Anda di halaman 1dari 27

DRY EYE DISEASE

Risa Anindia Putri


030.14.167
PENDAHULUAN
Dry eye disease (DED) adalah penyakit multifaktorial yang dapat
menyebabkan ketidakstabilan lapisan air mata yang berpotensi
menyebabkan kerusakan pada permukaan okular.
Angka kejadian DED lebih banyak ditemukan pada wanita (18,7% – 19,4%)
daripada pria (9,8%-11,5%) dan cenderung meningkat seiring dengan
bertambahnya usia.2
Pada umumnya pasien dengan DED akan mengeluhkan mata terasa gatal,
kering, panas, seperti terdapat benda asing, dan mengeluhkan mata merah.
Pada pasien dengan DED saat dilakukan pemeriksaan dapat terlihat
penipisan atau bahkan tidak adanya marginal tear meniscus, benang-benang
mukus yang jelas terlihat dengan pemeriksaan menggunakan rose Bengal,
dan tampak plak berwarna putih keabuan.
2

Dry eye disease (DED) adalah penyakit multifaktorial
yang menimbulkan gejala berupa ketidaknyamanan,
gangguan visual, dan ketidakstabilan lapisan air mata
yang berpotensi menyebabkan kerusakan pada
permukaan okular. Keadaan ini disertai dengan
peningkatan osmolaritas dari tear film dan
peradangan pada permukaan okular. (Dry Eye
Workshop,2007)

3
Anatomi sistem lakrimal

4
FISIOLOGI
Tear film didistribusikan secara
mekanik di atas permukaan
okular melalui mekanisme
berkedip.

5
EPIDEMIOLOGI
Berdasarkan lima penelitian di Asia didapatkan angka kejadian penyakit
DED berdasarkan gejala sebanyak 14,4-24,4%. Angka kejadian ini
cenderung lebih banyak didapatkan pada wanita dan meningkat seiring
bertambahnya usia.

18,7-19,4%
9,8-11,5%
6
etiopatologi
Etipatologi DED terbagi menjadi dua kelompok
yaitu:
1. Aqueous-deficient dry eye (ADDE)
2. Evaporative dry eye (EDE)
Semua penyebab dari kedua etiologi tersebut
dapat menyebabkan lingkaran setan dari
hiperosmolaritas air mata, ketidakstabilan
lapisan air mata dan peradangan pada epitel
pada permukaan mata
7
Patogenesis dry eye disease

8
Klasifikasi dry eye disease

9
Evaporative dry eye (EDE)
Evaporative dry eye adalah mata kering akibat kehilangan air mata yang
berlebihan pada permukaan okular dengan fungsi sekretorik dari kelenjar
lakrimal normal. Keadaan ini dapat dipegaruhi oleh faktor intrinsik dan
ekstrinsik.

1. Intrinsik 2. Ekstrinsik
Termasuk faktor intrinsik pada Termasuk faktor ekstrinsik pada
keadaan ini yaitu defisiensi keadaan ini yaitu defisiensi
meibomian oil, gangguan vitamin A, penggunaan lensa
dinamika penutupan, tingkat kontak, dan kelainan pada
kedipan yang rendah, dan efek permukaan okular seperti alergi.
dari obat.

10
Aqueous-deficient dry eye (ADDE)
Pada kelompok ADDE, air mata yang di sekresikan tidak cukup untuk
mempertahankan fungsi normal dari tear film. Kondisi ini terbagi menjadi
dua subclass, yaitu:

1. Sjögren Syndrome Dry Eye 2. Non-Sjögren Dry Eye


Sjögren syndrome merupakan Non-Sjögern Dry Eye
suatu proses autoimun berupa merupakan salah satu disfungsi
exocrinopathy dimana kelenjar kelenjar lakrimal yang tidak
lakrimal dan saliva sebagai berhubungan dengan keadaan
organ target. autoimun. Penyebab yang
Sjögren syndrome terbagi atas tersering pada kelompok ini
dua kelompok yaitu primer dan adalah usia atau Age Related
sekunder. Dry Eye.
11
Faktor
risiko
12
Manifestasi klinis
Gejala yang umumnya dikeluhkan pasien antara lain:

