Limfosit dan Sel Plasma
 Penting pada reaksi imun. Pada reaksi radang peran
sel-sel tersebut belum jelas. Ditemukan pada radang
menahun dan didapati pada tuberkulosa, sifilis dan
radang granulomatik lainnya, juga pada infeksi virus
dan riketsia ditemukan dalam jumlah banyak. Limfosit
kurang motil daripada neutrofil atau monosit
 Peran saluran dan kelenjar limfatik
 Sistem fagosit mononuklear (MPS) merupakan
pertahanan tubuh lini kedua, bila reaksi radang
lokal tidak dapat menetralisir jejas. Saluran limfatik
dilapisi sel endotel dan sangat halus, sukar ditemukan
dalam sediaan mikroskopik karena telah kolaps.
Dindingnya tidak mengandung otot, kecuali pada
saluran besar. Mengalirkan cairan dalam jaringan, juga
sel darah putih dan debris sel.
 Pada jejas yang berat ikut serta kuman yang dapat
menimbulkan radang saluran limfatik (limfangitis)
dan kemudian juga kelenjar (limfadenitis). Kelenjar
limfatik yang meradang akan membesar oleh karena
hiperplasi folikel limfatik dan hiperplasi fagosit yang
melapisi sinus-sinusnya
 . Bila pertahanan ini juga gagal, kuman dapat masuk
ke dalam darah dan menimbulkan bakteriemi.
Bakteri yang terdapat dalam darah dapat tersangkut
dalam alat-alat tubuh, seperti katup jantung, selaput
otak, ginjal dan persendian, mengakibatkan
endokarditis, meningitis, nefritis dan artritis septik.
 Jenis eksudat pada radang akut
 Cairan eksudat dapat berbeda tergantung berat jejas
dan penyebabnya, dikenal :
1. Eksudat serous : cairan sedikit mengandung protein
yang dpat berasal dari sekresi sel mesotel seperti
peritoneum, perikardium, pleura dan rongga sendi.
Gelembung kulit sebagai akibat kebakaran juga
eksudat macam ini. Eksudat serous biasanya sebagai
akibat jejas yang ringan juga khas pada pleuritis
tuberkulosa.
 2. Eksudat fibrinous disebabkan oleh jejas yang
berat, sehingga permeabilitas vaskuler meningkat dan
molekul fibrinogen terdapat dalam eksudat, misalnya
pada perikarditis rematik akut. Eksudat fibrinous
dapat mengalami resolusi fibrinolisin dapat
menghancurkan fibrin, disusul pembersihannya oleh
sel makrofag dan struktur normal akan pulih kembali.
Bila tidak terjadi resolusi, fibrin akan merangsang
timbulnya fibroblas dan pembuluh darah sehingga
terjadi pembentukan jaringan parut (organisasi).
 3. Eksudat purulen atau supuratif disebabkan oleh
bakteri piogenik misalnya stafilokokus,
pneumokokus, meningokokus, gonokokus, koliform.
Didapatkan eksudat yang mengandung nanah.
Apendicitis akur memberi radang supuratif dengan
timbunan leukosit polimorfoniklear dalam
dindingnya, sedang permukaan dan lumen berisi
nanah.
 4. Eksudat hemoragik terdapat pada jejas yang
menyebabkan nekrosis dan kerusakan dinding
pembuluh darah. Biasanya pada dasarnya suatu
eksudat fibrinous atau supuratif yang disertai sel-sel
darah merah yang besar jumlahnya.
 Sering eksudat merupakan kombinasi, misalnya
“serofibrinous” atau fibrinopurulen juga eksudat yang
semula serous kemudian menjadi fibrinous atau
supuratif. Dapat ditemukan eksudat meskipun proses
telah kronik. Maka adanya fibrin atau nanah bukan
tanda absolut untuk proses akut.
. Reaksi radang akut ini dapat berbentuk berlainan oleh
beberapa variabel, yang penting ialah :
 1. macam/jenis dan beratnya jejas
 2. lokasi dan jaringan yang terkena jejas
 3. respon dari “host-nutrisi”, pengaruh peredaran
darah, pengobatan, faktor-faktor yang memudahkan
terjadinya infeksi (diabetes, kanker), adanya imunitas
terhadap kuman.
RADANG KRONIK
Radang kronik terjadi sebagai akibat jejas yang terus
menerus (persisten) selama beberapa minggu
sampai beberapa bulan. Dapat timbul dengan 3 cara
:
 1. akibat radang akut, akibat jejas yang persisten
 2. akibat radang akut yang hilang/sembuh dan
timbul lagi, misalnya cholecystitis, pielonefritis
 3. pada dasarnya kronik, biasanya agen jejas tidak
toksik
 Dari cara ke-3 (asalnya kronik) dikenal 3
kelompok yaitu :
 a. Infeksi persisten kuman intraseluler (tuberkulosa,
sifilis, jamur), dengan toksisitas rendah dan memberi
reaksi imun (“delayed hypersensitivity”) biasanya
member reaksi granulomatik.
 b. Kontak lama dengan bahan yang tidak dapat
dihancurkan oleh tubuh (silikat memberi kelainan
silikosis paru, pecahan kaca, benang jahitan pada
operasi memberi reaksi benda asing).
 c. Radang kronik oleh reaksi tubuh secara imunologik
terhadap autoantigen, penyakit-penyakit autoimun
seperti artritis reumatoid dan tiroiditis Hashimoto.
Gambaran histologik radang kronik adalah :
 1. Infiltrasi sel mononuklear terdiri dari
makrofag, limfosit dan sel plasma
 2. Proliferasi fibroblas dan pembuluh darah kecil
 Makrofag berasal dari monosit darah memasuki
jaringan, timbunannya merupakan komponen yang
penting untuk radang kronik. Proliferasi fibroblas dan
pembuluh darah tidak jelas mekanismenya, faktor-
faktor berasal makrofag mungkin berperan. Kolagen
akan dibentuk oleh fibroblas yang mengakibatkan
pembentukan jaringan parut (“scarring”), yang dapat
menyebabkan sempitnya lumen usus, perlekatan
serosa dan sebagainya.
 Sel radang kronik lain adalah sel plasma, limfosit
dan eosinofil. Sel plasma membentuk antibodi
terhadap antigen yang ada pada lokasi radang.
Limfosit selain pada reaksi imun juga pada keradangan
nonimunologik seperti radang kronik oleh benda
asing. Leukosit eosinofil khas untuk reaksi imun tipe I,
IgE sebagai mediator dan pada infeksi parasit.
 Perlu diketahui bahwa leukosit polimorfonuklear juga
ditemukan pada beberapa jenis radang kronik,
misalnya osteomilitis kronik, aktinomikosis.
Sebaliknya limfosit tidak selalu kronik, misalnya
infeksi virus (hepatitis virus yang akut).
 Tidak selalu mudah membedakan radang akut dan
kronik. Dikatakan bahwa bila radang lebih lama dari
4-6 minggu adalh kronik. Tetapi semuanya ini
tergantung dari respon tubuh dan sifat jejasnya,
batasan waktu tidak banyak artinya. Maka untuk
membedakan apakah radang itu akut atau kronik,
lebih tepat berdasarkan perubahan morfologinya.
RADANG KRONIK GRANULOMATIK
 Radang Granulomatik adalah radang kronik yang
membentuk jaringan khas berupa granuloma, yang
terdiri dari kumpulan histiosit (makrofag) yang telah
mengalami perubahan menjadi sel-sel epiteloid
dikelilingi leukosit mononuklear terutama limfosit
dan kadang juga sel plasma.
 Sel-sel epiteloid pada sediaan HE (hematoksilin-eosin)
menunjukkan sitoplasma granuler dan warna merah
muda, pucat, dengan batas sel yang jelas. Inti tampak
vesikuler, bentuk oval atau lonjong dengan membran
inti yang melipat.