• Terasa kering • Penglihatan kabur


• Grittiness • Mata merah
• Seperti terdapat benda asing • Terdapat crusting pada kelopak
• Gatal mata
• Rasa terbakar
Gejala-gejala tersebut dapat diperberat oleh kondisi-kondisi yang
dapat menyebabkan peningkatan evaporasi air mata seperti terpapar
AC dan angin, penggunaan gadget, dan kondisi-kondisi yang dapat
mengurangi frekuensi berkedip.
13
•Posterior blepharitis dengan disfungsi kelenjar meibom

Gambar 8. Posterior blefaritis pada dry eye. (A) globuli minyak pada orifisium kelenjar meibom; (B) lid notching

14
•Konjungtiva
Merah
Didapatkan pewarnaan dengan fluorescein dan rose Bengal

Gambar 9. Pewarnaan konjungtiva pada dry eye (A) fluorescein; (B) rose Bengal

15
Conjungtivochalasis merupakan respon umum dari faktor eksaserbasi dari iritasi mata kering
yang kronik.

Gambar 10. (A)Conjunctivochalasis; (B) conjunctivochalasis dengan pewarnaan rose bengal


16
Tear film
Pada mata kering, mucin yang Marginal tear meniscus (strip) menipis atau
terkontaminasi lipid terakumulasi dalam tidak ada.
tear film sebagai partikel yang bergerak
saat berkedip.

Gambar 12. Abnormal tear film pada dry eye (debris mucus) Gambar 13. Penipisan marginal tear meniscus
17
Kornea
Erosi pungtata dari epitel dapat terlihat dengan fluorescein

Gambar 14. (A) dan (B) Erosi pungtata pada pewarnaan fluorescein
18
Filamen yang terdiri dari mucus dan debris sel epitel tampak terlihat jelas
dengan rose Bengal dan kurang jelas dengan fluroscein.

Gambar 15. Filament kornea (A) Pada pewarnaan dengan flurescein; (B) Pada pewarnaan dengan rose Bengal

19
Tampak plak mucus berwarna putih keabuan dengan jumlah yang bervariasi.

Gambar 16. Plak mukus

20
PENEGAKAN DIAGNOSIS
Pemeriksaan fisik yang dilakukan untuk menegakan diagnosis
dry eye antara lain pengukuran ketajaman penglihatan,
pemeriksaan eksternal, dan biomicroscopy slit-lamp untuk
grading tingkat keparahan DED.
Tes diagnostik tambahan dapat dilakukan untuk menilai
ketidakstabilan tear film (Tear film stability assessment),
kerusakan permukaan okular (Fluorescein dan rose Bengal test)
dan aliran air mata (Schirmer test).9

21
PENATALAKSANAAN
• Air mata buatan • Secretagogues
• Terapi anti-inflamasi • Terapi pembedahan
Cyclosporin A  Oklusi punctum
Kortikosteroid Tarsorrhaphy
Tetrasiklin Transplantasi glandula
Essential fatty saliva
acid
Serum autologus
22
PENATALAKSANAAN DRY EYE DISEASE
Berdasarkan derajat keparahannya :

23
kesimpulan

‐ Dry eye disease (DED) adalah penyakit multifaktorial yang menimbulkan


gejala berupa ketidaknyamanan, gangguan visual, dan ketidakstabilan
lapisan air mata yang berpotensi menyebabkan kerusakan pada
permukaan okular.
‐ Etiopatologi dari DED terbagi menjadi dalam dua kelompok yaitu
aqueous-deficient dry eye (ADDE) dan evaporative dry eye (EDE).
‐ Pemeriksaan fisik yang dilakukan untuk menegakan diagnosis dry eye
antara lain pengukuran ketajaman penglihatan, pemeriksaan eksternal,
dan biomicroscopy slit-lamp untuk grading tingkat keparahan DED.
‐ Penatalaksanaan pada pasien DED diberikan terapi berdasarkan derajat
keparahan dari DED.