 Pada granuloma yang telah lama, terbentuk sel
fibroblas dan jaringan ikat di sekitarnya. Seringkali
ditemukan sel datia (“large giant cell”) pada tepi atau
di tengah granuloma. Sel datia ini berukuran 40-50
um, dengan sitoplasma banyak dan mengandung
banyak inti (20 atau lebih).
 Dikenal 2 macam sel datia
1) sel datia jenis Langhans dengan inti tersusun pada
tepi sel dan membentuk bentukan mirip tapal kuda,
dianggap khas untuk proses tuberkulosa, tetapi
dapat ditemukan juga pada granuloma oleh sebab
lainnya.
2) Sel datia jenis benda asing tidak tersusun secara
khusus.
Sel datia langhans
 Yang khas untuk radang granuloma adalah kumpulan
sel-sel epiteloid, bukan ada atau tidaknya sel datia.
Kedua jenis sel datia tersebut di atas dihasilkan oleh
fusi histiosit. Radang granulomatik dapat terjadi pada
tuberkulosa, sifilis, “cat scraatch fever”,
limfogranuloma inguinal, lepra, “brucellosis’, infeksi
jamur tertentu, reaksi terhadap benda asig.
 Granuloma pada tubekulosis disebut tuberkel dan
sering nekrosis sentral. Pada sarkoidosis tidak
pernah ditemukan nekrosis sentral dan biasa disebut
“hard tubercle”, sedangkan pada tuberkulosis dengan
nekrosis sentral disebut “soft tubercle”. Untuk
membedakan satu sama lain kadang perlu
menemukan penyebabnya, suatu benda asing dapat
dilihat pada sediaan mikroskopik, dengan pegecatan
khusus, baksil tuberkulosa dapat dikenali, lues
memerlukan pemeriksaan serologik dan fungus
diketahui secara histologik atau pembiakan.
Jenis radang menurut lokasinya
 Abses adalah timbunan nanah atau “pus” setempat di
dalam alat tubuh atau jaringan. Eksudat setengah cair,
kaya akan protein dan mengandung debris sel
nekrotik, leukosit yang piknotik maupun leukosit yang
masih aktif ini disebut nanah (“pus”)
 Bagian tengah abses berisi nanah yang dibatasi oleh
jaringan granulasi. Abses dapat sembuh sendiri dalam
waktu yang lama. Penyembuhan dapat dipercepat bila
abses tersebut pecah dan nanah dikeluarkan atau
dengan operasi (insisi). Ruang abses akan hilang.
Contoh abses adalah furunkel dan karbunkel. Kadang
terbentuk “pseudocyst” bila nanah diabsorpsi, tetapi
rongga tetap ada. Abses yang pecah ke permukaan
dapat membentuk sinus atau fistula.
 Sinus adalah suatu rongga yang berhubungan dengan
permukaan melalui suatu saluran.
 Fistula adalah saluran yang menghubungkan dua
rongga atau alat tubuh yang berongga dengan
permukaan tubuh. Radang purulen yang menyusup
secara difus dalam jaringan lunak seperti jaringan
lunak leher atau dinding abdomen disebut flegmon.
Timbunan nanah dalam alat tubuh berupa rongga
seperti kantung empedu atau ruang pleura disebut
empiema.
 Ulkus adalah suatu kerusakan dari permukaan alat
tubuh atau jaringan sebagai akibat terlepasnya
jaringan radang nekrotik superficial yang biasanya
ditemukan pada radang selaput mukosa dan kulit,
umpamanya radang nekrotik mukosa mulut, lambung
atau usus radang subcutan di tungkai pada orang tua
karena gangguan aliran darah radang servik uteri..
 Radang ulseratif pada dasarnya suatu defek dengan
kerusakan jaringan disertai dengan perubahan-
perubahan karena penyembuhan.
RADANG
MEMBRANOUS(PSEUDOMEMBRAN)
 Pada keradangan ini dibentuk suatu membran terdiri
dari fibrin dan epitel yang nekrotik serta sel darah
putih. Sebetulnya ini adalah pseudomembran, karena
lapisan ini tidak vital lagi.
 Menurut eksudatnya ini adalah suatu
fibrinopurulen. Ditemukan pada permukaan
mukosa seperti faring, laring, saluran pernafasan dan
saluran pencernaan. Pseudomembran berwarna putih
kelabu, bila dilepas dengan paksa meninggalkan
mukosa yang erosif dan berdarah. Jenis radang ini
ditemukan pada penyakit difteri tenggorokan,
eksotoksin difteri menyebabkan nekrosis epitel
permukaan
 Pada enterokolitis pseudomembranosa ditemukan
jenis radang yang sama. Terjadi pada pemberian
antibiotika spektrum luas, payah jantung kongestif,
“postoperative shock” dan uremia.
RADANG KATARAL (CATARRHAL
INFLAMMATION)
 Jenis radang ini ditemukan pada radang mukosa yang
membentuk lendir (“mucin”). Selain cairan eksudat
juga dibentuk lendir yang berlebih-lebihan, yang
melapisi mukosa tersebut, contohnya pada “common
cold” (selesma) dimana vaskularisasi yang meningkat
akan merangsang produksi lendir.
TISSUE REPAIR AND HEALING
PROCESS
 Sebagai akibat jejas akan timbul reaksi radang yang
disertai dengan penyembuhan, yang disusul dengan
perbaikan. Jaringan nekrotik dan sel-sel yang mati
diganti oleh sel-sel yang sehat.
 Perbaikan merupakan 2 macam proses :
 -(1)regenerasi : sel-sel rusak diganti oleh sel-sel
parenkim yang sama
 (2) fibrosis : sel-sel/jaringan rusak diganti oleh
stroma jaringan ikat
 Ditinjau dari segi kemungkinan untuk regenerasi, sel-
sel tubuh dibagi dalam 3 kelompok, yaitu (1) sel-sel
labil, (2)stabil dan (3)permanen
SEL-SEL LABIL
 Dalam keadaan normal sel-sel ini selalu berproliferasi
menggantikan sel-sel yang rusak atau mengalami
kematian nekrobiosis (masa hidupnya telah usai).
 Sel-sel labil terdiri dari sel epitel permukaan dan sel
darah. Sel-sel epitel permukaan seperti epitel
squamous kulit, rongga mulut, vagina dan servik,
epitel pelapis saluran kelenjar liur, pankreas atau
empedu, epitel silindris saluran pencernaan, uterus
dan tuba Fallopi, epitel peralihan saluran urinaria.
 Sel-sel permukaan tersebut selalu akan dilepaskan
yang akan diganti oleh “reserve cells” yang
berproliferasi, contohnya pertumbuhan kembali
endometrium setelah haid. Sel-sel epitel yang rusak
sebagai akibat jejas juga akan diganti oleh proliferasi
“reserve cells”. Bila kerusakan tersebut kecil akan
segera terjadi perbaikan, dalam waktu 24 jam sampai
48 jam luka irisan kulit akan menutup kembali.
 Tetapi bila kerusakan tersebut lebih besar seperti pada
ulkus, regenerasi epitel akan terjadi bila rongga
tersebut telah ditutup oleh jaringan ikat, terbentuklah
jaringan parut. Sel-sel jaringan limpa, jaringan limfoid
dan jaringan hematopoetik termasuk sel-sel labil.
SEL-SEL STABIL
 Sel-sel stabil mempunyai daya proliferasi yang rendah.
Meskipun demikian oleh suatu stimulus sel-sel
tersebut dapat berproliferasi denga cepat dan
mengganti jaringan yang rusak denga jaringan asal.