24
Daftar pustaka
1. Potvin R, Makari S, Rapuano CJ. Tear film osmolarity and dry eye disease: a review of the literature. Clinical
ophthalmology 2015;9:2039-47
2. Stapleton F, Alves M, Bunya VY, Jalbert I, Lekhanont K, Malet F, et al. TFOS DEWS II Epidemiology Report. The
Ocular Surface 2017;15:334-65
3. Hirvonen I. Dry Eye Disease and Computer Simulations - A Literature Review (thesis). University of Helsinki.
2017
4. Bowling B. Kanski’s Clinical Ophthalmology. 8th Ed. Australia: Elsevier, 2016
5. Lin H., Yiu S.C. Dry eye disease: A review of diagnostic approaches and treatments. Saudi J Ophthalmol 2014;
28(3):173-81
6. Javadi MA, Feizi S. Dry Eye Syndrome. J Ophthalmic Vis Res 2011; 6(3): 192-8
7. Eva PR, Mhitcher JP. Vaughan & Asbury Oftalmologi umum. Ed 17. Jakarta: EGC,2010
8. Drake RL, Vogl W, Mitchell AWM. Gray’s Basic Anatomy. Elsevier: Philadelphia, 2012
9. Shah S, Jani H. Prevalence and associated factors of dry eye: Our experience in patients above 40 years of age
at a Tertiary Care Center. Oman J Ophthalmol 2015;8(3):151-6
10. Foulks GN, Jester JV, Murube J, Lemp MA, Sutphin J, Novack GD, et al. 2007 Report of the International Dry
Eye Workshop (DEWS). The ocular surface 2007; 5(2):65-204
11. Bhavsar AS, Bhavsar SG, Jain SM. A review on recent advances in dry eye: Pathogenesis and management.
Journal of Ophthalmology 2011;(4) 2:50-6
12. Pflugfelder SC, Bian F, de Paiva CS. Matrix metalloproteinase-9 in the pathophysiology and diagnosis of dry eye
syndrome. Metalloproteinases In Medicine 2017;4:37–46

25
13. Messmer EM, Lindenfels V, Garbe A, Kampik A. Matrix Metalloproteinase 9 Testing in Dry Eye Disease
Using a Commercially Available Point-of-Care Immunoassay. Ophthalmology 2016:1-9
14. Coleman AL, Emptage NP, Collins N, Mizuiri D, Ravetto J, Lum FC, et al. Preferred practice pattern Dry
Eye Syndrome. AAO, 2013
15. Nicholas DL. Gillan WDH. Meibomian gland imaging: A review. Afr. Vision Eye Health. 2015;74(1);1-4
16. Nichols KK, Foulks GN, Bron AJ, Glasgow BJ, Dogru M, Tsubota K, et al. The international workshop on
meibomian gland dysfunction: executive summary. Invest Ophthalmol Vis Sci. 2011;52(4):1922-9
17. Gibson E. Hormones and Dry Eye. Available at: https://www.aop.org.uk/ot/cet/2015/12/14/hormones-and-
dry-eye-disease/article Accessed Desember 16; 2018
18. Peck T, Olsakovsky L, Aggarwal S. Dry Eye Syndrome in Menopause and Perimenopausal Age Group. J
Midlife Health 2017;8(2):51–4
19. Kasetsuwan N, Satitpitakul V, Changul T, Jariyakosol S. Incidence and Pattern of Dry Eye after Cataract
Surgery. PLoS One 2013;8(11):78657.
20. Gomes JAP, Azar DT, Baudouin C, Efron N, Hirayama M, Winter JH, et al. TFOS DEWS II iatrogenic
report. The Ocular Surface xxx 2017;516-43
21. Mann E. Dry eye disease: risk factors and selecting treatment. The Pharmaceutical Journal
2015;295(7882):2-8
22. Bae JB, Park WC. Histopathologic Characteristics of Conjunctivochalasis. J Korean Ophthalmol Soc
2013;54(8):1165-74
23. Trivli A, Dalianis G, Terzidou C. A Quick Surgical Treatment of Conjunctivochalasis Using
Radiofrequencies Healthcare (Basel) 2018; 6(1): 14
24. American International Medical University. Conjunctivochalasis : Symptoms, Diagnosis and Management.
Available at: https://www.aimu.us/2016/11/25/conjunctivochalasis-symptoms-diagnosis-and-management/
Accessed Desember 16, 2018
26
TERIMAKASIH

Anda mungkin juga menyukai