 Termasuk sel-sel stabil adalah sel-sel jaringan
parenkim hati, ginjal dan pankreas, sel-sel jaringan
mesenkim fibroblas, sel otot polos, osteoblas,
kondroblas dan sel-sel endotel pembuluh darah.
Contoh daya regenerasi sel-sel stabil adalah
penyembuhan hati setelah hepatektomi dan hepatitis
virus yang akut. Untuk suatu restitusi (pulihnya
struktur normal), jaringan stroma yang menyangga
sel-sel parenkim harus masih ada.
 Selain itu untuk regenerasi yang teratur, membran
basal merupakan faktor penting, bila ini terputus-
putus, regenerasi akan kacau dan tidak akan
menunjukkan susunan yang teratur dari jaringan
asalnya, sebagai akibatnya akan terbentuk jaringan
parut, contoh : pada hepatitis akut karena virus akan
terjadi kerusakan sel-sel parenkim tanpa
menghilangkan jaringan penyangga. Regenerasi akan
lengkap yang berarti lobuli akan pulih kembali tanpa
meninggalkan bekas.
 Faal hati akan pulih kembali setelah beberapa minggu,
sebaliknya pada abses hati yang menghilangkan sel-sel
parenkim dan juga jaringan ikat penyangganya, akan
mengakibatkan terjadinya jaringan parut pada
penyembuhan dan perbaikannya. Regenerasi di mulai
dari tepi oleh sel-sel stabil yang tidak rusak, sedang
bagian tengahnya diganti jaringan ikat fibroblas.
SEL-SEL PERMANEN
 Sel-sel dalam kategori ini tidak mempunyai
kemungkinan untuk mitosis setelah individu
dilahirkan. Termasuk didalamnya adalah sel-sel saraf,
otot bergaris dan otot jantung. Sel-sel saraf sentral
yang rusak tidak akan pulih lagi, dan akan diganti oleh
proliferasi jaringan penyangga sistem saraf sentral
yaitu sel-sel glia.
PERBAIKAN DENGAN JARINGAN
IKAT
 Jaringan granulasi
 Jaringan granulasi ditandai dengan proliferasi
fibroblas dan pembuluh darah baru sebagai akibat
radang. Disebut jaringan granulasi karena warnanya
yang merah muda dengan permukaan yang berbintil-
bintil halus
 . Dinding pembuluh darah di sini masih permeabel
dengan akibat keluarnya protein dan sel darah merah
dalam ruangan ekstravaskuler yang menyebabkan
jaringan granulasi yang masih baru tampak sembab.
Pada luka yang menyembuh, meskipun reaksi radang
akut sudah tidak ada, masih ditemukan edema.
 Sebagian fibroblas dalam jaringan granulasi bersifat
seperti sel otot polos (miofibroblas) yang dapat
berkontraksi. Sifat ini memungkinkan luka yang
menyembuh untuk berkontraksi dan mengerut.
Disamping itu ditemukan juga makrofag yang dapat
mengandung debris dan sel-sel neutrofil, eosinofil dan
limfosit.
 Pada tahap selanjutnya bahan ekstraseluler
bertambah, terutama kolagen dan fibroblas, sedang
pembuluh darahnya berkurang. Akhirnya jaringan
granulasi akan berubah menjadi jaringan parut
(“cicatrix=scar”) dengan fibroblas yang tampak
“spindle”, kolagen yang padat, fragmen jaringan elastik
dan sedikit pembuluh darah.
Telah disebut bahwa penyembuhan kerusakan alat
tubuh terjadi oleh regenerasi sel-sel parenkim
maupun pembentukan jaringan ikat. Penyembuhan
ini dapat mengembalikan struktur normal atau
susunan yang tidak teratur, tergantung pada :
 - kemungkinan regenerasi sel-sel yang mengalami
jejas
 - luasnya jejas, luasnya kerusakan jaringan penyangga
 - sifat proliferasi jaringan ikat stroma
PENYEMBUHAN LUKA
 Penyembuhan luka dapat sempurna yang disebut
“primary union” atau “healing by first intention”
atau dapat tidak sempurna yaitu “secondary
union” atau “healing by second intention”..
 Contoh untuk primary union adalah luka operasi.
Pada luka ini selain steril, juga kerusakan jaringan
minimal. Ruang insisi hanya sempit yang segera diisi
oleh bekuan darah. Kerak oleh mengeringnya darah di
permukaan menutup luka terhadap sekitarnya
sehingga tidak terjadi infeksi. Semuanya
mengakibatkan penyembuhan yang primer.
 Secondary union” terjadi bila terdapat kerusakan
jaringan yang lebih besar, seperti umpamanya ulkus,
abses atau luka permukaan yang dalam.
Perbedaan primary union dan
secondary
:
union
 - pada “secondary union” didapatkan kerusakan
jaringan yang luas
 - sehingga perlu lebih banyak debris nekrotik dan
eksudat dibersihkan
 - terjadi kontraksi luka permukaan, bila tepi luka
dapat bergerak
 - menghasilkan lebih banyak jaringan parut
 - lebih banyak hilangnya adnexa kulit seperti rambut,
kelenjar keringat dan lemak
 - terbentuknya lebih banyak jaringan granulasi
 - proses penyembuhan berlangsung lebih lama
 Proses penyembuhan dapat dipengaruhi oleh cara
merawat luka dan keadaan umum dari yang terluka.
Selain itu meskipun keadaannya optimal, kadang-
kadang dapat terbentuk “exuberant granulation” yaitu
pembentukan jaringan granulasi yang berlebih-
lebihan yang menonjol keluar permukaan dan
menghambat re-epitelialisasi. Keadaan ini dapat di
koreksi dengan eksisi secara bedah atau kauterisasi.
 Juga oleh sesuatu sebab dapat terbentuk keloid. Pada
keadaan ini pembentukan kolagen dalam jaringan ikat
berlebih-lebihan dan jaringan parut akan menonjol
disebut di sini faktor genetik memegang peran.
PENYAKIT-PENYAKIT INFEKSI
 1. TUBERKULOSIS
 Etiologi : “mycobacterium tuberculosis” primer mengenai
paru, tetapi sekunder dapat mengenai hampir semua alat
tubuh maupun jaringan. Tidak tergantung lokasinya,
selalu memberikan gambaran granuloma dengan nekrosis
sentral (‘soft tubercle”) mikroskopik suatu tuberkel terdiri
dari kumpulan histiosit mirip dengan sel epitel (sel
epiteloid), adalah makrofag yang telah mengalami aktivasi
oleh karena melakukan fagositosis kuman tuberkulosis
yang mengandung lipid dan sukar dicernakan.
 . Tidak tergantung lokasinya, selalu memberikan
gambaran granuloma dengan nekrosis sentral (‘soft
tubercle”) mikroskopik suatu tuberkel terdiri dari
kumpulan histiosit mirip dengan sel epitel (sel
epiteloid), adalah makrofag yang telah mengalami
aktivasi oleh karena melakukan fagositosis kuman
tuberkulosis yang mengandung lipid dan sukar
dicernakan.
 Sel-sel epiteloid dengan pengecatan rutin
menunjukkan sitoplasma yang merah muda, granuler
dan banyak. Kadang dapat mengandung kuman
tuberkel yang utuh maupun telah terpotong-potong.
Tepi kelompok sel-sel epiteloid maupun bagian
tengahnya dapat mengandung sel datia Langhans
yang terjadi dari fusi sel-sel epiteloid atau pembagian
inti intraseluler tanpa disertai pembagian
sitoplasmanya.
 Sekitar granuloma didapatkan sel-sel fibroblas dengan
makrofag dan limfosit diantaranya. Gambaran
granuloma tersebut diatas adalah suatu “hard
tubercle”. Setelah beberapa hari, bagian tengah dari
tuberkel ini akan mengalami nekrosis pengejuan
(‘soft tubercle”) yang menjadikan gambaran
granuloma ini khas untuk suatu tuberkulosis.
 Penyakit tuberkulosis dapat primer bila terjadi
infeksi oleh kuman tuberkulosis untuk pertama kali
atau sekunder bila terjadi reinfeksi dari sumber
eksogen. Tuberkulosis sekunder dapat juga oleh
karena reaktivasi suatu infeksi primer (“postprimary
tuberculosis”).
 Tuberkulosis Primer
 “Ghon lesion” : kuman tuberkulosis terhisap dengan
udara dan tersangkut pada permukaan dinding alveoli.
Lokasinya khas yaitu langsung di bawah pleura bagian
bawah lobus superior atau bagian atas lobur inferior.
“Ghon focus” ini merupakan daerah yang padat
berukuran 1 sampai 1,5 cm berwarna putih kelabu,
yang kemudian membentuk tuberkel dengan nekrosis
sentral.
 Selanjutnya kelenjar limfatik regional juga ikut dalam
proses (kelenjar getah bening trakeobronkial).
Kombinasi lesi primer dan kelenjar getah bening yang
membesar tersebut adalah “Ghon complex”. Sebagian
besar penderita tuberkulosis primer tidak sakit dan
kompleks Ghon ini akan mengalami fibrosis,
perkapuran dan kadang osifikasi.
 Tuberkulosis Sekunder
 Tahap infeksi tuberkulosis oleh kuman tuberkel
berasal dari dalam (endogen) atau dari luar
(eksogen), pada penderita yang telah sensitif
terhadap kuman tersebut. Lesi terdapat pada salah
satu atau kedua apeks paru, berupa daerah berukuran
1 sampai 3 cm yang padat dan “caseous”, terletak 1
sampai 2 cm dari permukaan pleura. Pada umumnya
tetap setempat dan tidak memberi kelainan kelenjar
limfatik. Tetapi nekrosis pengejuan sentral bertambah
banyak dan sekitarnya akan mengalami fibrosis
(“fibrotic walling-off”).
 Selanjutnya infeksi pada daerah apeks ini dapat
mengalami perubahan yang berikut :
 1. Menyembuh dengan pembentukan jaringan parut,
perkapuran. Terdapat pada apeks suatu
“fibrocalcified arrested tuberculosis”.

 2. Dapat menyebar ke pleura dan memberi fibrosis


dan adhesi lokal pleura maupun pleuritis dan
“tuberculous empyema”.
 3. Dapat meluas dalam paru dan memberi
tuberkulosis paru yang progresif.
 4. Merusak bronkus dan memberi tuberkulosis
endotrakeobronkial, tuberkulosis laring.
 5. Bila tertelan dapat memberi tuberkulosis intestinal.
 6. Melalui limfatik dan darah dapat memberi
“milliary tuberculosis” disebut demikian karena
makroskopik tampak sebagai biltil-bintil yang halus
berwarna kuning keputih-putihan mirip “millet”.
Kelainan milier ini dapat pada paru, sumsum tulang,
hati, limpa, ginjal, adrenal, retina, tuba Fallopi,
endometrium dan selaput otak.
 7. Proses menjadi progresif pada salah satu alat tubuh
saja sebagai “isolated tuberculosis” umumnya pada
selaput otak (meningitis tuberkulosa), ginjal
(tuberkulosa renal), adrenal, tulang (osteomielitis
tuberkulosa), tuba Falopi dan epididimis (tuberkulosis
genital
 Meskipun penyakit tuberkulosis memberi suatu
granuloma dengan nekrosis sentral yang khas, tetapi
perlu diusahakan untuk memperlihatkan kuman
tuberkulosisi yang tahan asam dalam lesi atau dengan
pembiakan. Karena seperti diketahui, radang
granulomatik yang mirip dengan tuberkel dapat juga
terdapat pada lain-lain penyakit.
SELAMAT BELAJAR
GOD BLESS YOU

Anda mungkin juga menyukai